Jumat, 22 Agustus 2014

MEMAHAMI PETA KONFLIK ISRAEL-PALESTINE DARI PERSPEKTIF IMPERIALISME

Membaca persoalan Israel-Palestina sudah seharusnya dilihat dari level yang lebih tinggi, yaitu perspektif imperialisme dan kolonialisme barat di Timur-Tengah. Konflik ini bukanlah persoalan kebencian anti-yahudi atau anti-semit seperti yang biasa didengungkan oleh para fundamentalis Islam dan kaum utopis penegak khilafah-syariah, bukan juga persoalan kebencian terhadap terorisme (Islam) Palestina yang dilihat dari kacamata kaum liberal atau para islamophobic.

Zionisme adalah ideologi yang dicetuskan Theodore Herzl pada tahun 1897 yang bertujuan untuk mengembalikan semua bangsa yahudi yang terdiaspora diseluruh dunia kedalam suatu wilayah yang diperjanjikan Tuhan yaitu Palestina. Zionisme adalah wujud dari nasionalisme bangsa yahudi yang selama berabad-abad memiliki sejarah penderitaan dan penindasan. Menurut David Finkel Zionisme adalah ideologi yang tidak biasa, karena mengusulkan pendirian suatu negara-negara bukan ditempat tinggal orang yang akan dibebaskannya, tapi memindahkan mereka secara besar-besaran ke tempat yang berbeda (Palestina), di mana tradisi relijius Yahudi bermula, tapi faktanya hanya sedikit kaum Yahudi yang bertempat tinggal di situ selama lebih dari 1500 tahun.

Ada sebuah klaim kondang yang disuarakan oleh pendukung Zionisme bahwasannya "Zionisme merupakan sebuah gerakan pembebasan nasional bangsa yahudi." Makna yang dikehendaki dari ini adalah: "Bila kau menentang Zionisme, maka kau tidak menghargai sejarah penderitaan dan harga diri Yahudi, maka kau berpihak pada "penghancuran Israel" dan kau adalah seorang anti-semit. Propaganda ini dibangun di negara Amerika dan barat, sehingga sekeras apapun kritik terhadap eksistensi Israel, meskipun itu datang dari orang Yahudi sekalipun, maka stigma rasialis anti semit akan melekat. Yahudi revolusioner seperti Noam Chomsky, Ilan Pappe dan banyak lainnya telah merasakan stigma itu. Pada awalnya hanya sekitar 15% kaum yahudi yang mendukung ide Zionisme, sisanya mengatakan bahwa Zionisme adalah utopia, karena jika dipaksakan akan terjadi benturan budaya dan perebutan ekonomi atas wilayah yang akan direbut. 

Zionisme sesungguhnya adalah proyek rasialis imperialisme barat yang semenjak berdirinya tak pernah berhenti mendapat sokongan dana besar dari negara-negara imperialis dan para pemilik modal penguasa ekonomi dunia yang mendukung gerakan Zionisme. Ideologi zionisme dibutuhkan eksistensinya sebagai tumor peradaban dalam upayanya untuk menjaga konflik di Timur Tengah agar mempermudah barat untuk menguasai struktur kapital atas Sumber Daya Alam di wilayah regional.

Ketika pertama kali mulai imigrasi gelombang pertama, hunian Zionis di Palestina sangat menguntungkan imperialisme Inggris dalam periode Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Administrasi kolonial Inggris yang biasa disebut "Mandat" telah memberikan keuntungan ekonomi yang substansial dan perlindungan militer kepada Yishuf (Komunitas Hunian Yahudi). Gerakan Zionis ini pada tahun 1940an juga sangat lihai dalam mempromosikan diri mereka kepada kekuasaan imperialisme barat yang sedang bangkit, yaitu Amerika Serikat, sebagai sekutu untuk mengontrol penuh wilayah Timur Tengah yang strategis.

Gerakan Zionisme di Palestina sangat terorganisir dan strategis dalam perencanaannya, sementara penduduk Palestina tidak terorganisir dengan baik, dipimpin dengan buruk dan didominasi oleh tuan-tuan tanah feodal, seringkali tidak bertempat tinggal di tanah miliknya (absentee) dan menjual tanahnya kepada hunian Zionis tanpa sepengetahuan para pengolah lahan dan kaum tani. Pada akhirnya yang menjadi unsur utama dalam mega proyek pembangunan ideologi Zionisme adalah keberhasilan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai faktor krusial dalam pembentukan identitas dari sebuah bangsa baru.

KONFLIK YANG TERPELIHARA

Konflik sengaja dipelihara dengan mengambil landasan dasar mitos historis kitab suci dan berusaha terus mengangkat isu kebencian lahiriah (inaate conflict) antara Islam vs Yahudi bersama Kristen Konservatif (kaum injili evangelikal). Sokongan media barat yang dikuasai oleh para pemilik modal pro Zionisme pun tidak henti-hentinya membangun opini pembenaran bahwa genocide atas Palestina adalah tindakan self-defence yang wajar, serta pejuang resistensi kemerdekaan di Palestina akan terus mendapat stigma sebagai kumpulan terorisme.

