Selasa, 23 Desember 2014

KETIKA YESUS BANGKIT KEMBALI

Adanya degradasi kepercayaan orang kepada Tuhan semakin tidak menentu, karena pada saat yang sama orang-orang juga mengabdi kepada pasar. Hal ini bisa dibuktikan pada saat hari raya besar agama. Di mall-mall atau toko-toko besar mereka mulai berlomba-lomba dengan menunjukan dirinya sebagai mall yang paling religius. Berbagai macam mall mendadak menjadi sebuah tempat yang paling kristiani. Seluruh toko dipajang ala agamawi, lagu-lagu religius mulai tersebar. Ini sebenarnya suatu penipuan terhadap umat. Hal yang religius menjadi profan dalam pemasaran, sebuah fenomena religionomic.

Suatu hari nanti, jikalau yesus bangkit kembali ke bumi, kemungkinan ia akan masygul berat melihat tingkah laku pengikutnya. Menjelang hari kelahirannya, kontemplasi diri atas peringatan kelahirannya hanya sebatas metafora seremonial dan yang terjadi adalah paradoksial, pesta mewah diadakan dimana-mana. Para pengikut terjebak pada nafsu material konsumerisme duniawi, dengan kalap membeli barang-barang yang serba baru. Berbanding terbalik dengan kelahiran sang juru selamat di kandang kambing, dengan pakaian buluk yang compang camping, sebagai simbolisme keberpihakannya pada kaum miskin yang tertindas.

Gereja-gereja dibangun sering kali hanya atas dasar syahwat pemujaan dan identitas kelompok. Gereja pun tak ubahnya seperti istana kaum borjuis, saling berlomba-lomba mencari dan menumpuk kekayaan materi demi seonggok kemewahan duniawi untuk sekedar memenuhi perayaan lahirnya sang juru selamat ditengah-tengah kaum miskin yang terlupakan oleh dunia fana yang kapitalistik.

Berapa banyak umat kristen yang sering merenungkan kata-kata yesus ini? 
"Runtuhkan bait allah ini dan dalam 3 hari aku akan membangunnya kembali"
Tubuh inilah gereja sejati, dunia inilah ladang ilahi. Bukan ladang agar umat lain jadi kristen atau setuju dengan dogma kristen, melainkan ladang dimana cinta kasih dan kemanusiaan ditabur, dibuahi, disemai dan dituai.

SELAMAT NATAL UNTUK SEMUA PENGIKUT YESUS YANG MERAYAKANNYA, DAMAI NATAL MENYERTAIMU!!

Rio Maesa






Selasa, 09 Desember 2014

AIRMATA PAPUA, ANTARA KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA



Kenapa orang Indonesia itu lebih heboh kalo mengurusi konflik Israel dan Palestine nun jauh disana ketimbang melihat konflik Indonesia-Papua. Jawabannya karena Israel-Palestina adalah konflik kedaulatan yang dibumbui oleh unsur sentimen agama. Disini agama dimainkan menjadi komoditi politik berupa bensin yang gampang membakar emosionalitas.

Namun coba kita lihat kasus Indonesia, yang terjadi adalah konflik pertentangan kelas (Ekonomi-Politik) antara kelas penguasa di Jawa yang menghisap dengan kelas penduduk lokal papua yang berusaha menuntut keadilan, kesetaraan dan melawan diskriminasi.

Namun apa reaksi mayoritas orang Indonesia menanggapi perilaku biadab pemerintahnya sendiri? tidak peduli, bahkan cenderung mengutuki perlawanan rakyat Papua dengan cap "separatisme". Disini bisa kita lihat dengan jelas sikap standar ganda rakyat Indonesia yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan rakyat Israel. Membiarkan pembantaian terhadap sipil dilakukan oleh pemerintahnya sendiri atas nama nasionalisme. Bahkan masih lebih rasional Israel yang punya alasan melakukan penyerangan atas Palestina untuk melindungi rakyatnya dari serangan roket militan-militan Palestina, meskipun pada akhirnya meletus perang yang tidak proporsional. Sedangkan Indonesia? rakyat Papua tidak mengancam stabilitas keamanan Indonesia secara keseluruhan, hanya bersifat sporadis.

Bagaimana mungkin suatu bangsa tidak ingin merdeka jika Sumber Dayanya dikuras dan manusianya dimatikan seperti serangga yang divonis jadi hama?. Bahkan anjing saja tidak akan pernah mengigit Tuannya jika rajin diberi makan, sedangkan Pemerintah Indonesia sudah kenyang makan hasil bumi Papua berupa emas dan minyak, namun tetap saja membunuhi rakyat Papua.

Kelakuan pemerintah Indonesia terhadap Papua itu lebih nista ketimbang penjajahan yang dilakukan oleh Belanda di jaman dulu. Pada jaman dulu saja kegiatan organisasi kepemudaan yang memiliki tujuan resistensi terhadap pemerintah Hindia Belanda tidak dilarang di jaman pendudukan, namun hal tersebut tidak berlaku di tanah Papua hari ini. Ratusan ribu penduduk sipil Papua dibunuh dan hilang oleh militer Indonesia. Inilah alasan mengapa Negara, alat-alatnya dan rakyat Indonesia tidak pantas menuduh pihak-pihak asing jika rakyat Papua 99% menyatakan ingin melepaskan diri dari NKRI.

Ingatlah bahwa nasionalisme tidak akan pernah lahir dari perut yang lapar dan pemerintah yang abai.

