Selasa, 19 Juli 2011

UBERMENSCH: SUPERMANNYA NIETZSCHE

Hidup, Karya dan Kematian Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Röcken. Beliau dinamakan Friedrich Wilhelm karena hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Friedrich Wilhelm seorang raja Prusia yang sangat dihormati pada masanya, karenanya merupakan kebanggaan bagi Nietzsche kecil karena hari kelahirannya selalu dirayakan banyak orang.

Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang soleh. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862) adalah pejabat tinggi dalam gereja Lutheran yang dapat disejajarkan dengan seorang uskup dalam gereja Katholik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), adalah seorang pendeta di desa Röcken dekat Lützen, sedangkan ibunya, Franziska Oehler (1826-1897) juga seorang Lutheran dan verasal dari keluarga pendeta. Sehingga tidak mengherankan apabila keluarga Nietzsche sangat terkenal dengan ketaatannya.

Kehidupan keluarga Nietzsche sangat bahagia namun kebahagiaan ini tidak berjalan lama terutama setelah kematian ayahnya pada tahun 1849, dikala Nietzsche berusia 4 tahun dan pada tahun 1850, adik laki-laki Nietzsche, Joseph, meninggal juga. Setelah kejadian tersebut keluarga Nietzsche pindah ke Naumburg yang merupakan kota asal nenek moyang Nietzsche. Dalam keluarga, Nietzsche merupakan laki-laki satu-satunya, anggota keluarga lainnya yaitu ibu, kakak perempuan, kedua tante dan nenek.

Pada usia menjelang 6 tahun ia masuk sekolah gymnasium, ia termasuk murid yang pintar dan pandai bergaul, lalu ia mulai berkenalan dengan karya-karya Goethe dan Wagner melalui teman-temannya ini. Pada usia 14 tahun Nietzsche pindah sekolah yang bernama Pforta, yang merpakan sekolah asrama yang menerapkan peraturan sangat ketat tak ubahnya bagai hidup di penjara. Disinilah ia belajar bahasa Yunani, Latin dan Hibrani, dan dengan berbekal pengetahuan inilah Ia akan menjadi ahli Filologi yang brilian. Karena kekagumannya terhadap karya-karya klasik Yunani maka Nietzsche dan teman-temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug membentuk kelompok studi sastra yang diberi nama Germania. Pada tahun 1864 Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam ilmu Filologi dan Teologi, dalam bidanf filologi ia diajar oleh Fiedrich Ritschl dan banyak membantu kemahiran Nietzsche dalam bidang filologi. Pada tahun 1865 Nietzsche memutuskan untuk tidak belajar Teologi, keputusan ini sangat erat hubungannya dengan keraguannya akan keimanannya dan tentunya mendapat tantangan dari ibunya, namun Ia pernah menulis surat bahwa “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah…” dan pemikiran ini yang mendasari Nietzsche untuk menjadi freetihinker. Di Bonn ia hanya tahan selama 2 semester kemudian pindah ke Leipzig untuk belajar Filologi selama 4 semester, disini ia banyak mendapatkan penghargaan dibidang filologi dari universitas.

Tokoh yang mempengaruhi dari segi intelektualnya adalah Schopenhauer (1788-1860) dengan karyanya The World as Will and Ideas, 1819 yang dibelinya di toko buku bekas. Dan tokoh lainnya adalah Friedrich Albert Lange (1828-1875) dengan karyanya Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya pada Jaman Sekarang, 1866. Dari kedua karya ini sebenarnya satu sama lain bertentangan, buku yang ditulis oleh Schopenhauer mengungkapkan manusia secara utuh dan dengan perasaan, sedangkan yang ditulis Lange lebih menekankan pada sisi intelek saja dan pendekatannya lebih filosofis.

Pada tahun 1867-1868 Nietzsche mengikuti wajib militer untuk melawan Prancis, dan disana ia mendapatkan banyak pengalaman yang tak terduga dan masa dinasnya berakhir karena ia mengalami kecelakaan jatuh dari kuda. Setelah berakhirnya masa dinas militer, Nietzsche merasa studi filologi itu hambar dan mati, namun pendapat ini berubah setelah ia berkenalan secara pribadi dengan musisi Richard Wagner, dan dari sinilah Nietzsche memperoleh optimismenya kembali bahwa kebebasan dan karya yang jenius masih dapat dicapai asalkan diresapi oleh semangat Wagner.

Pada tahun 1869 ia mengajar di Universita Basel, Swiss dan mengajar disana selama 10 tahun kemudian berhenti karena kesehatannya memburuk. Ia mengajarkan Filologi dan bahasa Yunani. Sejak keluar dari Basel kondisi kesehatannya menurun, pada tahun 1870 ia mengalami sakit desentri dan difteri. Sakit mata dan kepala makin parah sejak tahun 1875, dan serangan yang paling parah pada tahun 1879 sehingga ia harus berhenti sebagai dosen.

Namuna selama masa istirahatnya Nietzsche malah semakin produktif dalam menulis karya-karyanya, pada tahun 1872 ia menulis The Birth of Tragedy out of the spirit of Music, tahun 1873-1876 ia menulis Untimely Meditations yang terdiri dari 4 bagian. Pada tahun 1878 diterbitkan buku Human, All-Too-Human, dan pada tahun 1879 ia mengeluarkan 2 karya yaitu Mixed Opions and Maxims dan The Wander and His Shadow. Pada tahun 1879 inilah kondisi Nietzsche sangat menurun sehingga ia harus mundur dari profesi dosen. Namun ia terus berkarya dimana pada tahun 1881 ia berhasil menerbitkan buku yang berjudul Fajar, Gagasan-gagasan tentang Praanggapan Moral, pada tahun 1882 diterbitkan Die Fröhliche Wissenschaft dan dalam buku ini ia memproklamasikan Tuhan telah mati (Gott ist tot). Pada tahun 1885 ia menulis Thus Spoke Zarathustra disini ia mengungkapkan gagasan Übermensch. Pada tahun 1886 ia menulis Jenseits von Gut und Böse, lalu ditahun berikutnya ia menulis buku yang berisi Kritik akan modernitas, ilmu pengetahuan modern, seni modern dan disusul oleh buku yang berjudul Zur Genealogie der Moral, Eine Streitschrift. Dan masih banyak lagi karya-karya Nietzsche yang belum diterbitkan seperti Pudarnya Para Dewa (1889), Antikristus (1895), Ecce Homo (1908).

Nietzsche mengakhiri hidupnya dengan kesendirian setelah keinginannya untuk menikahi Lou Salome tidak disetujui oleh kakak perempuannya, Elizabeth, karena rencana pernikahan yang melibatkan Paul Ree dimana mereka terlibat cinta segitiga. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1900 Nietzsche menghembuskan nafas terakhirnya di Weimar, yang sangat tragis ia tidak mengetahui bahwa ibunya telah meninggal dan juga ia mengetahui bahwa dirinya mulai termasyur.

Gagasannya tentang Übermensch

Gagasan utama dari Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (Will to Power), dimana salah satu cara untuk menunjukkah kehendak untuk berkuasa ini diungkapkan melalui gagasannya tentang Übermensch (Overman taua Superman). Übermensch merupakan suatu tujuan hidup manusai didunia ini agar mereka kerasan dan gagasan tentang Übermensch ini banyak diungkapkan dalam bukunya Also Sprach Zarathustra dimana didalam buku tersebut diungkapkan :

Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.

(Also Sprach Zarathustra)

Melihat dari segi bahasa Über pada Übermensch mempunyai peran yang menentukan dalam membentuk seluruh makna Übermensch, dimana kehendak untuk berkuasa sebagai semangat untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi diri (ST. Sunardi,1999,93). Sehingga akan lebih tepat apabila Übermensch diartikan sebagai manusia unggul atau manusia atas.

Übermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia, sehingga Nietzsche tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia, dan pemberian makna hanya dapat dicapai melalui Übermensch. Übermensch merupakan suatu bentuk manusia yang yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai Übermensch ini adalah manusia yang selalu mengatakan “ya” pada segala hal dan siap menghadapi tantangan, yang mempunyai sikap selalu mengafirmasikan hidupnya dan tanpa itu Übermensch tidak mungkin akan tercipta. Jadi Übermensch tidak pernah menyangkal ataupun gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dasyat.

Nietzsche juga percaya bahwa dengan berhadapan dengan konflik, maka manusia akan tertantang dan segala kemampuan yang dimilikinya dapat keluar dengan sendirinya secara maksimal, maka tidak mengherankan apabila Nietzsche sangat gemar seakali dengan kata-kata peperangan, konflik dan sebagainya yang dapat membangkitkan semangat manusia untuk mempunyai kehendak berkuasa. Nietzsche percaya bahwa jalan manusia menuju Übermensch dan langkah meninggalkan status kebinatangannya selalu dalam keadaan bahaya dan manusia adalah mahluk yang tidak ada henti-hentinya menyeberang atau transisisonal.(Nietzsche mengatakan bahwa manusia kedudukannya beraada ditengah-tengah status kebinatangan dan Übermensch).

Dalam Übermensch yang dibutuhkan adalah kebebasan dan aku ingin berkuasa dan yang menjadi ukuran keberhasilan adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan. Namun demikian tetap saja Übermensch hanya dapat dicapai dengan menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia secara individual, dan rumusan Übermensch yang dirasakan tepat adalah yang diungkapkan oleh Curt Friedlin yaitu, kemungkinan paling optimal bagi seseorang diwaktu sekarang, dan bukanlah tingkat perkembangan yang berada jauh di depan yang hanya ditentukan secara rasional.(ST Sunardi,1999,102) Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebesaran manusia ini hanya dapat dialami oleh orang yang mengarahkan dirinya pada Übermensch, yaitu suatu kemungkinan optimal seseorang berdasarkan potensialitas kemanusiannya atau dorongan hidupnya. (ST.Sunardi,1999,103). Übermensch hanya dapat dicapai melalui kehendak untuk berkuasa sehingga manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan mengatasi masalahnya tanpa harus bergantung pada moral dan agama (agama merupakan faktor penghambat) dan Übermensch tidak mungkin dapat ditunjuk dengan jari. (Di sini terlihat ada pengaruhnya dengan Zen Buddhisme).

