Kamis, 06 Desember 2012

PERLAWANAN RASIONALISME MELAWAN MITOLOGI DAN INTOLERANSI DALAM AGAMA



Kesadaran manusia primitif akan kemahabesaran alam semesta sekaligus ketidakberdayaan dirinya membuat mereka berusaha merumuskan sesuatu yang menguasai semua itu. Sesuatu yang menciptakan kosmos dan kemudian memeliharanya sehingga serasi dan selaras. Dari upayanya tersebut lahirlah mitos dalam budaya berpikir mereka. Kisah yang mereka susun sedemikian rupa hingga dianggap bisa menjawab tanya akan fenomena alam yang mereka saksikan dan rasakan.

Ketidak tahuan akan cara memahami jalannya alam semesta membuat orang-orang zaman dahulu menggagas dewa-dewi sebagai penguasa tiap segi hidup manusia. Ada dewa cinta dan perang; dewa matahari, bumi, dan langit; bahkan dewa laut dan sungai; dewa hujan dan badai petir; bahkan dewa gempa dan gunung berapi. Ketika dewa-dewi berkenan, umat manusia dianugerahi cuaca baik, perdamaian, dan perlindungan dari bencana alam dan penyakit. Namun kala dewa-dewi murka, datanglah kekeringan, perang, wabah dan penyakit. Karena hubungan sebab dan akibat di alam tak tampak di mata mereka, maka dewa-dewi tampak tak dapat dipengaruhi, dan nasib manusia berada di kehendak mereka.

Tetapi semenjak kemunculan filsuf Thales dari Miletos (624-546 SM) keadaan mulai berubah. Muncul gagasan bahwa alam mengikuti kaidah-kaidah yang konsisten dan bisa dipelajari. Dan dimulailah proses panjang mengganti gagasan kuasa dewa-dewi dengan konsep alam semesta yang diatur hukum alam dan tercipta menurut rencana dasar yang kelak dapat kita baca. Dahulu Thales dianggap berhasil memprediksi terjadinya gempa matahari. Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia.

Setelah runtuhnya keyakinan polyteis yunani kuno munculah keyakinan monoteisme sebuah kepercayaan bahwa Tuhan (istilah yang sama dengan dewa) adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu (agama abrahamik). Monoteisme diduga berasal dari ibadah kepada Tuhan yang tunggal di dalam suatu panteon dan penghapusan Tuhan-tuhan yang lain, seperti dalam kasus penyembahan Aten dalam pemerintahan firaun Mesir Akhenaten, dibawah pengaruh istrinya yang berasal dari Timur Tengah, Nefertiti. Ikonoklasme (gerakan memusnahkan ikon dan simbol-simbol seni religius) pada masa pemerintahan firaun ini dianggap sebagai asal-usul utama penghancuran berhala-berhala dalam tradisi Abrahamik yang didasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan lain diluar Tuhan yang mereka akui. Dengan demikian, sebetulnya disini jika melihat lebih analitis maka akan terus ada benturan antar keyakinan tergantung dari pengakuan dualistik dan diam-diam tentang keberadaan Tuhan-tuhan yang lain, sebab perbedaan tersebut akan terus menjadi bomb waktu dimana ledakannya akan menyimbolkan perbedaan sebagai lawan yang harus dihancurkan karena mereka dapat saja sewaktu-waktu mengalihkan perhatian dari Tuhan utama mereka.

Dalam konsepsi monoteisme abrahamik dibentuklah aturan sistem yang mengatur tata kepercayaan (keimanan) dan peribadatan kepada Tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia beserta lingkungannya, aturan sistem tersebut bernama Agama. Fundamen aturan dari tata sistem agama tidak berbeda jauh dengan kepercayaan mitos kepada para dewa-dewi yunani, dimana menerima dan meyakini segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya berasal dari Tuhan, kemudian menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lainnya yang diyakininya berasal dari Tuhan.

