Jumat, 25 Maret 2011

PENGHARGAAN TERHADAP ALAM


GOD IS THE EARTH SO THAT IS WHAT WE HAVE SHOULD PRAY TO"

FRIEDRICH NIETZSCHE (1844-1900)



Sepatah kata Nietzsche dalam filsafat perspektivisme memberikan sedikit gairah untuk menuliskan sedikit tulisan singkat tentang kondisi objektif nasional hari ini. Belakangan ini, hampir setiap hari kita disuguhkan media massa untuk melihat kejadian-kejadian bencana alam yang datang berkesinambungan di bumi Indonesia. Mulai dari lumpur Lapindo, banjir bandang Wasior, letusan Merapi Jogja hingga Tsunami Mentawai. Makna penting dari berbagai macam kejadian-kejadian ini adalah bahwa Manusia dan Alam merupakan satu entitas kodrati yang hidup secara paralel, saling mengisi dan melengkapi. Jadi manusia sampai kapanpun akan membutuhkan alam demi kelangsungan eksistensi peradabannya, sedangkan alam membutuhkan manusia untuk dijaga dan dilestarikan.

Bencana Lapindo dan Wasior adalah contoh kecil dari ribuan bencana dimana manusia mempunyai tendensi untuk lebih menguasai alamnya dengan tidak bertanggung jawab, terus menerus menghisapnya demi kerakusan dan kepentingannya tanpa sedikitpun mempunyai intuisi untuk mengenal, menjaga dan melindungi alamnya. Pada akhirnya manusia pula yang dirugikan oleh dampak buruk atas hilangnya tanggung jawab penguasaan alam oleh manusia. Hingga akhirnya alam juga yang memberikan berbagai macam tragedi kemanusiaan pada manusia.

Sedangkan dalam perspektif agama, banyak sekali tokoh-tokoh agama di Indonesia dengan sangat naif mengatakan meletusnya Gunung Merapi dan Tsunami Mentawai adalah murka Tuhan. Sebenarnya, bagi alam tak ada yang namanya "Bencana Alam". Itu hanyalah istilah yang diciptakan manusia yang ingin mengalihkan tanggung jawab karena kebodohannya dalam mengelola resiko kepada alam atau berbagai kekuatan Adikodrati. Alam adalah partikel luas dari kosmos jagad raya; dan Alam tidak akan pernah bisa salah. Karena Alam tidak mengenal kategorisasi dualistik tentang benar atau salah, yang mempunyai itu adalah manusia. Tragedi kemanusiaan karena Meletusnya Merapi dan Tsunami Mentawai merupakan bagian dari spekulasi alam yang akan selalu ada selama semesta alam dan manusia masih menjadi partikel kosmos jagad raya.

Sejujurnya kita sebagai manusia itu lebih banyak tidak tahunya daripada tahunya. Sangat kurang bijaksana kalau kejadian-kejadian bencana alam yang terjadi belakangan ini dianggap sebagai ''kemurkaan'' dari "Sang Pencipta". Kita mempunyai kemampuan akal budi dan mengenyam pengetahuan melalui pendidikan sekolah maupun pengalaman yang bisa dianalisa secara ilmiah, dengan logika dan paradigma berpikir yang progresif, maka setiap kejadian bencana setidaknya dapat diminimalisir. Hal ini sangat diperlukan agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa seperti drama kematian tim penyelamat Mbah Maridjan (seorang manusia yang rela mati melawan spekulasi alam). Jadi, kalau terus-menerus mengkambinghitamkan Tuhan, lalu kapan kita bisa jadi lebih dewasa dan lebih arif lagi?........

"Berikanlah penghargaan besar terhadap alam dan alam akan lebih menghargaimu......"

Senin, 14 Maret 2011

DUNIA KETIGA HARUS BERSATU ATAU MATI

PIDATO OLEH: FIDEL CASTRO

"Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengelu...arkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77."

Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.

Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.

Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama di planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.

Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.

Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.

Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.

Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.

DOGMA PASAR BEBAS

Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut (masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri) dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.

Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.

Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketidakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketidaksetaraan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketidakstabilan, gejolak dan ketidakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

TUNTUT PEMBUBARAN IMF

Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).

Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya itu harus dihapuskan.

Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.

Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.

Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?

Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?

Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.

Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin, tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.

UTANG DUNIA KETIGA SUDAH DILUNASI

Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.

Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.

Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.

Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.

Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.

Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.

Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.

PERDAGANGAN DUNIA

Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.

Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.

Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.

Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.

Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.

Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya. Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.

SIGNIFIKANSI PERLAWANAN SEATTLE

Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.

Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.

JURANG TEKNOLOGI

Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.

Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.

Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.

Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.

Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.

Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.

Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.

Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.

Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.

Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.

Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.

Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"

Senin, 07 Maret 2011

SEKULARISME: SISTEM PERLINDUNGAN KEBEBASAN HIDUP UMAT BERAGAMA

Sekularisme/Sekulerisme adalah sebuah istilah netral untuk merujuk konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri. negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.