Dalam membahas Übermensch tidak mungkin tidak, kita harus mengungkapkan juga 2 moral dasar yang ada di dalam manusia yaitu moral budak dan moral tuan, dan manusia yang ingin mencapai Übermensch harus mengarahkan moralnya pada moral tuan.
Übermensch dari Sudut Pandang Eksistensialisme

Sebelum kita melangkah jauh membahas tentang gagasan Nietzsche tentang Übermensch, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang Eksistensialisme. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan ada ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa eksistensi adalah manusia sadar akan dirinya, manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.

Ada beberapa ciri umum Filsafat Eksistensialisme yang merupakan perumusan dari beberapa filusuf eksistensialis, yaitu :

1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistik.

2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.

3. Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya.

4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. (Harun Hadiwijono,1998,149)

Seperti telah diungkapkan diatas bahwa Übermensch merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dimana manusia itu dapat mengatasi kumpulan manusia dalam massa dengan menggunakan kekuatannya. Yang menjadi tujuan utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa. Yang dimaksud kehanyutan dalam massa disini adalah manusia yang ingin mencapai Übermensch haruslah mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumnya. Manusia harus berani menghadapi tantangan yang ada didepan mereka dengan menggunakan keuatannya sendiri. Nietzsche pada kesempatan lain ingin mengusulkan untuk dibentuk suatu seleksi untuk membentuk manusia atas atau manusia unggul dengan cara eugenika. Dia mengatakan bahwa manusia unggul baru dapat dicapai apabila ada perpaduan yang harmonis antara kekuatan, kecerdasan dan kebanggaan.

Dalam kesempatan lain Nietzsche mengungkapkan bahwa persamaan hak atau atau persamaan antara bangasa serta asas demokrasi merupakan suatu gejala bahwa masyarakat telah menjadi busuk. Tidak akan pernah ada persamaan hak karena manusia mempunyai ciri0ciri yang unik yang individual, dan manusia yang unggul ataupun bangsa yang unggul harus menguasai manusia atau bangsa yang lemah, sehigga Nietzsche mendukung peperangan dan mengutuk perdamaian. Perdamaian boleh terjadi tetapi untuk waktu yang tidak lama seperti yang diungkapkannya dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu :

“Kau harus cinta perdamaian sebagai alat untuk peperangan-peperangan baru dan masa damai yang singkat lebih baik ketimbang yang panjang. Kepadamu tidak kuanjurkan kerja, melainkan perjaungan, Kepadamu tidak kuanjurkan perdamaian, melainkan kemenangan. Jadikanlah karyamu sebagai perjuangan. Jadikanlah perdamaian sebagai kemenanganmu. Orang bisa tidak bersuara dan duduk diam saja kalau ia memiliki busur dan panah, kalau tidak mereka niscaya membual dan cekcok saja”.

Dari uraian disinilah terlihat bahwa Nietzsche sangat mengagungkan konflik dan peperangan. Jadi Manusia atau bangsa harus dipimpin oleh bangsa atau manusia yang unggul atau manusia atas, dan tidak akan pernah ada kesamaan hak, karena doktrin kesamaan hak itu merupakan perlindungan bagi golongan yang lemah agar tidak diserang atau dijajah oleh bangsa yang unggul seperti semboyan yang terus diterikkan adalah laissezfaire pada masyarakat demokratis dimana mereka merindukan kesamaan hak adalah sebenarnya orang-orang pengecut belaka. Doktrin bangsa yang unggul adalah yang dipakai oleh Adolf Hitler dalam Nazisme. Untuk mempertegasnya maka perlu diungkapkan apa yang telah diaktakan Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra yaitu:

“Sebab bagiku beginilah bunnyi keadilan : ’Manusia tidaklah sama.’ Tidak pula merak akan menjadi sama”.

Nietzsche mengatakan dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu Jadilah manusia atas, ibarat samudera luas yang tidak akan luntur karena harus menampung arus sungai yang keruh. Manusia harus terus menerus malampaui dirinya sendiri, terus menerus mencipta. Dan dilanjutkan dalam bagian lain dalam buku yang sama yaitu :

“Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menentukan tujuan baginya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya…”

Dari ujaran Zarathustra diatas dapat diungkapkan bahwa Nietzsche percaya bahwa manusia unggul selalu aktif dan kreatif yang tidak akan pernah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya, manusia selalu mempunyai ciri khas tersendiri mempunyai nilai dan norma sendiri karena manusialah yang menciptakan nilai dan norma tersebut. Manusia unggul harus meninggalkan apa yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan. Dan seperti telah diungkapkan diatas bahwa manusia unggul baru akan terjadi apabila manusia itu dalam keadaan menderita, karena untuk mejadi kreator diperlukan penderitaan dan banyak perubahan.

Nietzsche mengatakan bahwa hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya. Dalam Zarathustra sudah dikatakan juga bahwa manusia adalah unggul, asalkan ia mau terus menerus menjulangkan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk itu, manusia harus bebas dari segala kekhawatiran dan rasa dosa. Ia harus cinta akan kehidupan karena cinta kehidupan berarti sanggup menanggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai.” Dari uraian diatas maka jelas merupakan ungkapan eksistensialis yang mengungkapkan pentingnya manusia yang terus berkarya, dan manusia selalu dinais dan suatu ada yang belum selesai.

Nietzsche terus mengungkapkan pentingnya keberanian yang harus dimilki oleh manusia atas atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani menghadapi segala tantangan yang ada didepan, dan manusia harus berani menderita guna mencapai tujuan hidupnya yaitu mencapai Übermensch, bahkan keberanian itu harus ditunjukkan dalam menghadapi maut dengan diungkapkannya semboyan “Matilah pada Waktunya” (Fuad Hassan,1992,58) Kematian itu datangnya harus disambut seperti kita menyambut kelahiran datau kebahagiaan.

Bagaimanapun manusai terus berusaha untuk menjadi unggul manusia juga harus terus menyadari bahwa manusai tidak akan mampu melampaui batas-batas kemampuannya sendiri. Dalam Zarathustra juga diungkapkan suatu ajaran Yunani Kuno yang berbunyi “Kenalilah dirimu”, dimana manusia harus mampu menjadi saksi bagi dirinya sendiri dan atas dasar itu ia akan mampu pula mendudukkan dirinya pada tempat yang sesuai. Dan dalam Zarathsutra Nietzsche mengungkapkan:

“Jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu, melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan sendiri mengandung ciri kepalsuan yang menjijikkan”

Ungkapan Nietzsche yang bisa menjadi renungan kita adalah setiap orang mempunyai tempat sendiri dalam kehidupan ini, yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing (terlihat ada pengaruh dari Zen Buddhisme tentang konsep Kekosongan atau ke-sunya-an).

Untuk menjadi Übermensch manusia haruslah menyadari siapa dirinya dan karenanya manusia juga harus mengetahuai bahwa manusia sebelumnya adalah “kau” dan ketika manusia telah sadar akan kemampuannya maka ia telah menjadi “aku”. “Aku” lahir sebelum “Kau”. Dan sejah “aku” lahir maa manusia menjadi tak pasti, ia terus menerus membantuk dirinya seolah-olah menuju kepastian dan kemantapan akan tetapi hal ini mustahil karena ketidak pastian dan ketidakmantapan itulah. Namun karena dalam keadaan khaos yang dihayati itulah, manusia menjadi kreatif serta bisa bercita-cita setinggi-tingginya, dan oleh karena itu ia harus cinta akan kehidupan.

Jika manusia tidak mempunyai cita-cita atau keinginan untuk menjadi unggul maka Nietzsche sangat jengkel pada mereka yang selalu mgnharapkan belas kasihan orang lain karena mereka tidak mempunyai rasa malu dan Nietzsche mengatakan bahwa menjengkelkan untuk memberi mereka sesuatu tetapi menjengkelkan juga untuk tidak memberi mereka apa-apa.

Dan seperti telah diugkapkan diatas bahwa manusia yangunggul adalah manusia yang mempunyai keberanian untuk memusnahkan nilai-nilai lama, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche dibawah ini :

“… Siapa pun yang hendak menjadi kreator dalam kebaikan dan keburukan, sesungguhnya, ia lebih dahulu harus menjadi pemusnah dan pendobrak segala nilai.”

Jadi jelaslah bahwa seorang kreator harus berani menyatakan apa yang menurutnya benar. Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan. Akan tetapi, kebenaran harus diungkapkan sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan disembunyikan tanpa berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya, sebab “ Diam adalah lebih buruk, semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun.”(Fuad Hassan,1992,67)

Diakhir cerita Also Sprach Zarathustra diungkapkan bahwa Nietzsche tidak menginginkan penganut-penganutnya untuk terus mengikutinya, Ia menginginkan manusia mencari jalannya sendiri, mencari jalan hidupnya sendiri. Bahkan Nietzsche menginginkan untuk terus ditentang dan dilawan oleh para pengikutnya. Hal ini diungkapkan dalam bukunya tersebut:

“Sekarang aku pergi sendiri, hai penganut-penganutku.
Kalian pun pergilah sekarang, sendiri.
Demikianlah kehendakku.
Jauhilah aku dan lawanlah Zarathustra”

Dan ungkapan ini terus dipertegas dengan ungkapan lain yang juga terdapat dalam bukunya yaitu :

“Tak sempurnalah seseorang membalas jasa gurunya, bilamana ia terus menerus bertahan sebagai muridnya saja.”

