Senin, 21 Februari 2011

KOMERSIALISASI PENDIDIKAN AKAN MEMBENTUK PARA SARJANA DAN KAUM TERPELAJAR MENJADI PENINDAS RAKYAT

Sedikit bercerita berdasarkan kisah dari seorang sahabat kuliah dulu, ada seorang ayah yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) berkata kepada anaknya bahwa dia sedih dan simpati dengan meninggalnya Presiden ke dua Republik Indonesia Soeharto. Ayah tersebut sudah merasa sangat skeptis akan perkembangan yang terjadi di Indonesia pasca lengsernya kepemipinan soeharto 1998. Anaknya, seorang mahasiswa hukum memperdebatkan semua keluhan hati sang bapak karena dia merasa bahwa kehancuran yang diterima oleh rakyat Indonesia saat ini adalah dampak vertikal dari Rezim Orde Baru (Orba), menurutnya Soehartolah manusia yang paling bertanggung jawab atas semua yang diderita oleh bangsa Indonesia kini, dan perdebatan ayah dan anak ini pun berlangsung.

Wajar apabila ayah tersebut merasa sedih dengan sepeninggalnya Soeharto, bagaimana tidak, bapak tersebut merupakan salah satu birokrat didikan rezim Orba, sedangkan si anak sedang menjalani pendidikan kesarjanaannya dan menjadi aktivis pergerakan disebuah organisasi kemahasiswaan pada era pasca Orba, sebuah orde yang sangat bertolak belakang dengan rezim saat soeharto berkuasa. Siapakah yang benar di antara perdebatan mereka berdua hanya bisa dijawab melalui perspektif masing-masing. Jika kita lihat dari perspektif sang ayah, yang bekerja sebagai seorang PNS kita hanya bisa membenarkan dalih yang dia pakai berdasarkan rasa balas jasa, itu merupakan jawaban simplitis karena sewajarnya di era tersebutlah ia merasakan hidup layak di Indonesia, tidak seperti di era reformasi sekarang ini yang bisa dikatakan semua serba sulit. Bila kita tinjau dari perspektif sang anak maka jawabannya mungkin benar, karena fakta yang ada tanpa kasat mata pun kita telah melihat segala sesuatu yang terjadi pada saat ini adalah efek domino dari rezim yang runtuh pada mei 1998 tersebut. Ditambah lagi penguasa negeri setelah tumbangnya Orba hanyalah merupakan kelanjutan tangan dari sistem korup yang telah membudaya sejak era kolonialisme.

Dari setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hikmah dibalik semua itu. Kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga dari apa-apa saja yang terjadi sepeninggal masa Orba. Hikmah yang kita ambil saat ini adalah kita sedang mengalami transisi hidup dari sebuah rezim otoriter-militeristik yang tidak memperbolehkan kekrtitisan kaum terpelajar untuk ikut andil dalam mengisi kemerdekaan ini dengan cara mengeluarkan pendapat, dengan banyak ide-ide progresif dan revolusioner. Pada masa Orba sarjana-sarjana yang ada hanya bisa berpuas diri dengan membanggakan hasil kajian ilmiah kosongnya. Diwisuda oleh rektor-rektor yang kenyataannya memang rektorat yang sengaja dipilih dari orang-orang yang mendukung kepentingan rezim tersebut berdasarkan kolusi nepotisme. Intinya ialah sarjana-sarjana muda tersebut memang sengaja diciptakan untuk menjadi boneka ekonomi politik yang akan selalu tunduk pada kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme yang terlahir secara otomatis dan sistematis dari pendidikan yang ada.

Pendidikan masa kini secara abstrak tidak jauh berbeda dengan era Orba, mengapa saya katakan demikian, alasan pertama ialah kapitalisasi serta komersialisasi pendidikan yang telah menjadi alat pencari keuntungan dari pendidikan, karena pada kenyataannya esensi pendidikan berdasarkan UUD telah berubah bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan menjadi lahan untuk mencari keuntungan.

Dalam UUD 45 pasal 31 ayat (1), (2), dan (4) jelas menyatakan secara eksplisit bahwa pendidikan ialah hak setiap warga negara, daripada itu pemerintah mempunyai kewajiban untuk membiayainya, dan pemerintah seharusnya memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN serta APBD. Tapi apa yang terjadi pada realitasnya….? yang terjadi adalah pengkhianatan pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyat dan konstitusinya sendiri.

Saat ini orang yang berhak untuk dapat mengenyam dunia pendidikan hanya orang-orang beruntung yang memiliki materi berlebih dalam bentuk uang. Bagi orang-orang yang tidak punya uang (orang miskin) ya tidak dapat sekolah, paling tidak jadi anak terlantar, tunakarya, gembel, pengamen dan sejenisnya. Jelas juga dikatakan dalam konstitusi kita pasal 34 ayat(1), bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Kembali lagi terdapat pengkhianatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat dan konstitusinya. Sangat memprihatinkan jika kita meratapi masalah ini, pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan pendidikan yang layak terhadap rakyatnya, justru menelantarkannya seakan tak peduli.