Sekularisme dalam terminologi masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.

Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak "meng-anak emas-kan" sebuah agama tertentu. Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.

Negara-negara Islam, seperti Turki, Mesir, dan Irak pada masa Saddam Husein, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi sekularisme tapi menerapkannya secara salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan menerapkan konsep ini berakibat sangat fatal, karena bukan saja ia gagal dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang luhur. Penolakan sebagian kaum Muslim terutama di Indonesia terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk pada pengalaman negara-negara yang gagal menerapkan prinsip ini, seperti yang disebut di atas.

Tinjauan pertama yaitu Sekularisme Turki. Kesalahan Turki adalah mengidentikkan sekularisme dengan aneka pelarangan terhadap atribut maupun praktik-praktik keagamaan. Turki nampaknya meniru mentah-mentah model Perancis, dimana sekularisme dipahami sebagai kewaspadaan terhadap “ancaman” agama. Turki, misalnya, melarang jilbab karena dianggap ancaman terhadap sekularisme. Turki juga menutup institusi pengajaran Al-Quran, mengubah azan dalam bahasa lokal, dan menangkap para aktivis pergerakan Islam.

Kedua, yaitu Sekularisme Mesir. Di negara ini Sekularisme sangat identik dengan kultur Diktatorisme sebagai implikasi dari buruknya gaya kepemimpinan Hosni Mubarak. Ketiga adalah Irak pada masa Saddam Husein, sekularisme identik dengan despotisme dan anti-Tuhan, khususnya karena rezim penguasa adalah partai Ba’ath yang beraliran sosialis.

Meski mengaku menerapkan sekularisme, namun baik Turki, Mesir maupun Irak pada masa Saddam Husein itu, sebenarnya tak lebih dari negara “otoriter”, bahkan tak ada satu pun yang dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi. Dari tiga kriteria negara demokrasi sekuler, seperti kompetisi politik, partsipasi politik dan perlindungan HAM, Turki barangkali hanya layak disebut negara “semi-demokratis”, karena masih berperan aktifnya militer dalam bidang politik.

Di negara yang otoriter atau semi-demokratis itu, tak heran jika terjadi represi terhadap kehidupan beragama. Sama seperti di zaman Soeharto pada era Orde Baru dulu, negara cenderung sekuler, terbukti dengan tingginya nilai toleransi dalam kehidupan beragama, tetapi disisi lain rezim bersifat otoriter. Di sinilah kita dapat memahami, bahwa walaupun semua negara demokrasi adalah negara sekuler, tapi tidak semua negara sekuler adalah negara demokrasi. Represi atas kehidupan beragama terjadi bukan disebabkan oleh sifat sekuler, tapi oleh watak semi-demokrasi dari negara itu tadi.

Para pencemar sekularisme bukan hanya datang dari negara-negara Islam. Di Eropa, Perancis kerap dikecam sebagai negara yang menerapkan sekularisme secara salah. Persis seperti di Turki (atau Turki memang meniru model Perancis), sekularisme di Perancis dipahami sebagai kewaspadaan terhadap “ancaman” agama. Memakai jilbab, karenanya, dianggap sebagai ancaman bagi sekularisme. Menarik untuk dicatat bahwa Perancis adalah salah satu dari negara-negara Barat yang paling lambat dalam menerima demokrasi.

Negara-negara yang relatif sukses dalam menerapkan demokrasi adalah negara-negara yang secara baik menempatkan hubungan antara agama dan negara. Mereka adalah negara-negara yang mampu menjalankan prinsip sekularisme dengan benar. Sebagai contoh di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang dan negara demokratis lainnya. Padahal, sekulerisme yang benar itu adalah seperti yang dipraktekkan oleh negara-negara yang sukses menerapkan demokrasi. Di negara-negara ini, sekulerisme tidak dipahami sebagai musuh agama, tapi justru dijadikan sebagai pelindung agama.

Sesungguhnya Sekulerisme merupakan berkah bagi agama-agama, bukan menjadi malapetaka. Di negara demokrasi sekuler, sentimen agama dalam politik tidak dihilangkan atau ditindas. Setiap warga negara boleh mempengaruhi politik, dengan persepsinya sendiri, ideologinya sendiri, atau dengan keyakinan agamanya sendiri. Yang dilarang adalah memakai negara untuk menjadi instrumen atau aparatus agama tertentu saja (seperti adanya MUI dan DEPAG di Indonesia yang lebih cenderung berpihak pada mayoritas muslim). Ini dilarang karena melanggar prinsip netralitas negara dalam agama, dan mencederai perlakuan yang sama yang harus diberikan negara atas pluralitas agama

Di Inggris, perlindungan sekularisme terhadap agama itu bahkan disimbolisasikan dengan menjadikan Ratu Inggris sebagai Kepala Gereja Anglikan. Meskipun sekilas seperti tampak bertentangan dengan prinsip sekularisme, yakni pemisahan agama dan negara, tapi Ratu Inggris sendiri, secara de facto sesungguhnya tak punya kekuatan apa-apa alias sudah terpisah dengan sendirinya dari negara (pemerintahan).

