Selasa, 24 Desember 2013

RENUNGAN MALAM NATAL

Yudaisme, Kristen, dan Islam memiliki satu Tuhan yang sama dengan sebutan masing-masingnya yang berbeda, sebab ketiganya memiliki satu sumber kitab yang sama, satu keturunan yang sama, yaitu anak cucu Ibrahim. Menafikan persamaan tersebut menyebabkan masing-masingnya merasa bahwa kamilah bangsa/umat yang terpilih (oleh Allah) dengan jaminan ganjaran surga di alam setelah kematian.

Sikap ekslusif seperti ini yang biasanya menjadi akar persoalan bahwa ketiganya memang sulit untuk bisa duduk dan hidup bersama secara tulus dan berkonflik hingga ribuan tahun, bahkan terhadap masing-masing segala turunan aliran-aliran yang muncul dari kepercayaannya kemudian.

Umat beragama menjadi umat yang ahistoris. Menafsirkan kitab suci dan menjadikannya tidak lebih daripada puisi sejarah yang berpihak di satu sisi (baca: menganggungkan agamanya saja) bukan pada sisi kemanusiaannya secara universal. Terjebak dalam metaforanya masing-masing, terkunci dalam dogma kaku yang dibawa para pemuka agamanya terlepas dari konteks kesejarahan.

Sehingga bukan hal yang aneh apabila pada hari ini, umat beragama di negeri yang katanya beriman ini lebih suka mempergunjingkan permasalahan perbedaan iman sepasang artis yang mau menikah dan tak habisnya ribut tentang konsepsi halal-haram pengucapan selamat hari raya daripada memikirkan bagaimana menstimulan umat untuk menghasilkan buah-buah kebaikan itu sendiri bagi seluruh umat manusia.

Friksi ini akan terus berulang setiap waktu dan tahunnya. Sampai kapan? Ribuan tahun kemudian? atau akan berakhir ketika ketiga agama ini musnah ditelan zaman mengikuti politeisme dewa-dewi yunani yang pernah berkuasa didunia.

Sesungguhnya toleransi itu bagi umat hanya persoalan pembiaran tanpa ketulusan. Pembiaran yang menyimpan rasa ketidaksukaan, ketidakrelaan yang dapat menjadi bom waktu, dan setiap saat dapat disulut oleh siapa pun pihak yang berkepentingan.

Ada banyak bentuk keterikatan yang memayungi kita hingga kita berada dalam sebuah kebersamaan bersama individu berakal yang bernama manusia. Pada akhirnya logika kita yang akan menang mengalahkan sekutu-sekutu diangkasa dan sahabat imajiner yang selalu bersembunyi di balik awan kerahasiaan.

Teringat tulisan Pram dalam "Bukan Pasar Malam" yang berbunyi: "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang seperti dunia pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi, dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana...."


Oleh: Ping Setiadi feat. Oir Nikonian

Minggu, 15 Desember 2013

OPORTUNISME POLITIKUS


Sesungguhnya yang sekarang tampil ke permukaan terutama yang sering mengisi talkshow-talkshow di televisi tidak layak kita sebut politikus. Karena politikus itu dapat definisikan sebagai intelektual, pemikir dan pejuang yang memiliki visi yang jelas, misi utamanya membawa masyarakat ke lembah kemakmuran. Tetapi yang muncul dalam perdebatan-perdebatan umum hari ini tak lebih dari pada para tukang masturbasi yang lagi asik-asiknya ejakulasi waktu bicara soal politik, seolah-seolah apa yang dibicarakan itu sebagai kebenaran untuk rakyat, padahal murni hanyalah persoalan bagaimana memenuhi ambisi kekuasaan dan egosentrisme kelompoknya saja.

Mereka semua mungkin sekolah dan meraih gelar kesarjanaan yang tinggi, tetapi kecerdasannya tidak lebih dari seorang anak yang lagi berada pada masa-masa pubertas. Pandai mengurai dengan kata-kata tentang suatu persoalan tapi substansinya adalah kebohongan, pembodohan dan nafsu untuk kleptokrasi, bukan pencerahan politik yang dapat membuat pendengarnya merenung dalam-dalam dan berpikir akan suatu visi tentang kemajuan dan kesetaraan antar manusia.

Para homo sapiens yang duduk di Parlemen dan Pejabat di lingkungan kekuasaan negara ini jelas tidak akan punya otak untuk memahami kondisi objektif yang berkembang masyarakat, ia tidak akan merasa bersalah sebagai pelayan rakyat tapi menggunakan fasilitas yang terkesan membuat jarak dengan rakyatnya. Mengendarai mobil seharga  milyaran rupiah, sementara mayoritas rakyatnya mengais-ngais rezeki sebagai buruh dan kaum pekerja yang berjuang keras dibawah teriknya sinar mentari, dan segala semrawutnya sistem transportasi yang membuat rakyatnya harus terus menguras tenaga hanya untuk bertahan hidup dan menjalani rutinitas sehari-harinya yang membosankan.

Rasa bersalah itu letaknya di hati, ketika manusia belum sempurna proses kemanusiaan di dalam dirinya, janganlah kita menuntut terlalu banyak untuk berharap agar mereka dapat bersikap seperti layaknya manusia, layaknya politikus yang sungguh-sungguh terdefinisi sebagai pembawa kemakmuran bagi rakyatnya. 

