Sabtu, 12 Mei 2012

12 MEI, SEBUAH REFLEKSI SEJARAH, SEREMONIAL PERGERAKAN DAN PENDIDIKAN

Bermula di Jekyll Island, tahun 1987. Puluhan bankir Internasional dari berbagai negara berkumpul. Tidak sembarangan bankir bisa masuk. Hanya undangan yang teramat khusus bagi bankir-bankir yang terpilih. Selain mengucapkan selamat atas terpilihnya Allan Greenspan, yang di tunjuk oleh Presiden George Bush "Senior" untuk memimpin Bank Central AS (The Federal Reserve, yang biasa disebut "The Fed") para bankir ini juga membahas sebuah rencana seram berbau konspirasi internasional bertema penghancuran ekonomi Asia Tenggara.

Dalam dua dasawarsa terakhir, Asia Tenggara dianggap tumbuh menjadi suatu ancaman bagi dominasi ekonomi negara-negara barat, terutama Garda terdepan Kapitalisme dunia, yaitu Amerika Serikat. Konsep "The Bail-Out Games" atau permainan menalangi kembali mengemuka dalam pembicaraan. Edward Griffin, penulis buku "The Creature From Jekyll Island" seorang penulis dan produser film dokumenter dengan banyak gelar atas reputasinya di Amerika pernah menulis, "Pertemuan rahasia di Jekyll Island, Georgia, di mana Federal Reserve didirikan adalah untuk melahirkan sebuah kartel perbankan guna melindungi anggota-anggotanya dari persaingan bisnis, dan mengubah strategi untuk meyakinkan Kongres Amerika dan masyarakat umum bahwa kartel ini adalah lembaga keuangan pemerintahan Amerika. Permainan yang akan dilakukan bernama "Bail Out" (menalangi) ibarat dalam sebuah panggung sandiwara, inilah strategi untuk memaparkan bagaimana pembayar pajak (rakyat) yang menalangi apabila suatu bank dikemudia hari mengalami kebangkrutan (likuiditas)." Tidak perlu menunggu waktu yang lama skenario ini menjadi kenyataan 10 tahun kemudian. Sejak dihantam krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia lewat skema yang ditawarkan IMF ikut serta dalam permainan berbahaya ini. Sayangnya Indonesia bukan berperan sebagai dalang, tetapi sebagai korban terburuk dan terbodoh.

Setelah pertemuan rahasia tersebut, akhir tahun 80an John Naisbitt, seorang penulis dan ekonom Amerika, menerbitkan buku "The Miracle of Asia" (Keajaiban Asia) serta "Millenium Ketiga Milik Asia". Pada medio 90an buku tersebut dicetak besar-besaran dengan promosi yang juga raksasa, bagai air bah membanjiri pasar Asia, termasuk Indonesia tentunya. Banyak media massa memuat rilis buku ini. Berbagai diskusi ilmiah dan seminar merebak dimana-mana membahas kajian buku tersebut. John Naisbitt dan Istrinya, Heidi diwawancara oleh berbagai macam media. Kehidupannya bagaikan artis yang sedang naik daun. Ramalan Naisbitt oleh tokoh-tokoh dan ekonom Asia diyakini kebenarannya tanpa timbal balik. Dada pemimpin Asia menjadi sesak sarat kebanggaan. Euporia semua melanda dan "Inilah saatnya kami memimpin dunia", demikian mungkin pikir pengusaha-pengusaha Asia.

Komunitas Internasional mungkin sedikit yang berpikir bahwa Naisbitt, demikian pula Samuel Huntington, George Soros, Paul Wolfowitz dan intelektual lainnya dikemudian hari, sesungguhnya merupakan satu teamwork dari kekuatan Globalis yang tertutup kabut, yang secara sistematis merencanakan "The Unity of The World New Order". Akibat suatu kampanye terselubung yang sistematis dan sangat rapi seperti itu, yang sengaja menaikan derajat para pemimpin Asia dan para pengusaha-pengusahanya, maka dengan begitu yakin mereka segera membangun negara dan perusahaannya menjadi lebih besar dari apa yang sebenarnya dibutuhkan. Lantas darimana uangnya?

Awal tahun 1990, setelah tumbangnya rezim Komunis di Soviet, kemudian diprovokasi lagi oleh propaganda Francis Fukuyama dalam tesisnya "The End of History and The Last Man" pada tahun 1992 yang menyatakan bahwa Kapitalisme Liberal adalah akhir dari sejarah zaman, maka lembaga keuangan kapitalis dunia mulai melebarkan sayap dengan menawarkan hutang dalam jumlah yang sangat besar dengan persyaratan yang amat lunak. Para pemimpin dan pengusaha Asia yang sudah merasa sangat besar hati berbondong-bondong memanfaatkan tawaran yang sangat menarik ini dan berhutang dalam besaran angka yang sangat fantastis, tanpa menyadari bahwa hutang tersebut sesungguhnya berjangka pendek dan berbunga tinggi. Rasionalitas mereka telah hilang, dikubur oleh analisa Fukuyama dan Naisbitt yang secara meyakinkan menulis bahwa abad 21 merupakan abadnya kebangkitan Asia.