Di Turki, para aktivis Islam yang tergabung dalam Partai Kebajikan yang berorientasi Islam, menuntut negara agar menerapkan sekularisme secara fair. Merve Kavacki, anggota parlemen Turki berjilbab yang pernah membuat heboh pada tahun 2000 dengan tegas mengatakan bahwa dia dan partainya tak pernah ada masalah dengan sekularisme, yang kita inginkan adalah penerapan sekularisme secara adil dan benar, seperti negara-negara Barat melaksanakannya. Sama seperti di Turki, di India, kaum Muslim menginginkan sekularisme dan mencemaskan kalau-kalau BJP, partai fundamentalis Hindu, mengganti sekularisme dengan Hindutva, syariah-nya orang-orang Hindu. Buat kaum Muslim di sana, sekularisme adalah berkah yang tak ternilai harganya.

Dalam prinsip sekuler, negara selamanya harus mengambil jarak yang sama tidak hanya kepada keberagaman agama, tapi juga keberagaman interpretasi satu agama. Sebagai contoh, ada sebagian ulama yang menolak wanita menjadi presiden, namun sebagian lagi mendukung wanita menjadi presiden. Di sini, negara tidak boleh mencampuri debat internal dalam interpretasi agama itu, apalagi tunduk pada salah satu interpretasi. Negara harus tetap netral. Debat internal dan interpretasi agama tertentu adalah urusan komunitas agama itu sendiri, bukan urusan negara. Negara hanya tunduk pada hukumnya sendiri yang memberikan hak yang sama kepada semua warga negara, tanpa memandang ras, suku, jenis kelamin, ideologi dan agamanya.

***********************************************************************************************

Di Indonesia, yang merupakan negara mayoritas muslim, dengan jumlah muslim terbesar di dunia, pada saat munculnya ide-ide pembaruan pemikiran Islam dengan konsep-konsep baru yang datangnya dari luar seperti sekularisme agama, liberalisme agama dan pluralisme agama di Indonesia seringkali menuai kontroversi. Bahkan kata-kata tersebut jika diucapkan tanpa rangkaian kata lain sudah memiliki konotasi yang negatif. Terlebih lagi pasca dikeluarkannya fatwa oleh MUI pada tahun 2005 yang mengharamkan tiga paham tersebut. Ada begitu banyak konsep mengenai sekularisme, liberalisme dan pluralisme di masing-masing pemikiran cendekiawan muslim yang tentunya berbeda-beda.

Ada begitu banyak konsep sekularisme, liberalisme dan pluralisme oleh pemikir-pemikir Islam. Untuk sekularisme saja, seperti Amin Rais misalnya, membedakannya ke dalam dua jenis yaitu sekularisme sosiologis dan filosofis. Ia menolak sekularisme akan tetapi menerima liberalisme dan pluralisme. Berbeda dengan Amin Rais, Gus Dur justru mendukung penuh tiga konsep tersebut.

Sama halnya dalam menyikapi masalah Ahmadiyah di tanah air, negara harus netral dan tidak boleh memihak kepada interpretasi kelompok mayoritas yang menganggap Ahmadiyah sesat. Negara wajib melindungi Ahmadiyah bila terjadi diskriminasi dan tindak kekerasan kepada mereka. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan yang ingin membubarkan Ahmadiyah. Negara justru harus memberi hukuman yang keras bagi kelompok-kelompok yang terus memaksa ingin mengusir, menindas dan melenyapkan Ahmadiyah.

Sekularisme merupakan sikap yang baik untuk tidak terjadinya politisasi agama, liberalisme agama merupakan sikap yang tepat untuk menghindari otoriterisasi penafsiran agama dan pluralisme agama merupakan sikap yang bijak untuk menghindari pemvonisan agama. Alangkah tidak fair para kaum konservatif-fundamentalis Islam sebagai mayoritas di negara ini mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme yang salah. Kita tentu saja tak menginginkan model sekularisme seperti Turki, atau Mesir, atau Perancis. Lagi pula, mengapa kita terobsesi dengan negara-negara yang gagal dalam menerapkan sekularisme ini? Mengapa tak berkaca pada pengalaman yang jelas-jelas terbukti sukses?.

NOAM CHOAMSKY DAN PERJUANGAN MELAWAN NEOLIBERALISME

Neoliberalisme adalah paradigma ekonomi politik yang mendefinisikan jaman kita. Ia mengacu pada berbagai kebijakan dan proses di mana segelintir kepentingan swasta diperbolehkan mengontrol sebesar mungkin kehidupan sosial agar dapat memaksimalkan keuntungan pribadi mereka. -NOAM CHOAMSKY-

Awalnya diasosiasikan dengan Reagan dan Thatcher, selama dua dekade neoliberalisme telah menjadi tren ekonomi politik global yang dominan dan diadopsi oleh partai-partai politik di tengah dan banyak partai-partai kiri tradisional* maupun kanan. Partai-partai ini dan kebijakan yang mereka terapkan mewakili kepentingan mendesak para investor yang sangat kaya berupa perusahaan besar yang jumlahnya kurang dari seribu.