Oleh: Rio Maesa,
10 Desember 2014

Jumat, 22 Agustus 2014

MEMAHAMI PETA KONFLIK ISRAEL-PALESTINE DARI PERSPEKTIF IMPERIALISME

Membaca persoalan Israel-Palestina sudah seharusnya dilihat dari level yang lebih tinggi, yaitu perspektif imperialisme dan kolonialisme barat di Timur-Tengah. Konflik ini bukanlah persoalan kebencian anti-yahudi atau anti-semit seperti yang biasa didengungkan oleh para fundamentalis Islam dan kaum utopis penegak khilafah-syariah, bukan juga persoalan kebencian terhadap terorisme (Islam) Palestina yang dilihat dari kacamata kaum liberal atau para islamophobic.

Zionisme adalah ideologi yang dicetuskan Theodore Herzl pada tahun 1897 yang bertujuan untuk mengembalikan semua bangsa yahudi yang terdiaspora diseluruh dunia kedalam suatu wilayah yang diperjanjikan Tuhan yaitu Palestina. Zionisme adalah wujud dari nasionalisme bangsa yahudi yang selama berabad-abad memiliki sejarah penderitaan dan penindasan. Menurut David Finkel Zionisme adalah ideologi yang tidak biasa, karena mengusulkan pendirian suatu negara-negara bukan ditempat tinggal orang yang akan dibebaskannya, tapi memindahkan mereka secara besar-besaran ke tempat yang berbeda (Palestina), di mana tradisi relijius Yahudi bermula, tapi faktanya hanya sedikit kaum Yahudi yang bertempat tinggal di situ selama lebih dari 1500 tahun.

Ada sebuah klaim kondang yang disuarakan oleh pendukung Zionisme bahwasannya "Zionisme merupakan sebuah gerakan pembebasan nasional bangsa yahudi." Makna yang dikehendaki dari ini adalah: "Bila kau menentang Zionisme, maka kau tidak menghargai sejarah penderitaan dan harga diri Yahudi, maka kau berpihak pada "penghancuran Israel" dan kau adalah seorang anti-semit. Propaganda ini dibangun di negara Amerika dan barat, sehingga sekeras apapun kritik terhadap eksistensi Israel, meskipun itu datang dari orang Yahudi sekalipun, maka stigma rasialis anti semit akan melekat. Yahudi revolusioner seperti Noam Chomsky, Ilan Pappe dan banyak lainnya telah merasakan stigma itu. Pada awalnya hanya sekitar 15% kaum yahudi yang mendukung ide Zionisme, sisanya mengatakan bahwa Zionisme adalah utopia, karena jika dipaksakan akan terjadi benturan budaya dan perebutan ekonomi atas wilayah yang akan direbut. 

Zionisme sesungguhnya adalah proyek rasialis imperialisme barat yang semenjak berdirinya tak pernah berhenti mendapat sokongan dana besar dari negara-negara imperialis dan para pemilik modal penguasa ekonomi dunia yang mendukung gerakan Zionisme. Ideologi zionisme dibutuhkan eksistensinya sebagai tumor peradaban dalam upayanya untuk menjaga konflik di Timur Tengah agar mempermudah barat untuk menguasai struktur kapital atas Sumber Daya Alam di wilayah regional.

Ketika pertama kali mulai imigrasi gelombang pertama, hunian Zionis di Palestina sangat menguntungkan imperialisme Inggris dalam periode Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Administrasi kolonial Inggris yang biasa disebut "Mandat" telah memberikan keuntungan ekonomi yang substansial dan perlindungan militer kepada Yishuf (Komunitas Hunian Yahudi). Gerakan Zionis ini pada tahun 1940an juga sangat lihai dalam mempromosikan diri mereka kepada kekuasaan imperialisme barat yang sedang bangkit, yaitu Amerika Serikat, sebagai sekutu untuk mengontrol penuh wilayah Timur Tengah yang strategis.

Gerakan Zionisme di Palestina sangat terorganisir dan strategis dalam perencanaannya, sementara penduduk Palestina tidak terorganisir dengan baik, dipimpin dengan buruk dan didominasi oleh tuan-tuan tanah feodal, seringkali tidak bertempat tinggal di tanah miliknya (absentee) dan menjual tanahnya kepada hunian Zionis tanpa sepengetahuan para pengolah lahan dan kaum tani. Pada akhirnya yang menjadi unsur utama dalam mega proyek pembangunan ideologi Zionisme adalah keberhasilan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai faktor krusial dalam pembentukan identitas dari sebuah bangsa baru.

KONFLIK YANG TERPELIHARA

Konflik sengaja dipelihara dengan mengambil landasan dasar mitos historis kitab suci dan berusaha terus mengangkat isu kebencian lahiriah (inaate conflict) antara Islam vs Yahudi bersama Kristen Konservatif (kaum injili evangelikal). Sokongan media barat yang dikuasai oleh para pemilik modal pro Zionisme pun tidak henti-hentinya membangun opini pembenaran bahwa genocide atas Palestina adalah tindakan self-defence yang wajar, serta pejuang resistensi kemerdekaan di Palestina akan terus mendapat stigma sebagai kumpulan terorisme.

Dalam sejarah terbentuknya PBB, kira-kira ada 60-an lebih resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB untuk menghukum Israel. Namun tidak satupun Israel tunduk atas ketentuan-ketentuan itu, coba kita bandingkan dengan Iraq yang melanggar 2 resolusi Dewan Keamanan namun dihantam invasi dan dihancurkan negaranya dengan justifikasi yang tak berdasar. Karena apa? Iraq berani melawan imperialisme barat. Sekarang target penghancuran ditujukan kepada Suriah yang terkenal sebagai negara anti-imperialisme bersama-sama dengan poros Iran. Stabilitas suriah sedang dihancurleburkan oleh organisasi teror ISIS yang dikonfirmasi oleh Edward Snowden (manusia no. 1 paling diburu amerika) adalah bentukan Israel dan Barat. Karena krisis ekonomi yang terjadi di barat memaksa mereka harus memainkan proxy war di Suriah tanpa perlu mengotori langsung tangannya dengan darah.

