Jumat, 03 Agustus 2012

ISLAM PROGRESIF IMAM KHAMENEI DAN ISLAM "SONTOLOYO" ALA ULAMA INDONESIA

Beberapa waktu lalu, pemimpin Spiritual Iran Ayatollah Khamenei dalam pertemuan dengan para saintis, pakar dan inovator dibidang sains dan teknologi menyoroti sains sebagai aset tanpa akhir bagi negeri tersebut dan menekankan peran ekonomis ilmu pengetahuan dalam membuat negeri itu terbebas dari ketergantungan asing, meningkatkan kekuatan bargain politik serta mempertahankan identitas nasional. Menurut Khamenei, Iran kini berada di persimpangan sejarah. Meski terbilang pesat dalam mengembangkan teknologi luar angkasa, Iran tetap mendapatkan reaksi sinis dari dunia Barat perihal kemajuan yang diperolehnya. Masyarakat Barat menilai bahwa Iran memiliki muatan kepentingan tertentu untuk memanfaatkan teknologi luar angkasa sebagai medium pengembangan rudal balistik. Apa yang dilakukan Iran dengan memfokuskan diri pada sains adalah tuntutan bagi negara Islam tersebut dalam upayanya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sebagai basis utama progresifitas kemandirian bangsanya dalam persaingan teknologi pada tataran gobal. Sebagai catatan Iran adalah salah satu anggota dari 24 anggota pendiri Komite PBB urusan Penggunaan Antariksa secara Damai yang didirikan pada 1959.

Saya pun berpikir sambil sedikit bermimpi, kira-kira kapan yah para habib, kyai serta para ulama yang memimpin 98% jumlah muslim sunni di Indonesia itu mampu berdakwah mengikuti pola pikir rasional dan sikap progresif seperti para pemimpin Syiah di negeri para Mullah tersebut. Bukan lagi dakwah-dakwah seperti terdengar di bulan Ramadhan yang setiap harinya rata-rata cuma membahas persoalan-persoalan sebatas teologi, moralitas, irasionalitas, azab, dan surga neraka melulu. Bahkan seringkali diucapkan dengan luapan-luapan emosionalitas yang tendensius. Bagi saya pribadi tidak pernah sedikitpun saya mendengar mereka dalam dakwah-dakwahnya membahas persoalan sains dan ilmu pengetahuan ilmiah ataupun realitas sosial objektif yang berkembang di masyarakat.

Pemuka agama itu memang sudah seharusnya tidak hanya sebatas menjadi ahli agama, ataupun  pemuka-pemuka agama bermutu rendah seperti ustadz dan ustadzah yang sering tampil di televisi bak selebrity. Dakwah mereka sama sekali tidak bermutu, rata-rata kalau tidak menghibur dengan lelucon-lelucon yang tidak cerdas, mereka akan mendesak para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta-ronta berdoa untuk sesuatu yang tidak jelas. Terkadang pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.

Jelaslah bahwa industri/acara televisi hari ini lebih menghamba kepada rating yang didapat, sedikit sekali acara yang berisikan pencerahan dan inspirasi-inspirasi baru, sebagai contoh sekali-kali lihatlah acara religius subuh, isinya tidak lebih dari curhat para ibu-ibu galau yang isi ceramahnya tidak jauh-jauh pembahasannya dari persoalan tentang mistisisme Islam, sedikitpun tidak ada pencerahan intelektual yang penuh logika, realistis dan membumi seperti pembahasan tentang pengentasan kemiskinan, ekonomi-politik, dan bagaimana menjalankan relasi interpersonal yang baik antar sesama manusia tanpa sedikitpun pengagungan terhadap ekslusivisme agama yang menggerakan emosi keagamaan. Payahnya, hal tersebut pun ternyata terjadi juga pada acara-acara televisi yang menayangkan khotbah agama-agama lain seperti agama kristen contohnya yang sering disiarkan pada hari minggu di beberapa stasiun televisi, dan acara-acara yang menampilkan cerita-cerita mukjizat yang dipenuhi oleh irasionalitas sebagai suatu hidayah dari Tuhan.

Saat ini dakwah agama ternyata bukan saja menjadi aktivitas ibadah, melainkan kini lebih berorientasi menjadi ajang bisnis yang transaksional. Padahal di Islam sendiri dulu juga banyak pemikir-pemikir brilian dan mencerahkan seperti Imaduddin Abdulrahim, seorang ustadz dari ITB, atau KH. A.R Fakhruddin dari Muhammadiyah yang amat pandai menjelaskan posisi muslim dalam masyarakat dan bagaiamana seorang muslim secara disiplin mengajak ke arah kebaikan dalam bermasyarakat, dan juga ada pemikir Islam yang mumpuni seperti Nurcholish Madjid yang mengajarkan sekularisme dan netralitas dalam beragama dan bernegara, ataupun Gus Dur yang sangat pluralis.