Manusia hanyalah sampah semesta yang berada diantara milyaran galaksi jagad raya, hanya saja terkadang manusia dengan politiknya membuatnya menjadi makin rumit untuk menjalani kehidupan yang seharusnya damai dan berkecukupan. Jadi buat apa mengikuti PEMILU 2014 jika manusia-manusia yang akan terpilih nanti adalah kumpulan maling-maling berjas parlente. Selama kekuatan modal adalah muara dari oligarki kekuasaan yang kulturnya sudah mendarah daging di negeri ini, maka politik akan terus menerus menjadi tumor dalam sistem demokrasi elektoral yang berbau busuk dan konspiratif yang berlangsung saat ini. Pahami politik jangan buta terhadapnya, namun yang pasti berhentilah percaya pada politikus oportunis yang saat ini gencar bicara moral dan mengemis-ngemis demi perolehan suara.



16-12-13
Rio Maesa 




Senin, 19 Agustus 2013

LARANGAN KRITIK AGAMA ADALAH PEMBODOHAN POLITIK

Untuk memulai tulisan ini ada baiknya kita semua mengenal terlebih dahulu Istilah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) merujuk pada pengertian tentang berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tindakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.

SARA dapat digolongkan dalam tiga kategori:
Individual: merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam kategori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.

Institusional: Merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.

Kultural: merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.

Sebelumnya banyak teman-teman saya yang sering mempertanyakan kepada saya mengapa saya seringkali melakukan kritik yang berisikan satire maupun sarkasme tentang SARA maupun praktiknya dalam ruang media sosial. Pertama-tama yang patut diketahui secara umum adalah saya tidak pernah bicara soal SARA secara utuh (suku, etnis dan ras). Akan tetapi jika kritik terus menerus terhadap praktik "Agama" dan substansi ajaran yang menyimpang dari nilai-nilai universal kemanusiaan akan terus saya lakukan, mengapa demikian? sebab agama adalah "ide atau konsep" yang lahir dari hasil olah pikir manusia itu sendiri. 

Dalam ilmu filsafat dan kerangka negara demokrasi yang sehat, agama adalah suatu arena yang bebas untuk dikritik atau diperdebatkan jika tidak lagi sejalan dengan rasionalitas kemanusiaan yang bersifat kekinian, hal ini berbeda dengan suku, ras atau etnis yang sifatnya inheren (melekat) dalam tubuh manusia. Sampai kapanpun hal tersebut tidak boleh dikritik atau diperdebatkan, karena suku, ras atau etnis bersifat lahiriah, jadi memang sudah dari sananya sudah begitu, toh kita semua sebagai manusia yang mampu berpikir dengan akal sehat tidak akan pernah bisa memilih mau lahir dari suku apa, etnis atau ras apa, hal ini berbeda dengan agama, yang bisa kita gonta-ganti dan lepas seperti baju. Inilah premis awal kemanusiaan dan kebebasan dimana manusia punya hak dasar yaitu berkehendak bebas, maka kritik yang berisikan satire bahkan sarkasme terhadap agama yang tidak lagi sejalan dengan rasionalitas kemanusiaan bagi saya adalah keharusan intelektual. Itu jauh lebih baik daripada menggunakan kekerasan yang bukan bagian dari sikap intelektual.

Ada juga beberapa teman yang mempertanyakan apa tujuannya membahas dan memperdebatkan agama di media sosial?. Pertama-tama yang patut diingat, bebas berbicara adalah hak yang dijamin penuh dalam konstitusi maupun universalitas hukum HAM internasional. Tujuan bebas berbicara soal agama adalah agar orang-orang Indonesia tidak lagi tabu dan haram berbicara soal lintas agama. Sebab konsep dan nilai-nilai agama dalam sebagian besar pandangan bangsa indonesia seperti sudah menjadi nilai-nilai absolutisme yang kebenarannya tidak bisa diganggu gugat. Ketika kebenaran tersebut sudah dianggap mutlak dan ketika ajaran dalam agamanya dipaksakan untuk menjadi aturan hukum publik oleh pemerintah berkuasa, maka akan ada sekelompok manusia-manusia puritan dan fanatik dari salah satu agama tertentu (biasanya berasal dari kalangan mayoritas) yang akan melakukan pembenaran dengan kesewenang-wenangan, kekerasan, pembunuhan dan pemboman terhadap kelompok yang berbeda keyakinan (minoritas). Kelompok ekstremis inilah yang harus dilawan, tetapi ketika kita sadar bahwa kita tidak mempunyai kekuatan, dan juga sadar bahwa kelompok dari kalangan moderatnya lebih banyak yang masa bodo dan tidak peduli, maka satu-satunya cara adalah dengan menulis atau beragitasi di media sosial atau blog secara massif dan radikal, tujuannya biar semua orang minimal yang berteman dengan kita bisa baca. Mereka yang sadar akan kemanusiaannya pasti akan berempati, dan mungkin akan melakukan gerakan-gerakan kecil untuk merubah pandangan pribadinya dalam memandang perbedaan. Saya meyakini bahwa jika ingin melakukan perubahan maka perlawanan paling sulit adalah melawan apatisme (ketidakpedulian)

Kemudian beberapa teman disosial media ada pula yang mengatakan kepada saya apakah saya tidak takut dengan ancaman penjara? seperti aturan larangan SARA yang ada dalam UU ITE, KUHP dan PNPS 65.

