Selasa, 19 Juli 2011

UBERMENSCH: SUPERMANNYA NIETZSCHE

Hidup, Karya dan Kematian Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Röcken. Beliau dinamakan Friedrich Wilhelm karena hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Friedrich Wilhelm seorang raja Prusia yang sangat dihormati pada masanya, karenanya merupakan kebanggaan bagi Nietzsche kecil karena hari kelahirannya selalu dirayakan banyak orang.

Ia dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang soleh. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862) adalah pejabat tinggi dalam gereja Lutheran yang dapat disejajarkan dengan seorang uskup dalam gereja Katholik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), adalah seorang pendeta di desa Röcken dekat Lützen, sedangkan ibunya, Franziska Oehler (1826-1897) juga seorang Lutheran dan verasal dari keluarga pendeta. Sehingga tidak mengherankan apabila keluarga Nietzsche sangat terkenal dengan ketaatannya.

Kehidupan keluarga Nietzsche sangat bahagia namun kebahagiaan ini tidak berjalan lama terutama setelah kematian ayahnya pada tahun 1849, dikala Nietzsche berusia 4 tahun dan pada tahun 1850, adik laki-laki Nietzsche, Joseph, meninggal juga. Setelah kejadian tersebut keluarga Nietzsche pindah ke Naumburg yang merupakan kota asal nenek moyang Nietzsche. Dalam keluarga, Nietzsche merupakan laki-laki satu-satunya, anggota keluarga lainnya yaitu ibu, kakak perempuan, kedua tante dan nenek.

Pada usia menjelang 6 tahun ia masuk sekolah gymnasium, ia termasuk murid yang pintar dan pandai bergaul, lalu ia mulai berkenalan dengan karya-karya Goethe dan Wagner melalui teman-temannya ini. Pada usia 14 tahun Nietzsche pindah sekolah yang bernama Pforta, yang merpakan sekolah asrama yang menerapkan peraturan sangat ketat tak ubahnya bagai hidup di penjara. Disinilah ia belajar bahasa Yunani, Latin dan Hibrani, dan dengan berbekal pengetahuan inilah Ia akan menjadi ahli Filologi yang brilian. Karena kekagumannya terhadap karya-karya klasik Yunani maka Nietzsche dan teman-temannya, Wilhelm Pinder dan Gustav Krug membentuk kelompok studi sastra yang diberi nama Germania. Pada tahun 1864 Nietzsche melanjutkan studi di Universitas Bonn untuk memperdalam ilmu Filologi dan Teologi, dalam bidanf filologi ia diajar oleh Fiedrich Ritschl dan banyak membantu kemahiran Nietzsche dalam bidang filologi. Pada tahun 1865 Nietzsche memutuskan untuk tidak belajar Teologi, keputusan ini sangat erat hubungannya dengan keraguannya akan keimanannya dan tentunya mendapat tantangan dari ibunya, namun Ia pernah menulis surat bahwa “Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, maka percayalah, jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah…” dan pemikiran ini yang mendasari Nietzsche untuk menjadi freetihinker. Di Bonn ia hanya tahan selama 2 semester kemudian pindah ke Leipzig untuk belajar Filologi selama 4 semester, disini ia banyak mendapatkan penghargaan dibidang filologi dari universitas.

Tokoh yang mempengaruhi dari segi intelektualnya adalah Schopenhauer (1788-1860) dengan karyanya The World as Will and Ideas, 1819 yang dibelinya di toko buku bekas. Dan tokoh lainnya adalah Friedrich Albert Lange (1828-1875) dengan karyanya Sejarah Materialisme dan Kritik Maknanya pada Jaman Sekarang, 1866. Dari kedua karya ini sebenarnya satu sama lain bertentangan, buku yang ditulis oleh Schopenhauer mengungkapkan manusia secara utuh dan dengan perasaan, sedangkan yang ditulis Lange lebih menekankan pada sisi intelek saja dan pendekatannya lebih filosofis.