Harus diakui, bahwa kekurangan terbesar bangsa ini adalah kurangnya intelektual yang berbasis agama masuk kedalam ruang publik, mereka yang masuk keruang publik justru mereka yang jualannya masuk ke wilayah emosional. Dan pastinya bisnis membutuhkan pasar, dan dalam mekanisme pasar dibidang ini memang masih membutuhkan pemuka agama yang tidak terlalu berkualitas. Ada semacam rangkaian simbiosis mutualisme yang berjalin secara berantai. Televisi yang menampilkan muballigh progresif macam Abdul Moqsith Ghazali, Gus Mus atau Buya Ma'arif misalnya, hampir dipastikan ratingnya rendah. Mengapa? bukan karena kapasitas keagamaan dan intelektualitasnya yang diragukan. Melainkan tipe tabligh ala mereka memang tidak memenuhi syarat pasar penonton televisi di negeri ini yang lebih percaya pada cerita-cerita dogma yang penuh mistis dan irasionalitas.

Tugas pemuka agama memang seharusnya bukan hanya sebatas menjadi ahli agama yang cuma mampu menenangkan jiwa secara spiritual, tetapi harus juga mampu mencerahkan pola pikir secara intelektual. Mereka sudah seharusnya menjadi katalisator pencerdasan, pembebasan dan pencerahan bagi umatnya, mereka harus paham politik, ekonomi, realitas sosial di masyarakat dan selalu merangsang umatnya untuk fokus pada sains dan teknologi agar mampu mengikuti dinamika peradaban global. Sudah saatnya pola pikir mainstream demikian dirubah. Pemuka agama dengan intelektualitas yang masuk kedalam ruang publik, intelektual yang membangun, bukan intelektual yang terus-terusan menyulut sumbu konflik horizontal tidak sehat atas sejarah pemikiran masyarakat, seperti doktrin para kyai dan habib radikal yang dikultuskan seperti nabi oleh para anggota ormas dan pendukungnya.

Mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa negara berpenduduk muslim terbesar dunia seperti Indonesia selalu ketinggalan inovasi dan terus bergantung pada asing karena tidak memiliki kemandirian dan kedaulatan ekonomi seperti Iran, karena kondisi umat muslim sunni sebagai mayoritas negeri ini pola pikirnya banyak yang tereduksi dan terjebak menjadi hanya pada proses ritual-ritual semata, seperti sholat, puasa, ngaji dan haji. Saya memang tidak pernah sepakat dengan ideologi Syariah/Khilafah sebagai sebuah yurisdiksi hukum nasional sebuah negara bangsa, tetapi saya harus akui bahwa satu-satunya negara Islam yang saya kagumi memang hanya Iran. Dibalik segala bentuk represifitas rezim pemerintah Islam Iran terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan rakyatnya yang dianggap kontra-revolusi, tetapi disisi lainnya dalam tataran praksis politik internasional Iran ternyata mampu berdiri sebagai sebuah bangsa berdaulat yang punya harga diri, identitas dan political will untuk maju dan berusaha menyelaraskan diri dengan paradigma zaman yang kini mengacu pada sains dan teknologi. Bahkan Iran membuat poros baru kekuatan dunia ketiga bersama Venezuela yang sosialis dalam melawan kekuatan imperialisme barat. 

Dalam bidang pengetahuan, harus diakui pula bahwa mahzab Islam Sunni memang berbeda dengan Syiah. Sunni sangat sedikit sekali mengurusi dinamika ilmu pengetahuan, karena falsafah dasarnya adalah Kitab Suci Al-Qur'an sudah final dan dianggap melingkupi segala ilmu ilmiah, sedangkan Syiah sendiri masih lebih dekat pada rasionalitas yang dimulai ketika pada zaman dahulu para pemikir Islam Mu'tazilah yang "pro otak" banyak diakomodir oleh pemimpin-pemimpin Islam kaum Syiah. Sebagai referensi coba baca "Syiah, Rasionalisme Dalam Islam" karya H. Aboebakar Atceh (1965), bisa diunduh disini. Sejarah terus berjalan, dalam konstelasi politik global hari ini, negara Islam yang mayoritas Syiah memang jauh lebih mandiri dibidang teknologi dibanding negara Islam berbasis mayoritas Sunni, salah satu contohnya adalah Modernisme Uni Emirat Arab yang penduduk pribuminya banyak berasal dari bangsa Persia yang Syiah.