Ironi dalam sebuah dilematika jika kita mendengar hanya karena dengan alasan inflasi, bayar hutang luar negeri, dan atau untuk menyelamatkan APBN, pada tahun 2008 pemerintah berani membuat kebijakan gila, yaitu dengan memangkas anggaran pendidikan 20% seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusinya sendiri menjadi tidak lebih dari 15.6%. Memang dikemudian waktu (2010) ada perbaikan sedikit dimana pada akhirnya Pemerintah berhasil memenuhi anggaran sebesar 20% dalam APBN, tetapi sebagian besarnya habis untuk biaya sertifikasi guru. Dalam diskusi publik yang pernah saya ikuti pada tanggal 20 Agustus 2010 tentang “Refleksi Kemerdekaan Dalam Pendidikan Kita” di kantor Lembaga bantuah Hukum (LBH) Jakarta. Saya mencatat beberapa data yang saya dapatkan dari Raihan Iskandar seorang anggota Komisi Pendidikan DPR ongkos sertifikasi guru itu memakan biaya sebesar Rp 110 triliun. APBN Indonesia besarnya adalah Rp 1.000 triliun, sedangkan 20 persennya untuk anggaran pendidikan yang jumlahnya Rp 200 triliun. Tapi Rp 110 triliunnya untuk sertifikasi guru, dan Rp 30 triliun untuk pendidikan di bawah Kementerian Agama. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya pendidikan kedinasan yang juga mengambil anggaran pendidikan. Karena itu, sisa anggaran pendidikan nasional hanya Rp 45 triliun. Hal ini jelas jadi persoalan yang dilematis. Persoalan lainnya ialah ketersediaan guru yang saat ini dinilai belum tersebar merata. Minimnya pemberdayaan kualitas pengajar menyebabkan tidak banyak guru-guru yang siap ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Tak hanya itu saja, dilain pihak banyak kondisi pendidikan yang tidak sesuai dengan visi yang telah ditetapkan. Fakta dilapangan justru memperlihatkan dimana penyimpangan dana BOS, praktek jual beli bangku sekolah, biaya pendidikan yang semakin mahal, dan juga sertifikasi hanya agar bisa mendapatkan tunjangan profesi tetap berjalan tanpa pengawasan yang komprehensif.

Ironis memang, Pemerintah memiliki visi tentang pendidikan tetapi kemudian malah terjebak sendiri dalam sistem yang dibuat. Walaupun UU BHP telah digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun sepertinya sia-sia jika Pemerintah tetap melanjutkan sistem pendidikan yang implementasinya jauh dari apa yang diharapkan. Terlalu banyak alasan-alasan retorika yang dikemukakan oleh Pemerintah dalam membela kebijakan yang pada akhirnya tidak bisa direalisasikan dilapangan. Pendidikan pada akhirnya tetap berpihak pada mereka yang punya uang. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang paling bijaksana untuk membuat bodoh generasi-generasi penerus bangsa. Ya, saya katakan demikian!, karena seperti yang dinyatakan dalam pasal 26 UDHR (United Declaration Of Human Rights) bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan dan pendidikan harus diberikan dengan cuma-cuma., Saya menyatakan dengan tegas pendidikan bukan hanya untuk orang-orang BERDUIT!. Jelas bahwa pendidikan adalah Hak Asasi Manusia yang sifatnya fundamental.

Apabila saat ini hanya terdapat sekitar 5 juta dari 100 juta generasi muda Indonesia yang dapat mengeyam pendidikan hanya orang-orang berduit. Maka dapat dipastikan 15-20 tahun kemudian akan terjadi pergeseran filosofi pendidikan. Pendidikan yang awalnya adalah hak setiap orang menjadi pendidikan menjadi hak orang-orang berduit. ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH. Hasil yang lebih buruk adalah pendidikan akan menjadi problematika dimana terdapat diskriminasi sosial terhadap manusia yang dibedakan berdasarkan status kaya-miskin. Masalah tersebut secara otomatis timbul dari buruknya sistem pendidikan itu sendiri. Pendidikan gratis dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi (Universitas) hanyalah mimpi disiang bolong.

************************************************************************************

Kita menyadari bahwa Universitas adalah jenjang pendidikan yang diinginkan oleh setiap kaum terpelajar. Menjadi sarjana adalah impian setiap kaum terpelajar. Jika universitas adalah gudang pengetahuan, maka sebagian pengetahuan itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk komunitas sekitarnya. Universitas semestinya tidak menjadi menara gading tempat para akademisi mencapai tingkat pengetahuan yang setinggi-tingginya tanpa berbagi sedikit pun temuan mereka. Universitas seharusnya jadi tempat persemaian gagasan-gagasan baru. Gagasan yang dapat memecahkan serangkaian problematika yang muncul di masyarakat. Menurut saya, apabila setiap kampus tidak membangun budaya seperti ini, maka kampus hanya jadi kumpulan budak-budak para sarjana yang hanya berpuas diri dan saling berargumentasi.