Jujur saya sama sekali tidak pernah takut dengan ancaman-ancaman murahan seperti itu. Masyarakat kita memang sangat primordialis dan terbelenggu dalam sikap konservatisme dalam beragama, hingga terlalu sering memelihara akar sensitifitas, terlalu sensitif ketika disuguhkan isu-isu mendasar seperti keyakinan dan agama yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sikap-sikap primordialisme itu sendiri. Ketika ada sebagian besar orang seperti saya contohnya yang mengkritik agama, justru dianggap menstimulan kekerasan atas nama SARA, dituduh provokator, bukannya mendapat jawaban-jawaban dengan pikiran jernih dan kedewasaan intelektualitas. Sudah banyak kasus penghujatan terhadap agama berakhir pada hukuman penjara seperti kasus yang menimpa Alex Aan di Padang, Sumatera Barat. 
Padahal sesungguhnya larangan terhadap isu SARA hanyalah alat politik pembodohan, yang meminimalisir daya intelektualitas masyarakat kita. Pembodohan sistematis yang sengaja dipelihara oleh rezim penguasa, padahal di sisi yang lain penguasa sendiri suka memainkan isu SARA melalui ormas-ormas radikal yang memang sengaja dipelihara oleh kekuasaan status quo untuk mengalihkan kesadaran masyarakat dari persoalan yang menyangkut hajat hidup masyarakat secara langsung yaitu persoalan ekonomi-politik.

Di negara yang demokrasinya sehat dan peradabannya maju, bicara lintas agama sudah menjadi kebiasaan, makanya peradabannya sehat sehingga aspek-aspek kemanusiaan dan kebebasan menjadi instrumen nilai yang harus dihormati setinggi langit. Hal ini tidak seperti yang terjadi di Indonesia, dimana rasa sensitifitas masyarakat begitu kuat dipelihara, jadi jangan kaget jika banyak kekerasan berlatar belakang isu primordialisme dan agama yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas. Jika ada hukum di Indonesia seperti Pasal 156a KUHP dan PNPS 65 tentang Penyalahgunaan Penodaan Agama yang melegitimasi pemberian hukuman terhadap suatu subjek hukum personal, maka sesungguhnya hukum itu adalah hukum yang absurd. Hukum yang berusaha menghukum keyakinan seorang warga negara yang tidak diatur dalam kaidah-kaidah hukum positif adalah cacat-secacat-cacatnya hukum. Sejarah sudah bijak mengatakan bahwa hukum adalah milik pemenang, dan pasca kudeta rezim soekarno oleh soeharto 1965 dan Pasca Reformasi hukum positif tentang kebebasan berkeyakinan dimenangi oleh kaum pandir yang memang suka memelihara kebodohan.

Sebagian teman ada juga yang mengatakan bahwa apakah karena terlalu sering melakukan kritik satire dan sarkasme tidak takut dianggap sebagai provokator yang bisa memecah belah persatuan umat beragama dalam kehidupan bernegara?. Primordialisme melahirkan keyakinan bahwa agama yang diyakini diklaim sebagai suatu kesempurnaan, ketika orang yang meyakini bahwa suatu hal itu sempurna maka keyakinan tersebut otomatis akan bertransformasi menjadi suatu ideologi yang tiran.
Saya pribadi tidak pernah takut dengan siapapun ketika kita harus bicara soal kebenaran. Sebab yang namanya kebenaran itu harus selalu disiarkan, tidak boleh ditutup-tutupi walaupun hal tersebut mungkin dianggap menyinggung salah satu ajaran atau keyakinan salah satu pemeluk agama.

Dianggap memecah belah? bagi saya itu tidak lebih dari ungkapan apriori yang tak berdasar, lihat saja kelakuan pemerintah beserta aparatur negaranya, di negara ini saja banyak sekali ormas-ormas keagamaan berideologi neo-fasis agama yang jelas-jelas mengancam keutuhan bernegara dan kehidupan berbhineka tetap saja dibiarkan dan dipelihara oleh penguasa, inilah yang disebut sebagai SARA institusional dan kultural. Jadi sebenarnya yang berniat menciptakan perpecahan itu siapa? saya, ormas-ormas biadab itu atau rezim pemerintah?

Dalam pandangan saya, jikalau masih saja ada orang yang marah dan sensitif ketika ajaran, doktrin atau praktik keagamaannya dikritik, maka sesungguhnya ia masih berada pada tahap-tahap pubertas dalam beragama, beragamanya tidak lebih dari sekedar antara pertalian emosional dan psikologis belaka, belum pada levelan beragama yang riil dan manusiawi. Dan yang patut di ingat, mereka-mereka yang marah dan emosi ketika ada yang bicara soal kebenaran maka sesunggunya mereka semua itu masih hidup dalam kabut kebohongan. Kesimpulannya kebebasan berbicara adalah keniscayaan, sedangkan larangan terhadap Kritik Agama adalah Pembodohan Politik, sebab SARA (suku, etnis dan ras) dengan Agama adalah dua dikotomi yang sangat berbeda.

Minggu, 11 Agustus 2013

KONSUMERISME: PENIPUAN BORJUASI DI ERA KAPITALISME

Apa itu Penipuan Borjuasi??

