Jumat, 09 Januari 2015

TAK PERLU AGAMA UNTUK MEMBUKTIKAN CINTA, KARENA CINTA ADALAH NURANI


"Ribuan jalan telah kita lewati, berbagai rintangan telah kita lalui. Penuh wewangian bunga maupun bertabur penuh duri. Penuh suka maupun duka di hati. Semua bukanlah sekedar kenangan. Semua bukanlah sekedar renungan. Saat kita saling mencinta dalam kebersamaan, dalam suka maupun pengorbanan. Jiwa ini terbang tinggi kelangit biru, angan-angan ini bersemi bersama dengan tumbangnya cinta dipelataran hati. Hingga akhirnya desahan nafas senyum dan keceriaan hilang seketika, hilang tenggelam bersama memori romansa masa silam. 

Namun kita telah tahu, kita tak akan selamanya bisa bersatu. Menempuh jalan hidup yang bertabur debu, bertabur dedaunan yang tak pernah tersapu. Mungkin perpisahan ini adalah pintu gerbang menuju satu titik kehidupan baru. Kehidupan yang akan memberikan kita warna-warni baru. Warna yang dapat terus bersinar terang seperti manisnya senyum indah cahaya mentari pagi yang menyirami bumi.

Saat berpisah harus menyapa. Ku tak ingin kau teteskan air mata. Ku tak ingin kau berduka, karena hati kita kan tetap bersama. Sayangku, inilah hidup! kadang kita membuka, suatu saat kita pasti kan menutup. Kelemahan terbesarku adalah terlalu sangat mencintaimu, dan jika memang mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka salahkanlah waktu yang telah mempertemukan kita." 
(Rio Maesa, 2010)

*********************************************************************************
“Iya, silakan saja sebut aku Atheist, Agnostik, Sesat! Sebut saja aku orang gila, kafir atau apapun semaumu! Cacimaki saja diriku semaumu! Tapi setidaknya aku jujur pada diriku sendiri, bahwa aku skeptis pada eksistensi Tuhan personal, dan sekarang aku memastikan diri untuk tidak beragama.”

“Lalu selama ini untuk apa kamu beribadah? Kamu sudah menipuku selama bertahun-tahun, aku kira kamu religius tapi ternyata aku salah. Aku benci kamu. Kamu munafik! Kita putus!”. Coba pikirkan berapa banyak dari kita yang pernah mengalami putus cinta karena perbedaan keyakinan? Berapa banyak dari kita yang dicap munafik karena tidak mengakui eksistensi Tuhan? ketidakberuntungan saya pada seleksi alam yang membuat saya dilahirkan di Indonesia (sebuah negara yang mendasari kehidupan sosial berdasarkan moralitas agama) adalah fakta bahwa saya sendiri pun mengalami kejadian seperti ini.

Aku rasa mereka gila. Mereka merasa paling suci lalu berhak melabeliku sebagai kafir, sesat dan halal dibunuh. Apalagi setelah dikhianati kekasih yang selama ini kukira mampu mengerti seluk-beluk diriku dan mau menerima diriku apa adanya. Namun karena kemunafikan dan sikap oportunis ingin cari selamat sendiri, ia merasa menjadi orang paling bermoral untuk menutupi kebobrokan moralnya, lalu pergi meninggalkanku dalam waktu yang singkat untuk mencari pendamping baru tanpa sedikitpun melihat pahit manisnya sejarah yang pernah bersama dilalui.

Mereka kira mereka suci, tetapi sebenarnya mereka gila, ya gila, apalah sebutannya jika bukan gila. Aku memahami bahwa percintaan memang cenderung posesif, cenderung mendikte manusia untuk mengikuti kemauan kekasihnya, bahkan memaksa manusia menanggalkan otaknya. Seperti khotbah sang pendeta di gereja pada suatu minggu, “Percaya saja pada Yesus! Dia telah bangkit dari kubur demi menebus dosa kita semua! Akal kita terbatas dan tak akan mampu memahami jalan pikiran Tuhan! Rasio harus tunduk dibawah iman, iman adalah segala-galanya! Bahkan iman sebesar biji sawi saja mampu memindahkan gunung! Percayalah saudara-saudaraku, percayalah!” atau khotbah sang ustadz, "Bagiku agamaku, bagimu agamamu, namun tiada agama lain yang sempurna selain Islam, karena Islam adalah agama terakhir yang sempurna". Yap inilah yang namanya subjektifitas atas persepsi keimanan, wujud diskriminasi dari pemisahan ras antar manusia berlandaskan fasisme teologi.

Dan herannya, kita patuh dan menurut begitu saja. Selalu begitu tanpa mau memakai otak kita untuk menganalisa tahayul-tahayul masa lalu seperti halnya kenaikan Muhammad ke langit ke-7, kebangkitan Yesus yang jelas-jelas mengangkangi rasionalitas akal sehat sebagai manusia berpikir. Aku juga merasakan hal yang sama ketika menjalin asmara. Nurut saja persis seperti kerbau bodoh yang dicucuk hidungnya. Pakai kopiah okay, berikan perpuluhan ke gereja okay saja, shalat lima waktu lancar, bersedekah ke tempat-tempat ibadah juga jalan terus. Apapun rela kita lakukan agar sang kekasih mengira kita orang yang religius. Guru agamaku saat SMP pernah berkata, “Carilah pacar yang kaya harta, dan yang paling penting kaya iman. Harus seiman.”