Sekarang kita lihat bagaimana bobroknya lembaga pendidikan kita. Kekerasan yang sering terjadi institut-institut pendidikan milik pemerintah, tawuran-tawuran antar kampus, kurikulum ilmu pengetahuan yang lebih diorientasikan kepada aspek keuntungan semata, dan berbagai problematika yang ada di lembaga pendidikan merupakan kecemasan kolektif bangsa. Bagaimana kita mampu melahirkan kaum terpelajar yang berdedikasi pada pembelaan rakyat kecil jikalau pendidikan kita tidak mempunyai pelatihan kesana. Pendidikan yang miskin empati akan akan membuang kesadaran dan tanggung jawab sosial. Yang kemudian tercipta adalah adalah anak-anak muda yang berjiwa monster yang selalu berorientasi pada nilai-nilai materialisme dan individualisme. Hal-hal seperti itulah yang sering terjadi di kampus ternama dengan budaya elitisme yang memalukan. Kampus kemudian menjadi sangkar penyamun dan melihat masalah-masalah sosial hanya merupakan kesimpang-siuran teori. Pendapat ilmiah hanya merupakan jamuan argumentasi yang tak mampu diterjemahkan dalam realitas.

Bagaimana dengan kinerja dosen?. Menurut saya, tugas politis seorang dosen adalah mengajukan masalah (kasus) dan memprovokasi pertentangan-pertentangan yang ada dalam pikiran para mahasiswa. Kinerja dosen seperti itu akan dapat membuat para mahasiswa betah dikelas dan membuat mahasiswa selalu berpikiran progresif dan revolusioner. Fakta yang ada saat ini (*diilhami dengan pengalaman saya saat menjalani kuliah di universitas) mahasiswa yang kritis-rasionalis dibungkam, dicap radikal, dan bila terlalu ekstrem maka ancaman nilai buruk pada akhir semester adalah keniscayaan. Dengan pola didik seperti ini, yang tercipta adalah mahasiswa yang pengecut yang tidak berani mengeluarkan pendapatnya, hanya mengikuti kegiatan perkuliahan secara konservatif tanpa adanya perubahan paradigm berpikir yang lebih progresif.

Pada saat yang sama terdapat dosen-dosen yang membuat buku literatur lalu kemudian memaksakan para mahasiswanya untuk membeli dan membacanya. Padahal dosen tersebut tidak pernah sama sekali menjelaskan apa yang telah ditulisnya dalam buku itu kepada mahasiswanya. Dosen-dosen hanya sibuk untuk sekolah kemudian mengajar dengan bait yang sama. Mereka hanya menjadi pengeras suara dari isi buku yang menjemukkan dan banyak diantara mereka yang tak punya pandangan segar dan mengejutkan. Walau bacaan mereka kaya dan bermutu tapi sedikit yang menguasai ilmu berpidato. Tapi memang tidak semua dosen seperti itu.

Kuliah yang tawar membuat kampus jadi tempat sunyi tanpa gairah. Perpustakaan sepi (gimana mau ramai, dahulu di kampus saya saat jam istirahat perpustakaan juga istirahat), sedangkan kantin kampus penuh dan padat. Rasa lapar lebih didahulukan ketimbang kekurangan pengetahuan. Hal itulah yang membuat kampus menjadi menara gading karena menyimpan makhluk-makhluk kerdil yang tidak terlalu antusias berfikir akan hal-hal besar. Sedangkan diluar sana masyarakat terutama masyarakat kecil juga memandang kampus sebagai lingkungan para terpelajar elit yang sulit disentuh. Dengan biaya yang begitu mahal siapa yang bisa kuliah. Ujung dari pendidikan yang seperti ini hanya menghadirkan mahasiswa-mahasiswa penindas yang tak peduli akan kesulitan rakyat.

*Tulisan ini pernah dipublish di tabloid Suara Hukum Universitas Trisakti pada tahun 2008, kuterbitkan ulang dengan beberapa perbaikan dan tambahan kajian sesuai dengan perkembangan sistem pendidikan nasional. Semoga masih relevan dengan kondisi objektif nasional hari ini.

HUKUM UNIVERSAL

Walau ada ribuan hukum umum, ada beberapa yang sangat penting karena hukum-hukum ini mewakili perbedaan utama antara agama dan spiritualitas:

1. The Law of Free Will (Hukum Kehendak Bebas). Karena roh/jiwa selalu mempunyai kehendak bebas, keputusan kitalah untuk lahir pada saat & tempat tertentu. Keputusan masing-masing untuk memilih orangtua, teman, kekasih, dan musuh. Kita tak dapat menyalahkan orang lain, masa kanak-kanak atau perkawinan yang buruk bagi masalah kita saat ini. Kita secara langsung bertanggungjawab untuk hidup kita karena kitalah yang memilih lingkungannya. Kerangka dasar kehidupan baru anda direncanakan oleh anda sendiri, tetapi anda tidak dapat merencanakan setiap situasi. Karena bukan hanya roh anda yang mempunyai kehendak bebas, tetapi semua roh yang anda sudah & akan berhubungan dengannya dalam kehidupan baru saat ini. Intinya adalah andalah yang memilih ujiannya. Meskipun beberapa peristiwa besar dalam kehidupan anda diletakkan oleh anda pada tataran roh sebelum hari kelahiranmu, anda punya kehendak bebas untuk menghindari atau menangguhkan tujuan anda. Demikian pula, anda selalu punya kehendak bebas dalam cara bagaimana anda menanggapi pada setiap situasi. Jika anda menanggapi dengan Kasih, Rasa Kasihan/Iba, dan integritas (utuh), anda kemungkinan telah menyelesaikan pelajaran karma anda dan tak harus mengulangi pengalamannya dimasa mendatang. Kita sendiri punya kekuatan memilih yang baik terhadap yang buruk dan perkembangan terhadap kemunduran atau kemandekan. Hanya anda yang dapat menfasilitasi pertumbuhan spiritual anda dan menyempurnakan roh. Jangan pernah menyalahkan orang, tempat atau hal lain bagi berkas anda dalam kehidupan. Itulah kehendak bebas yang menyebabkan kejatuhan kita dari Rahmat/berkat aslinya.

2. The Law of Grace (Hukum Berkat). Karma dapat dialami sejauh hukumnya atau dalam kemurahan hati dan berkat. Kebijakan menghapus karma. Jika anda menunjukkan kemurahan hati, berkat dan Kasih, anda akan menerima yang sama sebagai balasannya. Hal ini dikenal sebagai prinsip pengampunan. Jika anda menghapuskan perilaku negative atau kelemahan saat ini, anda menghapus semua hutang karma dan tidak harus menjalani semua sisa karma dari kehidupan sebelumnya dengan setiap individu dimana anda membuat kesalahan dimasa lalu, atau yang mungkin telah menyakiti anda dalam keberadaan sebelumnya.

3. The Law of Challenge (Hukum Tantangan – menanggapi kesempatan). Jagad raya tidak pernah menghadirkan kesempatan-kesempatan yang tak mampu kita hadapi. Anda bisa jadi terpesona atau terkaget-kaget secara emosi dan fisik tetapi tidak secara roh. Setiap hambatan dan ganjaran diletakkan dalam jejak perjalanan kita untuk menantang kita sekaligus memberikan kemudahan bagi pertumbuhan roh kita.

4. The Law of Karma (Hukum Karma). Hukum ini berpusat pada sebab dan akibat. Setiap aksi menghasilkan reaksi. Tak ada yang namanya untung-untungan atau terjadi begitu saja. Kita memilih kerangka kerjanya, termasuk semua hambatan dan ganjaran, pada tataran roh sebelum kita lahir. Karena kita memilih semua pelajaran ini, oleh karenanya tak seorang lain pun dapat disalahkan bagi masalah-masalah kita. “Milikmu sendiri yang nyata dan benar” Semua tindakan kita, terutama motif-motif kita mempunyai akibat. Jika anda mengikuti hukum universal anda akan menyempurnakan roh dan meningkat, sebagaimana kebijakan menghapuskan karma. Jika anda terus mengulangi kesalahan dan gagal dalam pelajaran (anda memilih pelajaran-pelajaran tersebut pada tataran Roh), anda meminta siklus karma yang panjang dan bikin frustrasi karena banyak tidak berfungsi dalam hidup.

5. The Law of Attraction (Hukum Tarik-Menarik). Kecenderungan menarik kecenderungan. Kepada apapun yang energi anda fokuskan anda akan menarik. Jika anda negatif, anda menarik dan mengalami kenegatifan. Jika anda mengasihi, anda menarik kedalam dan mengalami Kasih.

6. The Law of Resistance (Hukum Menahan). Anda cenderung menarik individu-individu dan pelajaran-pelajaran karma yang telah anda tahan atau tangguhkan. Ini adalah hukum “cermin karma”.

7. The Law of Divine Flow (Hukum Aliran Ilahi/Suci). Dengan akses kepada Higher-Self kita (super conscious mind), kita sedang berfungsi sebagai saluran energi Tuhan dan dapat mempercepat perkembangan spiritual pada kecepatan tinggi. Hukum ini juga menerangkan bagaimana keajaiban terjadi.

8. The Law of Polarity (Hukum Polaritas). Segalanya punya kebalikannya pada tataran fisik. Kebalikan ini (kiri, kanan, atas, bawah, kasih, takut, baik, buruk, panas, dingin dll) adalah identik dalam komposisi tetapi hanya berbeda dalam arah atau tingkatan. Hukum ini adalah dasar untuk aspek ganda dunia kita.

9. The Law of Reciprocity (Hukum Timbal Balik). Semakin banyak anda memberi, semakin banyak anda akan menerima. Semakin banyak anda membantu yang lain, semakin besar anda membantu diri sendiri.

10. The Law of Manifestation (Hukum Perwujudan). Pikiran kita, bukan otak kita, menciptakan material dunia dimana kita hidup. Fisika kuantum membeberkan bagaimana mekanisme ini terjadi secara matematis. Perhatikan apa yang anda kehendaki, bisa-bisa akan terjadi.