Pada tahun 1867-1868 Nietzsche mengikuti wajib militer untuk melawan Prancis, dan disana ia mendapatkan banyak pengalaman yang tak terduga dan masa dinasnya berakhir karena ia mengalami kecelakaan jatuh dari kuda. Setelah berakhirnya masa dinas militer, Nietzsche merasa studi filologi itu hambar dan mati, namun pendapat ini berubah setelah ia berkenalan secara pribadi dengan musisi Richard Wagner, dan dari sinilah Nietzsche memperoleh optimismenya kembali bahwa kebebasan dan karya yang jenius masih dapat dicapai asalkan diresapi oleh semangat Wagner.

Pada tahun 1869 ia mengajar di Universita Basel, Swiss dan mengajar disana selama 10 tahun kemudian berhenti karena kesehatannya memburuk. Ia mengajarkan Filologi dan bahasa Yunani. Sejak keluar dari Basel kondisi kesehatannya menurun, pada tahun 1870 ia mengalami sakit desentri dan difteri. Sakit mata dan kepala makin parah sejak tahun 1875, dan serangan yang paling parah pada tahun 1879 sehingga ia harus berhenti sebagai dosen.

Namuna selama masa istirahatnya Nietzsche malah semakin produktif dalam menulis karya-karyanya, pada tahun 1872 ia menulis The Birth of Tragedy out of the spirit of Music, tahun 1873-1876 ia menulis Untimely Meditations yang terdiri dari 4 bagian. Pada tahun 1878 diterbitkan buku Human, All-Too-Human, dan pada tahun 1879 ia mengeluarkan 2 karya yaitu Mixed Opions and Maxims dan The Wander and His Shadow. Pada tahun 1879 inilah kondisi Nietzsche sangat menurun sehingga ia harus mundur dari profesi dosen. Namun ia terus berkarya dimana pada tahun 1881 ia berhasil menerbitkan buku yang berjudul Fajar, Gagasan-gagasan tentang Praanggapan Moral, pada tahun 1882 diterbitkan Die Fröhliche Wissenschaft dan dalam buku ini ia memproklamasikan Tuhan telah mati (Gott ist tot). Pada tahun 1885 ia menulis Thus Spoke Zarathustra disini ia mengungkapkan gagasan Übermensch. Pada tahun 1886 ia menulis Jenseits von Gut und Böse, lalu ditahun berikutnya ia menulis buku yang berisi Kritik akan modernitas, ilmu pengetahuan modern, seni modern dan disusul oleh buku yang berjudul Zur Genealogie der Moral, Eine Streitschrift. Dan masih banyak lagi karya-karya Nietzsche yang belum diterbitkan seperti Pudarnya Para Dewa (1889), Antikristus (1895), Ecce Homo (1908).

Nietzsche mengakhiri hidupnya dengan kesendirian setelah keinginannya untuk menikahi Lou Salome tidak disetujui oleh kakak perempuannya, Elizabeth, karena rencana pernikahan yang melibatkan Paul Ree dimana mereka terlibat cinta segitiga. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1900 Nietzsche menghembuskan nafas terakhirnya di Weimar, yang sangat tragis ia tidak mengetahui bahwa ibunya telah meninggal dan juga ia mengetahui bahwa dirinya mulai termasyur.

Gagasannya tentang Übermensch

Gagasan utama dari Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa (Will to Power), dimana salah satu cara untuk menunjukkah kehendak untuk berkuasa ini diungkapkan melalui gagasannya tentang Übermensch (Overman taua Superman). Übermensch merupakan suatu tujuan hidup manusai didunia ini agar mereka kerasan dan gagasan tentang Übermensch ini banyak diungkapkan dalam bukunya Also Sprach Zarathustra dimana didalam buku tersebut diungkapkan :

Lihatlah, aku mengajarkan Übermensch kepadamu.
Übermensch adalah makna dunia ini.
Biarkanlah kehendakmu berseru.
Hendaknya Übermensch menjadi makna dunia ini.

(Also Sprach Zarathustra)

Melihat dari segi bahasa Über pada Übermensch mempunyai peran yang menentukan dalam membentuk seluruh makna Übermensch, dimana kehendak untuk berkuasa sebagai semangat untuk mengatasi atau motif-motif untuk mengatasi diri (ST. Sunardi,1999,93). Sehingga akan lebih tepat apabila Übermensch diartikan sebagai manusia unggul atau manusia atas.

Übermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia, sehingga Nietzsche tidak lagi percaya akan bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia, dan pemberian makna hanya dapat dicapai melalui Übermensch. Übermensch merupakan suatu bentuk manusia yang yang menganggap dirinya sebagai sumber nilai. Manusia yang telah mencapai Übermensch ini adalah manusia yang selalu mengatakan “ya” pada segala hal dan siap menghadapi tantangan, yang mempunyai sikap selalu mengafirmasikan hidupnya dan tanpa itu Übermensch tidak mungkin akan tercipta. Jadi Übermensch tidak pernah menyangkal ataupun gentar dalam menghadapi berbagai dorongan hidupnya yang dasyat.

Nietzsche juga percaya bahwa dengan berhadapan dengan konflik, maka manusia akan tertantang dan segala kemampuan yang dimilikinya dapat keluar dengan sendirinya secara maksimal, maka tidak mengherankan apabila Nietzsche sangat gemar seakali dengan kata-kata peperangan, konflik dan sebagainya yang dapat membangkitkan semangat manusia untuk mempunyai kehendak berkuasa. Nietzsche percaya bahwa jalan manusia menuju Übermensch dan langkah meninggalkan status kebinatangannya selalu dalam keadaan bahaya dan manusia adalah mahluk yang tidak ada henti-hentinya menyeberang atau transisisonal.(Nietzsche mengatakan bahwa manusia kedudukannya beraada ditengah-tengah status kebinatangan dan Übermensch).

Dalam Übermensch yang dibutuhkan adalah kebebasan dan aku ingin berkuasa dan yang menjadi ukuran keberhasilan adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan. Namun demikian tetap saja Übermensch hanya dapat dicapai dengan menggunakan seluruh kemampuan yang dimiliki manusia secara individual, dan rumusan Übermensch yang dirasakan tepat adalah yang diungkapkan oleh Curt Friedlin yaitu, kemungkinan paling optimal bagi seseorang diwaktu sekarang, dan bukanlah tingkat perkembangan yang berada jauh di depan yang hanya ditentukan secara rasional.(ST Sunardi,1999,102) Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebesaran manusia ini hanya dapat dialami oleh orang yang mengarahkan dirinya pada Übermensch, yaitu suatu kemungkinan optimal seseorang berdasarkan potensialitas kemanusiannya atau dorongan hidupnya. (ST.Sunardi,1999,103). Übermensch hanya dapat dicapai melalui kehendak untuk berkuasa sehingga manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan mengatasi masalahnya tanpa harus bergantung pada moral dan agama (agama merupakan faktor penghambat) dan Übermensch tidak mungkin dapat ditunjuk dengan jari. (Di sini terlihat ada pengaruhnya dengan Zen Buddhisme).

Dalam membahas Übermensch tidak mungkin tidak, kita harus mengungkapkan juga 2 moral dasar yang ada di dalam manusia yaitu moral budak dan moral tuan, dan manusia yang ingin mencapai Übermensch harus mengarahkan moralnya pada moral tuan.
Übermensch dari Sudut Pandang Eksistensialisme

Sebelum kita melangkah jauh membahas tentang gagasan Nietzsche tentang Übermensch, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang Eksistensialisme. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia dan keberadaannya bersama dengan ada ada yang lainnya dan ada-ada yang lainnya itu menjadi berarti karena adanya manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan pula bahwa eksistensi adalah manusia sadar akan dirinya, manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.

Ada beberapa ciri umum Filsafat Eksistensialisme yang merupakan perumusan dari beberapa filusuf eksistensialis, yaitu :

1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh karena itu bersifat humanistik.

2. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya.