Dari uraian diatas terlihat lagi ada pengaruh dari Zen Buddhisme yang mengungkapkan pelajaran itu baru dikatakan telah merasuk dalam diri apabila telah melakukan kekosongan dan telah mengkosongkan pikirannya. Jika masih ada pelajaran yang tercantum dalam pikiran maka pelajaran itu tidak atau belum merasuk dalam diri. Demikian Nietzsche menerapkan setelah menerima ujaran Zarathustra maka hilangkan ajaran itu dalam pikiranmu dan carilah jalanmu sendiri, dan tempuhlah sehingga kita dapat membentuk jati diri sendiri.

Nietzsche bisa disebut sebagai seorang nihilis karena ia lebih dahulu menihilkan segala nilai lama dan mempermasalahkan segala nilai yang telah mantap. Dan inilah yang dinamakan berfilsafat dengan palu, karena dihancurkan semua yang telah lama dianut oleh masyarakat kemudian membentuk nilai baru yang dipercaya oleh individu.
Kesimpulan

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ajaran utama Nietzsche adalah Kehendak untuk berkuasa (Will to Power) yang dapat ditempuh dengan mencapai suatu cita-cita manusia unggul atau Übermensch.

Cara mencapai manusia unggul adalah dengan tiga komponen dasar, yaitu harus mempunyai keberanian, kecerdasan dan kebanggaan. Mereka harus berani karena mereka harus berani menghadapi kehidupan ini baik kebahagiaan maupun penderitaan. Nietzsche menegaskan bahwa dengan penderitaan manusia akan mencapai potensi yang maksimal, karena dengan dihadapkan dengan konflik manusia akan dapat dengan beik mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya dan ini akan membantu manusia untuk menjadi Übermensch.

Konsep Übermensch inilah yang dapat dilihat sebagai suatu gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang berada di dunia ini.

Namun sayangnya Nietzsche tidak sempat merasakan kemasyurannya ini terutama disaat-saat akhir hidupnya.

Oleh: Arif Wibowo Filsafat UI

Pustaka:

Dagun Save. M, Filsafat Eksistensialisme, cet.1, Rineka Cipta, Jakarta, 1990

Feibleman, James K., Understanding Philosophy : A Popular History of Ideas, Ed. 2, Billing & Sons Ltd, New York, 1986

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet.14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998

Hassan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme,cet.5, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992

Sunardi, ST, Nietzsche, Cet. 2, LkiS, Yogyakarta, 1999

Senin, 18 Juli 2011

PARADOKS ILMUWAN DAN AGAMAWAN



Bom meledak lagi. Anda mau jadi ilmuwan atau agamawan, terutama dalam melihat peristiwa dengan kultus kekerasan berlatar agama? Sebagai ilmuwan, sosiolog misalnya. Anda bisa berkata bahwa kekerasan berlatar agama yang meningkat belakangan ini bukan masalah agama, melainkan masalah sosial (tentu saja, Anda kan sosiolog). Sebagai sosiolog, kita bisa bilang bahwa wilayah-wilayah yang dulu menjadi basis PKI kini menjadi basis radikalisme agama. Itulah daerah-daerah yang miskin, tertinggal, tidak memiliki cukup akses kepada ekonomi. Artinya, radikalisme menjadi subur pada tanah yang kering.

Selama masih ada ketidakadilan, maka selama itu pula ada peluang untuk segala jenis radikalisme–juga radikalisme agama serta penggunaan kekerasan atas nama agama. Sebagai sosiolog, kita boleh berkata bahwa jika masyarakat beragama Z menolak berdirinya rumah sakit dari yayasan agama X, itu juga bukan masalah agama.

Itu,lagi-lagi, masalah sosial dan ekonomi. Hal demikian pasti terjadi di wilayah di mana masyarakatnya tidak memiliki cukup akses pada ekonomi. Hal demikian pasti terjadi di wilayah di mana kesenjangan disadari. Sebagai psikolog sosial, kita juga boleh melihat masyarakat sebagai kumpulan energi.

Energi harus dilepaskan.Jika dilepaskan perlahan,ia mengalir dengan tenang.Jika ditahan,maka suatu kali ia akan meledak.Seperti gunung api.Akses pada pendidikan, ekonomi,,dan politik merupakan kanal-kanal penyaluran energi masyarakat.Jika akses tidak ada,atau tidak memadai, maka terjadi pengumpulan energi yang mengancam akan meletup kelak. Begitulah,daerah kumuh kota,misalnya,selalu menyimpan potensi konflik.

Penduduknya yang padat berarti energi yang besar.Tak diimbangi pula dengan kanalkanal sosial ekonomi politik. Justru diperparah dengan pengelompokan suku dan agama.Demikian pula daerah dan komunitas yang terpinggirkan oleh industrialisasi. Mereka adakan konsentrasi potensi konflik. Sebagai sosiolog dan ilmuwan kita bisa berkata: satu-satunya jalan menghilangkan radikalisme adalah menghilangkan kesenjangan.Satu-satunya jalan melenyapkan terorisme adalah melenyapkan ketidakadilan.

Memang,itu hampir mirip dengan berkata: satu-satunya jalan menghilangkan radikalisme dan terorisme adalah dengan tinggal di surga. Yang pasti,setiap kali kita berkata demikian–bahwa satu-satunya jalan melenyapkan kekerasan atas nama agama adalah dengan menghilangkan kesenjangan–sesungguhnya, pada saat yang sama kita tidak percaya lagi bahwa agama punya kekuatan transformatif kepada kedamaian.

Setiap kali kita memilih menjadi ilmuwan dan melihat dengan kacamata tersebut,kita pun diam-diam melihat agama sebagai semata-mata bagian dari persoalan.Inilah titik di mana kita boleh memilih menjadi agamawan. Seorang ilmuwan melihat dari luar.Karena itu ia boleh melihat agama sebagai satu dari beberapa unsur yang saling menyumbang dalam suatu masalah.

Tapi,seorang agamawan melihat dari dalam. Dialah yang bertanggung jawab pada bagaimana teks-teks agama ditafsirkan. Jika ia percaya bahwa agama seharusnya adalah membawa jalan damai serta menjauhi kekerasan, dendam, dan kebencian, maka ialah yang bertanya mengapa agama menjadi software kekerasan dan mencari jawabnya dalam agama itu sendiri, bukan pada masalah eksternal sosial, ekonomi, politik, sebab itu adalah bagiannya para sosiolog dan ilmuwan.

Nah, Anda mau jadi ilmuwan atau agamawan? Sekali lagi, sebagai ilmuwan, kita tidak melihat semua ini sebagai masalah agama persis justru karena kita tidak percaya bahwa agama punya kekuatan transformatif kepada kebaikan. Memang di situ paradoksnya. Sebagai agamawan, kita harus mengakui dengan jujur tanpa dogmatisme, bahwa ada yang salah dengan penafsiran agama belakangan ini. Saya sendiri, alih-alih lebih suka menjadi seorang yang kritis dan skeptis, terkadang berusaha untuk berpikir menjadi ilmuwan ataupun berpikir menjadi agamawan.

Sabtu, 28 Mei 2011

MENJADI DIRI SENDIRI DAN BERPIKIR



Tidak ada itu yang namanya siapa yang paling pandai dan paling bodoh di dunia ini, karena setiap yang pandai itu boleh menjadi bodoh dan setiap yang bodoh itu boleh menjadi pandai. Sedangkan semesta telah menanam setiap jiwa yang dilahirkan dengan benih untuk mencapai keunggulan hidup. Tetapi benih itu tidak akan tumbuh seandainya tidak diikuti dengan keberanian berpikir, bertindak dan berbicara. Dalam hidup, seringkali kita lebih banyak mendapatkan apa yang tidak kita inginkan. Dan ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, akhirnya kita tahu bahwa apa yang kita inginkan terkadang tidak dapat membuat hidup kita menjadi lebih bahagia.

Saat kupandang langit malam dengan sedikit siraman sinar rembulan, aku sadari bahwa aku hanyalah partikel kecil diantara milyaran kosmos jagad raya. Aku adalah seorang kerdil yang duduk di bawah kaki langit, bernafas beriringan dengan waktu. Aku selalu yakin bahwa takdir, keadaan dan keberuntungan yang berpihak ataupun tidak pasti akan selalu datang silih berganti. Teruslah berpikir tuk pahami, bahwa tak harus menjadi orang lain untuk menjadi terkenal dan tak harus menjadi terkenal untuk dikenal orang lain. Menjadi diri sendiri lebih berarti meskipun terasing dalam kesendirian yang sunyi.

Senin, 25 April 2011

STEPHEN HAWKING: THE GRAND DESIGN (TEORI AWAL PENCIPTAAN ALAM SEMESTA)

Sejak pertanyaan “mengapa kita ada” mengusik manusia berpuluh abad silam, ikhtiar untuk mencari jawabannya tak pernah berhenti. Banyak orang berpaling ke berbagai kekuatan besar di luar manusia. Para filsuf sejak Yunani klasik menyodorkan jawaban-jawaban spekulatif dengan mengandalkan kekuatan logika. Merekalah yang mendominasi pikiran manusia.

Tapi filsafat kini mati, kata Stephen Hawking. Filsafat tak sanggup mengimbangi perkembangan sains modern, terutama fisika. Obor penerang bagi pencarian ilmu pengetahuan kini dipikul para ilmuwan. Walaupun sains modern dianggap baru bermula pada abad ke-17, sumbangannya luar biasa bagi kemajuan peradaban, meski sayangnya juga bagi kerusakan.

Bagi Hawking, untuk memahami semesta pada tingkat terdalam, kita perlu beranjak dari sekadar menjawab pertanyaan bernada “bagaimana” menuju “mengapa”. “Bagaimana” adalah pertanyaan praktis yang lazim diajukan ilmuwan. Dengan kemajuan sains, kinilah saatnya kita mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa sesuatu ada dan bukan tak ada? Mengapa kita ada? Mengapa hukum tertentu berlaku, dan bukan yang lain? Inilah pertanyaan pamungkas tentang kehidupan dan alam semesta yang secara “tradisional” beredar di ranah filsafat. Hawking, bersama Leonard Mlodinow, berusaha menjawabnya dalam karya mereka yang baru terbit, The Grand Design.