11. The Law of Consciousness (Hukum Kesadaran). Kesadaran kita (roh) secara konstan berkembang dan oleh karena itu menciptakan banyak kesempatan bagi perkembangan spiritual kita. Kita juga dapat memperpanjang siklus karma kita jika kita gagal mengikuti hukum alam.

12. The Law of Abundance (Hukum Berkelimpahan). Adalah pikiran kita (kesadaran) yang menciptakan kelimpahan. Melalui hypnosis diri sendiri dan cara-cara visualisasi kita dapat menarik, uang, hubungan, ketenaran, komunikasi yang lebih baik, spiritualitas, dan tujuan-tujuan lain kedalam realitas hidup kita.

13. The Law of Correspondence (Hukum Korespondensi). Prinsip ini berhubungan dengan apa yang kita ketahui sebagai “cermin karma”. “Seperti diatas demikian pula yang dibawah” juga terterapkan disini. Dunia luar (makro kosmos) dimana kita hidup adalah reflesi atau pantulan dunia dalam (mikro kosmos) dari kesadaran kita. Semua obyek tercipta pada tataran fisik mempunyai rekan pendamping ditataran Astral. Hukum ini membantu menentukan antar hubungan semua komponen jagad raya.

14. The Law of Present Moment (Hukum Saat Ini). Kita hidup dalam rangkaian keabadiaan ruang-waktu dimana masa lalu, masa sekarang dan masa depan terjadi bersamaan. Hanya dalam pikiran kita bahwa kita membatasi diri kita pada konsep waktu linier (waktu teknis). Dalam kenyataannya, semuanya terjadi pada saat ini. Pada tataran-2 yang lebih tinggi, dimana semua roh adalah sempurna, hal ini dikenal sebagai “Saat-Ini yang abadi”.

15. The Law of Cycle (Hukum Siklus/Perputaran). Selagi kita diskusikan Hukum Polaritas, jagad kita dicirikan dengan siklus-siklus. Siang jadi malam, musim dingin berakhir dan musim semi mulai, dan apapun yang bangkit akhirnya akan jatuh dan bangkit lagi. Prinsip ini membantu menjelaskan bagaimana dunia kita mulai (Bing Bang) dan akan berangsur-angsur runtuh dan bangkit lagi dalam pola siklus 40-milyard tahun.

16. The Law of Reincarnation (Hukum Reinkarnasi). Hukum ini dikenal sebagai roda reinkarnasi atau hukum siklus balik. Sepanjang kita masih punya pelajaran untuk dipelajari (karma), roh kita akan diperlukan reinkarnasi ke dalam jasad. Hanya jika kesempurnaan roh dicapai maka yang nampaknya sebagai siklus tanpa akhir akan diakhiri dan roh kita bergabung dengan Higher-Self (Pencipta) naik kedalam tataran lebih tinggi bersatu bersama Tuhan.

Spiritualitas adalah tentang proses evolusi realisasi diri dan realitas Tuhan serta tak ada hubungannya dengan agama.

Diterjemahkan dari buku “Spirit Guide Contact Through Hypnosis” oleh DR. Bruce Goldberg, cetakan 2005 penerbit The Career Pres,s Inc., 3 Tice Road, PO Box 687, Franklin Lakes, NJ07417, halaman 35-38.

Sabtu, 19 Februari 2011

PHOTOGRAPHY: AKSI 1 TAHUN REZIM SBY-BOEDIONO

"Diantara Ribuan Kaki"

"Lenin Flags"

"Jaring Pemisah Antara Rakyat dan Kekuasaan"

TUHAN, SAINS DAN AGAMA

“SAYA INGIN MENCARI TUHAN DENGAN CARA SAYA SENDIRI, BUKAN KATA SI-A, KATA SI-B, BUKAN TUHANNYA AGAMA-A, AGAMA-B. TUHAN SEPERTI ITU BAGI SAYA ADALAH TUHAN-TUHAN PALSU. TUHAN YANG SUDAH DIMANUSIAKAN, DIKONSEPKAN, DISIFATKAN, DIMASUKAN NILAI-NILAI NON-KETUHANAN OLEH SEBAGIAN ORANG YANG MEYAKININYA. TUHAN SEPERTI ITU BAGI SAYA TAK LEBIH DARI BERHALA-BERHALA ABSTRAK. BUKAN NILAI ESENSIAL KETUHANAN YANG SESUNGGUHNYA. AKU YAKIN TUHAN TIDAK SEPERTI ITU. TUHAN TIDAK SERENDAH ITU!!"

Inilah mungkin salah satu pergulatan terberat dan terbesar yang pernah saya alami. Peperangan antara nilai spiritualitas melawan nilai rasionalitas dalam diri saya. Mungkin beberapa teman-teman pernah mengalaminya. Situasi ini sangat lama saya alami. Terkadang, dalam pertempuran tersebut sisi spiritual yang menang, yang membuat saya begitu takut akan adanya Tuhan dan keberadaan akhirat. Takut akan kematian dan nasib saya sesudah itu. Kadangkala sisi rasional yang menang, yang membuat saya melupakan Tuhan, yang membuat saya skeptis terhadap agama, yang membuat saya menghapus apa saja sesuatu yang adikodrati dari pikiran saya.