Tepat di awal tahun 1997, spekulan dan konglomerat dunia George Soros tiba-tiba memborong semua mata uang dollar Amerika dari seluruh pasar uang di Asia, terutama di Asia Timur dan Tenggara. Karena disedot oleh Soros, maka persediaan dollar Amerika sebagai mata uang perdagangan internasional di kawasan tersebut ludes. Dengan sendirinya nilai tukar dollar membumbung tinggi ketingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah moneter dunia. Padahal belakangan diketahui bahwa tahun 1997 itu merupakan tahun jatuh tempo pembayaran hutang. Para pengusaha Asia yang sudah terlanjur meminjam hutang pada lembaga keuangan internasional harus membayar hutang beserta bunga yang sangat tinggi pada saat itu juga. Akibatnya sangat mengerikan, 100% perusahaan-perusahaan pengutang di Asia Tenggara yang paling parah Indonesia ambruk tanpa sempat sekarat sedikitpun. PHK massal meledak dimana-mana. Jutaan rakyat tak berdosa jatuh kedalam lembah kemiskinan yang tak terperikan. Harga-harga membumbung teramat tinggi. Jutaan anak bayi tak lagi minum susu, air susu sang ibu mengering karena tidak makan, sedangkan susu kalengan harganya tak terjangkau. The Lost Generation dipastikan melanda Asia Tenggara.

Di Indonesia, rezim yang berkuasa saat itu adalah rezim Junta Militer Orde Baru (Orba), yang sudah 32 tahun berkuasa sejak tahun 1966. Ketika krisis moneter berlangsung, terjadi pergerakan mahasiswa yang mewakili sebagian besar rakyat Indonesia yang sudah muak dan bosan dengan keadaan status quo saat itu. Otoritarianisme yang dijalankan Soeharto akhirnya menemukan jalan akhir. Tepat pada tanggal 12 Mei 1998, terjadi tragedi berdarah yang akan tercatat sebagai sebuah catatan kelam dalam sejarah Republik Indonesia.

Hari ini tepat 12 Mei, 14 tahun setelah tragedi berdarah itu, Indonesia memperingati peristiwa besar yang merubah sistem ketatanegaraan, paradigma politik dan demokrasi di Indonesia. Sebuah tragedi dimana perjuangan darah para mahasiswa revolusioner yang menuntut reformasi sistem pada tahun 1998 berujung pada kesia-siaan. Momentum pergolakan reformasi telah dicuri oleh para penumpang gelap reformasi. Mereka-mereka yang dahulu mengaku-ngaku sebagai kelompok reformis ternyata tidak lebih dari sekelompok penumpang gelap yang mencuri darah perjuangan mahasiswa dan rakyat. Faktanya sangat jelas, masa transisi setelah tumbangnya rezim Orba yang digantikan dengan era reformasi tidak bisa memberikan jawaban atas kesejahteraan rakyat secara fundamental. Terbukanya pintu demokrasi seluas-luasnya yang selama ini terbelenggu oleh Tirani Militerisme justru menjadi boomerang menuju kehancuran dan kemiskinan bagi bangsa ini.

Dimana perjuangan yang sesunguhnya?. Banyak yang tidak mengetahui keadaan krisis moneter yang berujung pada tragedi 1998 itu seperti apa sesungguhnya dilapangan. Pada masa itu, aksi/demonstrasi yang terjadi adalah suatu trend yang berkembang dikalangan mahasiswa sengaja dikembangkan oleh orang-orang yang tidak menyukai represifnya rezim Orba. Krisis moneter dijadikan momentum yang pas bagi tokoh-tokoh reformasi yang saat ini banyak menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan saat ini dan pemerintahan sebelumnya pasca reformasi. Lemparan celana dalam yang dilakukan oleh mahasiswa kampus lain (*berbagai sumber yang pernah saya himpun mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan oleh FORKOT-Forum Kota) dihalaman kantor SMUT (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) sekarang bernama KEPRESMA (Kepresidenan Mahasiswa Masyarakat Mahasiswa Universitas Trisakti). Hal tersebut dilakukan sebagai ajakan untuk menstimulan mahasiswa Trisakti bergabung dan ikut dalam solidaritas perjuangan pergerakan mahasiswa, hal tersebut merupakan awal bergeraknya mahasiswa Trisakti. Seorang aktivis senior FORKOT yang tidak perlu saya sebutkan namanya disini pernah berdiskusi pada saya, bahwa lemparan celana dalam tersebut adalah sebuah "kesengajaan yang dibuat".