Di samping kalangan akademisi dan anggota komunitas bisnis, istilah neoliberalisme kebanyakan tidak diketahui maupun digunakan oleh khalayak luas, terutama di Amerika Serikat. Di sana justru kebalikannya, inisiatif neoliberal dikarakterkan sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong usaha swasta dan pilihan konsumen, menjunjung tanggung-jawab pribadi dan inisiatif bisnis, dan menghabisi tangan mati pemerintah yang tidak kompeten, birokratik dan parasitik, yang tak pernah dapat berbuat baik bahkan bila niatnya baik, dan itu pun jarang ada. Selama satu generasi, upaya-upaya hubungan masyarakat (public relations) telah memberikan istilah dan ide ini aura yang hampir sakral. Hasilnya, klaim-klaim yang mereka ajukan jarang butuh dibela, dan itu dilakukan untuk merasionalisasikan segalanya dari mengurangi pajak bagi kaum kaya dan mempreteli regulasi lingkungan hidup hingga melucuti pendidikan publik dan program-program kesejahteraan sosial. Memang, segala aktivitas yang dapat mengganggu dominasi korporasi terhadap masyarakat, otomatis dicurigai; karena itu akan mengganggu mekanisme pasar bebas, yang diajukan sebagai satu-satunya hal yang dapat mengalokasikan barang kebutuhan dan jasa secara rasional, adil, dan demokratik. Saat tampil paling lihai, para proponen neoliberalisme terdengar seakan-akan mereka melayani rakyat miskin, lingkungan hidup, dan semua orang ketika mereka menerapkan kebijakan atas nama segelintir kaum kaya.

Konsekuensi ekonomi dari kebijakan-kebijakan hampir di mana pun adalah sama, dan tepat seperti yang bisa kita duga: meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi secara massif, memperparah kesengsaraan negeri-negeri termiskin dan rakyat di dunia secara nyata, bencana bagi lingkungan hidup secara global, ekonomi global yang tak stabil dan bonanza yang tak ada duanya bagi kaum kaya. Dihadapkan pada fakta-fakta ini, para pembela tatanan neoliberal mengklaim bahwa hasil penjarahan terhadap kehidupan rakyat pasti akan menyebar ke massa luas penduduk - asalkan kebijakan neoliberal yang memperparah problem tidak diganggu.

Akhirnya, kaum neoliberal tidak mampu dan tidak menawarkan pembelaan empiris bagi dunia yang sedang mereka buat. Sebaliknya, mereka menawarkan - bahkan menuntut - keyakinan relijius terhadap kebenaran mutlak pasar yang tak diregulasi, yang diambil dari teori-teori abad kesembilan-belas yang sangat sedikit relevansinya dalam dunia nyata. Kartu as terakhir para pembela neoliberalisme, walau demikian, adalah bahwa tidak ada alternatif lain. Masyarakat komunis, demokrasi sosial, dan bahkan negara kesejahteraan yang moderat seperti Amerika Serikat telah gagal, demikian klaim kaum neoliberal, dan para warganya telah menerima neoliberalisme sebagai jalan satu-satunya yang mungkin. Ia mungkin tak sempurna, tapi itulah satu-satunya sistem ekonomi yang mungkin.

Pada awal abad keduapuluh, beberapa kritikus menyebut fasisme sebagai "kapitalisme tanpa sarung tangannya", artinya fasisme adalah kapitalisme murni tanpa hak-hak demokratik dan organisasi. Faktanya, kita mengetahui bahwa fasisme jauh lebih kompleks dari itu. Neoliberalisme, di sisi lain, memang "kapitalisme tanpa sarung tangan." Ia mewakili suatu era di mana kekuatan bisnis lebih kuat dan lebih agresif, serta menghadapi oposisi yang lebih tak terorganisir dibandingkan sebelumnya. Dalam iklim politik ini mereka mencoba menyusun kekuatan politik mereka dalam semua lini yang dimungkinkan, dan sebagai hasilnya kekuatan bisnis semakin sulit ditentang, serta masyarakat sipil (non-pasar, non-komersial, dan demokratik) dapat dikatakan hampir tidak ada.