Kepercayaan terhadap agama adalah simbol pengakuan dimana manusia memiliki kemampuan terbatas. Kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri, Allah, Yesus, Yahweh, Dewa, Syang-ti dan banyak lainnya. Dan kesimpulannya agama adalah simbol penghambaan manusia kepada Tuhannya. Terdapat tiga unsur dalam pengertian agama, yaitu manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama. Penghambaan-penghambaan yang dogmatis inilah yang melahirkan banyak mitos-mitos dan akhirnya melebur menjadi instrumen yang dianggap penting dalam sistem ritual beragama.


Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan yang didasari pada rasio manusia, maka dalam perjalanannya agama selalu mengalami goncangan akibat serangan dinamika zaman. Kejutan-kejutan perubahan yang dimunculkan oleh pergolakan zaman seringkali memaksa agama harus mengikuti ritme perkembangan tersebut. Di era keemasan agama, struktur kehidupan manusia ibarat piramida kehidupan dimana agama menjadi bagian inti yang mempengaruhi aspek lainnya. Para sejarawan menyebut era ini sebagai zaman aksial yang dicirikan dengan mitos sebagai sumber utama pengetahuan manusia.

Revolusi sains, sama halnya seperti juga politik, sering bergerak melampaui batasan yang mungkin tak terpikirkan oleh mereka yang memulainya. Pada abad ke-16 sebuah paradigma berkembang, manusia adalah ciptaan Tuhan yang utama, bumi merupakan pusat alam semesta yang terencana secara matematis dengan sempurna, manusia sendiri diberikan karunia berupa akal untuk bisa membaca harmoni alam tersebut. Metode ideal yang digunakan oleh pemikir Yunani untuk menemuskan penjelasan logis dan sistematis, telah diperbaharui dan dimanfaatkan oleh peradaban Islam di Spanyol. Dalam hal ini, tampak terlihat bahwa ilmu pengetahuan melintasi batas keyakinan. Periode kebangkitan pencarian ilmu pengetahuan di dunia Barat ini dinamakan era Renaisans (Kelahiran Kembali).

Pada era selanjutnya, gelombang baru memaksa agama harus senang untuk disejajarkan dengan unsur kehidupan lainnya. Modernitas menjadi harapan baru manusia. Logos menggantikan Mitos. Bahkan tradisi baru pengetahuan manusia tersebut dengan tragis menelanjangi kabut-kabut hitam abu-abu mitos-mitos agama. Serangan paling dahsyat adalah munculnya arus sekularisasi dan paradigma berpikir saintifik yang sangat mempengaruhi kesadaran manusia. Puncak kesadaran paradigma ini dinyatakan oleh Nietzsche dengan ungkapan "Tuhan Telah Mati". Tuhan telah mati bukan diartikan bahwa Tuhan secara "harfiah" sudah mati, tapi Tuhan Telah Mati ialah di mana gagasan moral tentang Tuhan sudah tidak lagi mampu menjadi sumber gagasan dari segala sumber aturan moral manusia untuk hidup di muka bumi. Era kematian Tuhan ini ditandai oleh para pengamat agama sebagai krisis teologi.

Perkembangan cepat pengetahuan, rasio, sekularisasi pada akhirnya meruntuhkan mitos-mitos yang diyakini dalam sistem ritual penghambaan dalam agama. Terkait dengan perubahan yang terjadi sangat cepat, kemudian memaksa agama untuk terus menyesuaikan diri dengan dinamika ini. Umat beragama mengalami banyak culture shock (kejutan budaya). Bagi umat beragama yang tidak siap, maka mereka masih sangat sulit untuk berkompromi dan melakukan tawar menawar dengan babakan baru ini. Dalam kondisi demikian tidak mengherankan apabila muncul suatu gerakan keagamaan yang sifatnya reaksioner dan apologetik, ditandai dengan munculnya neo-ortodoksi agama. Karena cirinya yang reaksioner, gerakan ini hanya melakukan repetisi tradisi dan berusaha terus menggiring warisan lampau sebagai justifikasi masa kini. Mereka menafikan realitas bahwa dinamika adalah perubahan, karena perubahan adalah keniscayaan sebab tidak ada hal yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Prinsip-prinsip kebenaran yang selama ini bersifat prinsipil pun bisa saja diruntuhkan oleh perubahan itu sendiri.

