Selasa, 23 Desember 2014

KETIKA YESUS BANGKIT KEMBALI

Adanya degradasi kepercayaan orang kepada Tuhan semakin tidak menentu, karena pada saat yang sama orang-orang juga mengabdi kepada pasar. Hal ini bisa dibuktikan pada saat hari raya besar agama. Di mall-mall atau toko-toko besar mereka mulai berlomba-lomba dengan menunjukan dirinya sebagai mall yang paling religius. Berbagai macam mall mendadak menjadi sebuah tempat yang paling kristiani. Seluruh toko dipajang ala agamawi, lagu-lagu religius mulai tersebar. Ini sebenarnya suatu penipuan terhadap umat. Hal yang religius menjadi profan dalam pemasaran, sebuah fenomena religionomic.

Suatu hari nanti, jikalau yesus bangkit kembali ke bumi, kemungkinan ia akan masygul berat melihat tingkah laku pengikutnya. Menjelang hari kelahirannya, kontemplasi diri atas peringatan kelahirannya hanya sebatas metafora seremonial dan yang terjadi adalah paradoksial, pesta mewah diadakan dimana-mana. Para pengikut terjebak pada nafsu material konsumerisme duniawi, dengan kalap membeli barang-barang yang serba baru. Berbanding terbalik dengan kelahiran sang juru selamat di kandang kambing, dengan pakaian buluk yang compang camping, sebagai simbolisme keberpihakannya pada kaum miskin yang tertindas.

Gereja-gereja dibangun sering kali hanya atas dasar syahwat pemujaan dan identitas kelompok. Gereja pun tak ubahnya seperti istana kaum borjuis, saling berlomba-lomba mencari dan menumpuk kekayaan materi demi seonggok kemewahan duniawi untuk sekedar memenuhi perayaan lahirnya sang juru selamat ditengah-tengah kaum miskin yang terlupakan oleh dunia fana yang kapitalistik.

Berapa banyak umat kristen yang sering merenungkan kata-kata yesus ini? 
"Runtuhkan bait allah ini dan dalam 3 hari aku akan membangunnya kembali"
Tubuh inilah gereja sejati, dunia inilah ladang ilahi. Bukan ladang agar umat lain jadi kristen atau setuju dengan dogma kristen, melainkan ladang dimana cinta kasih dan kemanusiaan ditabur, dibuahi, disemai dan dituai.

SELAMAT NATAL UNTUK SEMUA PENGIKUT YESUS YANG MERAYAKANNYA, DAMAI NATAL MENYERTAIMU!!

Rio Maesa






Selasa, 09 Desember 2014

AIRMATA PAPUA, ANTARA KONFLIK ISRAEL DAN PALESTINA



Kenapa orang Indonesia itu lebih heboh kalo mengurusi konflik Israel dan Palestine nun jauh disana ketimbang melihat konflik Indonesia-Papua. Jawabannya karena Israel-Palestina adalah konflik kedaulatan yang dibumbui oleh unsur sentimen agama. Disini agama dimainkan menjadi komoditi politik berupa bensin yang gampang membakar emosionalitas.

Namun coba kita lihat kasus Indonesia, yang terjadi adalah konflik pertentangan kelas (Ekonomi-Politik) antara kelas penguasa di Jawa yang menghisap dengan kelas penduduk lokal papua yang berusaha menuntut keadilan, kesetaraan dan melawan diskriminasi.

Namun apa reaksi mayoritas orang Indonesia menanggapi perilaku biadab pemerintahnya sendiri? tidak peduli, bahkan cenderung mengutuki perlawanan rakyat Papua dengan cap "separatisme". Disini bisa kita lihat dengan jelas sikap standar ganda rakyat Indonesia yang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan rakyat Israel. Membiarkan pembantaian terhadap sipil dilakukan oleh pemerintahnya sendiri atas nama nasionalisme. Bahkan masih lebih rasional Israel yang punya alasan melakukan penyerangan atas Palestina untuk melindungi rakyatnya dari serangan roket militan-militan Palestina, meskipun pada akhirnya meletus perang yang tidak proporsional. Sedangkan Indonesia? rakyat Papua tidak mengancam stabilitas keamanan Indonesia secara keseluruhan, hanya bersifat sporadis.

Bagaimana mungkin suatu bangsa tidak ingin merdeka jika Sumber Dayanya dikuras dan manusianya dimatikan seperti serangga yang divonis jadi hama?. Bahkan anjing saja tidak akan pernah mengigit Tuannya jika rajin diberi makan, sedangkan Pemerintah Indonesia sudah kenyang makan hasil bumi Papua berupa emas dan minyak, namun tetap saja membunuhi rakyat Papua.

Kelakuan pemerintah Indonesia terhadap Papua itu lebih nista ketimbang penjajahan yang dilakukan oleh Belanda di jaman dulu. Pada jaman dulu saja kegiatan organisasi kepemudaan yang memiliki tujuan resistensi terhadap pemerintah Hindia Belanda tidak dilarang di jaman pendudukan, namun hal tersebut tidak berlaku di tanah Papua hari ini. Ratusan ribu penduduk sipil Papua dibunuh dan hilang oleh militer Indonesia. Inilah alasan mengapa Negara, alat-alatnya dan rakyat Indonesia tidak pantas menuduh pihak-pihak asing jika rakyat Papua 99% menyatakan ingin melepaskan diri dari NKRI.

Ingatlah bahwa nasionalisme tidak akan pernah lahir dari perut yang lapar dan pemerintah yang abai.

Oleh: Rio Maesa,
10 Desember 2014