Jadi sedari kecil kita didoktrin untuk menjalin asmara hanya dengan mereka yang seiman. Alasannya sepele: agar suatu hari kelak kita tidak murtad. Agar kita tidak beralih keyakinan mengikuti kekasih kita. Alasan spesifiknya adalah bahwa institusi agama takut jika agama sebagai ladang pencaharian sumber-sumber kapital lambat laun ditinggalkan oleh pengikutnya. Kita senantiasa didoktrin bahwa cinta adalah benang yang mengikat, bahwa pernikahan adalah lembaga suci yang diridhoi Tuhan, bahwa segala sesuatunya harus berdasarkan doktrin agama. Ini sungguh-sungguh memuakkan! Apakah seorang Kristen tidak boleh mencintai seorang Muslim? Apakah seorang Atheist tidak boleh menjalin asmara dengan seorang Theist? Mengapa semua harus dikotak-kotakkan menurut moralitas agama?


"Aku bukanlah orang nasrani, aku bukanlah orang yahudi, aku bukanlah orang majusi, dan aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar atau salah. Sehingga kita dapat bertemu pada "satu ruang murni" tanpa dibatasi prasangka atau pikiran yang gelisah" (Jalaludin Rumi)

Bisakah kita berpikir diluar kotak? Bahwa sebenarnya selalu ada kotak lain diluar kotak-kotak itu. Bahwa kotak-kotak itu hanyalah penjara yang mengekang rasa kemanusiaan kita. Kita manusia bukanlah budak agama. Kita bukan budak -isme. Kita hanya sekumpulan manusia. Menurutku segala tetek-bengek prasyarat pernikahan di institusi agama bernama KUA harus ditiadakan. Itu hanyalah seonggok formalitas. Budaya basa-basi pembodohan. Kalau cinta, ya cinta saja, titik. Tidak perlu pakai embel-embel apapun. Formalitas pernikahan cukup berada pada institusi bernama catatan sipil. Semua berhak menikah tanpa pertentangan yang menindas, termasuk diberikannya hak menikah bagi kaum minoritas homoseksual dan lesbian untuk meneruskan hidup tanpa persekusi dan diskriminasi dari institusi manapun. Struktur sosial budaya yang menindas dan masih terjadi di Indonesia adalah suatu cerminan bahwa pola pikir bangsa ini masih berada di level inferior. Level dimana manusia masih meraba-raba pada absurditas kebenaran, bahwa tanpa manusia, agama tidak lebih dari sekumpulan dongeng-dongeng masa lampau.

Lembaga formal pernikahan adalah simbol arogansi keyakinan mayoritas. Ambilah contoh ketika selebritis semacam Bella Saphira seorang minoritas kristen yang menjadi muallaf dipuja puji karena dianggap pada jalan kebenaran yang di ridhoi Tuhan, namun sebaliknya hal apes justru menimpa Asmirandah yang memutuskan untuk meninggalkan Islam dan memeluk Kristen untuk menikahi kekasih yang dicintainya. Ia dimaki, dihinakan, dianggap sesat, murtad bahkan diperkarakan secara pidana karena dianggap menistakan agama mayoritas di negeri ini. Logika absurd yang dipertontonkan kaum beragama, dan masih lebih banyak orang yang tidak berani berpikir melawan arus. 

Aku menyadari bahwa masih banyak manusia yang terperangkap di dalam kotak-kotak itu. Kotak itu semakin bertambah besar dari hari ke hari. Dan jika kita mencintai seseorang, sesungguhnya kotak-kotak itu haruslah kita tanggalkan. Jika anda mencintai seseorang yang berada didalam kotak kemudian kemilau kotak itu perlahan memudar, percayalah, cinta kalian juga kelak akan memudar. Yesus pernah berkata “Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. Yesus tidak bilang “Kasihilah orang Kristen seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. Bagi yang mempelajari sejarah penulisan Injil, bisa dibilang ucapan ini adalah hukum tertinggi setelah hukum taurat.

Dua ribu tahun yang lalu seorang mistikus Yahudi telah mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan saling mencintai sesama manusia tanpa tedeng aling-aling, tanpa embel-embel apapun, tanpa perlu memandang apa kepercayaan orang tersebut. Inilah cinta sejati, cinta yang tulus tanpa prasyarat apapun. Amo ergo sum. I love, therefore I am. Aku mencintai, maka aku ada. Untuk kalian diluar sana apapun kepercayaanmu, Atheist-Theist-Agnostik atau apapun sebutannya, marilah kita saling mencintai, saling mengasihi tanpa perlu terperangkap dalam label apapun. Karena kita semua manusia. Hanya manusia. Berbahagialah manusia yang tak tersandera oleh dogma-dogma agama!

("Cintailah kekasihmu seakan engkau mencintai dirimu sendiri, bangunkan ia seakan engkau membangunkan dirimu sendiri, lepaskan ia seakan engkau melepaskan dirimu sendiri, jangan korbankan ia seperti engkau tak mau menyakiti dirimu sendiri. Bentangkan sayapnya seperti engkau bentangkan sayapmu selebar engkau mampu, dan bersamanya raihlah mentari, gapailah bulan. Biarkan angin membisikan pada diri kalian kemana kalian akan melayang lepas, nikmati hembusannya, meliuklah di balik awan di bawah sinar rembulan. Dan gapailah bintang di tempat yang paling utara. Dan untuk hanya satu kali, tengoklah ke belakang dan ucapkan: 'Selamat tinggal dunia yang kejam, kami telah memulai hidup'.” – Jurnal Odyssey vol. 03)

Rabu, 07 Januari 2015

PEMBANTAIAN MAJALAH CHARLIE HEBDO, CERMIN BERLANGSUNGNYA KEBIADABAN UMAT ISLAM


Di daratan eropa, terutama negara Perancis yang berpaham Liberal-Sekuler, kebebasan berpendapat, berpikir dan berekspresi adalah fondasi utama Negara itu, dijamin penuh oleh hukum dan konstitusi. Majalah Charlie Hebdo itu majalah satire-sarkasme Politik dan Agama. Dalam Majalah Charlie Hebdo bukan hanya Islam yang dikritik tapi Yahudi, Kristen dan lainnya juga disemprot. Tapi kenapa hanya Islam yang marah?