Saya sejenak berfikir, apakah saya gila? Apakah akal saya masih berjalan dengan baik? Atau, ini hanyalah halusinasi belaka? Mungkin para saintis, terutama bidang psikologi, akan mengatakan saya hanya berhalusinasi. Mungkin karena saya sudah terlalu banyak menerima nilai-nilai keagamaan yang bersifat ritual, dogmatis dan irasional sehingga seolah akal saya mengamuk karena jarang saya pergunakan untuk memahami nilai, doktrin dan ritual-ritual keagamaan secara rasional dan kritis. Namun di sisi lain ada suatu ketakutan tersendiri dalam diri saya jika saya mencoba bersikap rasional terhadap nilai-nilai dan doktrin keagamaan akibat dari banyaknya pengaruh agama yang besifat dogmatis dalam akal saya.

Saya terlahir dari keluarga beragama yang sebagian besar muslim (atau hampir semua). Waktu kecil, saat saya masih duduk dibangku sekolah Dasar, di sana saya banyak diajarkan tentang Islam. Tentang sejarahnya, keajaibannya, bahkan kehebatannya dibanding agama-agama lain. Agama yang benar adalah Islam dan aliran-aliran tertentu dalam Islam dianggap sesat karena telah keluar dari rel yang telah disepakati. Yang menyedihkan, saya hanya diizinkan bersikap rasional terhadap materi pelajaran yang bersifat duniawi. Saya diizinkan bersikap rasional dan kritis terhadap teori gravitasi Newton, konsep tata surya Kepler, teori evolusi Darwin, sejarah G30S/PKI, teori kapitalis Adam Smith, dan lain-lain. Namun ketika rasionalitas dan kritisisme itu saya pergunakan untuk memahami nilai-nilai serta doktrin ketuhanan dan keagamaan, saya dibungkam sama sekali. Kita tidak diizinkan mempertanyakan al-Qur’an, kenabian Muhammad, meragukan akan adanya akhirat, dan lain-lain (dan saya yakin ini juga dialami oleh teman-teman yang berada di lingkungan yang diklaim agamis). Saya masih teringat ketika saya duduk di kelas 5 SD. Saya bertanya pada guru agama saya, “jika Tuhan itu mahabesar, kuat, dan maha pencipta, bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yg lebih besar dan lebih kuat dari dirinya sendiri?”. Lalu yang saya dapat bukan jawaban rasional, melainkan bentakan dan omelan. Saya didoktrin bahwa kita tidak boleh mempertanyakan apa yang disebut sebagai Tuhan, baik zat-Nya, sifat-Nya, atau apa pun yang berhubungan dengan-Nya. Kita harus mempercayai apa yang disebut Tuhan dan kekuatan adikodrati lainnya itu ada, tanpa harus dianalisis, dibedah atau dikritisi secara ilmiah. Saya saat itu sangat takut. Kejadian itu membuat saya tidak berani bersikap rasional dan kritis terhadap agama, setidaknya sampai saya duduk di bangku SMA.

Saat duduk di bangku SMP, bisa dibilang itulah puncak dari sikap fundamentalisme saya terhadap Islam (sebagai agama yang saya yakini satu-satunya yang paling benar). Saya tidak pungkiri itu semua sebagian besar karena pengaruh islamisasi di lingkungan sekolah saya dan sebagian besar hidup saya dihabiskan di sana pada waktu itu. Pengkafiran terhadap orang-orang Ahmadiyah, Komunitas Eden, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Jaringan Islam Liberal, kemuakan terhadap Israel-Yahudi, dan kebencian terhadap tokoh-tokoh pluralisme agama dan kalangan Islam progresif seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Musdah Mulia, Ulil Abshar Abdalla, dan Luthfi Asyaukani adalah sebagian dari beberapa sikap radikalisme saya (terutama akibat pendidikan dari lingkungan sekolah). Belum lagi pengaruh dari kyai dan ustad yang mengisi sebagai khatib di ceramah-ceramah, dan tabloid Islam yang sering saya beli terutama pada waktu shalat Jum’at. Dari isi ceramah dan artikel tersebut, sangat jelas kita ditekan untuk percaya pada doktrin agama secara menyeluruh tanpa menggunakan akal sehat. Kalaupun menggunakan akal, tidak boleh kebablasan. Kita diizinkan menggunakan akal untuk memahami agama, namun tidak boleh sampai keluar dari koridor yang sudah disepakati oleh ulama yang bersikap sebagai pemangku mandat dari Allah.