Mereka yang tidak siap beradaptasi dengan progresivisme zaman akan terus menerus bertahan dengan paham ekslusivisme agamanya, dimana terjadi dualisme keyakinan yang mereka sendiri sebenarnya sadar dengan realitas perubahan, tetapi memaksa perubahan itu sendiri untuk menyesuaikannya dengan ajaran agamanya. Ekslusivisme agama melahirkan kebenaran subjektif dan lebih bersifat apologetik. Dari pandangan ekslusif inilah lahir benih-benih intoleransi antar keyakinan.

Pencampuradukan antara mitos-logos pada akhirnya akan menjadi musibah baru bagi sejarah peradaban kehidupan manusia. Karen Armstrong memberikan satu contoh bahwa perang salib yang dikomandoi oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 pada dasarnya merupakan alam logos. Akan tetapi ekspedisi militer tersebut menjadi semakin tangguh ketika ditarik dalam kerangka mitologi rakyat, kisah-kisah heroik dalam kitab suci, fantasi religius yang selanjutnya tercatat dalam sejarah sebagai tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia. Pada hakikatnya mitos bukan selalu menjadi hal yang jelek, sebab dengannya kehidupan mempunyai konteks makna yang berharga dan sejarah budaya yang beragam. Akan tetapi mitos menjadi potensi destruktif bila didudukan sebagai kekuatan dan kemapanan hirarki sosial. Pada titik inilah bisa disebut sebagai proses "pemistikan", yakni penggunaan mitos yang bertentangan dengan fungsi dan maknanya. Dan inilah corak utama gaya berteologi dan/atau berdakwah masyarakat agama saat ini. Ekslusivisme dan neo ortodoksi bercanggah di atas kerangka paradigma yang demikian. Tidak mustahil bahwa tragedi-tragedi kemanusiaan akan terus berlangsung selama masih saja terjadi pencampuradukan mitos-logos dan menjadikan mitos sebagai penyangga ideologi keyakinan/kebenaran.

Semula gerakan neo-ortodoksi (berwujud konservativisme, fundamentalisme hingga extremisme) tidak terlalu berlebihan, namun pada perkembangannya ia ternyata tidak hanya berusaha menghidupkan kembali panorama religius berabad-abad yang lalu dalam kehidupan manusia hari ini kemudian memaksakannya menjadi alat utama untuk membaca realitas saat ini. Anggapan agama adalah kesempurnaan akhir bagi manusia kemudian klaim bahwa tidak ada celah kesalahan sedikitpun dalam ajarannya dengan diselimuti oleh dogma kesucian adalah bertentangan dengan rasio serta realitas dinamika zaman. Dengan kata lain, hal tersebut bukan hanya mengembangkan kembali mitos tetapi juga memaksanya untuk meneropong hal-hal yang seharusnya menjadi tugas logos dalam wujud "Kesucian". Disinilah terjadi absurditas sebab pencampuradukan epistimologi mitos-logos yang pada akhirnya melahirkan pada drama baru realitas yang disucikan, politik yang disucikan, budaya yang disucikan, bahkan kepentingan dan perang yang disucikan.

"Bagaimana orang yang suka manis mengatakan bahwa yang tidak suka manis itu sesat????" (dr. Ryu Hasan) 

Menurut Voltaire, hukum alam adalah hukum yang diberikan alam untuk kita seluruh manusia. Jika anda memperhatikan anak anda dengan baik maka anak itu akan menghormati anda sebagai orang tua. Anda berhak memetik hasil bumi yang telah anda tanami dengan tangan anda. Jika anda telah membuat dan melaksanakan sebuah perjanjian, itulah yang seharusnya ditaati.