Kenyataannya negara-negara yang cenderung berhaluan kiri adalah negara yang paling resist menentang politik ekspansionisme Israel ketimbang negara-negara muslim yang tergabung dalam Liga Arab. Bahkan organisasi dan gerakan-gerakan anti-imperialisme di negara-negara barat sendiri menentang keras penjajahan Israel di tanah Palestina. Jadi konflik Israel-Palestina itu bukanlah konflik agama, namun konflik perebutan atas sumber-sumber kekuasaan atas perebutan Sumber Daya Alam yang menjadi sumber kapital penyokong imperialisme barat.

Rio Maesa

Kamis, 14 Agustus 2014

ALASAN-ALASAN MENGAPA HUKUMAN MATI HARUS DIHAPUSKAN!

source pic: nobody corp intl.
"...Mengapa kita membunuh orang yang membunuh untuk mengatakan bahwa membunuh itu salah...?"

Mengapa hukuman mati harus dihapuskan dalam setiap aturan hukum di seluruh muka bumi, jawabnya sederhana sebab "Hak Hidup" adalah hak asasi paling fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Hukuman mati memiliki terlalu banyak kecacatan hukum dalam pengaplikasiannya. Saya akan menuliskan beberapa argumentasi atas dasar logika hukum sebagai penjelasan bahwa hukuman mati itu adalah hukuman yang tidak lagi feasibel diterapkan pada zaman di mana etika kemanusiaan menjadi dasar filosofi untuk meninggikan harkat derajat martabat kemanusiaan di dalam kemajuan peradaban. 

Pertama, sebagai alasan paling sederhana, hukuman mati itu bikinan negara, dan nyawa bukan ciptaan negara. 

Kedua mengapa kita wajib menentang hukuman mati? Hukuman mati dalam semua kasus tanpa memandang sifat kejahatannya, karakteristik pelaku, atau metode yang digunakan oleh negara untuk membunuh narapidana merupakan penyangkalan utama terhadap hak-hak asasi manusia. Ini merupakan tindakan negara yang direncanakan dan berdarah dingin untuk membunuh seorang manusia atas nama keadilan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup, hak utama sebagai syarat fundamental kemanusiaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan berbagai standar internasional hak-hak manusia. Ini adalah bentuk penghukuman yang paling kejam tidak manusiawi dan merendahkan harkat martabat manusia. Tidak akan pernah ada pembenaran untuk penyiksaan atau perlakuan kejam. Seperti penyiksaan, eksekusi mati merupakan serangan fisik dan mental yang sangat ekstrem terhadap individu. Rasa sakit fisik yang disebabkan oleh tindakan membunuh seorang manusia tidak dapat diukur atau tidak dapat diduga penderitaan psikologisnya yang disebabkan oleh kematian di tangan negara ataupun institusi-institusi kekuasaan berbasis agama.

Ketiga, hukuman mati di banyak negara berwatak diskriminatif, dan sering digunakan secara tidak proporsional terhadap kaum miskin, minoritas dan anggota ras, komunitas etnis atau agama tertentu. Hal ini diberlakukan dan dilaksanakan secara sewenang-wenang. Bahkan upaya negara-negara peserta perjanjian Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (1966) untuk tetap mempertahankan hukuman mati bagi jenis-jenis “kejahatan terburuk" dan bagi pelaku pembunuhan massal, setiap tahunnya pasti mengarah pada inkonsistensi dan kesalahan. Kesalahan penghukuman tak terhindarkan. Kesalahan ini diperburuk dengan diskriminasi, pelanggaran penuntutan, dan sistem peradilan yang tidak memadai. Selama sistem keadilan manusia masih mungkin keliru, risiko mengeksekusi orang yang tidak bersalah tidak pernah dapat dihilangkan. Itulah alasan mengapa kita harus terus menuntut penghapusan hukuman mati tanpa syarat.

Untuk mengakhiri hukuman mati, kita harus mengakui bahwa itu adalah kebijakan publik yang merusak dan memecah-belah, yang tidak konsisten dengan nilai-nilai yang dianut khalayak. Hukuman mati tidak hanya beresiko mengandung kesalahan yang tidak dapat dibatalkan, juga menguras dana publik, serta biaya sosial dan psikologis. 
Hukuman Mati di China

Keempat, hukuman mati belum terbukti memiliki efek jera yang khusus. Hukuman mati menyangkal kemungkinan rehabilitasi pelaku dan menutup rekonsiliasinya dengan keluarga korban pembunuhan. Ketimbang terus menerus membenarkan penerapan hukuman mati, kesempatan bagi rehabilitasi dan rekonsiliasi lebih memajukan tanggapan sederhana dan strategi positif kita terhadap masalah-masalah manusia yang kompleks. 

Penerapan hukuman mati terhadap koruptor pun tidak ada korelasinya pada perbaikan sistem bahwa korupsi akan serta merta hilang. Patut dicatat, negara-negara dengan index korupsi terendah di dunia justru adalah negara-negara yang sejak lama telah menghapuskan hukuman mati. Jadi pernyataan bahwa korupsi akan hilang dengan adanya hukuman mati bagi para pelaku korupsi sebagai sebuah shock therapy adalah pernyataan apriori dan buta akan realitas hukum kemanusiaan dunia.