Kasus pembantaian barbar terhadap 12 orang yang terdiri dari jurnalis dan redaksi majalah Charlie Hebdo karena menggambar kartun yang dianggap melecehkan Islam itu jelas membuktikan bahwa kejahatan atas nama agama itu bukan lagi kejahatan yang dilakukan oleh oknum, tapi jelas agama itulah yang sedang bermasalah, masalahnya dimana? masalahnya jelas, sebab Islam saat ini sedang berada dipuncak era kegelapan. Lihat saja komentar-komentar naif orang Islam di berbagai ranah sosial media, mereka mendukung pembantaian tersebut, karena ini dianggap menyangkut persoalan akidah dan pelecehan terhadap Islam. 
Kebiadaban Islam saat ini persis seperti yang pernah dilakukan Yahudi pada masa Mesir kuno dan Kristen pada Era Kegelapan Hukum Gereja, suatu masa dimana agama dipahami dengan dogma absolutisme serta tirani yang tanpa ampun menumpahkan jutaan liter darah umat manusia yang mengharamkan kebebasan berpikir atau mereka-mereka yang menolak tunduk dibawah otoritas agama. 

Bagaimana umat muslim sebegitu sensitifnya dengan mudah membakar api emosionalitas keimanan? jawabannya pun sederhana, karena umat Islam terjebak pada penafsiran kitab suci yang tekstual bukan kontekstual, suatu pandangan yang melawan dialektika hukum alam, di mana zaman itu maju kedepan, bukan mundur kebelakang. Umat muslim masih banyak yang berangan-angan bahwa syariah adalah solusi akhir dunia dan berupaya mengembalikan kejayaan kekhalifahan Islam di masa lampau, dan itu dipaksakan di zaman sekarang bahkan ketika mereka diberi kesempatan untuk hidup di negara Liberal-Sekuler.

Fenomena ISIS, Taliban, Alqaeda, terorisme sporadis diberbagai belahan dunia, fatwa mati terhadap pemikir kritis islam, Film Innocence Muslim, Penyanderaan Sydney, Penembakan ratusan anak sekolah Pakistan, hingga kasus Pembantaian Charlie Hebdo membuktikan bahwa Islam sedang berada di ujung tanduk sejarah kegelapan.

Dalam paradigma masyarakat barat dan/atau eropa bahkan Asia Timur, semua agama bebas dikaji baik secara kritis konstruktif-dekonstruktif maupun apresiatif. Jika ada kelompok yang tidak setuju, maka silahkan lawan pemikiran dengan pemikiran. "Mentalitas Ilmiah” seperti ini faktanya tidak terjadi di dunia Islam seperti di Timur Tengah dan negara-negara mayoritas muslim. Kritik-otokritik itu diperlukan, karena itu merupakan salah satu proses bagaimana zaman berdialektika menuju kemajuan peradaban. Kasus Charlie Hebdo membuktikan juga bahwasannya muslim saat menjadi minoritas pun bisa saja berlaku menindas di negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berpikir.

Umat muslim kebanyakan hanya terima ketika Islam diapresiasi oleh orang barat, namun sebaliknya jika alquran dikritisi, mereka marah, tapi lucunya jika kekristenan dikritisi, mereka kebanyakan senang. Ada kebahagiaan batiniah tersendiri jika agama lain dihina dan Islam dipuja-puji. Pemikir fatalistis Islam seperti Harun Yahya, Ahmad Deedat, Zakir Naik dan sejenisnya malah menjadi rujukan mayoritas Islam, namun pemikir revolusioner Islam seperti Mohammad Abduh, Ahmad Wahib, Ashgar Ali Engineer justru tidak dikenal. Sikap insecure dan ketakutan umat muslim melakukan ijtihad disegala dimensi membuat umat ini lebih suka mengangkat senjata dalam menyelesaikan masalah atau menghadapi perbedaan.

Kaum moderat Islam pun demikian adanya, mereka seakan tutup mata atas tindakan terorisme yang dilakukan orang islam itu sendiri. Jawaban apologetik yang sering diterima adalah “Itu cuma oknum, karena islam agama damai” atau “islam agama damai, tapi kalo ada yang menghina kesucian islam, ya terima sendiri akibatnya”. Kaum moderat gagal melakukan otokritik terhadap agamanya.


Setiap umat beragama pastilah menjunjung tinggi tokoh-tokoh sucinya, menganggap agamanya paling benar, agung dan berwibawa. Tapi mengapa umat agama lain cenderung cuek ketika ikon agamanya dijadikan parodi atau dikritik. Ambilah contoh Kristen, kurang dihina bagaimana lagi Yesus Kristus, di barat Yesus diparodikan seperti apapun tidak menimbulkan kemarahan, protes pasti ada dari segelintir kecil kelompok konservatif, namun tidak berujung pada pembunuhan dan aksi terorisme. Coba bandingkan dengan Islam ketika nabi digambar saja umatnya tidak ragu menumpahkan darah sesama umat manusia.