Voltaire juga menyimpulkan bahwa hukum manusia tidak dapat disusun bertentangan dengan segala permasalahan yang telah diatur hukum alam, maupun prinsip besar, dan prinsip universal yang ada di bumi ini. Jadi seseorang tidak akan bisa memaksakan kehendaknya untuk dilakukan oleh orang lain atau memberikan pendapat yang harus dituruti jika hal tersebut berhubungan dengan sesuatu yang prinsip. Seseorang tidak dapat mengatakan, "ini adalah sesuatu yang aku percayai dan kaupun harus percaya itu". Faktanya hingga saat ini kalimat tersebut memang disenangi oleh orang-orang di beberapa negara dimana ucapan-ucapan seperti "harus percaya, atau semua orang membenci; percaya saja atau akan terjadi sesuatu yang buruk pada mereka yang tidak mempercayainya"; mengerikan kau tidak seagama denganku, atau kau sama sekali tak beragama. Jadi apakah kita harus menerima kebencian tersebut untuk lingkungan dimana kita hidup?. Jika kita sepakat dengan apa yang dipaparkan oleh Votaire berarti kita telah menanamkan akar permusuhan yang dilandasi oleh mitologi. Menurut Voltaire hukum yang mengatur seseorang agar tidak bertoleransi sangat absurd dan barbar, hukum seperti itu seperti seekor macan, bahkan lebih baik karena hanya berlaku jika lapar.

Di Indonesia, penerapan budaya konservatisme dan neo-ortodoksi masih dijadikan pedoman oleh mayoritas pemeluk agama. Tetapi dalam perkembangannya sekarang, bisa kita lihat adanya beberapa upaya dari kelompok-kelompok tertentu umat beragama tersebut yang ingin keluar dari cengkeraman mitologi agama. Perlawanan terhadap mitologi yang dibawa oleh agama berisiko melahirkan sebuah stigma. Yang pertama kali akan dihadapi adalah stigma sesat, liberal dan yang paling ekstrem adalah anti agama. Pandangan apriori terhadap progresivisme adalah paradigma yang sudah seharusnya dibuang ke tong sampah sejarah, mengapa demikian, sebab progresivisme adalah bagian dari dinamika kehidupan dalam perkembangan sejarah masyarakat.

Dalam progresivisme suatu pengetahuan yang benar masa kini mungkin tidak benar di masa yang akan datang, segaris dengan filsafat sains bahwa sains harus mampu mengkoreksi hipotesis atau kesimpulan ilmiahnya jikalau dikemudian hari ditemukan kesalahannya. Tentu hal ini berbeda jauh dengan fundamen dasar agama dimana iman (kredo) sebagai buah dari kebenaran hakiki dimana mitos dan logos dipersatukan. Logika adalah hasil pertimbangan akal pikiran, yang mempelajari kecapan unyuk berpikir secara lurus, tepat dan teratur. Logika mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan pedoman yang mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan dalam tindakan, intinya logis sama dengan masuk akal. Sedangkan mitos/mitologi adalah adalah cerita prosa rakyat, yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk didalamnya, serta "dianggap" benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau para penganutnya. Mitos dapat timbul sebagai catatan peristiwa sejarah yang terlalu dilebih-lebihkan, sebagai alegori atau personifikasi bagi fenomena alam, atau sebagai suatu penjelasan tentang ritual. Mereka disebarkan untuk menyampaikan pengalaman religius untuk membentuk model sifat-sifat tertentu, dan sebagai bahan ajaran dalam suatu komunitas.

Jadi kisah-kisah tentang mukjizat, keajaiban, hal-hal ghaib dan supranatural yang pernah terjadi dimasa lampau sesungguhnya masuk kedalam ranah mitologi. Sebab hal-hal tersebut sulit untuk dibuktikan dan diverifikasi kebenarannya. Tetapi dalam agama, terutama pandangan konservatisme dan neo-ortodoksi kisah-kisah tersebut dianggap sebagai kebenaran yang melebihi logos. Bahkan dijadikan fundamen utama dalam keimanan. Pada akhirnya pandangan-pandangan yang menganggap mitos sebagai kebenaran akan berbenturan dengan rasionalisme zaman. Dalam upaya kaum beragama dalam mempertahankan mitosnya yang kaku seringkali melahirkan sikap-sikap intoleran. Sikap intoleran terjadi bukan hanya terhadap pihak-pihak yang mengkritisi pandangan chauvinistis terhadap mitologi tersebut, tapi juga terhadap mereka-mereka yang menjadi pembaharu dalam agamanya sendiri.