Kelima, hukuman mati memperpanjang penderitaan keluarga korban pembunuhan atau kejahatan, dan memperluas dampaknya bagi penderitaan orang-orang dan kerabat tahanan atau terhukum yang dieksekusi.  Hukuman mati mengalihkan sumber daya dan energi yang seharusnya lebih baik digunakan untuk bekerja melawan kejahatan, kekerasan dan membantu mereka yang terkena dampaknya. Hukuman mati merupakan mata rantai budaya kekerasan, bukan solusi terhadapnya. Hukuman mati merupakan penghinaan terhadap harkat manusia, dan karenanya harus dihapuskan.

Keenam, hukuman mati tidak reversible, yang artinya bila terhukum telah dieksekusi namun di kemudian hari ternyata ia terbukti tidak bersalah, bagaimana caranya mengembalikan nyawa yang terhukum mati?. Rasionalitas akhir hukuman mati bisa dilaksanakan apabila sang pelaksana hukum juga mampu menghidupkan orang yang telah mati.

Ketujuh, manusia bukan Tuhan sebagai sebuah premis yang berhak mencabut nyawa, dan Tuhan tidaklah bermain sebagai hakim dalam ranah hukum sipil di bumi manusia.

Melihat relevansi penerapan hukuman mati di Indonesia?

Pernah ada yang bertanya kepada saya jika terorisme berat (seperti kasus Amrozi cs) yang terstruktur bisa apakah juga bisa tetap diselesaikan dengan jalur rehabilitasi dan rekonsilasi, jika hukuman mati tersebut benar-benar dihapus?. Menurut saya itu jelas bisa, namun pertanyaannya kita kembalikan lagi, bahwasannya kita sama sekali belum pernah mengaplikasikan penghapusan hukuman mati secara eksplisit dalam hukum. Hukuman seumur hidup dan berada pada penjara dengan sistem keamanan khusus terhadap pelaku kejahatan-kejahatan berat seharusnya sudah cukup ampuh sebagai sebuah simbolisasi sejarah bahwa ada bukti hidup dimana pernah terjadi kejahatan berat yang terstruktur, tanpa perlu menghabisi nyawa seorang pelaku. 

Pemberlakuan hukuman mati yang masih berlaku di negeri ini sebenarnya sangat berkontribusi besar dalam menghambat proses diplomasi Indonesia untuk secara penuh mengupayakan pembebasan hukuman mati terhadap banyaknya warga negara terutama para buruh migran Indonesia yang terjerat ancaman hukuman mati di berbagai negara tempat di mana mereka bekerja. Bagaimana mungkin pemerintah kita bisa menjalankan secara penuh diplomasi untuk membebaskan para buruh migran yang terancam hukuman mati di negeri orang, jikalau di dalam negeri sendiri banyak warga negara Indonesia dan Asing yang di hukum mati, ini adalah suatu logika paradoks.

Maka tiada cara lain, atas nama humanisme universal, maka penghapusan hukuman mati harus menjadi kewajiban internasional bagi setiap negara berdaulat. Bahwasannya tidak ada satupun alasan logis yang dapat diterima dan dijadikan justifikasi terhadap pencabutan hak hidup seorang manusia, tak peduli atas nama agama, nasionalisme ataupun hukum positif itu sendiri.

Rio Maesa

Kamis, 17 Juli 2014

RACHEL CORRIE: "AKU YAHUDI DAN AKU MELAWAN PENINDASAN!!"


Rachel Corrie adalah gadis cerdas asal Amerika keturunan Yahudi. Rachel seorang mahasiswi seni dan penulis dari Evergreen State College, Washington yang juga aktivis International Solidarity Movement (ISM). Namanya begitu harum diseluruh belahan bumi karena berani melawan kebiadaban Zionis Israel. Dia memutuskan untuk datang ke Palestina pada 2003 sebagai bagian dari studinya. Rachel memberanikan diri datang ke Palestina ketika pada saat yang bersamaan Amerika dan Nato memulai rencana invasi dengan membombardir Irak atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal dan pada saat di Palestina sendiri sedang berada di puncak perlawanan meletusnya *Intifada kedua (*membebaskan diri).

Perjuangannya di Palestina adalah menghentikan pemukiman ilegal yahudi di tanah pendudukan. Ia tak henti-henti dengan keberanian dan kegigihannya untuk menghalangi penggusuran rumah-rumah orang Palestina dengan pengeras suara, berkali-kali Buldozer Zionis Israel mundur tidak jadi menggusur rumah rakyat Palestina karena dihalang-halangi oleh Rachel. Puncak perjuangannya berakhir pada saat ia membela mati-matian rumah seorang apoteker Palestina dengan nyawanya di Rafah, wilayah selatan Jalur Gaza yang masuk ke dalam ambisi politik ekspansionis Israel.

Pada usia 23 tahun, tepatnya tanggal 16 Maret 2003, Rachel tewas dilindas oleh traktor milik IDF (Israel Defence Force) yang tidak mau memberhentikan geraknya saat Rachel melakukan aksi demonstrasi langsung dengan tidur telentang di hadapan kendaraan berat itu. Saat mesin baja Caterpillar D9R itu datang, Rachel sama sekali tidak beranjak, ia justru berlutut dan menjadi tameng hidup. Dia melindungi rumah orang-orang Palestina yang bahkan ia sendiri tidak pernah mengenalnya. Dia ditabrak dan dilindas oleh buldozer yang dihadangnya, hingga mengakibatkan tengkorak kepalanya retak, tulang rusuknya hancur sampai menembus paru-parunya. Dengan penderitaan luar biasa akhirnya Rachel tewas bersimbah darah dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Rachel bukan anggota PLO, bukan pula anggota komunis Palestina DFLP, tentunya dia juga bukan HAMAS. Tapi, Israel seakan tak peduli, bahkan mempropagandakan kebohongan pada dunia bahwa peristiwa tersebut adalah murni kecelakaan, sekaligus menjustifikasi bahwa pendudukan ilegal Israel atas tanah Palestina adalah hak berdaulat Israel. Bahkan proses hukum yang diperjuangkan keluarga beserta aktivis-aktivis kemanusiaan untuk memperkarakan Israel di negara asalnya Amerika tidak dapat dilanjutkan, dikarenakan hal tersebut sama saja mengecam secara implisit kebijakan Amerika terhadap pendudukan Israel. Amerika menganggap Rachel berada pada posisi yang "salah", itulah mungkin alasan kuat mengapa Amerika sendiri mendiamkan kasusnya, tenggelam ditelan waktu.