Dalam sejarah terbentuknya PBB, kira-kira ada 60-an lebih resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB untuk menghukum Israel. Namun tidak satupun Israel tunduk atas ketentuan-ketentuan itu, coba kita bandingkan dengan Iraq yang melanggar 2 resolusi Dewan Keamanan namun dihantam invasi dan dihancurkan negaranya dengan justifikasi yang tak berdasar. Karena apa? Iraq berani melawan imperialisme barat. Sekarang target penghancuran ditujukan kepada Suriah yang terkenal sebagai negara anti-imperialisme bersama-sama dengan poros Iran. Stabilitas suriah sedang dihancurleburkan oleh organisasi teror ISIS yang dikonfirmasi oleh Edward Snowden (manusia no. 1 paling diburu amerika) adalah bentukan Israel dan Barat. Karena krisis ekonomi yang terjadi di barat memaksa mereka harus memainkan proxy war di Suriah tanpa perlu mengotori langsung tangannya dengan darah.

Kenyataannya negara-negara yang cenderung berhaluan kiri adalah negara yang paling resist menentang politik ekspansionisme Israel ketimbang negara-negara muslim yang tergabung dalam Liga Arab. Bahkan organisasi dan gerakan-gerakan anti-imperialisme di negara-negara barat sendiri menentang keras penjajahan Israel di tanah Palestina. Jadi konflik Israel-Palestina itu bukanlah konflik agama, namun konflik perebutan atas sumber-sumber kekuasaan atas perebutan Sumber Daya Alam yang menjadi sumber kapital penyokong imperialisme barat.

Rio Maesa

Kamis, 14 Agustus 2014

ALASAN-ALASAN MENGAPA HUKUMAN MATI HARUS DIHAPUSKAN!

source pic: nobody corp intl.
"...Mengapa kita membunuh orang yang membunuh untuk mengatakan bahwa membunuh itu salah...?"

Mengapa hukuman mati harus dihapuskan dalam setiap aturan hukum di seluruh muka bumi, jawabnya sederhana sebab "Hak Hidup" adalah hak asasi paling fundamental yang dimiliki oleh setiap manusia. Hukuman mati memiliki terlalu banyak kecacatan hukum dalam pengaplikasiannya. Saya akan menuliskan beberapa argumentasi atas dasar logika hukum sebagai penjelasan bahwa hukuman mati itu adalah hukuman yang tidak lagi feasibel diterapkan pada zaman di mana etika kemanusiaan menjadi dasar filosofi untuk meninggikan harkat derajat martabat kemanusiaan di dalam kemajuan peradaban. 

Pertama, sebagai alasan paling sederhana, hukuman mati itu bikinan negara, dan nyawa bukan ciptaan negara. 

Kedua mengapa kita wajib menentang hukuman mati? Hukuman mati dalam semua kasus tanpa memandang sifat kejahatannya, karakteristik pelaku, atau metode yang digunakan oleh negara untuk membunuh narapidana merupakan penyangkalan utama terhadap hak-hak asasi manusia. Ini merupakan tindakan negara yang direncanakan dan berdarah dingin untuk membunuh seorang manusia atas nama keadilan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup, hak utama sebagai syarat fundamental kemanusiaan. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan berbagai standar internasional hak-hak manusia. Ini adalah bentuk penghukuman yang paling kejam tidak manusiawi dan merendahkan harkat martabat manusia. Tidak akan pernah ada pembenaran untuk penyiksaan atau perlakuan kejam. Seperti penyiksaan, eksekusi mati merupakan serangan fisik dan mental yang sangat ekstrem terhadap individu. Rasa sakit fisik yang disebabkan oleh tindakan membunuh seorang manusia tidak dapat diukur atau tidak dapat diduga penderitaan psikologisnya yang disebabkan oleh kematian di tangan negara ataupun institusi-institusi kekuasaan berbasis agama.

Ketiga, hukuman mati di banyak negara berwatak diskriminatif, dan sering digunakan secara tidak proporsional terhadap kaum miskin, minoritas dan anggota ras, komunitas etnis atau agama tertentu. Hal ini diberlakukan dan dilaksanakan secara sewenang-wenang. Bahkan upaya negara-negara peserta perjanjian Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (1966) untuk tetap mempertahankan hukuman mati bagi jenis-jenis “kejahatan terburuk" dan bagi pelaku pembunuhan massal, setiap tahunnya pasti mengarah pada inkonsistensi dan kesalahan. Kesalahan penghukuman tak terhindarkan. Kesalahan ini diperburuk dengan diskriminasi, pelanggaran penuntutan, dan sistem peradilan yang tidak memadai. Selama sistem keadilan manusia masih mungkin keliru, risiko mengeksekusi orang yang tidak bersalah tidak pernah dapat dihilangkan. Itulah alasan mengapa kita harus terus menuntut penghapusan hukuman mati tanpa syarat.