Justru pada penindasannya terhadap kekuatan-kekuatan non-pasar ini lah kita melihat bagaimana neoliberalisme beroperasi bukan saja sebagai sistem ekonomi, tapi juga sebagai sistem politik dan budaya. Di sini terdapat perbedaan mencolok dengan fasisme, yang berdasarkan rasisme dan nasionalisme membenci demokrasi formal dan gerakan sosial yang sangat termobilisasi. Neoliberalisme berjalan paling baik ketika terdapat demokrasi elektoral, tapi ketika penduduknya dijauhkan dari informasi, akses, dan forum-forum publik yang dibutuhkan bagi partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana dituturkan oleh guru neoliberal Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom, karena penciptaan-profit adalah esensi demokrasi, pemerintah mana pun yang mengupayakan kebijakan anti-pasar adalah anti-demokratik, tak peduli sebesar apa pun dukungan rakyat terdidik terhadap mereka. Maka yang terbaik adalah membatasi kerja pemerintahan dalam melindungi kepemilikan swasta dan mempertahankan kontrak perjanjian yang ada, serta membatasi debat politik pada isu-isu yang tak penting. (Persoalan yang penting seperti produksi dan distribusi sumber daya serta organisasi sosial harus ditentukan oleh kekuatan pasar.)

Berbekal pemahaman demokrasi yang sesat ini, kaum neoliberal seperti Friedman tidak keberatan dengan aksi militer penggulingan pemerintahan Allende di Cili yang terpilih secara demokratik, karena Allende mengganggu kontrol bisnis dalam masyarakat Cili. Setelah lima belas tahun berada di bawah kediktatoran yang seringkali brutal dan liar - semuanya atas nama pasar bebas yang demokratik - demokrasi formal dihidupkan kembali pada 1989 dengan konstitusi yang sangat mempersulit, kalau tak bisa dibilang tak memungkinkan, bagi warga negara untuk menentang dominasi militer-bisnis dalam masyarakat Cili. Itulah demokrasi neoliberal secara ringkas: perdebatan remeh-temeh tentang isu-isu yang tak penting oleh partai-partai yang pada dasarnya mengupayakan kebijakan yang sama-sama pro-bisnis, terlepas dari perbedaan formal dan perdebatan kampanye. Demokrasi dibolehkan selama upaya mengontrol bisnis berada di luar pembahasan atau perubahan oleh rakyat, dengan kata lain, selama itu bukan demokrasi.

Sistem neoliberal dengan demikian memiki produk sampingan yang penting dan dibutuhkannya - warga negara yang terdepolitisasi, ditandai oleh apatisme dan kesinisan. Bila demokrasi elektoral hanya berdampak kecil dalam kehidupan sosial, tidaklah rasional memberikannya banyak perhatian; di Amerika Serikat, lahan berkembang-biaknya demokrasi neoliberal, jumlah pemilih dalam pemilihan kongres tahun 1998 mencatat rekor terendah, dengan hanya sepertiga warga dengan hak pilih hadir di tempat pemungutan suara. Walau terkadang ini menjadi kekuatiran partai-partai besar seperti Partai Demokrat AS yang cenderung mengincar suara dari mereka yang dimiskinkan, rendahnya jumlah pemilih cenderung diterima dan didukung oleh kekuatan-kekuatan yang ada sebagai sesuatu yang sangat baik; karena para non-pemilih, bukan kejutan lagi, secara menyolok berasal dari kelas miskin dan pekerja. Kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan minat pemilih dan tingkat partisipasi segera dikebiri sebelum sampai ke arena publik. Di Amerika Serikat, contohnya, dua partai besar yang didominasi kekuatan bisnis, dengan dukungan komunitas korporasi, telah menolak undang-undang reformasi - beberapa diantaranya mereka caci-maki - sehingga tidaklah mungkin membentuk partai politik baru (yang dapat menarik minat non-bisnis) dan membuatnya efektif. Walaupun sering terlihat adanya ketidakpuasan dengan Partai Republikan dan Partai Demokrat, politik elektoral adalah satu arena di mana konsep kompetisi dan pilihan bebas tidak banyak bermakna. Dalam beberapa aspek, kaliber debat dan pilihan dalam pemilihan umum neoliberal cenderung menyerupai negara komunis berpartai-tunggal daripada suatu demokrasi sejati.

Tapi ini belum mengindikasikan dampak berbahaya neoliberalisme dalam budaya politik yang berpusat pada warga. Di satu sisi, ketimpangan sosial yang ditimbulkan oleh kebijakan neoliberal menghambat segala upaya untuk merealisasikan kesetaraan hukum yang dibutuhkan untuk membuat demokrasi kredibel. Korporasi besar memiliki sumber daya untuk mempengaruhi media dan menguasai proses politik, dan hal itu mereka lakukan. Dalam politik elektoral AS, sebagai satu contoh saja, seperempat dari satu persen warga terkaya di Amerika memberikan 80% dari keseluruhan kontribusi politik individual; sedangkan korporasi menghabiskan lebih banyak uang untuk itu dibandingkan buruh dengan perbandingan sepuluh banding satu. Dalam neoliberalisme ini semua masuk akal; pemilihan umum mencerminkan prinsip pasar, dengan besarnya kontribusi sebanding dengan investasi. Hasilnya, ia memperkuat anggapan bahwa politik elektoral tidak relevan bagi kebanyakan orang dan kekuasaan korporasi tetap terjaga tanpa digugat.