Masalah disini adalah pada sikap mental dalam menghadapi era modern di mana arus informasi leluasa bergerak dan setiap orang berhak mengekspresikan ide-ide bebasnya. Di era keterbukaan informasi, kita tidak bisa membungkam sepenuhnya semua bentuk parodi maupun wacana kritis-dekonstruktif terhadap agama. Sikap yang paling tepat saat ini adalah menghadapi fenomena banjir informasi dengan dewasa. Ingatlah bahwa parodi hanyalah kerjaan orang-orang iseng yang ingin menyampaikan pesan dengan canda, sedangkan kritik adalah karya intelektual yang seharusnya dijawab dengan jawaban yang berilmu, bukan ditanggapi dengan ancaman atau aksi terorisme penuh darah.

Islam harus belajar banyak sejarah dari kakaknya Kristen dan Yahudi yang berhasil melewati masa-masa kegelapan dan menghumanisasi dunia dengan penghormatan atas perbedaan. Islam pasti bisa maju, dengan syarat pintu ijtihad harus dibuka disegala dimensi, agar umat Islam berhenti mempermalukan diri dihadapan rakyat dunia, sejarah, atas nama kebaikan dan peradaban anak cucu kita dimasa depan.

Rio Maesa: 8 Januari 2015

Selasa, 23 Desember 2014

KETIKA YESUS BANGKIT KEMBALI

Adanya degradasi kepercayaan orang kepada Tuhan semakin tidak menentu, karena pada saat yang sama orang-orang juga mengabdi kepada pasar. Hal ini bisa dibuktikan pada saat hari raya besar agama. Di mall-mall atau toko-toko besar mereka mulai berlomba-lomba dengan menunjukan dirinya sebagai mall yang paling religius. Berbagai macam mall mendadak menjadi sebuah tempat yang paling kristiani. Seluruh toko dipajang ala agamawi, lagu-lagu religius mulai tersebar. Ini sebenarnya suatu penipuan terhadap umat. Hal yang religius menjadi profan dalam pemasaran, sebuah fenomena religionomic.

Suatu hari nanti, jikalau yesus bangkit kembali ke bumi, kemungkinan ia akan masygul berat melihat tingkah laku pengikutnya. Menjelang hari kelahirannya, kontemplasi diri atas peringatan kelahirannya hanya sebatas metafora seremonial dan yang terjadi adalah paradoksial, pesta mewah diadakan dimana-mana. Para pengikut terjebak pada nafsu material konsumerisme duniawi, dengan kalap membeli barang-barang yang serba baru. Berbanding terbalik dengan kelahiran sang juru selamat di kandang kambing, dengan pakaian buluk yang compang camping, sebagai simbolisme keberpihakannya pada kaum miskin yang tertindas.

Gereja-gereja dibangun sering kali hanya atas dasar syahwat pemujaan dan identitas kelompok. Gereja pun tak ubahnya seperti istana kaum borjuis, saling berlomba-lomba mencari dan menumpuk kekayaan materi demi seonggok kemewahan duniawi untuk sekedar memenuhi perayaan lahirnya sang juru selamat ditengah-tengah kaum miskin yang terlupakan oleh dunia fana yang kapitalistik.

Berapa banyak umat kristen yang sering merenungkan kata-kata yesus ini? 
"Runtuhkan bait allah ini dan dalam 3 hari aku akan membangunnya kembali"
Tubuh inilah gereja sejati, dunia inilah ladang ilahi. Bukan ladang agar umat lain jadi kristen atau setuju dengan dogma kristen, melainkan ladang dimana cinta kasih dan kemanusiaan ditabur, dibuahi, disemai dan dituai.

SELAMAT NATAL UNTUK SEMUA PENGIKUT YESUS YANG MERAYAKANNYA, DAMAI NATAL MENYERTAIMU!!

Rio Maesa






Selasa, 09 Desember 2014

AIRMATA PAPUA, ANTARA KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA



Kenapa orang Indonesia itu lebih heboh kalo mengurusi konflik Israel dan Palestine nun jauh disana ketimbang melihat konflik Indonesia-Papua. Jawabannya karena Israel-Palestina adalah konflik kedaulatan yang dibumbui oleh unsur sentimen agama. Disini agama dimainkan menjadi komoditi politik berupa bensin yang gampang membakar emosionalitas.

Namun coba kita lihat kasus Indonesia, yang terjadi adalah konflik pertentangan kelas (Ekonomi-Politik) antara kelas penguasa di Jawa yang menghisap dengan kelas penduduk lokal papua yang berusaha menuntut keadilan, kesetaraan dan melawan diskriminasi.

Namun apa reaksi mayoritas orang Indonesia menanggapi perilaku biadab pemerintahnya sendiri? tidak peduli, bahkan cenderung mengutuki perlawanan rakyat Papua dengan cap "separatisme". Disini bisa kita lihat dengan jelas sikap standar ganda rakyat Indonesia yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan rakyat Israel. Membiarkan pembantaian terhadap sipil dilakukan oleh pemerintahnya sendiri atas nama nasionalisme. Bahkan masih lebih rasional Israel yang punya alasan melakukan penyerangan atas Palestina untuk melindungi rakyatnya dari serangan roket militan-militan Palestina, meskipun pada akhirnya meletus perang yang tidak proporsional. Sedangkan Indonesia? rakyat Papua tidak mengancam stabilitas keamanan Indonesia secara keseluruhan, hanya bersifat sporadis.

Bagaimana mungkin suatu bangsa tidak ingin merdeka jika Sumber Dayanya dikuras dan manusianya dimatikan seperti serangga yang divonis jadi hama?. Bahkan anjing saja tidak akan pernah mengigit Tuannya jika rajin diberi makan, sedangkan Pemerintah Indonesia sudah kenyang makan hasil bumi Papua berupa emas dan minyak, namun tetap saja membunuhi rakyat Papua.