Untuk keluar dari kekakuan keberagamaan ini ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, menjalin relasi harmonis-kompromistik antara mitos dan logos. Sebab keduanya merupakan alat bedah kehidupan yang tidak bisa dipisahkan. Meskipun demikian ada karakteristik dan peran masing-masing yang tidak bisa dicampuradukan. Mitos berperan sebagai pendorong imajinasi manusia yang menyebabkan kehidupan manusia bermakna. Sementara Logos menjadi panduan praktis dan ilmiah. Keduanya memiliki keterbatasan yang berpeluang menimbulkan hubungan yang komplementer. Dalam bahasa yang berbeda Arkoun menyebutnya sebagai angan-angan. Menurutnya disitulah kegagalan modernitas terjadi. Barat menganggap mitos sebagai khayalan dan mengesampingkan kreativitas angan-angan ini. Kedua melakukan pembongkaran  dan degradasi terhadap gaya berteologi yang dicirikan dengan paradigma kebenaran. Paradigma kebenaran sebenarnya merupakan landasan utama munculnya tragedi keagamaan. Karena tidak sedikit darah manusia ditumpahkan hanya karena hendak mengibarkan dan mempertahankan kebenaran agama.

Nietszsche secara ekstrem mengatakan bahwa kebenaran tidak lebih dari sebuah kesalahan yang belum ditemukan, tetapi kita coba mengambil dalam kacamata analisa Foucault yang lebih lembut dimana kebenaran tidak lebih sebagai proses relasi antar kuasa-pengetahuan, jalinan idea, dan kekuasaan ini telah menimbulkan ideologi kebenaran. Tak terkecuali dalam agama. Dengan demikian hal yang dianggap benar dalam agama tidak lebih hanya ekspresi klaim kekuasaan dan pengetahuan yang saling tumpang tindih, inilah yang menjadi salah satu naluri keberagamaan yang sulit untuk dibongkar dan dirubah. Kebanyakan umat beragama masih malu-malu mengambil jalan kompromi dengan gerakan yang mengakui kebenaran agama orang lain. Cara seperti ini pada kenyataannya tidak lebih menjadi tindakan toleransi yang hipokrit (munafik), karena berusaha menahan birahi klaim kebenaran agamanya dengan membiarkan kebenaran orang lain berkeliaran. Pada saatnya nanti emosi yang dipendam seperti ini akan meluap menjadi satu tragedi baru. Sejarah peradaban agama dan umat manusia telah membuktikannya.

Oleh sebab itu, umat beragama harus berani beranjak dari paradigma kebenaran teologi ini menuju satu paradigma baru, yakni kebajikan. Paradigma ini hendak menggiring umat beragama untuk kembali pada muara kebajikan, cinta kasih, persaudaraan dan perdamaian. Sehingga berani keluar dari jejaring-jejaring fanatisme untuk menunjukan kebenaran agamanya. Religiusitas (keberagaman) diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia, cinta kasih adalah fondasi utama relijiusitas, jadi hal ini tidak cukup hanya pada persoalan ritualistik ataupun berbagai pemahaman sektarian yang membagi agama-agama beserta aliran-aliran dibawahnya. Maka orang non believer (Ateis dan Agnostik) yang memiliki nilai cinta antar sesamanya bisa saja lebih relijius dari umat beragama. Kebajikan merupakan hal inti yang ada pada setiap agama. Dengan mengembangkan kebajikan dalam agama berarti pula mengembangkan kebenaran agama. Dan bahwa manusia beragama bukan orang yang dengan getol bersemangat menunjukan kebenaran agamanya, namun yang tekun mengamalkan kebajikan-kebajikan dalam agama, tanpa landasan mitos yang mengkebiri dunia logika.

Rio Maesa 6-12-2012

Referensi:
*Perjalanan Kosmos, Nataresmi Abd. Hanan
*The Grand Design, Stephen Hawking
*The Theory of Everything, Stephen Hawking
*Agama antara mitologi dan ideologi, Abd. Malik Utsman
*Beyond Good and Evil, Friedrich Nietzsche
*Traktat Toleransi, Voltaire