Tetapi saya akui bahwa kebebasan berfikir dan kritis terhadap agama yang sangat dibatasi pada saat saya di SMP-SMA tidak begitu terasa pada saat itu. Saya baru menyadarinya pada saat saya duduk di bangku kuliah. Terutama ketika saya membaca tulisan dan artikel keislaman yang lebih beragam, baik di internet maupun media massa. Saya baru menyadari betapa sikap kritisisme dalam beragama sangat dibatasi di lingkungan yang agamis. Saya baru membuka mata betapa sikap menafsirkan teks keagamaan secara literal di abad modern ini seperti yang saya alami dulu adalah tidak memuaskan. Saya baru mulai mau kembali bersikap kritis dan rasional tehadap nilai dan teks-teks keagamaan, terutama yang bersifat dogmatis, irasional, dan sudah tidak sesuai di abad modern. Saya baru sadar akan pentingnya kita bersikap kritis terhadap semua aspek kehidupan. Dan agama sebagai suatu fakta sosial antropologis tidak terlepaskan dari semua itu. Agama harus ditaruh di meja bedah ilmiah karena sudah terlalu banyak dogma-dogma dan hal-hal supranatural.

Setelah kembali menjadi seorang rasionalis-kritis, saya seperti terlahir kembali. Saya seperti merasa menemukan jati diri saya sebagai seorang rasionalis. Saya merasa bebas dari doktrin-doktrin agama yang rigit. Saya merasa bisa menggunakan akal saya dengan optimal. Saya bisa berfikir dan menganalisis apa pun yang saya mau tanpa harus takut atau khawatir. Namun sayangnya kebebasan itu tidak terasa lama. Saya kembali mengalami suatu dilema antara rasionalitas dan spiritualitas. Saya kembali menjadi gusar dan gundah. Di satu sisi, sisi spiritualitas saya ingin agar saya mencari apa yang disebut sebagai Tuhan dengan cara saya sendiri, namun di sisi lain, rasionalitas saya menginginkan saya melupakan Tuhan agar saya tidak bisa melihat, mendengar dan merasakan kehadiran-Nya.

Saya pada akhirnya menemukan win-win solution untuk semua itu. Saya sudah menemukan bagaimana mendamaikan sisi spiritualitas dan rasionalitas. Meskipun saya pada akhirnya seperti memenangkan sisi rasionalitas dengan melupakan agama, namun saya tetap meyakini akan Tuhan (namun bukan Tuhan secara personal dan literal). Saya menggantikan “makanan” untuk apa yang disebut sebagai sisi spiritual dari agama menjadi kemanusiaan. Saya menemukan apa yang disebut sebagai Tuhan pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketika saya membantu seorang pengemis di jalanan atau membantu seorang nenek tua menyeberang jalan, saya seperti menemukan apa yang disebut sebagai nilai esensial dari konsep ketuhanan itu sendiri. Nilai esensial dari divinitas saya temukan pada humanitas. Saya berhasil menemukan apa yang disebut Tuhan pada konsep Hak Asasi Manusia. Saya serasa bertemu dengan apa yang disebut sebagai Tuhan ketika saya membantu dan membela saudara-saudara saya sesama manusia dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Meskipun begitu, bukan berarti saya semena-mena menaruh apa yang disebut sebagai Tuhan pada seluruh aspek kehidupan. Menaruh Tuhan pada ilmu pengetahuan bagi saya sama saja mengotori Tuhan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Memasukkan Tuhan pada hukum-hukum sains sama saja membajak nilai transendental Tuhan. Saya sangat mengapresiasi teori Hawking tentang awal mula terciptanya alam semesta tanpa harus melibatkan Tuhan, ataupun teori psikologi Freud. Saya berani katakan bahwa sains tidak membutuhkan Tuhan ataupun kekuatan adikodrati lainnya untuk menjelaskan teori-teorinya, dan sebaliknya, Tuhan tidak membutuhkan hukum-hukum sains untuk menopang keberadaan-Nya. Sains bisa menjelaskan seluruh fenomena alam tanpa harus ada campur tangan Tuhan. Sains semakin membuat kita maju dan mampu menyibak rahasia alam tanpa harus melibatkan sesuatu yang adikodrati. Sains selalu membuka diri untuk teori-teori baru yang lebih ilmiah, maju, dan rasional untuk menggantikan teori lama yang sudah usang sesuai perkembangan zaman. Namun sebaliknya, agama akan selalu baku. Ia tak menyediakan tempat untuk dikritisi, dirasionalisasi, dan diobservasi secara ilmiah dan saintifik.

Sains selalu membuka pintu untuk keragu-raguan akan teori sains itu sendiri. Tetapi agama sangat bertolak belakang, ia selalu menutup pintu terhadap keragu-raguan akan dogma-dogma yang sudah disepakati, karena dogma tersebut diklaim berasal dari sesuatu yang maha segala-galanya sehingga tak boleh dibantah sedikit pun. Sains selalu berdasarkan pembuktian empiris, observasi dan analisis logis, sedangkan klaim kebenaran agama selalu berdasarkan iman kepada sesuatu yang bersifat adikodrati yang tidak berdasar pada bukti empiris secara menyeluruh, bahkan sekalipun kebenaran tersebut sudah dijungkir-balikkan oleh pembuktian dan teori saintifik modern. Itulah yang membuat saya tertarik pada sains.