Beberapa waktu setelah peristiwa itu terjadi, Yasser Arafat menelepon langsung kepada ayahnya Craig Corrie dan berkata, "Dia Putri anda, tapi dia juga sekarang Putri Palestina". Kematian Rachel telah membawa pesan kepada dunia, bahwa kemanusiaan bukanlah soal pembelaan terhadap agama, keturunan, atau ras yang tertindas, tapi soal perasaan yang bertindak. Demi menghormati perjuangannya, rakyat Palestina menjadikan namanya sebagai sebuah nama jalan di Tepi Barat. Hingga pada 2010, namanya juga diabadikan menjadi sebuah kapal Republik Irlandia dengan misi kemanusiaan untuk membongkar blokade Israel yang menjadikan Gaza sebagai penjara terbesar di dunia dengan 1,7 juta penduduk terisolasi.

Rachel adalah simbol anomali, ia seorang yahudi yang konsisten menentang penindasan dari sebuah negara dengan ideologi previllege bagi bangsa yahudi yang terdiaspora, menentang dominasi Imperialisme negara adidaya yang sering menekan negara berkembang, yang tak lain adalah negaranya sendiri.

"Mereka adalah kita, kita adalah mereka" kata-kata itu adalah salah satu ungkapan dalam catatan penting hariannya yang dipublikasikan secara lengkap oleh Guardian dalam tajuk yang berjudul "Rachel's War". Ungkapan ekspresi yang menuliskan sebuah deskripsi bahwa Rachel adalah seorang pengusung Pluralisme Universal, cinta damai, dan menolak segala bentuk kekerasan yang ada di muka bumi. Rachel menghabiskan waktunya untuk kemanusiaan. Puisi, agitasi dan sketsanya telah menerobos batas-batas negaranya yang rigid, rasis, dan superior. Menusuk alam bawah sadar dogma anti perbedaan yang menstimulan kesadaran manusia untuk berpikir maju dan berempati.


"Bila kata terujar mulutku tak berarti, biarkan ia mengambang sesaat di udara. Kan kujadikan itu kata-kata canda menghibur hingga kelak kucipta kalimat bermakna yang mengitarinya. Kumau terbang melayang untuk berkibar.... beri aku jeda waktu, jangan komentari.... biarkanku menari, mengitari kelopak bunga lily. Kemudian melesat bagai air mancur, terbang menyertai kata-kataku yang tak berarti itu". Kalimat-kalimat ini adalah petikan dari salah satu catatannya. Kuat dan inspiratif. Seperti penegasannya. "Beri aku jeda waktu, jangan komentari..." menunjukan betapa dia sangat menghargai proses bagaimana menjadi manusia merdeka. Dia yakin, tak ada yang sia-sia dari setiap imajinasi yang terujar merdeka.

Yah, imajinasi yang merdeka, ia adalah simbol meleburnya antara rasio dan perasaan yang menghasilkan kekuatan perlawanan yang tak terakar. Ia mereduksi segala bentuk ketakutan menjadi sebuah mimpi yang hidup sebagai energi yang menghidupkan, menjelma dalam tulisan bagi para pembaca yang tersadarkan. Tersadarkan dari tidur lelap yang membakar hingga meruntuhkan tembok-tembok angkuh yang menindas kemanusiaan.

Rachel Corrie, nama yang akan terus abadi sebagai simbol resistensi pembebasan kemanusiaan, nama yang akan abadi menjadi energi yang menghidupkan rakyat dunia yang tercerai berai karena agama, ras dan ideologi. Rachel Corrie, sebuah nama yang akan selalu menggetarkan rasa kemanusiaan.

Minggu, 06 Juli 2014

BUKAN SDA TAPI SDM! TERKAIT DENGAN KONSEP EKONOMI PURBA BERNAMA NASIONALISASI

Selama ini orang Indonesia pada umumnya mengira bahwa Sumber Daya Alam (SDA) adalah hal terpenting, bahkan dianggap menjadi amunisi utama menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Tak terkecuali dalam kampanye capres 2014 ini, di mana masih ada calon yang berpikir demikian yang secara eksplisit dijadikan peluru utama dalam perdebatan antar capres serta dalam berbagai retorika visi-misi kampanyenya. Boleh jadi ini ada benarnya, tapi faktanya pemikiran atas klaim-klaim dan menjadikan SDA sebagai sumber utama kesejahteraan itu adalah pemikiran usang yang lebih cocok diterapkan di zaman kolonial. Sedangkan pada zaman di mana kemajuan sains-teknologi luar biasa pesatnya, SDA bukanlah satu-satunya faktor yang mesti diagungkan dan diunggulkan, tapi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sistem-lah yang menjadi faktor mercusuar utama kesejahteraan suatu bangsa. 