3. Di dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih kepada sesamanya.

4. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman yang konkrit, pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. (Harun Hadiwijono,1998,149)

Seperti telah diungkapkan diatas bahwa Übermensch merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dimana manusia itu dapat mengatasi kumpulan manusia dalam massa dengan menggunakan kekuatannya. Yang menjadi tujuan utama adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani, dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan dalam massa. Yang dimaksud kehanyutan dalam massa disini adalah manusia yang ingin mencapai Übermensch haruslah mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumnya. Manusia harus berani menghadapi tantangan yang ada didepan mereka dengan menggunakan keuatannya sendiri. Nietzsche pada kesempatan lain ingin mengusulkan untuk dibentuk suatu seleksi untuk membentuk manusia atas atau manusia unggul dengan cara eugenika. Dia mengatakan bahwa manusia unggul baru dapat dicapai apabila ada perpaduan yang harmonis antara kekuatan, kecerdasan dan kebanggaan.

Dalam kesempatan lain Nietzsche mengungkapkan bahwa persamaan hak atau atau persamaan antara bangasa serta asas demokrasi merupakan suatu gejala bahwa masyarakat telah menjadi busuk. Tidak akan pernah ada persamaan hak karena manusia mempunyai ciri0ciri yang unik yang individual, dan manusia yang unggul ataupun bangsa yang unggul harus menguasai manusia atau bangsa yang lemah, sehigga Nietzsche mendukung peperangan dan mengutuk perdamaian. Perdamaian boleh terjadi tetapi untuk waktu yang tidak lama seperti yang diungkapkannya dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu :

“Kau harus cinta perdamaian sebagai alat untuk peperangan-peperangan baru dan masa damai yang singkat lebih baik ketimbang yang panjang. Kepadamu tidak kuanjurkan kerja, melainkan perjaungan, Kepadamu tidak kuanjurkan perdamaian, melainkan kemenangan. Jadikanlah karyamu sebagai perjuangan. Jadikanlah perdamaian sebagai kemenanganmu. Orang bisa tidak bersuara dan duduk diam saja kalau ia memiliki busur dan panah, kalau tidak mereka niscaya membual dan cekcok saja”.

Dari uraian disinilah terlihat bahwa Nietzsche sangat mengagungkan konflik dan peperangan. Jadi Manusia atau bangsa harus dipimpin oleh bangsa atau manusia yang unggul atau manusia atas, dan tidak akan pernah ada kesamaan hak, karena doktrin kesamaan hak itu merupakan perlindungan bagi golongan yang lemah agar tidak diserang atau dijajah oleh bangsa yang unggul seperti semboyan yang terus diterikkan adalah laissezfaire pada masyarakat demokratis dimana mereka merindukan kesamaan hak adalah sebenarnya orang-orang pengecut belaka. Doktrin bangsa yang unggul adalah yang dipakai oleh Adolf Hitler dalam Nazisme. Untuk mempertegasnya maka perlu diungkapkan apa yang telah diaktakan Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra yaitu:

“Sebab bagiku beginilah bunnyi keadilan : ’Manusia tidaklah sama.’ Tidak pula merak akan menjadi sama”.

Nietzsche mengatakan dalam Also Sprach Zarathustra, yaitu Jadilah manusia atas, ibarat samudera luas yang tidak akan luntur karena harus menampung arus sungai yang keruh. Manusia harus terus menerus malampaui dirinya sendiri, terus menerus mencipta. Dan dilanjutkan dalam bagian lain dalam buku yang sama yaitu :

“Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menentukan tujuan baginya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya…”

Dari ujaran Zarathustra diatas dapat diungkapkan bahwa Nietzsche percaya bahwa manusia unggul selalu aktif dan kreatif yang tidak akan pernah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya, manusia selalu mempunyai ciri khas tersendiri mempunyai nilai dan norma sendiri karena manusialah yang menciptakan nilai dan norma tersebut. Manusia unggul harus meninggalkan apa yang menjadi kepercayaan orang kebanyakan. Dan seperti telah diungkapkan diatas bahwa manusia unggul baru akan terjadi apabila manusia itu dalam keadaan menderita, karena untuk mejadi kreator diperlukan penderitaan dan banyak perubahan.