Kelakuan pemerintah Indonesia terhadap Papua itu lebih nista ketimbang penjajahan yang dilakukan oleh Belanda di jaman dulu. Pada jaman dulu saja kegiatan organisasi kepemudaan yang memiliki tujuan resistensi terhadap pemerintah Hindia Belanda tidak dilarang di jaman pendudukan, namun hal tersebut tidak berlaku di tanah Papua hari ini. Ratusan ribu penduduk sipil Papua dibunuh dan hilang oleh militer Indonesia. Inilah alasan mengapa Negara, alat-alatnya dan rakyat Indonesia tidak pantas menuduh pihak-pihak asing jika rakyat Papua 99% menyatakan ingin melepaskan diri dari NKRI.

Ingatlah bahwa nasionalisme tidak akan pernah lahir dari perut yang lapar dan pemerintah yang abai.

Oleh: Rio Maesa,
10 Desember 2014

Jumat, 22 Agustus 2014

MEMAHAMI PETA KONFLIK ISRAEL-PALESTINE DARI PERSPEKTIF IMPERIALISME

Membaca persoalan Israel-Palestina sudah seharusnya dilihat dari level yang lebih tinggi, yaitu perspektif imperialisme dan kolonialisme barat di Timur-Tengah. Konflik ini bukanlah persoalan kebencian anti-yahudi atau anti-semit seperti yang biasa didengungkan oleh para fundamentalis Islam dan kaum utopis penegak khilafah-syariah, bukan juga persoalan kebencian terhadap terorisme (Islam) Palestina yang dilihat dari kacamata kaum liberal atau para islamophobic.

Zionisme adalah ideologi yang dicetuskan Theodore Herzl pada tahun 1897 yang bertujuan untuk mengembalikan semua bangsa yahudi yang terdiaspora diseluruh dunia kedalam suatu wilayah yang diperjanjikan Tuhan yaitu Palestina. Zionisme adalah wujud dari nasionalisme bangsa yahudi yang selama berabad-abad memiliki sejarah penderitaan dan penindasan. Menurut David Finkel Zionisme adalah ideologi yang tidak biasa, karena mengusulkan pendirian suatu negara-negara bukan ditempat tinggal orang yang akan dibebaskannya, tapi memindahkan mereka secara besar-besaran ke tempat yang berbeda (Palestina), di mana tradisi relijius Yahudi bermula, tapi faktanya hanya sedikit kaum Yahudi yang bertempat tinggal di situ selama lebih dari 1500 tahun.

Ada sebuah klaim kondang yang disuarakan oleh pendukung Zionisme bahwasannya "Zionisme merupakan sebuah gerakan pembebasan nasional bangsa yahudi." Makna yang dikehendaki dari ini adalah: "Bila kau menentang Zionisme, maka kau tidak menghargai sejarah penderitaan dan harga diri Yahudi, maka kau berpihak pada "penghancuran Israel" dan kau adalah seorang anti-semit. Propaganda ini dibangun di negara Amerika dan barat, sehingga sekeras apapun kritik terhadap eksistensi Israel, meskipun itu datang dari orang Yahudi sekalipun, maka stigma rasialis anti semit akan melekat. Yahudi revolusioner seperti Noam Chomsky, Ilan Pappe dan banyak lainnya telah merasakan stigma itu. Pada awalnya hanya sekitar 15% kaum yahudi yang mendukung ide Zionisme, sisanya mengatakan bahwa Zionisme adalah utopia, karena jika dipaksakan akan terjadi benturan budaya dan perebutan ekonomi atas wilayah yang akan direbut. 

Zionisme sesungguhnya adalah proyek rasialis imperialisme barat yang semenjak berdirinya tak pernah berhenti mendapat sokongan dana besar dari negara-negara imperialis dan para pemilik modal penguasa ekonomi dunia yang mendukung gerakan Zionisme. Ideologi zionisme dibutuhkan eksistensinya sebagai tumor peradaban dalam upayanya untuk menjaga konflik di Timur Tengah agar mempermudah barat untuk menguasai struktur kapital atas Sumber Daya Alam di wilayah regional.

Ketika pertama kali mulai imigrasi gelombang pertama, hunian Zionis di Palestina sangat menguntungkan imperialisme Inggris dalam periode Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Administrasi kolonial Inggris yang biasa disebut "Mandat" telah memberikan keuntungan ekonomi yang substansial dan perlindungan militer kepada Yishuf (Komunitas Hunian Yahudi). Gerakan Zionis ini pada tahun 1940an juga sangat lihai dalam mempromosikan diri mereka kepada kekuasaan imperialisme barat yang sedang bangkit, yaitu Amerika Serikat, sebagai sekutu untuk mengontrol penuh wilayah Timur Tengah yang strategis.

Gerakan Zionisme di Palestina sangat terorganisir dan strategis dalam perencanaannya, sementara penduduk Palestina tidak terorganisir dengan baik, dipimpin dengan buruk dan didominasi oleh tuan-tuan tanah feodal, seringkali tidak bertempat tinggal di tanah miliknya (absentee) dan menjual tanahnya kepada hunian Zionis tanpa sepengetahuan para pengolah lahan dan kaum tani. Pada akhirnya yang menjadi unsur utama dalam mega proyek pembangunan ideologi Zionisme adalah keberhasilan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai faktor krusial dalam pembentukan identitas dari sebuah bangsa baru.