Di sisi lain, agar efektif, demokrasi mengharuskan orang merasakan koneksi dengan sesama warga negara, dan koneksi ini memanifestasikan dirinya melalui beragam organisasi dan institusi non-pasar. Budaya politik yang hidup membutuhkan kelompok-kelompok komunitas, perpustakaan, sekolah umum, organisasi warga, koperasi, tempat pertemuan umum, asosiasi sukarelawan, dan serikat buruh yang memberikan jalan bagi warga untuk bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan sesamanya. Demokrasi neoliberal, dengan konsep pasar uber alles, membidik sektor ini. Bukannya warga negara, ia menghasilkan konsumen. Bukannya komunitas, ia memproduksi mal-mal belanja. Hasil akhirnya adalah masyarakat yang teratomisasi, terdiri dari individu-individu yang terpisah-pisahkan, yang merasakan demoralisasi dan secara sosial tidak berdaya.

Ringkasnya, neoliberalisme adalah musuh utama dan terdepan bagi demokrasi partisipatoris sejati, bukan saja di Amerika Serikat tapi di seluruh penjuru planet, dan ini akan berlanjut di masa depan. Adalah tepat bahwa Noam Chomsky merupakan tokoh intelektual terdepan di dunia saat ini dalam pertempuran merebut demokrasi dan melawan neoliberalisme. Pada tahun 1960an Chomsky adalah kritikus perang Vietnam utama yang berasal dari AS dan, lebih luas lagi, mungkin merupakan seorang analis paling tajam mengenai kebijakan luar negeri AS yang menghancurkan demokrasi, menghanguskan HAM, dan mengedepankan kepentingan segelintir kaum kaya. Pada tahun 1970an, Chomsky (bersama mitranya, Edward S. Herman) mulai melakukan riset tentang cara-cara media berita AS melayani kepentingan elit dan menghambat kapasitas warga negara dalam mengatur secara sungguh-sungguh kehidupan mereka secara demokratik. Buku mereka yang terbit tahun 1988, Manufacturing Consent masih menjadi titik tolak bagi penyelidikan yang serius mengenai kinerja media berita.

Selama tahun-tahun ini Chomsky, yang dapat dikarakterkan sebagai seorang anarkis atau mungkin lebih akuratnya, sosialis libertarian, ialah seseorang yang vokal, berprinsip, serta secara konsisten dan demokratik menentang dan mengritik negara dan partai politik Komunis dan Leninis. Ia mendidik tak terhitung banyaknya orang, termasuk saya sendiri, bahwa demokrasi adalah batu pijakan yang tak bisa dinegosiasikan dalam masyarakat paska-kapitalis apa pun yang patut diperjuangkan atau menjadi tempat kita menjalani hidup. Pada saat bersamaan, ia mendemonstrasikan absurdnya menyama-nyamakan kapitalisme dengan demokrasi, atau berpikir bahwa masyarakat kapitalis, bahkan dalam situasi terbaiknya, akan membuka akses informasi atau pengambilan keputusan yang melampaui kemungkinan yang paling sempit dan terkontrol. Saya ragu bahwa ada penulis lain, kecuali mungkin George Orwell, yang mendekati Chomsky dalam menghimpun secara sitematis kemunafikan kaum penguasa dan para pakar ideologi di masyarakat Komunis dan kapitalis dengan klaim mereka bahwa demokrasi mereka adalah bentuk paling sejati yang dimungkinkan bagi kemanusiaan.

Pada tahun 1990an, semua ragam tema karya politik Chomsky - dari anti-imperialisme dan analisis kritik media hingga tulisan-tulisan tentang demokrasi dan gerakan buruh - telah dikumpulkan, berkulminasi pada karya seperti Profit Over People, tentang demokrasi dan ancaman neoliberal. Chomsky telah banyak berjasa dalam menghidupkan pemahaman tentang persyaratan sosial bagi demokrasi, dengan menarik pelajaran dari Yunani kuno maupun pemikir-pemikir utama dalam revolusi demokratik dari abad ketujuhbelas dan delapanbelas. Sebagaimana dijelaskannya, tidaklah mungkin menjadi proponen demokrasi partisipatoris dan pada saat bersamaan menjadi kampiun kapitalisme atau masyarakat lainnya yang terbagi-bagi dalam kelas. Dalam melakukan penilaian terhadap perjuangan historis riil untuk demokrasi, Chomsky juga mengungkap bahwa neoliberalisme sama sekali bukan hal baru; ia hanyalah versi terkini dari peperangan yang dilakukan oleh segelintir kaum kaya untuk memangkas hak-hak politik dan kekuasaan warganegara dari kaum yang jumlahnya jauh lebih besar.