Kalau betul SDA letak kunci kemakmuran, pertanyaannya adalah mengapa Afrika dan Amerika Latin yang teramat kaya raya SDA tetap saja melarat dan miskin inovasi. Di Afrika ambilah contoh Negara Sierra Leone yang kaya mineral, batu berlian yang melimpah dan tanah subur luar biasa, tapi kenyataannya Sierra Leone tetap begitu-begitu saja di Afrika, rakyatnya miskin melarat. Lalu Nigeria, negara kaya minyak terbesar di Afrika, penduduknya tetap miskin dan negaranya berada pada jurang perpecahan akibat perang antar suku dan agama yang menjadikan minyak sebagai sarana perebutan kekuasaan. Di negara-negara Afrika yang kaya SDA, baik pemerintahnya maupun rakyatnya seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, boleh jadi mereka putus asa. Bahkan lembaga Dewan Ekonomi PBB pernah menyatakan bahwa kondisi Afrika bahkan sekarang lebih buruk dan kacau dibandingkan ketika mereka masih dijajah pada era kolonialisme Eropa.

Di Amerika Selatan, lihat Venezuela, negara yang berhasil menasionalisasi aset-aset strategis perusahaan asing hingga berhasil menjadi negara penghasil minyak no. 5 di dunia, bahkan disana negaranya mampu mensubsidi harga minyak hingga Rp. 700,- Pendidikan pun gratis, tapi lihat kemajuan sains-teknologinya, nihil dan miskin inovasi, karena disana tidak dikenal arus kompetisi, oleh sebab itu pendidikan gratis tidak berkorelasi dengan berkembangnya teknologi. Semua sudah disediakan Negara, dan rakyat menjadi malas untuk berfikir keras. Tapi tunggu waktunya, ketika minyak sudah habis, ini akan menjadi bom waktu yang meledakan internal negara Venezuela.

Sekali dengan tegas saya katakan bahwa SDA bukanlah segala-galanya. Bangsa yang mengandalkan SDA sebagai sumber daya utama untuk menyejahterakan rakyatnya adalah bangsa yang malas berfikir. Sedangkan konsep nasionalisasi adalah wujud arogansi negara. Mengapa saya katakan bentuk arogansi negara, karena dinamika politik dan fragmentasi politik internasional yang multipolar sudah membawa seluruh bangsa-bangsa di dunia mengarah pada keterkaitan global. Konsep nasionalisasi masih banyak terjadi dalam konteks Perang Dingin, ketika dunia masih bipolar.

Masalah utama kita semua itu ada di rendahnya SDM dan sistem birokrasi yang korup secara struktural dan kultural. Jadi, meskipun Freeport, Newmont dan lain-lain dinasionalisasi, tapi kalo pemimpinnya model Tirani Diktatorisme sayap kanan yang didukung oleh elit-elit partai politik korup yang menguasai lembaga legislatif sebagai penentu lolosnya kebijakan-kebijakan eksekutif hanya akan membawa Indonesia menuju kehancuran seperti negara-negara Afrika.

Salah satu alasan Survey Deutsche Bank yang pernah menyatakan bahwa jika salah satu capres yang sering berkampanye soal nasionalisasi asing, maka 56% investor akan menjual asset. Sesungguhnya alasan 56% investor tersebut menjual asset bukan karena ketakutan investor akan nasionalisasi seperti yang sering digembar-gemborkan, namun karena prediksi korupsi besar-besaran secara berjamaah dan struktural akan terjadi karena gerbong koalisi capres tersebut berisikan banyak maling. Belum lagi gerakan meminjam istilah Marx "Lumpenproletariat" dalam wujud kelompok sayap kanan ultranasionalis (Fasis) dan Islamis Radikal yang siap membela di levelan grass roots.

Nasionalisasi yang benar dan rasional itu harus dimulai dengan membeli saham mayoritas perusahaan-perusahaan strategis yang dijalankan di bawah sistem kapitalistik yang profesional. Kemudian negara wajib menjalankan proteksionisme pro kerakyatan, lalu bertanggung jawab mengakumulasi keuntungan kapital tersebut didistribusikan dengan filosofi sosialisme universal untuk pemerataan kesejahteraan rakyat. SDM adalah instrumen menuju kesejahteraan fundamental, mengapa fundamental? karena kita hidup dalam arus kompetisi global. Suka tidak suka, realitas ekonomi memaksa kita semua memahami bahwa kompetisi global itu dibutuhkan. Kompetisi memang lahir dari janin kapitalisme, tanpa kompetisi tidak akan lahir inovasi dan kreativitas. Problem utama di negara-negara berkembang yang memiliki SDA berlimpah adalah pemerintah negara tersebut kebanyakan gagal melindungi kompetisi secara adil tanpa monopoli kelompok-kelompok pemilik modal serakah. Disini keberpihakan negara dibutuhkan dengan sikap jelas pro rakyat berdasarkan landasan sosialisme yang berwujud proteksionisme. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika perusahaan teknologi komunikasi seperti Whats App yang baru berdiri sekitar 4 tahunan nilai kapitalisasinya menurut Majalah Forbes sama dengan Freeport yang sudah bercokol di tanah Papua selama puluhan tahun.
Tambang Emas Grasberg Papua
Itulah sedikit alasan mengapa revolusi pendidikan dan sains itu wajib dilakukan. Bahwasannya kita harus belajar dari negeri-negeri Skandinavia, Jepang, Korsel, Jerman, Russia, bahkan Amerika Serikat, bagaimana mengelola SDM yang akan terus menghasilkan inovasi-inovasi canggih menuju era sains-teknologi digital masa depan. Karena di masa depan ide, kreatifitas, dan inovasi adalah muara kemakmuran. Bahkan negara-negara seperti Jepang, Korsel, Skandinavian dan Jerman boleh dibilang tidak memiliki SDA yang patut dibanggakan, tapi terbukti mereka mampu menjelma menjadi bangsa kuat, kaya dan makmur di dunia, yang mana pengangguran saja digaji oleh negara dan sistem birokrasi menjadi yang terbersih di dunia. Resepnya jelas bukan nasionalisasi, bukan pula SDA, melainkan SDM-nya. Sedangkan bangsa yang hanya mengandalkan SDA hanya akan menjadi bangsa terbelakang dan terus menjadi gedibal peradaban.