Bukanlah hal baru, sesungguhnya, bahwa ilmuwan berbicara melampaui batas-batas sains. Terutama ketika mereka berbicara tentang gerak, matahari dan bumi, planet dan semesta. Juga ketika Charles Darwin menerbitkan kitabnya, The Origin of Species, Tuhan dibawa-bawa ke dalam arena perdebatan. Revolusi yang ditimbulkan oleh Teori Evolusi menyebabkan orang berdebat di manakah peran Tuhan.

Pada masa yang lama, filsuf adalah juga ilmuwan (minus eksperimentasi). Aristoteles berbicara mengenai logika, etika, dan retorika, sebagaimana ia memikirkan mekanika dan semesta (kosmos). Jika kita memahami apa yang menyebabkan gerak, menurut Aristoteles, kita akan memahami sebab adanya dunia. Isaac Newton membaca Nicomachean Ethics, yang ditulis Aristoteles berabad-abad sebelumnya. Ia membuat catatan-catatan di bukunya mengenai filsuf Yunani ini. Ia mengajukan “beberapa pertanyaan filosofis”. Newton bertanya: “Dapatkah kita mengetahui, melalui kekuatan logika, apakah materi bersifat kontinu dan bisa dipecah-pecah secara tak terhingga, ataukah diskontinu dan individual?”

Newton, dalam pandangan Hawking, lebih ilmiah dalam memahami gerak. Dia diterima luas berkat hukum gerak dan gravitasinya, yang mampu menjelaskan orbit bumi, bulan, dan planet, bahkan fenomena naik-turunnya permukaan laut. Persamaan gravitasi yang memakai namanya masih diajarkan hingga kini. Newton, bersama barisan ilmuwan seperti Nicolas Copernicus, Johannes Kepler, Francis Bacon, Rene Descartes, dan Galileo Galilei, berupaya menemukan hukum-hukum yang mengatur alam. Mereka berusaha menjawab pertanyaan bagaimana alam ini bekerja.

Lewat perumusan dalam bahasa matematika (Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, 1687), para ilmuwan itu ingin menjawab pertanyaan dengan cara yang melampaui spekulasi. Mereka meninggalkan pandangan sebelumnya, yang mencari tujuan di balik berbagai fenomena, dan menganggap pertanyaan berkaitan dengan Tuhan, roh manusia, dan etika mempunyai signifikansi tertinggi. Toh, itu bukanlah jalan yang serta-merta menafikan konsekuensi yang lebih luas: filosofis, teologis, maupun praktis. Pandangan heliosentris Copernicus dan Galileo mematahkan pandangan geosentris Ptolemeus yang diikuti Gereja, dan serangan pada keyakinan religius ini telah menimbulkan masalah serius bagi kedua ilmuwan. Bagi Gereja, pandangan heliosentris adalah bidah, meski Descartes mengatakan hukum alam adalah takdir Tuhan dan Newton meyakini sistem tata surya tidak muncul dari kekacauan semata-mata dikarenakan hukum alam. Keteraturan di semesta, kata Newton, “diciptakan oleh Tuhan pada mulanya dan dipelihara olehnya hingga hari ini dalam keadaan dan kondisi yang sama”.

Fisika klasik dari generasi Newton juga mempengaruhi pandangan dunia, menembus wilayah di luar fisika. Selama abad ke-19 para ilmuwan terus mengembangkan model mekanistis alam dalam fisika, kimia, biologi, yang kemudian merambah area ilmu sosial dan psikologi. Fisikawan nuklir Fritjof Capra (The Turning Point) menunjukkan betapa pandangan mekanistis Cartesian-Newtonian mempengaruhi cara manusia memperlakukan alam, bukan untuk memperoleh kearifan, melainkan menguasainya. Alam dipahami dengan cara direduksi jadi bagian-bagiannya.

Dasar-dasar yang dibangun barisan raksasa itulah, seperti matematika dan metode penalaran oleh Descartes (Discourse on Method) dan metode ilmiah oleh Francis Bacon, yang memberikan keyakinan kuat kepada para ilmuwan hingga kini perihal kepastian pengetahuan ilmiah. Sebuah kepastian yang melampaui spekulasi filosofis. Sebuah keyakinan yang kemudian diwarisi Hawking, yang mengagungkan determinisme ilmiah. Pengaruh Newton dalam fisika, khususnya, mulai terusik ketika Michael Faraday melakukan eksperimen dan James Clerk Maxwell berhasil menggabungkan gaya listrik dan magnet menjadi elektromagnetik. Maxwell pula yang menemukan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Inilah masa peralihan menuju fisika modern yang ditandai lahirnya pemikiran revolusioner Albert Einstein tentang relativitas. Di usianya yang baru 26 tahun (1905), Einstein mempublikasikan makalahnya tentang relativitas khusus.

Selama 11 tahun kemudian, Einstein mengembangkan teori baru mengenai gravitasi, yang ia sebut relativitas umum (November 1915). Ia mengajukan pemikiran revolusioner bahwa ruang-waktu tidak datar, sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi berbentuk kurva dan ini terjadi karena distorsi oleh massa dan energi di dalamnya. Ini perombakan besar atas pemikiran Newtonian mengenai ruang dan meletakkan waktu sebagai dimensi yang sama penting di samping tiga dimensi ruang.

Dua tahun sesudah itu, Einstein menerbitkan tulisan berjudul Cosmological Considerations (Tinjauan Kosmologis). Ia menerapkan teori barunya untuk mengkaji alam semesta. Maka dimulailah era kosmologi modern. Sekali lagi Einstein memperlihatkan kepionirannya. Kosmologi mempelajari alam semesta yang sebagian besar telaahnya berdasarkan sejumlah hipotesis, dan gravitasi Einsteinian merupakan konsep terpenting dalam kosmologi. Semula kosmologi dipandang sebagai pseudo-sains, tapi dua perkembangan penting menjadikannya tak bisa diremehkan lagi. Pertama, terobosan dalam pengamatan astronomi, yang mampu mendeteksi galaksi-galaksi terjauh, membuat semesta menjadi laboratorium untuk menguji model-model kosmologi. Kedua, teori relativitas umum Einstein telah teruji sebagai teori gravitasi yang andal dan akurat yang berlaku di seluruh alam semesta.

Namun fisika klasik Newton dan fisika Einstein kesulitan ketika harus menjelaskan fenomena di dunia atomik dan subatomik. Pada 1920-an, kemampuan para fisikawan dalam memahami alam semesta dihadapkan pada tantangan yang serius. Setiap kali mereka bertanya kepada alam tentang suatu masalah dalam eksperimen atom yang mereka lakukan, alam menjawabnya dengan paradoks, hingga fisikawan Werner Heisenberg berulang kali bertanya pada diri sendiri: “Mungkinkah alam itu absurd sebagaimana yang tampak pada kita dalam eksperimen-eksperimen atom ini?” (Capra, The Tao of Physics, 1975).

Kegagapan menghadapi jagat subatomik itulah yang mendorong para ilmuwan semasa Einstein, seperti Heisenberg, Neils Bohr, Max Planck, Erwin Schrodinger, Paul Dirac, Louis deBroglie, dan Wolfgang Pauli, merumuskan kerangka konseptual bagi fisika baru. Materi subatom merupakan entitas sangat abstrak yang beraspek ganda, tergantung bagaimana kita memandangnya: sebagai partikel dan sebagai gelombang. Penemuan ini melumpuhkan pengertian klasik tentang obyek padat.

Dualitas partikel/gelombang itu dipahami Bohr sebagai komplementaritas, dan fisikawan Denmark ini kerap mengatakan pengertian ini mungkin juga bermanfaat dalam ilmu di luar fisika. Fisikawan Fritjof Capra termasuk perintis penafsiran yang meluas hingga wilayah spiritualitas. Karyanya yang masyhur, The Tao of Physics (1975), melihat kesejajaran dualitas ini dengan mistisisme Timur. Yin/yang dalam masyarakat Cina, misalnya. Namun penemuan berikutnya membikin Einstein tak habis pikir. Heisenberg menemukan prinsip ketidakpastian (1926), yang menyatakan kita memiliki keterbatasan dalam mengukur secara serentak posisi dan kecepatan suatu partikel. Partikel subatom tak bisa dipahami sebagai entitas yang mandiri, tapi mesti dilihat dari interaksinya dengan partikel lain. Tercium aroma posmo, memang. Dan inilah dimulainya babak baru bagi peran penting fisika kuantum.

Apa dampak relativitas Einstein dan fisika kuantum? Bom atom yang menjadi kekuatan ampuh untuk menghentikan Perang Dunia II dan kemudian memacu perlombaan senjata antara Uni Soviet dan Amerika Serikat beranjak dari teori relativitas khusus. Teori kuantum memberi landasan kuat bagi pengembangan teknologi informatika, dan kita sehari-hari memanfaatkannya: Internet. Tak kalah dahsyat dari itu ialah implikasinya atas pemikiran filosofis manusia mengenai diri dan alamnya. Teori relativitas berujung pada gambaran bahwa alam semesta terbatas dalam ruang dan berkembang meluas tak terhindarkan, bermula pada satu peristiwa besar ketika jagat raya lahir dalam suatu Dentuman Besar di awal semesta. Dan Einsteinlah yang membuka jalan bagi kosmologi modern.

Teori kuantum berujung pada gambaran bahwa pada skala terkecil benda-benda, termasuk jagat raya di awal hidupnya (bukan di masa sekarang), peristiwa-peristiwa fisik yang terjadi saat itu merupakan kebetulan tanpa sebab. Karena ukuran alam semesta amat-sangat kecil pada saat awal, menurut para penafsir teori kuantum, prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum juga berlaku pada alam itu.