Chomsky bisa jadi juga seorang kritik terdepan terhadap mitologi pasar "bebas" alami, yakni hymne gembira yang didesakkan ke kepala kita tentang ekonomi yang kompetitif, rasional, efesien, dan adil. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, pasar hampir selalu tak pernah kompetitif. Sebagian besar ekonomi didominasi oleh korporasi yang massif dengan kontrol luar biasa terhadap pangsa pasar mereka dan oleh karenanya menghadapi sedikit kompetisi berharga seperti yang digambarkan dalam buku-buku pelajaran ekonomi dan pidato-pidato politikus. Lebih jauh lagi, berbagai korporasi pun adalah organisasi yang secara efektif totaliter, beroperasi menurut garis non-demokratik. Dengan ekonomi kita yang berpusat pada institusi seperti itu, sungguh terkompromikanlah kemampuan kita untuk memiliki masyarakat yang demokratik.

Mitologi pasar bebas juga meyakini bahwa pemerintah adalah institusi yang tak efesian dan harus dibatasi, agar tidak merugikan sihir laissez faire alami pasar. Faktanya, sebagaimana ditekankan oleh Chomsky, pemerintah menempati posisi sentral dalam sistem kapitalis modern. Mereka dengan murah hati menyubsidi korporasi dan bekerja untuk mendorong kepentingan korporasi dalam berbagai lini. Korporasi yang diuntungkan oleh ideologi neoliberal faktanya justru sering munafik: mereka menghendaki dan mengharapkan pemerintah untuk mengucurkan dolar pajak ke mereka, dan melindungi pasar mereka dari kompetisi, tapi mereka ingin diyakinkan bahwa pemerintah tidak akan memajaki mereka atau memberi dukungan atas nama kepentingan non-bisnis, terutama kaum miskin dan kelas pekerja. Pemerintah justru lebih besar dari sebelumnya, tapi di bawah neoliberalisme mereka lebih tidak berpura-pura mengakomodasi kepentingan non-korporasi.

Peran sentral pemerintah dan pembuat kebijakan paling nyata terlihat dalam kemunculan ekonomi pasar global. Apa yang dipresentasikan oleh para ideolog pro-bisnis sebagai ekspansi alami pasar bebas melintasi perbatasan, pada faktanya adalah sebaliknya. Globalisasi adalah hasil dari pemerintah-pemerintah adidaya, terutama Amerika Serikat, yang mendorong kesepakatan-kesepakatan dagang dan perjanjian lainnya ke tenggorokan rakyat dunia untuk memudahkan korporasi dan kaum kaya mendominasi ekonomi-ekonomi bangsa di seluruh dunia tanpa bertanggung-jawab apa pun terhadap rakyat-rakyat bangsa tersebut. Proses ini tampak paling jelas dalam pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia pada awal 1990an dan kini dalam perumusan rahasia atas nama Kesepakatan Investasi Multilateral (MAI).

Sesungguhnya, salah satu ciri paling menyolok dari sistem ini adalah kemampuannya mengebiri diskusi dan debat yang jujur dan terbuka tentang neoliberalisme di Amerika Serikat maupun tempat lainnya. Kritik Chomsky terhadap tatanan neoliberal secara efektif berada di luar jangkauan analisa mainstream meskipun tersedia landasan empiris yang kuat dan berkomitmen pada nilai-nilai demokratik. Di sini, analisa Chomsky tentang sistem doktrinal dalam demokrasi kapitalis menjadi berguna. Korporasi media berita, industri Humas, ideolog-ideolog akademisi, dan budaya intelektual menuliskan sandiwara besar untuk menyajikan "ilusi yang dibutuhkan" agar situasi yang tak dapat ditolerir ini tampil seolah-olah rasional, berlandaskan niat-baik, dan dibutuhkan (kadang perlu tampil diinginkan). Sebagaimana buru-buru ditunjukkan oleh Chomsky, ini bukan konspirasi formal oleh kepentingan besar, karena tak perlu seperti itu. Melalui beragam mekanisme institusional, dikirimkan sinyal-sinyal kepada para intelektual, komentator, dan wartawan, untuk mendorong agar status quo terlihat sebagai pilihan terbaik di antara yang mungkin. Diupayakan pula agar mereka yang diuntungkan oleh status quo dijauhkan dari tantangan. Karya Chomsky adalah seruan langsung bagi para aktivis demokratik untuk membangun kembali sistem media kita agar terbuka bagi perspektif dan penyelidikan anti-korporasi dan anti-neoliberal. Ini juga suatu tantangan bagi semua intelektual, atau setidaknya mereka yang menyatakan berkomitmen terhadap demokrasi, untuk berkaca langsung di hadapan cermin dan menanyakan diri mereka sendiri kepentingan siapa, dan untuk nilai-nilai apa, mereka melakukan pekerjaan mereka.

Deskripsi Chomsky tentang cengkraman neoliberal/korporasi dalam ekonomi, kebijakan, jurnalisme, dan budaya kita begitu kuat dan menimbulkan keprihatinan sehingga bagi beberapa pembaca itu dapat menciutkan nyali. Dalam masa politik yang mendemoralisir ini, beberapa pihak dapat mengambil langkah berikutnya dengan menyimpulkan bahwa kita terjebak dalam sistem yang regresif ini karena, sayangnya, umat manusia praktis tak mampu menciptakan tatanan sosial yang lebih manusiawi, egalitarian dan demokratik.