Untuk mengakhiri hukuman mati, kita harus mengakui bahwa itu adalah kebijakan publik yang merusak dan memecah-belah, yang tidak konsisten dengan nilai-nilai yang dianut khalayak. Hukuman mati tidak hanya beresiko mengandung kesalahan yang tidak dapat dibatalkan, juga menguras dana publik, serta biaya sosial dan psikologis. 
Hukuman Mati di China

Keempat, hukuman mati belum terbukti memiliki efek jera yang khusus. Hukuman mati menyangkal kemungkinan rehabilitasi pelaku dan menutup rekonsiliasinya dengan keluarga korban pembunuhan. Ketimbang terus menerus membenarkan penerapan hukuman mati, kesempatan bagi rehabilitasi dan rekonsiliasi lebih memajukan tanggapan sederhana dan strategi positif kita terhadap masalah-masalah manusia yang kompleks. 

Penerapan hukuman mati terhadap koruptor pun tidak ada korelasinya pada perbaikan sistem bahwa korupsi akan serta merta hilang. Patut dicatat, negara-negara dengan index korupsi terendah di dunia justru adalah negara-negara yang sejak lama telah menghapuskan hukuman mati. Jadi pernyataan bahwa korupsi akan hilang dengan adanya hukuman mati bagi para pelaku korupsi sebagai sebuah shock therapy adalah pernyataan apriori dan buta akan realitas hukum kemanusiaan dunia.

Kelima, hukuman mati memperpanjang penderitaan keluarga korban pembunuhan atau kejahatan, dan memperluas dampaknya bagi penderitaan orang-orang dan kerabat tahanan atau terhukum yang dieksekusi.  Hukuman mati mengalihkan sumber daya dan energi yang seharusnya lebih baik digunakan untuk bekerja melawan kejahatan, kekerasan dan membantu mereka yang terkena dampaknya. Hukuman mati merupakan mata rantai budaya kekerasan, bukan solusi terhadapnya. Hukuman mati merupakan penghinaan terhadap harkat manusia, dan karenanya harus dihapuskan.

Keenam, hukuman mati tidak reversible, yang artinya bila terhukum telah dieksekusi namun di kemudian hari ternyata ia terbukti tidak bersalah, bagaimana caranya mengembalikan nyawa yang terhukum mati?. Rasionalitas akhir hukuman mati bisa dilaksanakan apabila sang pelaksana hukum juga mampu menghidupkan orang yang telah mati.

Ketujuh, manusia bukan Tuhan sebagai sebuah premis yang berhak mencabut nyawa, dan Tuhan tidaklah bermain sebagai hakim dalam ranah hukum sipil di bumi manusia.

Melihat relevansi penerapan hukuman mati di Indonesia?

Pernah ada yang bertanya kepada saya jika terorisme berat (seperti kasus Amrozi cs) yang terstruktur bisa apakah juga bisa tetap diselesaikan dengan jalur rehabilitasi dan rekonsilasi, jika hukuman mati tersebut benar-benar dihapus?. Menurut saya itu jelas bisa, namun pertanyaannya kita kembalikan lagi, bahwasannya kita sama sekali belum pernah mengaplikasikan penghapusan hukuman mati secara eksplisit dalam hukum. Hukuman seumur hidup dan berada pada penjara dengan sistem keamanan khusus terhadap pelaku kejahatan-kejahatan berat seharusnya sudah cukup ampuh sebagai sebuah simbolisasi sejarah bahwa ada bukti hidup dimana pernah terjadi kejahatan berat yang terstruktur, tanpa perlu menghabisi nyawa seorang pelaku. 

Pemberlakuan hukuman mati yang masih berlaku di negeri ini sebenarnya sangat berkontribusi besar dalam menghambat proses diplomasi Indonesia untuk secara penuh mengupayakan pembebasan hukuman mati terhadap banyaknya warga negara terutama para buruh migran Indonesia yang terjerat ancaman hukuman mati di berbagai negara tempat di mana mereka bekerja. Bagaimana mungkin pemerintah kita bisa menjalankan secara penuh diplomasi untuk membebaskan para buruh migran yang terancam hukuman mati di negeri orang, jikalau di dalam negeri sendiri banyak warga negara Indonesia dan Asing yang di hukum mati, ini adalah suatu logika paradoks.

Maka tiada cara lain, atas nama humanisme universal, maka penghapusan hukuman mati harus menjadi kewajiban internasional bagi setiap negara berdaulat. Bahwasannya tidak ada satupun alasan logis yang dapat diterima dan dijadikan justifikasi terhadap pencabutan hak hidup seorang manusia, tak peduli atas nama agama, nasionalisme ataupun hukum positif itu sendiri.

Rio Maesa