Kita tanpa sadar terjebak dalam penipuan borjuasi. Coba kita perhatikan gaya hidup kita, periksa tujuan-tujuan hidup kita?, apa yang mendesak kita untuk berlari mengejar waktu?, apa yang memaksa kita membeli barang-barang yang seharusnya tidak kita butuhkan? apa yang membuat kita berutang dengan bunga yang tinggi yang tanpa sadar membuat kita berutang? apa yang membuat kita tidak menghargai hubungan-hubungan sosial bermasyarakat, harmoni sosial, cita-cita bersama, dan tidak lagi menoleh pada rasionalitas kemanusiaan kita?

Gaji kita dihabiskan untuk mengejar hal-hal yang sesungguhnya tidak kita mengerti, sistem keuangan yang kita pahami adalah bagaimana cara mengutang bukan sistem yang mengajarkan kita bagaimana caranya mengembangkan keadilan distribusi kekayaan, utang-utang diplesetkan oleh sistem kapitalisme sebagai pencapaian-pencapaian standar hidup. 

Para perempuan distandarisasikan kecantikannya lewat gaya hidup yang kapitalistik-materialis. Sebagian besar dari mereka terutama yang hidup dalam arus modernisasi kota-kota besar telah berhasil masuk kedalam jebakan konsumerisme barang-barang bermerek yang sesungguhnya merupakan penipuan terbesar dari korporasi fashion dan korporasi multinasional yang diagitasikan oleh strategi marketing internasional dan didukung oleh media-media mainstream. Mereka yang menolak sesuai dengan standar kecantikan kapitalistik-materialis akan dipaksa mundur, mereka yang tidak memenuhi standar kecantikan kapitalistik-materialis tapi tetap coba memaksakan diri untuk ikut-ikutan dalam arena eksistensi kehidupan sosialita harus cukup senang menjadi bahan tertawaan publik.

Tontonan-tontonan media visual televisi kita adalah bagaimana caranya menghabiskan uang, bahkan tidak jarang konsumerisme menggunakan term-term keagamaan demi meraup keuntungan besar dari konsumen, bukan membangun masyarakat berbasis produksi. Anak-anak kita dipaksa menghafal merek-merek mobil, gadget elektronik terbaru, mereka tidak tahu lagi tentang alam lingkungan, apatisme terhadap semesta adalah keniscayaan, mall-mall yang mewah terus menerus dibangun sementara pasar, taman hijau untuk rakyat dan lapangan-lapangan dimana interaksi antar manusia dulu biasanya terjadi kini dihilangkan, tanpa sadar kita diasingkan dari hal-hal alamiah.

Alienasi (keterasingan) manusia ini adalah penipuan borjuasi di era kapitalisme yang cemerlang. Dan akumulasi modal lah yang menjadi alasan utama pengasingan manusia pada dirinya sendiri. Siapa penguasa modal dialah penguasa arena eksistensi dalam lingkungan yang kapitalistik.

Rabu, 24 Juli 2013

MANIFESTO NON-BELIEVER (RESISTENSI PURITANISME AGAMA)

Kami para pencari kebenaran yang telah mempelajari banyak ilmu secara interdisipliner, menyadari bahwa agama hanyalah sekumpulan dogma dan simbol-simbol tertentu dari hasil olah pikir manusia yang mengacu kepada "suatu makna" dibalik itu. "Sesuatu" yang sukar dijelaskan oleh kata-kata yang gamblang. Namun para agamawan begitu mudahnya mem-bypass dan menjadikan ritual serta dogma sebagai kebenaran final, kebenaran dalam dirinya, sehingga terus menerus berkubang disitu dan tidak mampu menembus makna dibalik itu. Walau bertentangan dengan kebenaran faktual ilmu pengetahuan. (MANIFESTO NON-BELIEVER)

Sesungguhnya sebaik-baiknya agamawan, tetaplah mereka penipu, masih jauh lebih baik penjahat yang jujur. Sebab mereka membajak spiritualitas dengan arogansi kebenaran semu. Kebenaran yang hanya dapat dijelaskan oleh mistisisme klaim mukjizat masa lampau yang tidak dapat diotentifikasi kebenaranya. Kebenaran semu yang mereka terus propagandakan sebagai absolutisme walau kenyataannya bertentangan dengan fakta ilmu pengetahuan, lucunya tetap saja mereka mempromosikan kebenaran tersebut kepada umatnya, dan para umat terus menerus mengangguk, hingga bertransformasi menjadi domba-domba yang siap digembalakan kemana maunya si agamawan.

Agama adalah candu buat para pemalas dan orang-orang putus asa. Ia menyediakan sekian banyak kemudahan dalam menjalani hidup dan menjanjikan begitu banyak kenikmatan surga. Ia membiasakan kita pada konsep dosa dan pahala. Konsep yang menjadikan kita akan selalu pamrih atas segala bentuk perbuatan baik kita. Agama mematikan sejuta kemungkinan mencapai jalan spiritualitas yang sebenarnya. Ia mengharuskan kita menjalani cara yang telah ditentukan oleh isi kitabnya. Dengan mudahnya kita dituduh sesat oleh para pengikutnya apabila menolak meyakininya lalu dengan mudahnya kita dihakimi jika tidak mau mempercayainya.