Kunci membangun Indonesia mestinya dari segi SDM, terlebih karakteristik, jadi pendidikan gratis saja tidaklah cukup jika pendidikan tersebut masih mencampuradukan antara mitologi (agama) dengan konsepsi ilmu pengetahuan yang ilmiah. Sains harus dikenalkan semenjak TK, pelajaran agama wajib dibuang dari kurikulum lembaga pendidikan formal, pelajaran agama cukup dimasukan ke dalam sekolah-sekolah khusus agama. Kemudian, membuang jauh-jauh doktrin SDA yang begitu kaya raya sebagaimana dimitoskan oleh sejarah. Saya pribadi masih jauh lebih percaya apa yang dikatakan oleh kakek-nenek kita semua pada masa lalu, bahwasannya:

"Sampai kapanpun juga orang yang menggunakan otaknya lebih berguna ketimbang orang yang sekedar membanggakan warisannya..."



Rio Maesa  07-07-14


Selasa, 06 Mei 2014

KENYATAAN HIDUP YANG BRENGSEK

Problematika adalah bumbu penyedap kehidupan, ia datang silih berganti untuk menguatkan kita bertarung dalam arus kehidupan. Namun hal yang paling menyesakkan dalam hidup, ketika kita terjatuh dan terpuruk, ketika disaat yang sama kekasih dan sahabat terbaik justru pergi menjauh meninggalkan kita. Ketika kita dipaksa harus hidup dalam kesendirian dan kesunyian, disaat itulah kita dibukakan mata bahwa kenyataan hidup memang brengsek. Ia menidurkan kita dalam tidur panjang imajinasi semu akan keindahan dan kebahagiaan di masa depan tanpa sedikitpun memberi ruang maaf menuju kebaikan akan titik balik kesadaran, tentang relasi kasih sayang yang tertutup oleh egosentrisme naif yang selalu mencari legitimasi pembenaran. Saya pribadi memang tidak akan pernah bisa sempurna. Ketika terus menerus disudutkan oleh kesalahan-kesalahan dimasa lampau tanpa pernah sedikit saja diberi kesempatan untuk memperbaikinya. 

Hidup adalah dinamika, hidup itu terus berubah, yang tidak akan pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Maka ketika mereka, dia, atau siapapun mengubur dalam-dalam ruang perbaikan relasi, demi mempertahankan prinsip maka sesungguhnya hati mereka telah mati. Mati terkubur oleh kesombongan dan angkuhnya prinsip semu yang tak memiliki dasar kuat.

Setidaknya kita bisa lega ketika telah mampu menunjukkan potongan kaca yang tersimpan. Meski kemudian menimbulkan tragedi baru tentang perihnya luka yang menancap jantung menyesakkan nafas. Sekarang yang kita perlukan hanyalah mencari cara untuk mengobatinya. Semua orang selalu tahu, bahwa luka ini, luka di hati ini yang nantinya sembuh tak pernah mampu kehilangan bekasnya. Maka lebih baik tuntaskan masalah secepatnya daripada semakin membusuk dan mengakar menjadi penyakit di dalam dirimu. Hidup harus terus berlangsung meskipun pahitnya harus berjalan dalam kesendirian melawan penyesalan bahwa peristiwa buruk pernah terjadi.

Selasa, 11 Februari 2014

KEPAHLAWANAN USMAN HARUN YANG DIPERTANYAKAN DAN NASIONALISME KENTUT RAKYAT INDONESIA

Konfrontasi antara Republik Indonesia (RI) dengan Federasi Malaysia dimulai pada tahun 1962 sampai 1966. Konfrontasi dimulai ketika Federasi Malaysia pada tahun 1961 berambisi menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak ke dalam Federasi Malaysia. Tindakan tersebut dianggap oleh RI sebagai pengkhianatan terhadap Manila Accord 1963 (Persetujuan Manila). Di sisi lain, Presiden RI saat itu Ir. Soekarno sedang gencar-gencarnya melakukan politik perang ekspansionisme (politik memperluas teritorial wilayah dengan konfrontasi bersenjata) puncaknya ketika Presiden Soekarno terang-terangan menuduh Federasi Malaysia sebagai antek neokolonialisme dan kaki tangan imperialisme Barat, keluarlah slogan ganyang Malaysia yang terkenal di seantero negeri saat itu. Itu adalah sedikit latar belakang yang dapat digambarkan dalam tulisan ini, karena saya akan berfokus pada isu kasus pemboman yang terjadi di Macdonald House Orchard Road Singapura pada 10 Maret 1965 yang merupakan rentetan masalah dari konfrontasi yang dilakukan oleh Soekarno terhadap Federasi Malaysia dan Imperialisme Barat yang saat ini isunya sedang gencar mengemuka di tanah air.

