Selasa, 17 Juli 2012

RAMADHAN BULAN TERSIAL, ANTARA ONANI IMAN DAN KAPITALISME PAHALA

Aku tidak dapat dapat berpura-pura senang menyambut datangnya bulan Ramadhan, jika bulan tersebut adalah bulan paling sialan diantara bulan-bulan lainnya. Aku tidak dapat berpura-pura membanggakan indahnya Ramadhan jika bulan tersebut penuh dengan kemunafikan. Aku tidak perlu berpura-pura senang menyambut datangnya bulan Ramadhan hanya untuk menyenangkan kalangan tertentu atau karena ingin dikatakan sebagai pribadi yang berjiwa toleransi.

Aku hanya mengatakan sebuah ucapan jika benar-benar pantas dan tulus aku ucapkan. Bila aku berpura-pura senang dan bahagia menyambut datangnya bulan Ramadhan, maka jelas aku telah membohongi diri sendiri. Bagiku jujur pada diri sendiri merupakan sebuah bentuk kehormatan tertinggi sebagai manusia. Jadi bagaimana orang lain mau menghormati kita, jika kita saja tidak dapat menghormati diri kita sendiri?

Faktanya dibulan Ramadhan aku menyaksikan banyak bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama dilakukan oleh berbagai organisasi kemasyarakatan radikal yang dilegitimasi oleh ambivalensi kekuasaan status quo. Mereka berteriak-teriak atas nama Tuhan, kemudian secara barbar memukuli orang yang makan, lalu menutup paksa warung yang kebetulan buka disiang hari. Pernahkah sedikit saja terpikir oleh para pembela Tuhan itu bahwa warung-warung kecil tersebut merupakan satu-satunya mata pencaharian orang-orang itu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya?

Sedangkan disisi yang lain dibulan puasa, fenomena Religionomic menciptakan disparitas harga bahan-bahan pokok yang menjulang tinggi menambah kesengsaraan kaum miskin hingga titik nadir yang memprihatinkan. Fenomena religionomic secara filosofis dapat digambarkan sebagai suatu keadaan, di mana para pelakunya bertindak seperti germo dan pelacur, yang menggunakan segala rayuan dan trik-trik manipulatif untuk mengkomersilkan simbol-simbol dan term-term keagamaan serta memanfaatkan untuk tujuan komersial semua kegairahan, semangat, kesenangan, dan luapan hasrat keagamaan di tengah masyarakat, semata-mata demi memperoleh nilai tambah ekonomis. Fenomena Religionomic adalah bentuk lain dari Kapitalisme yang bercumbu mesra dengan agama.

Pada akhirnya praktik seperti ini menafikan esensi kemanusiaan yang tersirat dalam agama itu sendiri. Jika bulan Ramadhan adalah bulan untuk menahan dan menguji hawa nafsu, mengapa tempat makan, prostitusi, hiburan malam dan tempat-tempat yang dianggap mengundang maksiat ditiadakan? ini sama saja memberikan soal ujian dengan jawaban, jadi apa lagi yang mau diuji, bukankah hal ini tidak berbeda dengan onani iman? entah sampai kapan semua ini akan terus terjadi? sampai kapan bulan puasa akan terus dijadikan alasan untuk melakukan onani iman?
 
Aku melihat dibulan Ramadhan tingkat kriminalitas semakin meningkat tinggi dibandingkan bulan-bulan normal sebelumnya. Mulai dari pencurian sandal di masjid-masjid, pencopet dan penghipnotis yang berkeliaran di terminal-terminal transportasi massal, hingga perampok yang menggasak isi rumah yang kosong ditinggal tarawih dan mudik si mpunya rumah. Sebagian besar kriminil yang tertangkap oleh aparat kepolisian rata-rata mengaku nekat melakukannya hanya demi memenuhi kebutuhan hari raya atau sekedar untuk mencari ongkos pulang kampung. Ada pula yang meminjam-minjam uang kepada tetangga yang lebih baik ekonominya hanya sekedar untuk bisa ikut merayakan euphoria lebaran, padahal ia sendiri sadar bahwa ia tidak akan mampu membayar hutangnya itu setelah hari raya selesai. Dan pada akhirnya hari lebaran sudah terjebak pada pemujaan sikap materialistik yang serba baru dalam wujud yang sesungguhnya tidak lebih dari artifisial semu.