Benarlah bahwasannya agama adalah citra keangkuhan. Keangkuhan yang didasari oleh rasa takut, sebagian besar merupakan ketakutan pada teror dan anomali yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak diketahui, tidak dapat dijelaskan, ketakutan adalah dasar agama, takut pada hal-hal misterius, takut kalah dan takut mati. Ketakutan adalah induk dari segala bentuk kekejian, maka tidaklah mengherankan jika fakta sejarah menyimpulkan bahwa agama dan kekejian selalu berjalan beriringan.

Agama adalah candu yang meracuni hati kita dan menjauhkan jarak kita dari sosok Tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang tidak menuntut apa-apa, Tuhan yang maha tersenyum pada setiap tindak dan perilaku kita, bukan Tuhan yang belagak seperti raja-raja feodal yang gila hormat dan terus meminta sesembahan. Agama menciptakan Tuhan yang berpihak dan menyembunyikan rahasia terbesar Tuhan, bahwa sesungguhnya Tuhan tidak beragama.


Spiritualitas sejati bukan tentang romantisme psikologis tentang kebenaran agama-agama tertentu, bukan pula suatu bentuk pelarian kekanak-kanakan dari penderitaan hidup. Bukan pula tentang kesaksian pengalaman Out of Body Experience atau Near Death Experience, yang sebenarnya hanyalah katarsis dari si pikiran.

Spiritualitas sejati adalah perjalanan rohani dan intelektualitas sejati dalam memaknai hidup ini, kini dan disini, yang menyadarkan akan keterhubungan kita dengan sesama, dengan semesta alam, dengan kehidupan, dengan misteri dari kesegalaan keteraturan ini. Spiritualitas itu lahir dari keinginan untuk menemukan keseimbangan. Dia dibiakkan dalam rahim dualisme suatu eksistensi, dan Pluralitaslah yang membuatnya tetap hidup.

 
 


Kamis, 18 Juli 2013

TENTANG KEHIDUPAN

Kegagalan adalah pelajaran dari kehidupan yang menegur semua rencana hidupmu. Ketika kamu gagal sesungguhnya semesta sedang memberikanmu rencana terbaiknya, jangan takut dengan kegagalan, karena setiap kegagalan adalah sebuah mesin yang bisa menghidupkan keberhasilanmu. Dengan kegagalanmu justru kau bisa melihat "suatu jalan untuk tidak berhasil" dan itu bisa mengajari kehidupan pada orang lain sehingga kamu menjadi pribadi yang bijak.

Ketika kamu jatuh, itu adalah awal kebangkitanmu. Tidak ada orang yang sehat jatuh tidak berdiri. Hidupmu adalah proses yang bercerita tentang kejatuhan, kebangkitan dan rasa senang. Nikmati sajalah, dan jangan mengeluhkan itu pada Tuhan, karena Tuhan yang maha kuasa itu pasti sangat lelah mengurusi miliaran umatnya yang terus menerus mengeluh dan protes ini itu, dikit-dikit bawa Tuhan, dikit-dikit bawa Tuhan, sampe kapan hidup bergantungan pada Tuhan? kapan kamu jadi manusia mandiri? Toh Dia sendiri akan terus menerus bersembunyi dibalik awan, malu untuk menampakkan diriNya dan terus menerus bercinta dengan bidadari surga. 

Ingatlah bahwa kamu lahir dari rahim evolusi dengan gratis. Mutasi biologis, semesta alam dan Tuhan tidak menuntut apa-apa, yang diminta mereka darimu hanyalah kemampuanmu bersabar untuk membentuk kehidupan sesuai dengan kemanusiaanmu.

Ketika kamu merasa salah memilih sesuatu dan jalan hidupmu, janganlah mengeluh, jalani saja pilihanmu dengan hati yang gembira. Karena kunci jawaban dari kegembiraan bukan pada pilihanmu tetapi pada kegembiraanmu dalam menjalani pilihan hidup apa adanya. Hidup adalah pemberian dan langkah terbaik ketika kita menerima adalah cukup berterima kasih, ketika kamu berterima kasih pada alam semesta maka kamu akan diberikan kehidupan dengan keindahan, yang penuh warna warni bunga di musim semi.

Janganlah mengeluh karena mengeluh adalah tanda kehampaan jiwa. Janganlah terus menerus menangis, karena menangis adalah tanda kelemahan. Janganlah terlena dengan pujian karena pujian adalah hinaan yang belum terwujud, dan jangan marah oleh hinaan karena dengan hinaan kau sedang mengumpulkan kemuliaan. Bersikaplah biasa saja. Seimbang dan sewajarnya.

Hiduplah dengan selalu tertawa, jangan kau bangunkan kehidupanmu dengan rasa amarah. Karena apapun yang dimulai dengan rasa amarah biasanya akan selalu berakhir dengan rasa malu.

Kamis, 04 Juli 2013

INTELEKTUAL IMITASI

 "....SIAPAPUN BISA JADI SARJANA, TAPI TAK SEMUA DAPAT MENJADI INTELEKTUAL...."