Teori relativitas berujung pada kepastian, sedangkan teori kuantum berujung pada ketidakpastian. Inilah yang membuat Einstein geleng-geleng kepala: “(Rasanya) Tuhan tidak bermain dadu.” Di tengah kegalauannya, Einstein berusaha keras menyatukan gaya-gaya elektromagnetik (yang dipersatukan Maxwell), gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi (yang mengatur alam semesta) dalam satu rumusan tunggal dan final, yang oleh sebagian orang disebut Theory of Everything (Teori Segala Hal). Einstein gagal.

Di antara perdebatan yang kelak kerap diceritakan ulang oleh sejarawan sains itu, Edwin Hubble mempublikasikan hasil observasinya bahwa alam semesta mengembang (1929), tiga belas tahun sebelum Stephen Hawking lahir. Hawking memasuki dunia akademis ketika riset kosmologi berbasis relativitas umum Einstein tengah mekar-mekarnya. Barangkali zaman memang menunggu kehadirannya untuk memberikan kontribusi.

Pada awal 1970-an, teori lubang hitam sedang naik daun. Lubang hitam (black hole) adalah istilah yang ditemukan kosmolog AS, John Wheeler (1969), untuk “bintang-bintang yang mengalami keruntuhan gravitasi sempurna”. Di Moskow, Pasadena, Princeton, dan Cambridge, istilah ini pun segera populer. Hawking, yang batal melakukan riset doktoralnya di bawah Fred Hoyle, penemu istilah Big Bang (Dentuman Besar) pada 1949, mulai bekerja di bawah arahan Dennis Sciama. Sebagai bukan matematikawan murni, Hawking menerapkan teknik matematika yang diperkenalkan Roger Penrose untuk mempelajari lubang hitam. Penrose sendiri kemudian berusaha mencari jawaban atas pertanyaan “bagaimana kita berpikir” dan “apa yang menjadikan kita manusia” (dua kitabnya: The Emperor’s New Mind dan Shadows of the Mind).

Menjelang kelumpuhannya, Hawking mulai menonjol dalam kosmologi, khususnya lubang hitam. Alih-alih memakai tangan untuk menulis dan menggambarkan gagasannya, Hawking mulai beradaptasi untuk menggunakan gambaran mentalnya. Ia berusaha menyatukan teori relativitas tentang gravitasi dan fenomena skala besar dengan teori kuantum mengenai partikel subatom.

Dari coretan-coretan di benaknya saja, Hawking melahirkan Hukum Pertambahan Luas pada permukaan lubang hitam. Bunyinya: “Luas permukaan suatu lubang hitam hanya dapat tetap sama atau bertambah, tetapi tidak pernah berkurang.” Ilham tentang ide ini muncul tiba-tiba. “Begitu hebat pengaruh ini sehingga saya terjaga hampir semalaman,” tutur Hawking. Pernyataan “tidak pernah berkurang” dalam rumusan Hawking itu mengingatkan pada besaran entropi dalam Hukum Termodinamika II. Entropi (ketidakteraturan) suatu sistem hanya dapat tetap sama atau meningkat, tetapi tidak pernah berkurang (jika sistem itu terisolasi dan dibiarkan mencapai kesetimbangan). Ludwig Boltzmann, fisikawan Austria, pada 1878 menyebutkan definisi entropi sebagai banyaknya kemungkinan dalam melakukan penyusunan molekul. Misalnya, jika suatu keadaan mempunyai banyak cara yang berbeda untuk menyusun molekul-molekulnya, sistem itu mempunyai entropi yang besar.

Ketika benda mencapai kesetimbangan termal, benda itu mempunyai suhu tertentu dan karenanya memancarkan radiasi serta mengalami pertukaran energi dengan lingkungannya. Tapi ketika itu umum orang berpendapat, lubang hitam tidak mungkin memancarkan apa pun. Segala sesuatu bisa jatuh ke dalam lubang hitam, tak ada yang bisa keluar darinya. Cahaya sekalipun. Namun Jacob Bekenstein, mahasiswa pascasarjana yang dibimbing John Wheeler, berpendapat bahwa lubang hitam mempunyai entropi dan ini mungkin berkaitan dengan hukum pertambahan luas permukaan lubang hitam yang ditunjukkan Hawking. Bekenstein lalu menulis makalah singkat yang mengidentifikasi luas permukaan lubang hitam sebagai entropi lubang hitam.

Hawking menganggap mahasiswa itu telah menyalahgunakan teorinya. Namun pikirannya mulai terusik setelah bersama James Bardeen dan Brandon Carter di Pegunungan Alpen, Prancis, menemukan hukum yang mengatur evolusi lubang hitam berdasarkan relativitas Einstein. Hukum mekanika lubang hitam ini mirip dengan hukum termodinamika. Namun mereka ketika itu menganggapnya kebetulan belaka. Lain halnya bagi Bekenstein. Ia menganggap penemuan itu memperkuat pendapatnya bahwa luas permukaan lubang hitam adalah entropinya.

Kekukuhan pendapat Bekenstein mulai menggoyahkan Hawking. Ia lalu menelaah apa yang bisa terjadi di permukaan lubang hitam dengan memakai prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang meramalkan energi muncul dan lenyap bergantian dalam skala waktu yang ditentukan oleh skala Planck (10-33). Dengan persamaan Einstein, E=mc2, energi ini diubah menjadi partikel dan antipartikel yang silih berganti muncul dan lenyap. Dalam telaah itulah, Hawking menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum dalam rumusan tunggal untuk pertama kalinya (1974). Dari sini ia berkesimpulan bahwa lubang hitam tidak sepenuhnya hitam, tapi memancarkan radiasi-Bekenstein benar, rupanya. Jadi, lubang hitam tidak hanya mempunyai entropi, tapi juga suhu, dan mematuhi hukum termodinamika klasik yang ditemukan Boltzmann pada akhir abad ke-19.

Temuan itu diakui amat penting. Hanya beberapa pekan setelah tulisan tentang radiasi lubang hitam diterbitkan, Hawking menerima gelar kehormatan akademik tertinggi Inggris. Di usia 32 tahun, ia diangkat menjadi anggota Fellow of the Royal Society. Ia diundang untuk melakukan riset di Caltech, Pasadena, AS. Ketika itulah Hawking menerima surat pemberitahuan dari Vatikan bahwa ia dipilih oleh Akademi Sains Vatikan untuk menerima medali Paus Paulus XI. Penghargaan ini mulai menggeser riset Hawking dari lubang hitam ke permulaan alam semesta, dengan Dentuman Besar sebagai tesis yang diminati Gereja Katolik Roma.

Namun sejarah kemudian mencatat Hawking bergerak menjauhi harapan Vatikan. Penafsiran Richard Feynman, jenius fisika dari AS, atas teori kuantum melahirkan apa yang disebut sebagai “sum over histories”. Model kuantum menyebutkan partikel dikatakan tidak memiliki posisi yang pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik akhir dalam suatu eksperimen. Dalam tafsiran Feynman, partikel justru mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan kedua titik itu. Kesimpulan Feynman: suatu sistem bukan hanya memiliki satu sejarah, melainkan setiap sejarah yang mungkin. Ini gagasan radikal, bahkan bagi banyak fisikawan. Dalam teori Newtonian, masa lalu diasumsikan ada sebagai serangkaian peristiwa yang pasti. Menurut fisika kuantum, alam semesta memiliki bukan hanya satu masa lalu, melainkan banyak. Semesta bukan hanya memiliki eksistensi tunggal, tetapi setiap versi yang mungkin dari semesta ada secara simultan dalam apa yang disebut quantum superposition.

Penafsiran Feynman inilah yang membangkitkan semangat Hawking untuk memperbaiki teorinya. Dalam sejarah sains, kita telah menemukan serangkaian teori atau model yang lebih baik dan lebih baik, sejak Plato hingga teori klasik Newton sampai teori-teori kuantum modern. “Akankah rangkaian ini akhirnya mencapai suatu titik akhir, teori pamungkas tentang semesta, yang akan mencakup seluruh gaya dan memprediksi setiap observasi yang kita lakukan, ataukah kita akan terus selamanya menemukan teori yang lebih baik, tetapi tidak pernah menemukan satu teori yang tak bisa diperbaiki lagi?” tulis Hawking dalam The Grand Design.

“Kita belum memperoleh jawaban definitif atas pertanyaan ini,” tulis Hawking, “tapi kita sekarang memiliki calon bagi teori pamungkas tentang segala Hal, jika memang ada, yang disebut Teori-M.” Bagi Hawking, Teori-M adalah satu-satunya model yang mengandung seluruh sifat yang harus dimiliki teori yang final. Dan ini melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Berpijak pada penafsiran Feynman, Hawking mengatakan, menurut Teori-M, semesta kita tidaklah tunggal. Gagasan seperti ini di masa lampau pernah dilontarkan Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus-yang berarti mendahului Copernicus maupun Kepler dan Galileo. Al-Razi juga menyebutkan alam semesta ini tidak tunggal dan sangat banyak.

Namun, berbeda dengan Al-Razi yang berpaling kepada adanya pencipta, Hawking berujung di kesimpulan bahwa penciptaan alam semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Tuhan. Semesta yang banyak ini muncul alamiah dari hukum fisika. “Masing-masing semesta memiliki banyak sejarah yang mungkin dan banyak keadaan yang mungkin pada masa-masa yang kemudian, misalnya pada masa seperti sekarang, jauh sesudah terciptanya mereka. Semesta adalah prediksi sains.” Sebuah klaim yang lebih deterministik dibanding pernyataannya 22 tahun lalu dalam A Brief History of Time. “Apabila semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun, seandainya semesta benar-benar mandiri, tidak memiliki batas atau titik ujung, semesta tidak memiliki awal maupun akhir: semesta hanyalah ada. Kalau begitu, di mana tempat bagi Sang Pencipta?”