Nietzsche mengatakan bahwa hidup adalah kenikmatan yang harus dihayati sedalam-dalamnya. Dalam Zarathustra sudah dikatakan juga bahwa manusia adalah unggul, asalkan ia mau terus menerus menjulangkan gairahnya setinggi-tingginya. Untuk itu, manusia harus bebas dari segala kekhawatiran dan rasa dosa. Ia harus cinta akan kehidupan karena cinta kehidupan berarti sanggup menanggung kenyataan bahwa manusia bukanlah sesuatu yang sudah selesai.” Dari uraian diatas maka jelas merupakan ungkapan eksistensialis yang mengungkapkan pentingnya manusia yang terus berkarya, dan manusia selalu dinais dan suatu ada yang belum selesai.

Nietzsche terus mengungkapkan pentingnya keberanian yang harus dimilki oleh manusia atas atau manusia unggul. Manusia unggul harus berani menghadapi segala tantangan yang ada didepan, dan manusia harus berani menderita guna mencapai tujuan hidupnya yaitu mencapai Übermensch, bahkan keberanian itu harus ditunjukkan dalam menghadapi maut dengan diungkapkannya semboyan “Matilah pada Waktunya” (Fuad Hassan,1992,58) Kematian itu datangnya harus disambut seperti kita menyambut kelahiran datau kebahagiaan.

Bagaimanapun manusai terus berusaha untuk menjadi unggul manusia juga harus terus menyadari bahwa manusai tidak akan mampu melampaui batas-batas kemampuannya sendiri. Dalam Zarathustra juga diungkapkan suatu ajaran Yunani Kuno yang berbunyi “Kenalilah dirimu”, dimana manusia harus mampu menjadi saksi bagi dirinya sendiri dan atas dasar itu ia akan mampu pula mendudukkan dirinya pada tempat yang sesuai. Dan dalam Zarathsutra Nietzsche mengungkapkan:

“Jangan menghendaki sesuatu yang melebihi kemampuanmu, melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan sendiri mengandung ciri kepalsuan yang menjijikkan”

Ungkapan Nietzsche yang bisa menjadi renungan kita adalah setiap orang mempunyai tempat sendiri dalam kehidupan ini, yaitu sesuai dengan kemampuannya masing-masing (terlihat ada pengaruh dari Zen Buddhisme tentang konsep Kekosongan atau ke-sunya-an).

Untuk menjadi Übermensch manusia haruslah menyadari siapa dirinya dan karenanya manusia juga harus mengetahuai bahwa manusia sebelumnya adalah “kau” dan ketika manusia telah sadar akan kemampuannya maka ia telah menjadi “aku”. “Aku” lahir sebelum “Kau”. Dan sejah “aku” lahir maa manusia menjadi tak pasti, ia terus menerus membantuk dirinya seolah-olah menuju kepastian dan kemantapan akan tetapi hal ini mustahil karena ketidak pastian dan ketidakmantapan itulah. Namun karena dalam keadaan khaos yang dihayati itulah, manusia menjadi kreatif serta bisa bercita-cita setinggi-tingginya, dan oleh karena itu ia harus cinta akan kehidupan.

Jika manusia tidak mempunyai cita-cita atau keinginan untuk menjadi unggul maka Nietzsche sangat jengkel pada mereka yang selalu mgnharapkan belas kasihan orang lain karena mereka tidak mempunyai rasa malu dan Nietzsche mengatakan bahwa menjengkelkan untuk memberi mereka sesuatu tetapi menjengkelkan juga untuk tidak memberi mereka apa-apa.

Dan seperti telah diugkapkan diatas bahwa manusia yangunggul adalah manusia yang mempunyai keberanian untuk memusnahkan nilai-nilai lama, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche dibawah ini :

“… Siapa pun yang hendak menjadi kreator dalam kebaikan dan keburukan, sesungguhnya, ia lebih dahulu harus menjadi pemusnah dan pendobrak segala nilai.”