Saya tidak pernah memandang penting "kesatuan yang berwujud" (baca:entitas) dunia pendidikan, gelar akademis dan sederet hal-hal formalitas dalam intelektualitas. Karena intelektualitas tidak akan pernah bisa dibangun oleh entitas, dan bahwasannya entitas itu juga berisi manusia-manusia yang juga tak pernah jelas ukurannya. Ketika kamu terobsesi pada formalitas intelektualitas, di saat itulah kamu dilatih untuk menjadi burung beo atas pemikiran orang lain, kehilangan orisinalitas dan gagal mencari ilmu secara otodidak, kamu akan gagal membangun metode sistematika dirimu sendiri, kedisiplinanmu adalah kedisiplinan intelektual imitasi yang diciptakan oleh arus besar mainstream.

Gelar kesarjanaan adalah wujud sakralitas dunia pendidikan, tapi yang paling mengenaskan adalah ketika gelar tersebut cuma dipakai hanya untuk sekedar menjadi embel-embel simbol tambahan pada nama belakang kartu undangan pernikahan. Pendidikan saat ini berbasis industrialisasi, implikasinya melahirkan kompetisi, kompetisi yang sudah sepatutnya bermuara pada kemajuan pola pikir, bukan pada panjangnya titel berderet-deret tetapi hampa kritisisme. Pada akhirnya intelektual demikian tidak lebih dari budak pasar, yang akan terus menerus bertransformasi menjadi kuda troya korporasi besar.

Kini dunia mengarah pada simetrisnya arus informasi, dimana semua orang dengan mudah mendapatkan hak akses terhadap banyaknya informasi, era internet lambat laun mendegradasi tingginya nilai akademik yang dibentuk dalam entitas kesarjanaan. Sebab internet adalah jendela ilmu pengetahuan yang nyata, ia akan membentuk realitas akademik yang menjadi induk pemberian gelar menjadi tanpa batasan. Dimasa depan, gelar tidak akan lagi penting sebagai simbol kecerdasan atau intelektualitas, justru generasi yang melek internet lah yang akan memiliki kecerdasan revolusioner daripada mereka-mereka yang sibuk berkutat pada formalitas akademik. Gelar hanyalah simbol, selama paradigma dan pola pikirmu masih terimitasi oleh ilmu copy paste para akademisi bergelar profesor doktor, itu semua tiadalah berarti, sejauh gelar itu bisa kamu dapatkan dengan cara yang instant.

Kamu boleh saja memiliki gelar pendidikan yang berderet-deret, lulus masuk kerja di korporasi besar paling bergengsi, naik gaji sebagai Pegawai Negeri karena gelar panjang yang disandang, tapi tanpa mengenal realitas dunia, miskin filsafat, minim wawasan bacaan, tak pernah bermimpi dan berimajinasi, kamu tidak lebih dari ternak yang pandai.


Minggu, 23 Juni 2013

"TINJAUAN KRITIS TERHADAP TEORI PENCIPTAAN TUHAN" SUATU FILOSOFI TUJUAN HIDUP


"......Seandainya Tuhan menciptakan dunia dengan tangannya, betapa lelahnya Ia. Ada milyaran benda langit dan galaksi yang mustahil diciptakan dalam waktu 7 hari....."

Bagaimana dunia ini ada tanpa pencipta dan apa alasannya?

Mari kita selidiki lebih lanjut pada subjek ini apakah masuk akal untuk mempercayai bahwa penciptaan jagad raya ini dilakukan Tuhan dan jika memang Tuhan menciptakan manusia dengan niat agar manusia mengenal dan menyembahnya? Kita tahu bahwa manusia terpisah dengan simpanse sekitar 4 sampai 6 juta tahun silam. Tetapi sekitar 100 ribu tahun lalu kita menjadi homo sapiens (manusia berpikir). Sejak itu kita mulai menggunakan alat-alat dan mengadaptasi lingkungan kita agar cocok dengan kebutuhan.

Sebelum 10.000 tahun silam, evolusi kesadaran berpikir manusia mungkin sangatlah terbatas. Selama 10.000 tahun terakhir kita memperoleh rasa diri (sense of self). Kita menjadi tahu bahwa kita berbeda. Jika kita bandingkan evolusi manusia pada pertumbuhan seseorang,periode ini mewakili tingkat pada saat anak-anak belajar berbicara dan keingintahuannya terhadap lingkungan. Pada saat inilah dia mempertanyakan pertanyaannya. Dia ingin mengetahui kenapa dan bagaimana. Kemudian menjadi masa remaja. Pada waktu ia menjadi bangga, ia mulai mencari kekuatan. Dia ingin menyatakan kemerdekaannya. Dia menjadi pemberontak dan pengganggu lainnya. Hanya pada usia kedewasaannya ia mengakui bahwa ia adalah bagian dari masyarakat dan harus bertindak secara bertanggung jawab.

Pada saat ini dan dalam tahap evolusi kita, kita manusia hanya bertumbuh dari remaja dan memasuki usia dewasa. Berarti secara relatif kita sudah mulai menggunakan otak pada akhirnya. Ada banyak pertanyaan yang belum kita mengerti. Kita belum menemukan apa jawaban yang benar. Sebagian besar yang kita tahu adalah apa yang ketidakpastian. Sebagai contoh, kita tahu pasti bahwa bumi itu tidak datar tapi masih ada banyak misteri tentang planet kita yang kita tidak tahu. Kita benar-benar yakin bahwa alam semesta tidak dimulai 6000 tahun yang lalu. Kita tahu pasti bahwa semua binatang termasuk manusia tidak diciptakan dalam satu hari seperti kisah-kisah di kitab yang telah disucikan. Kita tahu segala sesuatu telah ber-evolusi. Tapi kita tidak tahu mekanisme evolusi ini dengan baik. Hanya selama 200-300 tahun terakhir ini kita harus mulai bertanya pertanyaan yang tepat dan menemukan jawaban yang hampir benar. Selama periode yang singkat ini, kita telah belajar banyak, tetapi ada lebih lebih banyak lagi untuk dipelajari.