Di bulan Ramadhan orang yang berpuasa secara tidak tahu malu meminta paksa untuk dihormati. Sedangkan mereka sendiri sama sekali tidak mau menghormati orang yang tidak berpuasa. Mulai dari Isya hingga berakhir sholat Tarawih dan kemudian dilanjutkan jam 2 dini hari hingga terdengar suara hingar bingar dari toa-toa masjid dan orang-orang yang berjalan-jalan keliling komplek dan kampung untuk membangunkan orang yang berpuasa untuk segera sahur. Dalam pandangan rasionalitas dan kritisisme, kita semua melihat bahwa ritual puasa telah gagal sebagai sebuah proses mediasi dalam memahami spiritualitas antara hubungan diri sendiri dengan orang lain yang berbeda (minoritas). Mereka yang menjalankan puasa tidak mau peduli, apakah teriakan-teriakan mereka telah mengganggu tidur lelap masyarakat sekitar yang tidak ikut berpuasa.

Pastinya dibulan Ramadhan ini, seolah-olah dunia hanya milik mereka dan yang lain cuma ngontrak karena dianggap hanya segelintir minoritas yang tak punya suara dan punya kekuatan. Mereka telah menggantikan hati nurani dengan egosentrisme pengharapan akan pahala yang berlipat ganda dengan ganjaran pembersihan dosa dan iming-iming surga bersama 72 bidadari perawan. Hingga akhirnya setiap orang yang berpuasa terjebak pada penghambaan terhadap kapitalisme pahala.

Kapitalisme pahala menjadikan bulan Ramadhan sebagai komoditi kapitalisme bagi para ustadz, ustadzah, kyiai dan habib-habib komersil untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya melalui ceramah di berbagai media televisi, radio dan masjid-masjid. Mereka memanfaatkan Fenomena Religionomic. Mereka mengindoktrinasi umatnya dengan dakwah-dakwah yang delusif dan penuh irasionalitas omong kosong kemudian tanpa henti membuai mereka dengan candu menuju kehidupan utopia untuk mengisi kehampaan spiritualitas, hingga tak sadar melupakan entitas duniawi sebagai sebagai makhluk merdeka. Singkatnya, para pelaku religionomic adalah orang-orang yang berusaha menjadikan simbol dan term agama sebagai komoditi yang sangat menguntungkan dalam memberikan nilai tambah ekonomis. Disinilah terjadi praktik kotor yang bernama Kapitalisme Pahala.

Saya teringat dengan apa yang dikatakan oleh seorang seorang sahabat, puasa itu mirip-mirip dengan mesin cuci tubuh. Tetapi problemnya adalah puasa Ramadhan hanya kolektif milik umat muslim, dan lebih banyak unsur karnaval sosialnya, pamer kebajikan, eksistensi sosial, pamrih pahala dan banyak menuntut ini-itu agar dihormati, ditoleransi dan dihargai ibadah puasa ramadhannya. Alih-alih bernilai sunyi dan kontemplatif, itulah sebabnya nyaris tak ada perubahan berarti pada diri mereka sebelum dan sesudahnya.

Dan akhir kata jika ada yang marah, ngamuk, tersinggung, tidak tahan kritik dan menghunus pedang sehabis membaca tulisan singkat ini, kemudian berapriori dan berapologi, hingga menganggapnya tendensius, berarti dia masih berada pada masa-masa pubertas dalam beragama. Selamat menjalankan ibadah puasa kepada yang tidak berpuasa, semoga yang berpuasa mau menghormati yang tidak berpuasa.