Pengeboman Hongkong & Shanghai Bank (lebih dikenal dengan nama Macdonald House) dilakukan oleh dua anggota Korps Komando Operasi (KKO sekarang Marinir) yaitu Sersan Dua KKO Usman Janatin Bin Haji Ali Hasan dan Kopral Anumerta Harun Said Bin Muhammad Ali. Tujuan dari pemboman itu adalah untuk menyabotase tempat-tempat yang dianggap sebagai sumber-sumber keuangan, sedangkan Pemerintah Singapura menganggap pemboman tersebut sebagai upaya Indonesia untuk melakukan eksploitasi rasialisme antara Malaysia yang Melayu dengan Singapura yang mayoritas Cina, yang saat itu masih masuk kedalam wilayah Federasi Malaysia, tujuannya untuk menciptakan ketegangan dan kepanikan di dalam tubuh Federasi Malaysia.
Dalam konfrontasi ini, operasi serangan-serangan terhadap Singapura lebih ditargetkan bukan pada pusat-pusat instalasi militer, namun instalasi umum tempat berkumpulnya para penduduk sipil. Akibat perbuatan Usman & Harun, 3 orang tewas, 2 diantaranya perempuan dan 33 lainnya luka berat, hampir semuanya adalah korban sipil. Ketika berusaha melarikan diri pihak keamanan Singapura menangkap mereka di atas kapal boat yang kehabisan bensin. Usman & Harun ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati 3 tahun kemudian ditiang gantung. 

Pemerintah Indonesia pun secara resmi mengumumkan status kepahlawanan terhadap Usman & Harun atas keberaniannya membom sentral bisnis Singapura saat itu. Berlaku sebaliknya, hingga saat ini tindakan tersebut dianggap oleh Pemerintah Singapura sebagai serangan terorisme yang dilakukan oleh negara Indonesia. Menurut saya hal tersebut adalah wajar jika Singapura menyebut serangan tersebut adalah serangan terorisme. Alasannya karena target operasi militer Usman & Harun itu adalah target sipil, bukan target militer. Hal ini bisa kita samakan contohnya dengan Raymond Westerling di mata Indonesia atau Ariel Sharon dan Moshe Dayan dimata rakyat Palestine, mereka dianggap sebagai pahlawan bagi negaranya namun dianggap teroris bagi musuhnya.

Dalam suatu kondisi peperangan, konflik bersenjata ataupun konfrontasi bersenjata, Collateral Damage (Kerusakan Tambahan) berupa jatuhnya korban sipil tidak dapat dielakkan, sekalipun hukum humaniter dan konvensi jenewa ditegakkan setinggi-tingginya. Jangan pernah berharap akan ada keadilan dalam perang, karena tidak ada perang yang adil. Dalam kasus Usman & Harun harus dilihat pertama-tama adalah target operasi penghancurannya. Yang menjadi target adalah Macdonald House, yang sama sekali bukanlah target militer, dimana disana adalah pusat sipil di Orchad Road.

Bagi saya sebagai penulis, mereka-mereka yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang gugur membela negara apabila diberi mandat untuk menghantam instalasi-instalasi militer atau gudang senjata milik musuh, bukan target sipil. Tujuan menyabotase instalasi umum/sipil dan mengorbankan rakyat sipil tak berdosa apakah masih layak disebut Pahlawan? bagi saya sendiri sama sekali tidak, hanya orang naif yang mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan negara pantas disebut pahlawan.

Sekarang isu penamaan KRI Usman & Harun menjadi polemik tersendiri yang memicu ketegangan lanjutan di ASEAN antara Indonesia dengan Singapura. Menurut saya konfrontasi berdasarkan permasalahan ini menunjukan betapa sempitnya pandangan nasionalisme militer, pejabat dan rakyat Indonesia kebanyakan. Jika boleh jujur, saya mendukung penuh konfrontasi dengan antek Imperialisme macam Singapura, karena negara ini sesungguhnya lebih banyak merugikan dan mengancam status keamanan nasional RI, namun konfrontasi harus dilakukan dengan justifikasi kuat dan cara-cara yang elegan. Misalkan, jadikan penolakan Perjanjian Ekstradisi yang semenjak dulu selalu ditolak oleh Singapura karena kepentingannya melindungi koruptor dan usaha penyitaan uang gelap pejabat publik serta pengusaha hitam yang disimpan di bank-bank Singapura ataupun tindakan provokatif dari militer Singapura tentang latihan militernya yang melewati batas-batas kedaulatan RI dijadikan justifikasi untuk berkonfrontasi, karena ini jelas menyangkut kepentingan nasional. 

Sedangkan yang pernah dilakukan oleh Usman & Harun bisa dikategorikan sebagai kejahatan negara, sangat tidak pantas atas dasar ini kita sekonyong-konyong melakukan konfrontasi. Sejarah harus diluruskan, bukan ditutup-tutupi dengan agitasi heroisme yang semu. Sebentar lagi pemilu, isu konfrontasi yang diletupkan hari ini sebenarnya tidak lebih dari perbaikan citra SBY yang sudah hancur lebur dan ambisi militer yang masih mendukung para pensiunan jenderal yang masih terjebak pada romantika post-power syndrom (haus kekuasaan) untuk melanggeng mulus menjelang pemilu raya 2014.

Dari semua masalah yang muncul ini, patut diingat adalah kejahatan tetaplah kejahatan meskipun ia ditutup dengan wewangian ataupun keindahan surgawi yang bernama nasionalisme. Jangan pernah menjadikan kejahatan kemanusiaan menjadi simbol untuk menjadi bensin yang membakar rasa nasionalisme. Sebab, kebanggaan terhadap nasionalisme yang dibangun diatas pembunuhan dan barbarisme terhadap hak hidup rakyat sipil dan kemanusiaan tidak lebih dari sekedar nasionalisme kentut.

Rio Maesa, 11 Februari 2014