Ada banyak teori tentang bagaimana kita diciptakan. Ini adalah teori-teori ilmiah. Mereka didasarkan pada paleontologi, silsilah, arkeologi, dan banyak ilmu terkait lainnya. Saat kita menemukan hal-hal baru, teori-teori kita tentang evolusi kita juga berevolusi. Tapi kita tidak akan pernah kembali ke ide primitif tentang penciptaan, seperti tidak peduli berapa banyak hal baru yang kita temukan tentang bumi, kita tidak akan pernah mencari tahu bahwa bumi itu adalah datar. Ketidaktahuan kita tentang hal yang kita tidak tahu, tidak membatalkan pengetahuan kita tentang hal-hal yang kita tahu.

Pertanyaan berikutnya pada diri sendiri adalah mengapa kita diciptakan. Agama memiliki jawaban mereka sendiri. Namun, jawaban yang sebenarnya adalah bahwa kita tidak tahu! Alasannya sederhana karena tidak masuk akal bagi Tuhan yang sempurna untuk menciptakan alam semesta yang luas tersebut untuk dimasukkan ke dalam planet yang terkecil dari suatu primata semi cerdas hanya untuk mengetahui dan menyembahNya. Ide ini bahkan menjadi semakin tidak masuk akal terutama ketika kita melihat bahwa ia tidak pernah menunjukkan dirinya pada makhluk ciptaannya dan bermain petak umpet. Jika mengenal dan menyembahnya begitu penting baginya, sebagaimana utusannya ingin membuat kita percaya bahwa ini adalah tujuan utama penciptaan, maka adalah logis untuk mengharapkan bahwa ia akan mengambil hal ini sedikit lebih serius.

Bersembunyi di balik awan kerahasiaan dan berkomunikasi dengan makhluknya melalui orang dengan tujuan yang meragukan adalah cara yang tidak memuaskan untuk mengenal dan menyembahnya. Tidak heran Beliau telah gagal total untuk membuat keinginannya dikenal oleh semua orang. Ada begitu banyak agama dan sekte. Tapi tentu tidak semua cara tersebut berasal dari Tuhan. Paling tidak hanya ada satu cara yang benar yang telah ditentukan untuk umatnya. Tetapi ketika anda melihat bahwa hanya sebagian kecil manusia mengikuti salah satu dari banyak agama atau sekte ini, anda tahu bahwa Tuhan sudah gagal menuntun manusia dengan jelas sehingga mereka tersesat.

Sangat disayangkan bahwa Tuhan menciptakan jagad raya yang luas ini dan kemudian hanya pada sebuah planet yang sangat kecil bernama bumi, Dia mengembangbiakkan manusia, dan dari manusia ini hanya sebagian terkecil mengenal dan menyembahnya. Sisanya gagal, bukan karena kejijikan atau kehinaan, melainkan karena banyaknya kebingungan dalam agama. Jika tujuan seluruh penciptan alam semesta ini adalah untuk menciptakan mahluk yang cerdas sehingga mereka mampu mengenal Tuhan dan menyembahNya, aku rasa tuhan yang dimaksud sudah gagal dengan tujuan penciptaanNya. 

Ada yang salah dengan desain alam semesta seperti itu. Alam semesta ini diperkirakan berumur 15 milyar tahun. Manusia masuk dalam sandiwaranya tidak lama setelahnya, tetapi Adam yang merupakan manusia dan nabi pertama seperti apa yang tertulis di Kitab Suci hanya berumur kira kira 6000 tahun. Apa yang dilakukan tuhan selama jutaan tahun, ketika tidak satupun yang mengenal dan menyembahnya? Pastilah Dia sangat kesepian. Seseorang mungkin bertanya kenapa Tuhan kebelet ingin untuk dikenal dan disembah? Semua keinginan merupakan tanda dari ketidaksempurnaan. Karakteristik ini lebih sesuai bagi para dictator narsisis yang mengharapkan pengakuan dan puji-pujian yang berlebihan, yang memerintahkan eksekutornya untuk menghukum semua orang yang berani untuk tidak tunduk dihadapannya. Karakteristik ini tidaklah sesuai dengan Tuhan yang maha kuasa.

Jika Tuhan berusaha mati-matian untuk dikenal dan disembah, kenapa dia tidak membuat dirinya sendiri lebih nyata? Apakah masuk akal bagi tuhan yang maha bijaksana bersembunyi di awan kerahasiaanya, mengirim seseorang yang tidak terpelajar untuk menuntun manusia menuju padanya, gagal memperlengkapinya dengan mukjizat yang pantas untuk kepentingan bagi siapa yang berbicara secara langsung kepadanya dan berbagai argumen yang masuk akal untuk kepentingan bagi siapa yang membaca tulisannya beberapa ratus tahun kemudian?