KONFLIK YANG TERPELIHARA

Konflik sengaja dipelihara dengan mengambil landasan dasar mitos historis kitab suci dan berusaha terus mengangkat isu kebencian lahiriah (inaate conflict) antara Islam vs Yahudi bersama Kristen Konservatif (kaum injili evangelikal). Sokongan media barat yang dikuasai oleh para pemilik modal pro Zionisme pun tidak henti-hentinya membangun opini pembenaran bahwa genocide atas Palestina adalah tindakan self-defence yang wajar, serta pejuang resistensi kemerdekaan di Palestina akan terus mendapat stigma sebagai kumpulan terorisme.

Dalam sejarah terbentuknya PBB, kira-kira ada 60-an lebih resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB untuk menghukum Israel. Namun tidak satupun Israel tunduk atas ketentuan-ketentuan itu, coba kita bandingkan dengan Iraq yang melanggar 2 resolusi Dewan Keamanan namun dihantam invasi dan dihancurkan negaranya dengan justifikasi yang tak berdasar. Karena apa? Iraq berani melawan imperialisme barat. Sekarang target penghancuran ditujukan kepada Suriah yang terkenal sebagai negara anti-imperialisme bersama-sama dengan poros Iran. Stabilitas suriah sedang dihancurleburkan oleh organisasi teror ISIS yang dikonfirmasi oleh Edward Snowden (manusia no. 1 paling diburu amerika) adalah bentukan Israel dan Barat. Karena krisis ekonomi yang terjadi di barat memaksa mereka harus memainkan proxy war di Suriah tanpa perlu mengotori langsung tangannya dengan darah.

Kenyataannya negara-negara yang cenderung berhaluan kiri adalah negara yang paling resist menentang politik ekspansionisme Israel ketimbang negara-negara muslim yang tergabung dalam Liga Arab. Bahkan organisasi dan gerakan-gerakan anti-imperialisme di negara-negara barat sendiri menentang keras penjajahan Israel di tanah Palestina. Jadi konflik Israel-Palestina itu bukanlah konflik agama, namun konflik perebutan atas sumber-sumber kekuasaan atas perebutan Sumber Daya Alam yang menjadi sumber kapital penyokong imperialisme barat.

Rio Maesa

Kamis, 14 Agustus 2014

ALASAN-ALASAN MENGAPA HUKUMAN MATI HARUS DIHAPUSKAN!

source pic: nobody corp intl.
"...Mengapa kita membunuh orang yang membunuh untuk mengatakan bahwa membunuh itu salah...?"

Mengapa hukuman mati harus dihapuskan dalam setiap aturan hukum di seluruh muka bumi, jawabnya sederhana sebab "Hak Hidup" adalah hak asasi paling fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Hukuman mati memiliki terlalu banyak kecacatan hukum dalam pengaplikasiannya. Saya akan menuliskan beberapa argumentasi atas dasar logika hukum sebagai penjelasan bahwa hukuman mati itu adalah hukuman yang tidak lagi feasibel diterapkan pada zaman di mana etika kemanusiaan menjadi dasar filosofi untuk meninggikan harkat derajat martabat kemanusiaan di dalam kemajuan peradaban. 

Pertama, sebagai alasan paling sederhana, hukuman mati itu bikinan negara, dan nyawa bukan ciptaan negara. 

Kedua mengapa kita wajib menentang hukuman mati? Hukuman mati dalam semua kasus tanpa memandang sifat kejahatannya, karakteristik pelaku, atau metode yang digunakan oleh negara untuk membunuh narapidana merupakan penyangkalan utama terhadap hak-hak asasi manusia. Ini merupakan tindakan negara yang direncanakan dan berdarah dingin untuk membunuh seorang manusia atas nama keadilan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup, hak utama sebagai syarat fundamental kemanusiaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan berbagai standar internasional hak-hak manusia. Ini adalah bentuk penghukuman yang paling kejam tidak manusiawi dan merendahkan harkat martabat manusia. Tidak akan pernah ada pembenaran untuk penyiksaan atau perlakuan kejam. Seperti penyiksaan, eksekusi mati merupakan serangan fisik dan mental yang sangat ekstrem terhadap individu. Rasa sakit fisik yang disebabkan oleh tindakan membunuh seorang manusia tidak dapat diukur atau tidak dapat diduga penderitaan psikologisnya yang disebabkan oleh kematian di tangan negara ataupun institusi-institusi kekuasaan berbasis agama.

Ketiga, hukuman mati di banyak negara berwatak diskriminatif, dan sering digunakan secara tidak proporsional terhadap kaum miskin, minoritas dan anggota ras, komunitas etnis atau agama tertentu. Hal ini diberlakukan dan dilaksanakan secara sewenang-wenang. Bahkan upaya negara-negara peserta perjanjian Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (1966) untuk tetap mempertahankan hukuman mati bagi jenis-jenis “kejahatan terburuk" dan bagi pelaku pembunuhan massal, setiap tahunnya pasti mengarah pada inkonsistensi dan kesalahan. Kesalahan penghukuman tak terhindarkan. Kesalahan ini diperburuk dengan diskriminasi, pelanggaran penuntutan, dan sistem peradilan yang tidak memadai. Selama sistem keadilan manusia masih mungkin keliru, risiko mengeksekusi orang yang tidak bersalah tidak pernah dapat dihilangkan. Itulah alasan mengapa kita harus terus menuntut penghapusan hukuman mati tanpa syarat.