Scientific determinism, yang beberapa kali ditegaskan Hawking, tidak memberi tempat bagi Tuhan. Dalam sejarah perdebatan sains-agama, ini bukan hal baru. Charles Darwin telah memulainya, dan kini diwarisi dengan penuh keyakinan oleh ilmuwan Richard Dawkins (The Selfish Gen dan A Devil’s Chaplain). Dawkins menggusur peran Tuhan dalam penciptaan. Steven Weinber, fisikawan yang meraih Nobel bersama Abdus Salam, dalam Dreams of a Final Theory, menyebutkan semakin sains menukik ke dalam hakikat segala sesuatu, alam semesta ini tampaknya semakin tidak memberi tanda-tanda bahwa ia merupakan jejak Tuhan yang “menaruh perhatian kepadanya”.

Sebagian ilmuwan enggan menarik Tuhan ke dalam arena sains, seperti diwakili Peter Woit, fisikawan dari Universitas Columbia, AS, ketika menanggapi The Grand Design: “Saya lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.” Fisikawan seperti Paul Davies memilih posisi yang berseberangan dengan Hawking (The Mind of God dan God and the New Physics). Ada banyak posisi dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi), dan posisi Hawking adalah salah satunya. Barangkali tepat belaka pandangan Keith Ward dalam God, Chance and Necessity (1996) bahwa ini adalah perkara interpretasi. Dan Hawking memilih interpretasi materialistik.

Ilmuwan Paling Populer


Produser seri animasi terkenal The Simpsons rupanya jatuh cinta pada Stephen Hawking. Setidaknya sudah empat kali ilmuwan Inggris ini muncul dan bergaul dengan keluarga Pak Homer Simpson. Padahal tokoh dunia yang diparodikan dalam seri itu biasanya bintang film, sutradara, atau penyanyi. Sesekali muncul tokoh lain seperti pengarang Harry Potter, J.K. Rowling, serta negarawan top Bill Clinton dan Tony Blair. Sangat jarang ilmuwan seperti Hawking.

Mungkin ia dianggap memiliki “karakter kuat”, gampang diingat penampilannya, karena tak mampu menggerakkan anggota badan dan jika berbicara mesti dengan suara komputer yang dipasang di kursi rodanya. Tidak banyak ilmuwan yang wajah atau penampilannya gampang diingat. Mungkin hanya Albert Einstein yang bisa menyainginya. “Saya pikir, mungkin saya cocok dengan stereotipe ilmuwan sinting atau jenius cacat,” kata Hawking suatu ketika. Bisa jadi pula produser The Simpsons tertarik karena prestasi akademisnya. Hawking memang menghasilkan penelitian yang spektakuler, terutama yang berkaitan dengan lubang hitam, dan sering membuat pernyataan kontroversial yang menjadi pembicaraan bahkan di kalangan awam. Media massa juga senang karena ia pintar mengungkapkan ide dengan ungkapan yang sedap ditulis.

Dalam buku mutakhir yang dia tulis bersama ilmuwan Leonard Mlodinow, The Grand Design, misalnya, Hawking menyatakan bahwa penciptaan alam semesta tidak harus melibatkan Tuhan. Dua dekade silam, dalam bukunya yang sangat terkenal, A Brief History of Time, ia menyatakan bahwa begitu Teori Penyatuan Agung dapat disusun, ia akan menjadi puncak temuan manusia. “Saat itu, kita bisa mengetahui pikiran Tuhan,” ujarnya. Kemampuan Hawking secara akademis serta kepandaiannya membuat pernyataan kontroversial itu kemungkinan besar terpengaruh penyakit Lou Gehrig. Penyakit yang disebut pula dengan amyotrophic lateral sclerosis ini membuatnya lumpuh dan bahkan akhirnya tidak bisa berbicara.

Kelumpuhan itu membuatnya bekerja dengan unik. “Saya menghindari persoalan dengan banyak persamaan-saya mengubahnya menjadi pertanyaan geometri,” kata Hawking. “Dengan itu, saya bisa menggambarkan di otak saya.” Hawking akan membayangkan teori-teori fisika yang njelimet dalam bentuk geometris di dalam otak. Hal ini yang membuat ide dan pikirannya kadang meloncat dibanding para ilmuwan lain. “Saya pikir mungkin benar ia menghasilkan banyak penelitian karena kekurangannya itu,” kata Kip Thorne, ahli fisika teoretis dari Caltech, yang mengenal Hawking sejak awal 1960-an.

Karena sulit berbicara, Hawking terlatih berhemat kata dan membuat ungkapan dramatis. “Ia mesti membuat kalimatnya sepadat mungkin,” kata Bernard Carr, mahasiswa pertama yang bisa tinggal gratis serumah dengan Hawking dan keluarganya pada 1974 sekaligus mendapat bimbingan intens-sebagai ganti, Carr mesti membantu Hawking yang mulai lumpuh parah. “Pembicaraan 15 menit dengan Stephen seperti berbicara dengan orang lain selama beberapa jam.”

Kelumpuhan Hawking tidak datang dalam sekejap. Ia mendapat diagnosis penyakit Lou Gehrig ketika masih 21 tahun. Meski tak termasuk anak yang pintar bermain sepak bola, atau tulisan tangannya seperti cakar ayam, Hawking, lahir 8 Januari 1942, tak merasa sebagai anak yang memiliki koordinasi buruk. Malah, saat mulai kuliah di Oxford pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan tim dayung dan sering mewakili fakultasnya bertanding. Pada tahun ketiga kuliah itulah Hawking mulai mengalami gejala lumpuh. Kadang ia terjatuh tanpa sebab. Ayahnya membawa dia ke dokter. Setelah mendapat pemeriksaan dua pekan, dia mendapat diagnosis penyakit yang melumpuhkan sebagian anggota badan. Masih ada tambahan pada diagnosis itu: dia akan meninggal dalam beberapa tahun.

Dokter yang merawat tak tahu apa yang mesti dilakukan dan berapa cepat kelumpuhan itu akan menjadi akut-dan mengakhiri segalanya. Jadi, mereka menyuruh Hawking kembali ke kampus dan kembali meneliti fisika teori tentang relativitas dan kosmologi. “Meski saat itu saya tidak banyak mendapat kemajuan karena tidak memiliki banyak latar belakang matematika,” tuturnya dalam satu tulisan.

Hawking sempat stres. Ia mencoba melupakan penyakitnya dengan mendengarkan musik karya komposer Jerman, Wilhelm Richard Wagner. Sebelum diagnosis itu pun Hawking sudah cenderung bosan dengan kehidupannya. Setelah divonis usianya tinggal beberapa tahun, ia merasa hidup begitu berharga. “Biarpun ada awan mendung di atas masa depan, saya temukan, dan ini mengejutkan, bahwa saya menikmati hidup saat itu daripada sebelumnya,” katanya.

Hawking mulai mendapat kemajuan dalam risetnya. Ia kemudian berkenalan, bertunangan, dan menikah dengan Jane Wilde. Hubungan ini memaksanya mendapat pekerjaan sehingga ia melamar ke Cambridge. Mereka memiliki tiga anak, Robert (lahir 1967), Lucy (1970), dan Timothy (1979). Karier akademis Hawking setelah divonis bakal berumur pendek terus moncer. Bersama Roger Penrose, Hawking menemukan bahwa teori relativitas Einstein menyatakan alam semesta dimulai dari Big Bang (Dentuman Besar) dan berakhir dalam lubang hitam. Hawking kemudian juga memunculkan teori bahwa lubang hitam tak sepenuhnya berwarna hitam. Masih ada cahaya di sana dan disebut Radiasi Hawking. Hawking juga pintar membuat terobosan ilmiah dari pemikiran orang lain. “Sangat sedikit yang memiliki pemahaman dan pandangan, atau kemampuan, untuk menanyakan hal yang tepat sehingga bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya,” kata Thorne.

Masalah dengan penyakit tak berhenti di kelumpuhan itu saja. Pada 1985, Hawking kesulitan bernapas. Agar oksigen lebih lancar mengalir, ia dibedah. Akibat lain muncul. Kemampuan bicaranya, yang sebelum bedah saja sudah lemah, setelah bedah menjadi hilang sama sekali alias tak bisa berbicara. Untung saja seorang ahli komputer dari Amerika Serikat, Walt Woltosz, mengirim program komputer bernama Equalizer.

Program itu semula dipasang di komputer meja tapi kemudian dipindah ke komputer yang berada di kursi berjalan. Hawking bisa berbicara 15 kata per menit. Hawking cukup puas dengan sistem komputer yang membuat suaranya seperti suara robot dalam film fiksi ilmiah itu. Hanya satu keluhannya. “Ini membuat saya memiliki dialek Amerika,” kata orang Inggris yang sudah mendapat gelar “Sir” dari Ratu Elizabeth itu.

Nama Hawking menjadi populer setelah menulis buku yang menjelaskan teori-teori penciptaan semesta dengan bahasa sederhana, A Brief History of Time, pada akhir 1980-an. Buku ini di luar dugaan sangat laris. Pernyataannya tentang Tuhan menjadi kontroversial. Selain itu, penampilannya sebagai ilmuwan “aneh”, lumpuh total dan hanya bisa berbicara dengan komputer, menjadikannya sangat terkenal. Dan penampilan itulah yang membuatnya sering muncul bersama Pak Homer Simpson. (Nur Khoiri)

Semesta dalam Fisika

Sekitar 2.600 tahun silam, Thales mengubah pandangan mitologis mengenai semesta dan kehidupan manusia. Menurut dia, alam konsisten mengikuti prinsip yang bisa dipahami. Pandangan Thales dilanjutkan para pengikutnya, yang lalu menjadi tumpuan proses panjang penggantian ide tentang dewa-dewa dengan konsep semesta yang diatur hukum alam dan diciptakan menurut cetak biru yang suatu saat bisa dipelajari. Tapi proses ini baru benar-benar dimulai setelah 20 abad kemudian.