Pada saat itu bukan lagi rahasia umum bahwa Universitas Trisakti adalah kampus yang dipenuhi oleh anak-anak dari orang-orang penting yang banyak duduk di kursi pemerintahan dan pejabat-pejabat strategis Orba. Pada saat itu Trisakti juga terkenal merupakan kampus sarang narkoba di jakarta, bahkan sangat sedikit mahasiswa Trisakti yang larut dalam pergerakan-pergerakan. Selama media 1997-1998 aksi/demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa aktifis kampus-kampus dari universitas lain justru lebih sporadis tetapi dapat diredam oleh militer dan tidak terblow up di media massa, karena kita ketahui semua bahwa media massa saat itu benar-benar terkooptasi habis oleh kekuasaan Orba. Disinilah benang merahnya, sebuah agenda setting yang sistematis dibuat oleh para penumpang gelap reformasi yang berkepentingan untuk menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya.

Pada masa-masa tersebut, mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran kegedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Trisakti yang akhirnya memutuskan untuk ikut bergabung dengan himpunan massa rakyat. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade Polri-Militer (ABRI) yang datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panih dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras Grogol. Akhirnya diketahui bahwa ada 4 korban mahasiswa yang tewas dalam tragedi berdarah saat itu, Elang Surya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto.

Naif dan Ironi, yah mungkin kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan mahasiswa-mahasiswa yang tewas saat itu. Saya mengetahui dari berbagai sumber dan para pelaku lapangan pada saat itu, sesungguhnya dari 5000an mahasiswa Trisakti yang turun melakukan aksi, hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa berpikir dan mengerti politik. Sisanya adalah mereka-mereka yang tidak tahu dan mengerti apa maksud dari aksi saat itu. Bahkan saat itu muncul propaganda umum dikalangan mahasiswa bahwa "Kalo ga demo ga keren". Seandainya mereka benar-benar mengerti konstelasi politik saat itu sudah seharusnya mereka meninggalkan minimal pemikiran-pemikiran yang mereka tuangkan dalam tulisan atau secara lisan. Tapi saya kira tidak ada, karena saya sendiri telah mencari berbagai data dan hasilnya nihil. Apakah orang-orang seperti itu layak jika kita sebut pahlawan?. Bagi saya pribadi, mereka lebih tepat disebut sebagai korban yang tidak diinginkan (Collateral Damage). Korban dari jatuhnya sebuah rezim berkuasa, seperti kematian para jenderal-jenderal yang dilanjutkan oleh kurang lebih 3 jutaan simpatisan PKI yang sengaja dikorbankan untuk menjatuhkan rezim Soekarno yang pernah berkuasa sebelum tragedi 1965. Penunggangan gerakan mahasiswa 1998 saat itu memang jelas sekali terlihat, terbukti satu hari setelah tragedi tersebut tokoh-tokoh reformasi hadir bergantian di depan gedung Syarif Thajeb kampus Universitas Trisakti untuk berorasi dan menyampaikan belasungkawanya. Padahal itu semua hanyalah Retorika kosong dari politisi-poltisi busuk yang ingin berebut kekuasaan dan mendukung penuh penjatuhan Soeharto yang dikemudian hari mereka bersama-sama membagi kekuasaan-kekuasaannya untuk kepentingan partai dan kelompok-kelompoknya saja. Masa transisi demokrasi Indonesia telah dibajak oleh para penumpang gelap. Darah mahasiswa menjadi sia-sia.

Sekarang Universitas Trisakti dicatat dalam sejarah bangsa sebagai "Kampus Reformasi." Saya ingin tertawa lantang apabila mendengar istilah itu disematkan kepada Universitas Trisakti, saya cukup prihatin dengan 4 mahasiswa korban mei 1998 yang selalu dieksploitasi setiap tanggal 12 Mei. Aksi demonstrasi selalu diadakan layaknya acara seremonial. Penunggangan mahasiswa baru oleh senior-senior dari Ormawa Trisakti yang dipaksa terlibat dalam aksi ke DPR, Istana Negara dan Jaksa Agung sudah seperti rutinitas hiburan tahunan. Padahal sesungguhnya mayoritas dari mahasiswa yang turun kejalan itu tidak pernah mengerti esensi dari 12 Mei itu apa dan mengapa. Bagi Universitas Trisakti sendiri, istilah penyebutan "Kampus Reformasi" merupakan sebuah anugerah, karena hal tersebut akan menambah ketenaran kampus dan citra yang positif bagi orang tua yang ingin menguliahkan anaknya di Universitas Trisakti.