Untuk mengakhiri hukuman mati, kita harus mengakui bahwa itu adalah kebijakan publik yang merusak dan memecah-belah, yang tidak konsisten dengan nilai-nilai yang dianut khalayak. Hukuman mati tidak hanya beresiko mengandung kesalahan yang tidak dapat dibatalkan, juga menguras dana publik, serta biaya sosial dan psikologis. 
Hukuman Mati di China

Keempat, hukuman mati belum terbukti memiliki efek jera yang khusus. Hukuman mati menyangkal kemungkinan rehabilitasi pelaku dan menutup rekonsiliasinya dengan keluarga korban pembunuhan. Ketimbang terus menerus membenarkan penerapan hukuman mati, kesempatan bagi rehabilitasi dan rekonsiliasi lebih memajukan tanggapan sederhana dan strategi positif kita terhadap masalah-masalah manusia yang kompleks. 

Penerapan hukuman mati terhadap koruptor pun tidak ada korelasinya pada perbaikan sistem bahwa korupsi akan serta merta hilang. Patut dicatat, negara-negara dengan index korupsi terendah di dunia justru adalah negara-negara yang sejak lama telah menghapuskan hukuman mati. Jadi pernyataan bahwa korupsi akan hilang dengan adanya hukuman mati bagi para pelaku korupsi sebagai sebuah shock therapy adalah pernyataan apriori dan buta akan realitas hukum kemanusiaan dunia.

Kelima, hukuman mati memperpanjang penderitaan keluarga korban pembunuhan atau kejahatan, dan memperluas dampaknya bagi penderitaan orang-orang dan kerabat tahanan atau terhukum yang dieksekusi.  Hukuman mati mengalihkan sumber daya dan energi yang seharusnya lebih baik digunakan untuk bekerja melawan kejahatan, kekerasan dan membantu mereka yang terkena dampaknya. Hukuman mati merupakan mata rantai budaya kekerasan, bukan solusi terhadapnya. Hukuman mati merupakan penghinaan terhadap harkat manusia, dan karenanya harus dihapuskan.

Keenam, hukuman mati tidak reversible, yang artinya bila terhukum telah dieksekusi namun di kemudian hari ternyata ia terbukti tidak bersalah, bagaimana caranya mengembalikan nyawa yang terhukum mati?. Rasionalitas akhir hukuman mati bisa dilaksanakan apabila sang pelaksana hukum juga mampu menghidupkan orang yang telah mati.

Ketujuh, manusia bukan Tuhan sebagai sebuah premis yang berhak mencabut nyawa, dan Tuhan tidaklah bermain sebagai hakim dalam ranah hukum sipil di bumi manusia.

Melihat relevansi penerapan hukuman mati di Indonesia?

Pernah ada yang bertanya kepada saya jika terorisme berat (seperti kasus Amrozi cs) yang terstruktur bisa apakah juga bisa tetap diselesaikan dengan jalur rehabilitasi dan rekonsilasi, jika hukuman mati tersebut benar-benar dihapus?. Menurut saya itu jelas bisa, namun pertanyaannya kita kembalikan lagi, bahwasannya kita sama sekali belum pernah mengaplikasikan penghapusan hukuman mati secara eksplisit dalam hukum. Hukuman seumur hidup dan berada pada penjara dengan sistem keamanan khusus terhadap pelaku kejahatan-kejahatan berat seharusnya sudah cukup ampuh sebagai sebuah simbolisasi sejarah bahwa ada bukti hidup dimana pernah terjadi kejahatan berat yang terstruktur, tanpa perlu menghabisi nyawa seorang pelaku. 

Pemberlakuan hukuman mati yang masih berlaku di negeri ini sebenarnya sangat berkontribusi besar dalam menghambat proses diplomasi Indonesia untuk secara penuh mengupayakan pembebasan hukuman mati terhadap banyaknya warga negara terutama para buruh migran Indonesia yang terjerat ancaman hukuman mati di berbagai negara tempat di mana mereka bekerja. Bagaimana mungkin pemerintah kita bisa menjalankan secara penuh diplomasi untuk membebaskan para buruh migran yang terancam hukuman mati di negeri orang, jikalau di dalam negeri sendiri banyak warga negara Indonesia dan Asing yang di hukum mati, ini adalah suatu logika paradoks.

Maka tiada cara lain, atas nama humanisme universal, maka penghapusan hukuman mati harus menjadi kewajiban internasional bagi setiap negara berdaulat. Bahwasannya tidak ada satupun alasan logis yang dapat diterima dan dijadikan justifikasi terhadap pencabutan hak hidup seorang manusia, tak peduli atas nama agama, nasionalisme ataupun hukum positif itu sendiri.

Rio Maesa

Kamis, 17 Juli 2014

RACHEL CORRIE: "AKU YAHUDI DAN AKU MELAWAN PENINDASAN!!"


Rachel Corrie adalah gadis cerdas asal Amerika keturunan Yahudi. Rachel seorang mahasiswi seni dan penulis dari Evergreen State College, Washington yang juga aktivis International Solidarity Movement (ISM). Namanya begitu harum diseluruh belahan bumi karena berani melawan kebiadaban Zionis Israel. Dia memutuskan untuk datang ke Palestina pada 2003 sebagai bagian dari studinya. Rachel memberanikan diri datang ke Palestina ketika pada saat yang bersamaan Amerika dan Nato memulai rencana invasi dengan membombardir Irak atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal dan pada saat di Palestina sendiri sedang berada di puncak perlawanan meletusnya *Intifada kedua (*membebaskan diri).

Perjuangannya di Palestina adalah menghentikan pemukiman ilegal yahudi di tanah pendudukan. Ia tak henti-henti dengan keberanian dan kegigihannya untuk menghalangi penggusuran rumah-rumah orang Palestina dengan pengeras suara, berkali-kali Buldozer Zionis Israel mundur tidak jadi menggusur rumah rakyat Palestina karena dihalang-halangi oleh Rachel. Puncak perjuangannya berakhir pada saat ia membela mati-matian rumah seorang apoteker Palestina dengan nyawanya di Rafah, wilayah selatan Jalur Gaza yang masuk ke dalam ambisi politik ekspansionis Israel.