Elektromagnetisme

Medan elektromagnetik terdapat di balik hampir semua fenomena kehidupan sehari-hari, kecuali gravitasi. Temuan-temuan tentang hal yang mengidentifikasi hubungan erat antara gaya listrik dan magnet ini dimulai dari Hans Christian Orsted (1820). Michael Faraday dan James Clerk Maxwell, antara lain, yang menyempurnakannya. Implikasi teoretis dari temuan tentang elektromagnetik merupakan fondasi dari Teori Relativitas Khusus yang dirumuskan Albert Einstein.

Fisika Kuantum

Teori fisika dari masa Newton merupakan cermin pengalaman sehari-hari, dengan obyek material yang memang eksis, bisa ditentukan lokasinya, mengikuti jalur tertentu, dan seterusnya. Fisika kuantum, yang dikembangkan sejak abad ke-20, merupakan cara memahami alam pada skala atom dan subatom. Model kuantum menyebutkan partikel tak memiliki posisi pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik akhir dalam suatu eksperimen. Tapi Richard Feynman belakangan menafsirkan bahwa partikel mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan dua titik secara bersamaan.

Hukum Alam

Konsep modern tentang hukum alam muncul pada abad ke-17. Johannes Kepler adalah ilmuwan pertama yang memahaminya dalam pengertian sains modern. Sesudahnya, antara lain, ada Galileo Galilei dan Rene Descartes. Tapi baru Isaac Newton-lah yang diterima luas, berkat hukum gerak dan gravitasinya. Tiga pertanyaan pokok yang timbul setelah hukum yang mengatur alam diakui adalah (1) dari mana asal-usul hukum itu; (2) apa ada perkecualian, misalnya keajaiban; dan (3) apa hanya ada satu kemungkinan dari hukum itu.

Teori Relativitas

Inilah teori yang memperkaya fisika dan astronomi sepanjang abad ke-20. Melalui empat makalah pada 1905, yang merupakan fondasi Teori Relativitas Khusus, Einstein mengubah persepsi yang dipengaruhi teori mekanika Newton. Tapi orang lebih mengingat teori ini dalam kaitannya dengan bom nuklir. Einstein menerbitkan Teori Relativitas Umum pada 1915, yang menegaskan ruang-waktu tidak datar, sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi berbentuk kurva karena adanya distorsi oleh massa dan energi di dalamnya.

Teori M

“M” di sini bisa berarti “master”, “miracle” (keajaiban), atau “misteri”. Atau malah ketiga-tiganya. Pencetusnya, Edward Witten, mengatakan penafsiran atas “M” bergantung pada selera penggunanya. Sebagai perluasan teori dawai (string theory), yang merupakan ikhtiar menggabungkan fisika kuantum dan teori relativitas umum, inilah teori yang digadang-gadang sebagai teori segalanya, yang menyatukan keempat gaya fisika; Hawking bahkan yakin inilah satu-satunya kandidat teori paripurna tentang semesta. Tapi observasilah yang masih harus membuktikannya.

Realitas

Kebanyakan ilmuwan berpendapat hukum alam merupakan ekspresi matematis dari realitas eksternal, lepas dari siapa pun pengamat yang menyaksikannya. Tapi telaah mengenai bagaimana kita mengamati dan merumuskan konsep tentang alam telah memunculkan pertanyaan apakah realitas obyektif memang ada. Timbul kubu realis dan antirealis. Realisme tergantung-model mempertemukan keduanya pada titik apakah suatu model sesuai dengan pengamatan atau tidak. Maka bisa dikatakan tidak ada model matematika atau teori tunggal yang bisa mendeskripsikan setiap aspek alam semesta.

JOHN ROOSA DAN PELARANGAN BUKU DALIH PEMBUNUHAN MASSAL

Inilah misteri sejarah yang paling dinamik yang diulik banyak orang sampai kini: Gerakan 30 September (G 30 S). Sebab ia tak semata persoalan “kup” politik, melainkan juga berkait peristiwa sesudahnya: pembunuhan massal dan asasinasi total atas seluruh gerakan kiri di Indonesia. Dalam hal ini PKI dan seluruh aliansinya, termasuk pendukung setia Sukarno.

Buku yang disusun John Rossa ini mesti kita beri rak terhormat dalam tumpukan kepustakaan G 30 S. Ia tak saja menumbangkan banyak analisis sebelumnya yang selalu mencari siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa G 30 S itu (PKI, Sukarno, Angkatan Darat, Suharto, CIA); tapi ia menjalin kembali cerita baru yang segar dari serakan data yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak, buku yang disusun laiknya roman detektif ini berkesimpulan: G 30 S adalah gerakan militer paling ngawur dan iseng, klandestin setengah hati, dan sama sekali tak direncanakan secara matang. Tapi akibat yang ditimbulkannya luar biasa parah. Ia dijadikan kelompok “militer kanan” sebagai dalih pembantaian massal yang sungguh tak terperikan.

Bagi sejarawan dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini, tak ada dalang utama yang mengerjakan proyek mengerikan ini. Yang ada ialah siapa yang paling diuntungkan setelah kejadian ini, ketika pada 1965 konfigurasi kekuatan politik tinggal dua kutub: PKI dan Angkatan Darat di mana bandulnya ada pada Presiden Sukarno.

Gerak pertama yang coba dilakukan Rossa adalah mempertanyakan seluruh analisis dan kesimpulan dari buku-buku yang sudah ada. Dengan gaya laiknya pakar forensik, ia membedah kembali dokumen Jenderal Pardjo yang disebut Rossa “sumber utama paling kaya serta paling bisa dipercaya”, selain karena ia memang tokoh inti dalam G 30 S. Hasilnya bahwa gerakan putsch ini dipimpin Sjam. Sekaligus ini menggugurkan pendapat Benedict Anderson dan Harold Crouch yang berpendapat bahwa perwira-perwira militer yang berperan penting (Untung, Latief, Soejono, Soepardjo).

Dengan petunjuk itu, Rossa mengejar identitas Kamaruzaman (Sjam) dan menemukan bahwa orang ini bawahan setia Aidit selama 15 tahun—yang sekaligus kesimpulan ini menampik spekulasi Wertheim dalam Indonesia’s Hidden History bahwa Sjam adalah intel militer yang ditanam di tubuh PKI. Sjam adalah orang Biro Chusus yang dibentuk Aidit di luar ketentuan Konstitusi Partai. Tugasnya untuk mendekati militer dan bertanggung jawab semata kepada Aidit. Jadi wajar kemudian anggota Politbiro dan Comite Central tak mengetahui secara detail kerja-kerja klandestin Biro Chusus ini.

Jika pun PKI ini terlibat, tulis Rossa, dua orang inilah yang mesti bertanggung jawab. Rossa percaya pada kesimpulan Iskandar Subekti—panitera dan arsiparis Politbiro—bahwa G 30 S bukan buatan PKI, dalam hal ini yang memikirkan, merencanakan, dan memutuskan. Sebab jika ia merupakan gerakan dari PKI, atau gerakan yang “didalangi” PKI, mestinya ia dibicarakan dan diputuskan badan pimpinan partai tertinggi, yaitu Central Comite dengan jumlah anggota 85 orang, dan hal ini tak pernah dilakukan sama sekali. Gerakan ini hanya diketahui beberapa gelintir orang dalam partai yang disebut Sukarno sebagai “oknum-oknum PKI yang keblinger”.

Jika Aidit melakukan gerakan “mendahului” atas musuh utamanya (Angkatan Darat) itu, apa alasannya? Aidit sangat insyaf bahwa partainya akan habis jika berhadapan muka-muka dengan Angkatan Darat lantaran nyaris mutlak anggotanya tak bersenjata. Jalan klandestin yang diambilnya dengan bekerja sama dengan perwira-perwira dalam tubuh Angkatan Darat sendiri dimaksudkan untuk menyelamatkan warga partai dari amukan bedil tentara.

Lagi pula Aidit mulai gelisah, bagaimana partai yang kian hari kian membesar ini tak menemukan arena bermain yang demokratis, yakni Pemilu. Sukarno pun tak menunjukan tanda-tanda akan menyelenggarakan pesta demokrasi lagi setelah sebelumnya yang direncanakan dilangsungkan pada 1959 dilucuti Angkatan Darat pimpinan Nasution yang “memaksa” Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli.

Dalam hitungan PKI, jika Pemilu dibuka pastilah mereka akan keluar sebagai juara. Sementara pimpinan teras Angkatan Darat dan sekutu Amerikanya ketar-ketir melihat kerumunan besar semut-semut merah itu di jalanan. Tapi mereka tak berani melakukan tindakan mendahului karena berdasarkan pengalaman, semua tindakan mendahului akan kalah, seperti kudeta gagal Nasution pada 17 Oktober 1952.

Tapi rencana ini menyelimpang. Operasi G 30 S itu dilakukan dengan tergesa-gesa. Digerakkan secara militer memang, tapi dengan cara ngawur. Sebagai seorang militer berdisiplin, Supardjo, misalnya, 3 hari sebelum operasi, berkali-kali menanyakan bagaimana kesiapan pasukan dari Jawa Barat, tapi selalu dijawab Sjam dengan murka dan mencerca para pembimbang sebagai pengecut.

Pada hari “H” kesalahan terjadi beruntun. Pasukan yang menculik Nasution salah masuk rumah dan salah tangkap, karena mereka tak mengadakan “gladiresik” sebelumnya. Pasukan yang didatangkan dari Jawa Tengah dan ditugaskan “mengamankan” Istana di Monas akhirnya bergabung kembali dengan Kostrad lantaran perut keroncongan karena perempuan-perempuan yang ditugasi membuka dapur umum tak datang.