Pertanyaan lainnya adalah, jika satu-satunya tujuan penciptaan adalah untuk mengenal Tuhan, kenapa pesan Tuhan tidak masuk akal? Kenapa tujuannya bertentangan dengan pikiran manusia? Kenapa dia harus memberikan kita akal dan mengharapkan kita untuk tidak menggunakannya ketika hal tersebut merupakan sesuatu yang penting, seperti mengenalnya? Bukankah hal ini seperti apa yang telah dikatakan utusannya, menjadi alasan untuk menciptakan manusia?

Sangatlah mudah untuk mengetahui apa yang tidak benar daripada apa yang benar. Kita tidak mengetahui kenapa alam semesta ini ada, dan kita tidak pernah tahu. Kita adalah manusia, kita senang mencari tahu, dan pada saat kita tidak bisa mengetahuinya, kita senang berspekulasi. Orang primitive sudah memikirkannya sejak segala sesuatunya memiliki pencipta, alam semesta ini pastilah hasil pekerjaan tangan tuhan juga. Ini adalah sebuah spekulasi dan tidak dapat dibuktikan secara logika. Apa yang hendak saya katakan disini adalah spekulasiku juga. Ada kemungkinan tidak benar, atau paling tidak sebagian ada yang benar. Anda juga memiliki kemungkinan pemahaman yang lebih baik.
 
Aku percaya bahwa alam semesta ini adalah perwujudan alami dari realita yang lebih tinggi. Realita adalah Prinsip Tunggal (Single Principle) yang mendasari penciptaan. Cinta kasih adalah salah satu aspek dari prinsip tersebut. Ada kemungkinan tidak ada tujuan penciptaan sama sekali. Disitulah letaknya. Berbagai hal di alam semesta ini tidak terjadi untuk sebuah tujuan. Apa tujuan dari hujan yang jatuh ke laut? Apa tujuan dari miliaran serbuk sari yang dibawa oleh angin yang tidak jatuh untuk membuahi bunga betina?

Apa tujuan dari planet yang tidak berpenghuni, seperti misalnya tidak mendukung bagi mahluk untuk hidup? Apa tujuan adanya bulan? Mengapa beberapa planet memiliki bulan berlebih dan beberapa bahkan tidak ada? Seperti yang anda lihat, hal-hal yang terjadi rupanya tanpa alasan. Jika Tuhan adalah perancang dan pencipta alam semesta ini, maka ia adalah pencipta yang ceroboh. Jika seekor simpanse duduk di belakang mesin ketik menekan tombol, tingkat keberhasilannya dalam menulis kalimat yang masuk akal lebih baik dari tingkat keberhasilan Tuhan dalam menciptakan kehidupan. Miliaran sel sperma terbuang sia-sia hanya untuk salah satu dari sperma tersebut yang akan membuahi sel telur. Ribuan kura-kura kecil mati atau dimakan oleh predator agar salah satu dari mereka menjadi besar. Para ilmuwan yakin bahwa kurang dari satu satu juta planet-planet di galaksi kita dan galaksi lainnya mungkin dapat mendukung kehidupan. Lihatlah tata surya kita, dari sembilan planet hanya satu yang dihuni. Ini adalah performa yang buruk oleh tuhan yang mahakuasa. Jika tujuan akhir penciptaan adalah untuk memiliki makhluk berkaki dua untuk sujud di hadapannya dan memuaskan egonya, pula mengagungkan dirinya, mengapa Ia gagal untuk mengisi planet lain?

Ada banyak indikasi yang mengarah ke fakta bahwa evolusi tidaklah teleologis. Tidak ada satupun fakta yang mendukung seorangpun yang duduk di atas sana dan mengatur semuanya. Tapi semuanya terjadi diatur oleh prinsip. Ada tata tertib di alam semesta. Tata tertib ini, hukum kosmik, tak dapat disangkal. Kita melihat tata tertibnya, tetapi kita tidak dapat memahami sifat itu. Ini adalah prinsip yang mendasari penciptaan. Cinta kasih adalah manifestasi dari prinsip ini. Mungkin itulah semuanya, ekspresi natural dari cinta kasih. Mungkin itulah kenapa alam semesta ini ada. Tapi siapa yang tahu?

Aku percaya dunia ini, yaitu dunia fisik yang anda dan saya lihat dan tempati, adalah rahim bagi jiwa kita. Sama seperti janin yang tumbuh di dalam rahim ibunya, mengakuisisi tubuh fisik yang bahkan tidak berguna untuk dia saat masih dalam rahim/kandungan, tetapi akan menjadi bencana kalau ia dilahirkan tanpa organ atau anggota tubuh yang berkembang baik, begitu juga jiwa kita mengakuisisi tubuh rohani yang akan melayani kita ketika kita berangkat dari dunia ini dan dilahirkan ke dunia berikutnya. Cinta kasih mungkin adalah tujuan hidup. Kita harus bertumbuh dalam cinta kasih.

Mengekspresikan cinta kasih kita kepada semua anggota keluarga manusia, untuk semua hewan dan tumbuhan dan kepada semua makhluk hidup. Mungkin ini adalah arti dan tujuan hidup. Untuk membantu seseorang dalam kesulitan, untuk meringankan beban seseorang, mengurangi rasa sakit seseorang dan untuk menempatkan senyum di wajah seseorang. Aku tidak bisa melihat tujuan hidup yang lebih tinggi daripada mengasihi sesamaku manusia. Bagaimana denganmu?