Jadi jelaslah bahwa seorang kreator harus berani menyatakan apa yang menurutnya benar. Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan. Akan tetapi, kebenaran harus diungkapkan sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan disembunyikan tanpa berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya, sebab “ Diam adalah lebih buruk, semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun.”(Fuad Hassan,1992,67)

Diakhir cerita Also Sprach Zarathustra diungkapkan bahwa Nietzsche tidak menginginkan penganut-penganutnya untuk terus mengikutinya, Ia menginginkan manusia mencari jalannya sendiri, mencari jalan hidupnya sendiri. Bahkan Nietzsche menginginkan untuk terus ditentang dan dilawan oleh para pengikutnya. Hal ini diungkapkan dalam bukunya tersebut:

“Sekarang aku pergi sendiri, hai penganut-penganutku.
Kalian pun pergilah sekarang, sendiri.
Demikianlah kehendakku.
Jauhilah aku dan lawanlah Zarathustra”

Dan ungkapan ini terus dipertegas dengan ungkapan lain yang juga terdapat dalam bukunya yaitu :

“Tak sempurnalah seseorang membalas jasa gurunya, bilamana ia terus menerus bertahan sebagai muridnya saja.”

Dari uraian diatas terlihat lagi ada pengaruh dari Zen Buddhisme yang mengungkapkan pelajaran itu baru dikatakan telah merasuk dalam diri apabila telah melakukan kekosongan dan telah mengkosongkan pikirannya. Jika masih ada pelajaran yang tercantum dalam pikiran maka pelajaran itu tidak atau belum merasuk dalam diri. Demikian Nietzsche menerapkan setelah menerima ujaran Zarathustra maka hilangkan ajaran itu dalam pikiranmu dan carilah jalanmu sendiri, dan tempuhlah sehingga kita dapat membentuk jati diri sendiri.

Nietzsche bisa disebut sebagai seorang nihilis karena ia lebih dahulu menihilkan segala nilai lama dan mempermasalahkan segala nilai yang telah mantap. Dan inilah yang dinamakan berfilsafat dengan palu, karena dihancurkan semua yang telah lama dianut oleh masyarakat kemudian membentuk nilai baru yang dipercaya oleh individu.
Kesimpulan

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ajaran utama Nietzsche adalah Kehendak untuk berkuasa (Will to Power) yang dapat ditempuh dengan mencapai suatu cita-cita manusia unggul atau Übermensch.

Cara mencapai manusia unggul adalah dengan tiga komponen dasar, yaitu harus mempunyai keberanian, kecerdasan dan kebanggaan. Mereka harus berani karena mereka harus berani menghadapi kehidupan ini baik kebahagiaan maupun penderitaan. Nietzsche menegaskan bahwa dengan penderitaan manusia akan mencapai potensi yang maksimal, karena dengan dihadapkan dengan konflik manusia akan dapat dengan beik mengeluarkan segala potensi dan kemampuannya dan ini akan membantu manusia untuk menjadi Übermensch.

Konsep Übermensch inilah yang dapat dilihat sebagai suatu gagasan yang bernilai eksistensial bagi keberadaan manusia yang berada di dunia ini.

Namun sayangnya Nietzsche tidak sempat merasakan kemasyurannya ini terutama disaat-saat akhir hidupnya.

Oleh: Arif Wibowo Filsafat UI

Pustaka:

Dagun Save. M, Filsafat Eksistensialisme, cet.1, Rineka Cipta, Jakarta, 1990

Feibleman, James K., Understanding Philosophy : A Popular History of Ideas, Ed. 2, Billing & Sons Ltd, New York, 1986

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Cet.14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998

Hassan, Fuad, Berkenalan dengan Eksistensialisme,cet.5, Pustaka Jaya, Jakarta, 1992

Sunardi, ST, Nietzsche, Cet. 2, LkiS, Yogyakarta, 1999

Senin, 18 Juli 2011

PARADOKS ILMUWAN DAN AGAMAWAN



Bom meledak lagi. Anda mau jadi ilmuwan atau agamawan, terutama dalam melihat peristiwa dengan kultus kekerasan berlatar agama? Sebagai ilmuwan, sosiolog misalnya. Anda bisa berkata bahwa kekerasan berlatar agama yang meningkat belakangan ini bukan masalah agama, melainkan masalah sosial (tentu saja, Anda kan sosiolog). Sebagai sosiolog, kita bisa bilang bahwa wilayah-wilayah yang dulu menjadi basis PKI kini menjadi basis radikalisme agama. Itulah daerah-daerah yang miskin, tertinggal, tidak memiliki cukup akses kepada ekonomi. Artinya, radikalisme menjadi subur pada tanah yang kering.