                                               **************************************************************************
Agenda reformasi 1998 sesungguhnya belumlah tuntas, bahkan bisa dikatakan telah gagal, dikatakan gagal karena saat ini reformasi hanya melahirkan neoliberalisme yang tak terperikan, bahkan mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya pun belum diadili atas berbagai kejahatan kemanusiaan dan korupsi sistematis yang pernah dilakukannya hingga ajal menjemputnya. Hukum masih menjadi mainan konspirasi elit politik pragmatis, orang miskin masih dilarang sakit, sedangkan pendidikan masih menjadi menara gading yang memisahkan jurang antara si kaya dan si miskin. Kekerasan atas nama agama, dan maraknya organisasi massa fundamentalis (pengganti pam swakarsa) yang berorientasi pada kekerasan justru berkembang sangat pesat. Paradigma penguasa korup pada masa-masa Orba hingga kini masih saja melekat bahkan kemudian malah dilanjutkan oleh para penguasa era reformasi dalam berbagai bentuk feodalisme. Status quo feodalisme yang seharusnya menjadi "Enemy of The State-nya" demokrasi justru di era reformasi ini malah bertambah subur. Dalam sistem Pemilu, era reformasi saat ini hanya melahirkan demokrasi elektoral bernuansa elitisme yang bermuara pada kekuatan modal untuk dapat berkuasa. Dan yang terparah adalah mereka-mereka yang dahulu diduga harus bertanggung jawab atas tragedi 1998 justru masih berambisi untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Ini adalah sebuah ironi pahit dari sebuah negara yang sedang melakukan transisi belajar demokrasi.

Perubahan fundamental tidak akan tercapai jika salah satu solusi pencerdasan bangsa yaitu sistem pendidikan masih dicengkeram oleh kapitalisme dan komersialisasi. Pendidikan merupakan katalisator kemajuan bangsa. Terkait dengan hal ini, maka kapitalisme dan komersialisasi dunia pendidikan harus dihapuskan. Paradigma pendidikan atas orientasi hasil harus dirubah orientasinya pada bagaimana proses dari pendidikan itu sendiri, pendidikan pun harus sekuler dan berorientasi saintifik, ini adalah suatu solusi untuk menciptakan generasi rasional agar mampu bersaing dengan kekuatan global. Sehingga pendidikan tidak hanya sebagai sebuah media transfer ilmu pengetahuan, tetapi sebagai sebuah revitalisasi sikap dan tempat persemaian gagasan-gagasan baru.

Komersialisasi yang menggerogoti sistem pendidikan hari ini hanya akan melahirkan intelektual-intelektual yang menghamba dan sukarela menyediakan tenaga-tenaga barunya sebagai bagian dari kekuatan pasar. Jika tidak segera dirubah, maka tidak ada harapan lagi munculnya intelektual progresif dari bangku-bangku formal sekolah. Lembaga pendidikan hari ini telah gagal untuk menyediakan kurikulum yang mampu menyentuh persoalan-persoalan dasar kemanusiaan dan kerakyatan, belum mampu memecahkan persoalan nyata yang berkembang secara objektif dimasyarakat. Dampak riil dari sistem pendidikan seperti ini terbukti hanya berhasil dalam melatih sikap penakut, kompromis, hedonis, apatis dan gila akan kemapanan. Racun dalam dunia pendidikan seperti ini harus ditumpas melalui berbagai pergerakan progresif. Himpunan massa rakyat dan mahasiswa pergerakan independen yang sadar akan struktur dan batas-natas intuisi kekuasaan harus menjadi agen untuk melakukan pergerakan nyata. Mengeliminasi kultur seperti ini merupakan mandat utama dari pergerakan. Mandat untuk mengambil sikap, kepedulian dan keberpihakan yang lebih revolusioner. Pergerakan massa rakyat, intelektual dan mahasiswa yang independen dibutuhkan, bukan pergerakan dari organisasi-organisasi underbow partai politik elit pragmatis yang sok-sok an bersikap radikal dan revolusioner.

Belum ada satupun rezim pemerintahan pasca reformasi yang sepertinya mempunyai political will untuk menyelesaikan tragedi kelam 12 Mei 1998. Sejarah adalah sebuah cerminan hebat suatu bangsa besar, dan bangsa kita hingga saat ini belum bisa menjadi bangsa yang besar karena selalu bersembunyi dibalik kotak pandora hitam sejarah busuk negeri ini.

*Rio Maesa, sebuah renungan 12 Mei 2012