Pada usia 23 tahun, tepatnya tanggal 16 Maret 2003, Rachel tewas dilindas oleh traktor milik IDF (Israel Defence Force) yang tidak mau memberhentikan geraknya saat Rachel melakukan aksi demonstrasi langsung dengan tidur telentang di hadapan kendaraan berat itu. Saat mesin baja Caterpillar D9R itu datang, Rachel sama sekali tidak beranjak, ia justru berlutut dan menjadi tameng hidup. Dia melindungi rumah orang-orang Palestina yang bahkan ia sendiri tidak pernah mengenalnya. Dia ditabrak dan dilindas oleh buldozer yang dihadangnya, hingga mengakibatkan tengkorak kepalanya retak, tulang rusuknya hancur sampai menembus paru-parunya. Dengan penderitaan luar biasa akhirnya Rachel tewas bersimbah darah dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Rachel bukan anggota PLO, bukan pula anggota komunis Palestina DFLP, tentunya dia juga bukan HAMAS. Tapi, Israel seakan tak peduli, bahkan mempropagandakan kebohongan pada dunia bahwa peristiwa tersebut adalah murni kecelakaan, sekaligus menjustifikasi bahwa pendudukan ilegal Israel atas tanah Palestina adalah hak berdaulat Israel. Bahkan proses hukum yang diperjuangkan keluarga beserta aktivis-aktivis kemanusiaan untuk memperkarakan Israel di negara asalnya Amerika tidak dapat dilanjutkan, dikarenakan hal tersebut sama saja mengecam secara implisit kebijakan Amerika terhadap pendudukan Israel. Amerika menganggap Rachel berada pada posisi yang "salah", itulah mungkin alasan kuat mengapa Amerika sendiri mendiamkan kasusnya, tenggelam ditelan waktu.

Beberapa waktu setelah peristiwa itu terjadi, Yasser Arafat menelepon langsung kepada ayahnya Craig Corrie dan berkata, "Dia Putri anda, tapi dia juga sekarang Putri Palestina". Kematian Rachel telah membawa pesan kepada dunia, bahwa kemanusiaan bukanlah soal pembelaan terhadap agama, keturunan, atau ras yang tertindas, tapi soal perasaan yang bertindak. Demi menghormati perjuangannya, rakyat Palestina menjadikan namanya sebagai sebuah nama jalan di Tepi Barat. Hingga pada 2010, namanya juga diabadikan menjadi sebuah kapal Republik Irlandia dengan misi kemanusiaan untuk membongkar blokade Israel yang menjadikan Gaza sebagai penjara terbesar di dunia dengan 1,7 juta penduduk terisolasi.

Rachel adalah simbol anomali, ia seorang yahudi yang konsisten menentang penindasan dari sebuah negara dengan ideologi previllege bagi bangsa yahudi yang terdiaspora, menentang dominasi Imperialisme negara adidaya yang sering menekan negara berkembang, yang tak lain adalah negaranya sendiri.

"Mereka adalah kita, kita adalah mereka" kata-kata itu adalah salah satu ungkapan dalam catatan penting hariannya yang dipublikasikan secara lengkap oleh Guardian dalam tajuk yang berjudul "Rachel's War". Ungkapan ekspresi yang menuliskan sebuah deskripsi bahwa Rachel adalah seorang pengusung Pluralisme Universal, cinta damai, dan menolak segala bentuk kekerasan yang ada di muka bumi. Rachel menghabiskan waktunya untuk kemanusiaan. Puisi, agitasi dan sketsanya telah menerobos batas-batas negaranya yang rigid, rasis, dan superior. Menusuk alam bawah sadar dogma anti perbedaan yang menstimulan kesadaran manusia untuk berpikir maju dan berempati.


"Bila kata terujar mulutku tak berarti, biarkan ia mengambang sesaat di udara. Kan kujadikan itu kata-kata canda menghibur hingga kelak kucipta kalimat bermakna yang mengitarinya. Kumau terbang melayang untuk berkibar.... beri aku jeda waktu, jangan komentari.... biarkanku menari, mengitari kelopak bunga lily. Kemudian melesat bagai air mancur, terbang menyertai kata-kataku yang tak berarti itu". Kalimat-kalimat ini adalah petikan dari salah satu catatannya. Kuat dan inspiratif. Seperti penegasannya. "Beri aku jeda waktu, jangan komentari..." menunjukan betapa dia sangat menghargai proses bagaimana menjadi manusia merdeka. Dia yakin, tak ada yang sia-sia dari setiap imajinasi yang terujar merdeka.

Yah, imajinasi yang merdeka, ia adalah simbol meleburnya antara rasio dan perasaan yang menghasilkan kekuatan perlawanan yang tak terakar. Ia mereduksi segala bentuk ketakutan menjadi sebuah mimpi yang hidup sebagai energi yang menghidupkan, menjelma dalam tulisan bagi para pembaca yang tersadarkan. Tersadarkan dari tidur lelap yang membakar hingga meruntuhkan tembok-tembok angkuh yang menindas kemanusiaan.

Rachel Corrie, nama yang akan terus abadi sebagai simbol resistensi pembebasan kemanusiaan, nama yang akan abadi menjadi energi yang menghidupkan rakyat dunia yang tercerai berai karena agama, ras dan ideologi. Rachel Corrie, sebuah nama yang akan selalu menggetarkan rasa kemanusiaan.