Pembunuhan seluruh jenderal pun di luar skenario. Mestinya adalah: “Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos”. Tapi betapa kagetnya Omar Dani setelah tahu bahwa jenderal dibunuh atas komando langsung dari Sjam. Saat itu Dani langsung berfirasat akan terjadi malapetaka besar. Disusul lagi ketaksetujuan Sukarno atas gerakan ini yang membikin kalap penggeraknya. Sementara janji Sjam bahwa G 30 S disokong jutaan massa PKI yang akan turun ke jalan-jalan tak pernah ada karena memang cuma hayalan Sjam. Karena memang jutaan anggota PKI itu tak mendapatkan informasi yang jelas soal putsch itu.

Dan inilah yang ditunggu-tunggu Angkatan Darat yang dibantu oleh CIA Amerika, biarkan lawan mendahului untuk menjadi dalih bumi-hangus. Di titimangsa ini Rossa tetap kukuh membantah spekulasi bahwa bahwa Angkatan Darat dan Amerika yang menjadi pengendali utama peristiwa ini. Termasuk spekulasi naif yang mengatakan Suharto adalah otaknya.
Gerakan ini tetap berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira dan dirancang untuk berhasil. Ia gagal bukan karena dirancang untuk gagal, tapi karena diorganisasi dengan cara sangat buruk; sementara Angkatan Darat sudah mempersiapkan pukulan balik jauh sebelumnya. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan didanai oleh Dewan Keamanan Nasional (NSC, National Security Council) Amerika Serikat sejak 1957.

Peristiwa putsch ini hanya dijadikan dalih Angkatan Darat untuk menghancurkan seluruh gerakan kiri di Indonesia. Karena PKI lah yang jadi batu sandung terkuat menghalangi perwira-perwira seperti Nasution yang—meminjam ungkapan politikus veteran Sjahrir—memendam “cita-cita militeristik dan fasis” untuk pemerintahan Indonesia. Kekuatan kiri ini juga yang jadi batu sandung berkuasanya modal asing Amerika.

Karena itu, Rossa menegaskan, bahwa sebetulnya Suharto tak peduli siapa organisator G 30 S ini karena memang tak penting. Mahmilub yang dia dirikan juga bukan untuk mencari kebenaran, tapi manipulasi dan prasyarat formal belaka. Momentum ini sudah ditunggu lama untuk menghantam PKI dan memakzulkan Sukarno. Maka langsung saja Suharto menyerang PKI secara menyeluruh setelah 4 hari kejadian, sambil pura-pura melindungi Sukarno yang sampai wafatnya tak sepatah kata pun menyebut PKI sebagai pengkhianat untuk peristiwa dengan skala kecil seperti G 30 S ini.

Angkatan Darat melancarkan gaya “black letter (surat kaleng)” dan “operasi media”. Pelbagai bukti direkayasa untuk memperlihatkan kebencian atas orang-orang PKI, seperti kemaluan para jenderal disilet-silet Gerwani. Dengan agregasi dan modal kampanye hitam itu pasukan elite Angkatan Darat (Kostrad) kemudian terjun ke daerah-daerah dan memompa hasrat warga sipil untuk buas membunuh sesamanya.

Buku ini dengan terang membantu membaca silang-sengkarut interpretasi sekaligus membongkar hayat-sadar kita akan pengeramatan peristiwa yang relatif kecil (G 30 S) di mana justru menghapus ingatan akan peristiwa yang luar biasa jahatnya setelahnya, yakni pembunuhan massal yang tak terperikan.

John Roosa

Pada tanggal 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung mengumumkan pelarangan lima judul buku yang dianggap ‘mengganggu ketertiban umum’, termasuk buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa yang diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) pada 2008. ISSI dalam pernyataan sikapnya sehari setelah pelarangan menyatakan pelarangan itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia tapi juga amanat UUD 1945 untuk ‘memajukan kecerdasan umum.

ISSI menerbitkan buku Dalih Pembunuhan Massal sebagai sumbangan terhadap studi sejarah kontemporer Indonesia, khususnya peristiwa G-30-S. Dalam buku ini John Roosa menunjukkan sikap ilmiah yang terpuji sebagai sejarawan: ia mengungkapkan sumber-sumber baru mengenai G-30-S yang belum pernah digunakan sebelumnya, menelaah setiap sumber yang ada mengenai peristiwa itu secara teliti, lalu menghadirkan argumentasi dan kesimpulan berdasarkan temuannya itu. Pelarangan oleh Jaksa Agung jelas menghalangi perkembangan studi sejarah pada khususnya dan kerja ilmiah pada umumnya.

Buku Dalih Pembunuhan Massal sudah beredar selama satu tahun dan sembilan bulan, dan justru mendapat sambutan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku ini masuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk bidang studi Asia pada 2007. Tinjauan terhadap buku ini dimuat dalam berbagai berkala ilmiah internasional. Di Indonesia sendiri, buku ini disambut baik oleh para ahli sejarah, guru sekolah dan masyarakat umum dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah yang digelar selama ini.

Singkatnya, jelas ada banyak pihak yang menarik manfaat dari terbitnya buku ini, dan keputusan Jaksa Agung melarang buku ini dengan alasan ‘mengganggu ketertiban umum’ sesungguhnya justru merugikan kepentingan umum.

Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani I Gusti Ayu Agung Ratih tersebut, ISSI meminta:

1. Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktek pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter.
2. Pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhiri.

“Kami percaya bahwa pelarangan buku ini tidak akan menyurutkan kehendak publik untuk mencari kebenaran. Dengan semangat itu dan juga sebagai bentuk konkret perlawanan, dengan pernyataan ini kami melepas copyright atas buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa kepada publik sehingga dapat disebarluaskan melalui berbagai media. ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut,” ujar pernyataan tersebut.

Saat ini yang namanya pelarangan penerbitan buku atau "bredel" sejak jaman orde lama, orde baru hingga reformasi di tanah air sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA.

Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi. Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.

Kejaksaan Agung baru saja melarang peredaran 5 buah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Tentu, kontroversi pun tak terelakkan. Isu ini juga pernah dibahas di program ‘Kick Andy’ di Metro TV yang bertajuk "MENGAPA MEREKA DIBUNGKAM?". Dari semua buku ‘terlarang’ itu, yang paling mencuri perhatian adalah buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ yang mengupas gerakan 30 September dari sisi analisa sejarah. Sang penulis, John Rossa, mengaku bahwa bukunya ditulis dengan metode ilmiah yang benar. Jadi, pembredelan tersebut sungguh mengejutkan.

"Kita semua seakan-akan merasakan keadaan hidup di masa Suharto ketika semua barang cetakan disensor, ketika mahasiswa dituntut ke pengadilan karena membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer.."


Padahal buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ telah diakui sebagai salah satu buku terbaik di bidang ilmu sosial. Buku ini terpilih sebagai tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Mungkin karena saking kesalnya, sang penulis kemudian memutuskan untuk membagi buku tentang G30 S ini secara gratis lewat internet.

Ingin membaca buku ‘Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto’ karya John Rossa versi e-book? Silahkan download link dibawah ini.

http://www.marxists.org/indonesia/indones/DalihPembunuhanMassal.pdf

Kamis, 21 April 2011

FRIEDRICH NIETZSCHE: TUHAN TELAH MATI

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?

Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125

"Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidaklah terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari Kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatupun yang tinggal di tangannya." Inilah sebabnya mengapa di dalam "The Madman", si orang gila berbicara bukannya kepada orang percaya, melainkan kepada kaum ateis — masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apapun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.

Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.

Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."[2]
[sunting] Kemungkinan-kemungkinan baru

Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Übermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.
(sunting) Suara Nietzsche

Meskipun Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seorang "gila" dalam Die fröhliche Wissenschaft, ia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil berseru-seru, "Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun yang menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras-keras bahwa ia datang terlalu dini. Orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata:

Kejadian yang aneh ini masih berlangsung, masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.

Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125

Sebelumnya dalam buku itu (seksi 108), Nietzsche menulis "Tuhan sudah mati; tetapi karena cara manusia, mungkin masih ada gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita -- kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya pua." Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri setelah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya:

'Dan apakah yang dilakukan si orang suci ini di hutan?' tanya Zarathustra. Si orang suci menjawab: 'Aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan ketika aku membuat nyanyian, aku tertawa, menangis dan bersenandung: jadi dengan melakukan semua itu aku memuji Tuhan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung aku memuji tuhan yang adalah tuhanku. Tetapi apa yang engkau bawa kepada kami sebagai hadiah?' Ketika Zarathustra mendengar kata-kata ini ia mengucapkan selamat berpisah dan berkata: 'Apa yang dapat kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Tapi biarkanlah aku pergi dengan segera agar aku tidak mengambil sesuatu daripadamu!' Dan kemudian mereka berpisah, si orang tua dan lelaki itu, sambil tertawa seperti dua anak lelaki tertawa.

Tetapi ketika Zarathustra sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Tuhan sudah mati!'

terj. Walter Kaufmann, Thus Spoke Zarathustra, Prolog, seksi 2.

Ketika menemukan dalam sebuah nyanyian gereja karya Martin Luther apa yang digambarkan oleh Hegel sebagai kata-kata yang kejam, ungkapan yang keji, yakni, Tuhan sudah mati, Hegel arangkali adalah filsuf besar pertama yang mengembangkan tema tentang kematian Tuhan. Menurut Hegel, bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati. Sambil mengomentari Critique pertama Kant, Heinrich Heine berbicara tentang Tuhan yang sedang sekarat. Heine mempengaruhi Nietzsche. Sejak Heine dan Nietzsche, ungkapan Kematian Tuhan menjadi populer. (K. Satchidananda Murty, The Realm of Between, IIAS,1973)