Iran dan Indonesia adalah dua dari tujuh negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Bedanya disaat rakyat muslim Iran yang bertahun-tahun hidup berada dibawah tekanan embargo ekonomi Barat, justru perkembangan dan inovasi teknologi luar angkasa Iran melaju pesat, Iran sudah mulai mempersiapkan diri mengekspansi ruang angkasa. Kemudian menjadikan teknologi nuklir sebagai basis utama solusi pembangunan berkelanjutan di bidang energi. Bandingkan dengan umat muslim di Indonesia, jangankan membahas persoalan sains dan astronomi yang rumit, baru membahas penentuan hilal saja tidak pernah becus, Ahmadiyah dibunuhi, kaum Syiah yang progresif dikafirkan bahkan dibeberapa daerah mengalami persekusi dari Islam Sunni mainstream di Indonesia, bahkan yang paling menjijikan dan memalukan ialah tidak tanggung-tanggung kitab suci Al-Qur'an saja di korupsi oleh Kementerian Agama yang seharusnya menjadi lembaga negara penjaga moral bangsa, kita lihat sendiri betapa paradoksnya kondisi umat Islam di negeri ini.

Nampaknya tugas Snouck Hourgronje yang dahulu ditugaskan Belanda untuk menyusup dikalangan umat Islam dan mencari tahu cara terbaik mengalahkan Islam dari dalam telah terbukti berhasil. Tugas Snouck dengan menjerumuskan umat Islam melalui ulama-ulamanya dengan hanya memfokuskan diri pada ritual-ritual ibadah semata terbukti berhasil. Hal tersebut bisa kita buktikan walaupun secara mainstream umat Islam di Indonesia membenci Barat, tetapi dengan mudahnya masuk kedalam perangkap Snouck dan cengkeraman kapitalisme Barat hingga budaya-budayanya sampai sekarang.

Untungnya di zaman sekarang ini masih ada sedikit orang muslim indonesia yang waras. Ia berani melakukan pencerahan dan keberanian revolusioner dalam melawan arus pandangan Islam mainstream. Salah satu orangnya adalah Prof. Qashim Mathar seorang Guru Besar Fakultas Ushluddin dan Filsafat Universitas Alauddin Makassar, Prof. Qashim dengan berani menyatakan bahwa tidak akan kafir seseorang yang agamanya Islam walaupun dia melenceng dari ajaran-ajaran akidah Islam. Menurutnya para ulama jangan pernah membatasi penafsiran Al-Qur'an karena generasi kedepan lebih cerdas daripada generasi yang hidup di zaman dulu. Sebab sains itu bergerak kedepan bukan kebelakang, seharusnya Islam juga seperti itu. Dan yang paling revolusioner adalah ketika ia mengatakan bahwa Rasullulah sudah meninggal, oleh sebab itu isi Al-Qur'an perlu direvisi karena sudah tidak lagi cocok dengan perkembangan zaman. Menurut saya sendiri, kritisisme dan otokritik yang diucapkan oleh Prof. Qashim adalah pandangan rasionalisme dalam Islam yang patut diapresiasi. Karena jika tidak ada yang mulai menstimulan sebuah gerakan perubahan, maka selamanya Islam di Indonesia akan terjerumus pada kebodohan sistematis dan fanatisme sempit yang dibentuk.

Kritik-otokritik yang diucapkan oleh Prof. Qashim ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno. Di zaman dulu Presiden Soekarno ternyata lebih berani mengkritik dan mencemooh para ulama-ulama konservatif yang disebutnya sebagai Islam Sontoloyo. Pada buku "Di Bawah Bendera Revolusi" Jilid Pertama Bung Karno pernah berkata, bahwa sejak studi Islam hanya sebatas dijadikan pelajaran Fiqh, maka garis kejayaan itu menjadi membelok ke bawah. Menjadi garis yang menurun. Disitulah lantas Islam membeku menjadi satu sistem formal belaka. Menurut Soekarno Islam telah kehilangan sumber tenaga utama yang menghidupkannya, Islam telah melenyapkan jiwa-jiwa revolusioner, Islam telah kehilangan keberaniannya seperti Harimau. Bung Karno mengibaratkan bahwa Islam hari ini seperti kendaraan yang tiada lagi punya kuda, tiada lagi punya kusir. Ia tidak berani bergerak lagi, ia mandeq (stagnan) bersama kebodohan yang sengaja dipelihara ulama dan umatnya. Fiqh bukan lagi menjadi petunjuk dan pembatas hidup, Fiqh kini kadang-kadang menjadi dasar penghalalnya perbuatan-perbuatan kaum Islam Sontoloyo, halal bagi ulama yang mau main kucing-kucingan dengan Tuhan atau halalnya orang yang mau mengelabui mata Tuhan. Jelaslah apa yang dikatakan Bung Karno bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini bukan lagi menjadi agama pemimpin hidup, tetapi agama "pokrol-bambu" (kiasan buat orang-orang yang suka berdebat tanpa dasar, keras kepala, tidak mau mengalah, dan selalu merasa paling benar).