Selama masih ada ketidakadilan, maka selama itu pula ada peluang untuk segala jenis radikalisme–juga radikalisme agama serta penggunaan kekerasan atas nama agama. Sebagai sosiolog, kita boleh berkata bahwa jika masyarakat beragama Z menolak berdirinya rumah sakit dari yayasan agama X, itu juga bukan masalah agama.

Itu,lagi-lagi, masalah sosial dan ekonomi. Hal demikian pasti terjadi di wilayah di mana masyarakatnya tidak memiliki cukup akses pada ekonomi. Hal demikian pasti terjadi di wilayah di mana kesenjangan disadari. Sebagai psikolog sosial, kita juga boleh melihat masyarakat sebagai kumpulan energi.

Energi harus dilepaskan.Jika dilepaskan perlahan,ia mengalir dengan tenang.Jika ditahan,maka suatu kali ia akan meledak.Seperti gunung api.Akses pada pendidikan, ekonomi,,dan politik merupakan kanal-kanal penyaluran energi masyarakat.Jika akses tidak ada,atau tidak memadai, maka terjadi pengumpulan energi yang mengancam akan meletup kelak. Begitulah,daerah kumuh kota,misalnya,selalu menyimpan potensi konflik.

Penduduknya yang padat berarti energi yang besar.Tak diimbangi pula dengan kanalkanal sosial ekonomi politik. Justru diperparah dengan pengelompokan suku dan agama.Demikian pula daerah dan komunitas yang terpinggirkan oleh industrialisasi. Mereka adakan konsentrasi potensi konflik. Sebagai sosiolog dan ilmuwan kita bisa berkata: satu-satunya jalan menghilangkan radikalisme adalah menghilangkan kesenjangan.Satu-satunya jalan melenyapkan terorisme adalah melenyapkan ketidakadilan.

Memang,itu hampir mirip dengan berkata: satu-satunya jalan menghilangkan radikalisme dan terorisme adalah dengan tinggal di surga. Yang pasti,setiap kali kita berkata demikian–bahwa satu-satunya jalan melenyapkan kekerasan atas nama agama adalah dengan menghilangkan kesenjangan–sesungguhnya, pada saat yang sama kita tidak percaya lagi bahwa agama punya kekuatan transformatif kepada kedamaian.

Setiap kali kita memilih menjadi ilmuwan dan melihat dengan kacamata tersebut,kita pun diam-diam melihat agama sebagai semata-mata bagian dari persoalan.Inilah titik di mana kita boleh memilih menjadi agamawan. Seorang ilmuwan melihat dari luar.Karena itu ia boleh melihat agama sebagai satu dari beberapa unsur yang saling menyumbang dalam suatu masalah.

Tapi,seorang agamawan melihat dari dalam. Dialah yang bertanggung jawab pada bagaimana teks-teks agama ditafsirkan. Jika ia percaya bahwa agama seharusnya adalah membawa jalan damai serta menjauhi kekerasan, dendam, dan kebencian, maka ialah yang bertanya mengapa agama menjadi software kekerasan dan mencari jawabnya dalam agama itu sendiri, bukan pada masalah eksternal sosial, ekonomi, politik, sebab itu adalah bagiannya para sosiolog dan ilmuwan.

Nah, Anda mau jadi ilmuwan atau agamawan? Sekali lagi, sebagai ilmuwan, kita tidak melihat semua ini sebagai masalah agama persis justru karena kita tidak percaya bahwa agama punya kekuatan transformatif kepada kebaikan. Memang di situ paradoksnya. Sebagai agamawan, kita harus mengakui dengan jujur tanpa dogmatisme, bahwa ada yang salah dengan penafsiran agama belakangan ini. Saya sendiri, alih-alih lebih suka menjadi seorang yang kritis dan skeptis, terkadang berusaha untuk berpikir menjadi ilmuwan ataupun berpikir menjadi agamawan.