Faktanya, kontribusi terbesar Chomsky mungkin terletak pada penekanannya pada kecenderungan demokratik yang fundamental dalam rakyat di dunia, dan potensi revolusioner yang tersirat dalam denyut tersebut. Bukti terbaik tentang kemungkinan ini adalah begitu bersusah-payahnya korporasi mencegah berdirinya demokrasi politik yang sejati. Para penguasa dunia memahami secara implisit bahwa sistem mereka didirikan untuk memenuhi kebutuhan segelintir, bukan banyak orang, dan bahwa orang yang lebih banyak tersebut tidak dapat dibolehkan mempertanyakan atau mengubah kekuasaan korporasi. Bahkan dalam demokrasi tambalan yang memang ada, komunitas korporasi bekerja tanpa henti untuk mengawasi agar isu-isu penting seperti MAI tidak pernah diperdebatkan secara umum. Dan komunitas bisnis membelanjakan uang yang sangat banyak untuk menyewa aparat humas untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa yang ada adalah yang terbaik dari segala yang mungkin. Menurut logika ini, kemungkinan perubahan sosial yang lebih baik perlu ditakuti bila komunitas korporasi meninggalkan humasnya dan tak lagi menyogok pemilu, membolehkan media representatif, dan tak keberatan mendirikan demokrasi partisipatoris egalitarian sejati karena ia tak lagi takut pada kekuatan rakyat banyak.

Pesan-pesan neoliberalisme yang paling lantang adalah bahwa tidak ada lagi alternatif terhadap status-quo, dan bahwa umat manusia telah mencapai tingkat yang tertinggi. Chomsky menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode lain sebelumnya yang dinyatakan sebagai "akhir sejarah". Pada tahun 1920an dan 1950an, contohnya, kaum elit AS mengklaim bahwa sistem yang ada berjalan baik dan kejinakan massa mencerminkan kepuasan meluas terhadap status quo. Peristiwa yang terjadi tak lama setelah itu membuat terang benderang ketololan keyakinan tersebut. Dugaan saya adalah bila kekuatan demokratik mencatat sedikit saja kemenangan nyata, darah pun segera mengalir kembali dalam nadi mereka, dan pembicaraan tentang tidak adanya harapan untuk perubahan akan bernasib sama seperti fantasi-fantasi kaum elit sebelumnya tentang kejayaan kekuasaan mereka yang akan berlangsung selama seribu tahun.

Pandangan bahwa tidak ada alternatif yang lebih baik terhadap status quo justru saat ini lebih parah dibandingkan sebelumnya, dalam era di mana terdapat teknologi-teknologi yang susah diterima akal dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kondisi manusia. Benar bahwa masih belum jelas bagaimana kita dapat mendirikan tatanan paska-kapitalis yang dimungkinkan, bebas, dan manusiawi; pandangan itu memiliki kesan utopia. Tapi tiap langkah maju sejarah, dari pengakhiran perbudakan dan pendirian demokrasi untuk mengakhiri kolonialisme formal, pada titik tertentu harus menaklukkan anggapan bahwa hal tersebut tak mungkin karena belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebagaimana ditunjukkan oleh Chomsky, aktivisme politik terorganisir berjasa atas tingkat demokrasi yang kita miliki saat ini, hak pilih universal bagi orang dewasa, hak-hak perempuan, serikat buruh, hak-hak sipil, kebebasan yang kita nikmati. Bahkan bila pandangan tentang masyarakat paska-kapitalis tampaknya tak tercapai, kita tahu bahwa aktivitas politik manusia dapat membuat dunia tempat kita tinggal menjadi sangat manusiawi. Ketika kita mencapai titik tersebut, mungkin kita akan dapat kembali memikirkan tentang pembangunan ekonomi politik yang berdasarkan pada prinsip kerjasama, persamaan, pemerintahan swadaya, dan kebebasan individu.

Hingga saat itu tiba, perjuangan untuk perubahan sosial bukanlah persoalan hipotetik. Tantangan neoliberal saat ini telah menyebabkan krisis politik dan ekonomi yang massif dari Asia timur ke Eropa timur dan Amerika Latin. Kualitas kehidupan di negeri-negeri maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Utara sangat rapuh dan masyarakatnya berada dalam keresahan yang cukup berarti. Pergolakan besar menghantui tahun-tahun dan dekade ke depan. Terdapat keraguan yang cukup besar tentang kelanjutan dari pergolakan itu, dan sedikit saja alasan untuk memikirkan itu akan otomatis berujung pada resolusi yang demokratik dan manusiawi. Itu akan ditentukan oleh bagaimana kita, sebagai rakyat, mengorganisir diri, merespon, dan beraksi. Seperti dikatakan Chomsky, bila kau beraksi layaknya tak ada perubahaan yang lebih baik, maka kau menjamin bahwa tidak ada perubahan yang lebih baik. Pilihan ada pada kita, pilihan ada pada Anda.