Melalui ungkapannya yang penuh sarkasme tersebut, Bung Karno memang terkesan tendensius menyerang paham dan praktik keagamaan yang dianggapnya jumud (beku) dan irasional. Pemikiran demikian beliau berawal ketika berada di tempat pembuangannya di Bengkulu setelah diasingkan Belanda ke Ende, Flores selama beberapa tahun. Pada saat itu Bung Karno berang ketika membaca berita seorang ustadz memperkosa seorang muridnya yang masih gadis belia dengan didasari dalil-dalil agama dan iming-iming surga yang ditulis oleh surat kabar Pemandangan (6 April 1940). Inilah yang menstimulan Bung Karno mulai mengkritik dengan lantang bahwa Islam yang tidak rasional adalah "Islam Sontoloyo" (Islam yang konyol, tidak beres dan bodoh).

Selama masih dalam pembuangannya di Ende, Bung Karno seringkali berdiskusi lewat korespondensi surat-menyurat dengan Ustadz A. Hassan, pemimpin PERSIS (Persatuan Islam) di Bandung kala itu. Namun, sekembalinya Bung Karno dari pengasingannya itu, ia kemudian semakin aktif menulis artikel di media massa pada sekitar tahun 1940an. Bung Karno menulis banyak hal. Kebanyakan yang dibicarakannya tentang bagaimana mengoperasi Islam dari bisul-bisulnya, bagaimana memerdekakan alam pikiran dari kejumudan, taklidisme buta dan hadramautisme dari sikap dan praktik yang mengkambinghitamkan kelompok lain, kolot bin kolot (konservatifisme), para ulama mesum dari lingkungan pesantren, atau basis-basis studi dimana Islam berusaha dikembangkan. Baginya Islam adalah kemajuan, jadi Islam harus berani melakukan kritik-otokritik. Implikasi dari kemajuan berarti Islam harus terus menerus ditafsir ulang (reinterpretasi) dari zaman ke zaman, supaya tetap up to date. Dalam kata-katanya sendiri, Bung Karno ingin menangkap Islam sebagai "Api" bukan sebagai "Abu", seperti Islam Sontoloyo.

Tapi kini realitasnya umat muslim jauh berbeda dari apa yang diimpikan oleh Bung Karno. Islam progresif justru tumbuh di Iran. Di sini, di negeri yang katanya berPancasila, orang islamnya lebih mementingkan irasionalitas kehidupan abadi dibandingkan kehidupan di dunia yang dianggapnya cuma sementara. Ketika berbicara sains, mainstream Islam di Indonesia bukan berpikir secara logis, tetapi malah "Cocologis" (Sindiran bagi orang-orang agama yang percaya bahwa kitab sucinya mengandung kebenaran ilmiah dengan mencocok-cocokannya dengan kebenaran sains, ataupun cerita-cerita konspirasi mengerikan yang dibumbu-bumbui oleh tafsiran ayat suci, contohnya pemikiran-pemikiran Harun Yahya dan Zakir Naik). Dan parahnya lagi doktrin-doktrin pembodohan yang dibawa Harun Yahya dan Zakir Naik itu benar-benar dipercaya sebagai kebenaran ilmiah. Inilah pola pikir fatalistis umat Islam mainstream di Indonesia, tidak berani menghadapi realitas, terus menyerah kepada kepasrahan dan terjebak pada manipulasi mitos-mitos yang dogmanya dibawa oleh para ulama.

Entah sampai kapan umat muslim di Indonesia akan terus menerus tereduksi hanya pada persoalan teologi, terjebak pada ritual semata, dan selalu menafikan realitas objektif sains dan ilmu pengetahuan atas dasar argumentasi yang tidak berdasar. Agama sudah sepatutnya menjadi alat pembebasan bagi umatnya, dari penindasan dan diskriminasi moral religius. Bukan melulu jadi alat politik kekuasaan status quo dan alat penyebar kebohongan dan kebodohan. Agama harus menjadi mercusuar zaman yang menerangi samudera luas ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat Islam di Indonesia harus segera bangkit, belajar untuk naik ke level selanjutnya. Semesta alam, dunia dan sejarah terus berjalan, tidak ada yang mampu menghentikannya. Jika kalian percaya hanya pada nilai-nilai spiritualisme agama, maka sudah seharusnya spiritualisme itu harus diimbangi dengan sikap kritis dan rasional. Karena bersikap kritis dan rasional adalah cermin kemerdekaan berpikir dengan realitas. Sebab manusia yang terus menerus bersembunyi dari realitas, maka sesungguhnya ia telah mati menjadi manusia. Manusia dengan atau tanpa agama bisa tetap hidup dan bernafas, sedangkan agama tanpa manusia dan ilmu pengetahuan hanyalah tinggal tulang belulang sejarah.

Rio Maesa 03-08-2012