Tetapi sekritis-kritisnya pemikiran saya akan dogma-dogma agama, bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap mengambil nilai-nilai universal dan kemanusiaan dari agama apapun untuk saya aplikasikan dalam kehidupan. Saya tetap menghormati keyakinan saudara dan sahabat-sahabat saya akan agama. Saya mengakui bahwa banyak sisi positifnya dari suatu agama yang mengajarkan kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan (sekalipun sangat banyak pengikutnya yang tidak menjalankanya). Nilai universal kemanusiaan harus kita terapkan dari mana pun sumbernya. Bagi saya semua agama itu benar menurut caranya sendiri-sendiri. Ia akan selalu benar dan menjadi yang terbenar jika dilihat dari sudut pandang agama tersebut. Tetapi yang tidak bisa saya tolelir adalah jika agama menjadi sebuah tirani yang mencampakkan nilai kemanusian. Manusia tetap bisa beradab meskipun tanpa agama, namun betapa banyaknya orang yang mengaku beragama bersikap abai pada nilai-nilai kemanusiaan. Semoga saya tidak kembali terjebak di jurang fundamentalisme dan fanatisme keagamaan seperti yang saya alami dulu.

Rabu, 16 Februari 2011

KITA SEMUA TERJEBAK DAN TERSESAT DALAM BUDAYA ANJING!!

"KONSUMTIVISME" ya itulah namanya, sudah sedemikian dalam dan deras merasuk ke Indonesia, hingga kemudian menembus batas-batas usia, strata sosial dan juga batas-batas wilayah. Sebenarnya hal tersebut bukan fenomena yang aneh atau mengherankan, terutama dengan menjamurnya gerai-gerai fashion karya desainer internasional dan juga dengan munculnya berbagai macam ritel asing yang tumbuh subur berbarengan dengan bermunculannya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia.

Fenomena ABG yang sudah melek merek hanya salah satu contoh gaya hidup konsumtif yang menghinggapi masyarakat kita, seperti juga merayakan ultah di Club-Club malam Terkenal, Ballroom hotel, menikmati segelas cokelat serta kopi panas di kafe-kafe Bergaya Barat, atau sekadar nongkrong bergaul dan bersosialita di mal. Hidup hemat dan menabung tidak lagi dipahami dan dijalani oleh kebanyakan anak muda Indonesia zaman sekarang. Artis atau tokoh panutan yang di elu-elukan menurunkan budaya konsumtif kepada rakyat atau audiensnya. Kemudian ditambah lagi perilaku orangtua yang menularkan kepada anak-anaknya dengan menghujani mereka dengan barang-barang atau fasilitas mewah lain untuk menebus rasa bersalah karena tak cukup meluangkan waktu untuk anak-anaknya.

Iklan yang persuasif dan berbagai strategi pemasaran yang sangat agresif membuat masyarakat semakin terjebak ke dalam arus konsumtivisme atau KECANDUAN BELANJA yang sifatnya impulsif atau emosional, bukan lagi rasional. Konsumtivisme sudah menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah perkotaan di Indonesia yang dari jumlah 250 juta penduduknya hampir setengah lebih penduduknya masih dibawah garis kemiskinan.Hal tersebut dapat diukur dari standar kemiskinan internasional 2 dollar AS per hari.

Fenomena seperti ini,sebenarnya bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga negara-negara lain, termasuk negara eks-komunis. Konsumtivisme adalah dampak dari globalisasi dan sistem kapitalisme global modern yang mendasarkan pada tata nilai materialistis, mulai dari tingkah laku, pola pikir, hingga sikap yang pada akhirnya melahirkan sifat individualis. Masyarakat menengah perkotaan di negara Indonesia, seperti juga di negara-negara Asia lainnya, bahkan lebih agresif menjiplak gaya hidup konsumtif ketimbang masyarakat di negara asal budaya konsumerisme itu berasal. Contohnya fanatisme terhadap produk-produk bermerek dan budaya konsumsi makanan cepat saji.

Sebelum hadirnya mal-mal mewah, orang-orang kaya Indonesia harus berburu hingga ke Singapura, Eropa, atau AS untuk mendapatkan barang-barang bermerek dari pusat-pusat mode internasional seperti Paris, London, Italia, dan New York. Sekarang mereka tidak perlu susah-susah pergi jauh. Bahkan, kota besar seperti Jakarta memiliki gerai produk fashion karya desainer dunia yang jauh lebih banyak dari kota-kota asalnya di Eropa. Contohnya seperti di MAL TA, EX, GI dan SENCI.

Hal serupa juga terjadi untuk produk makanan, produk kecantikan (Kosmetik), perlengkapan rumah tangga dan sebagainya, dengan hadirnya jaringan ritel Kapitalis global seperti Carrefour, Giant, dan Wal Mart. Angka penjualan barang-barang bermerek dan juga konsumsi consumer goods (barang kebutuhan sehari-hari) lain terus melonjak dramatis dari tahun ke tahun, tidak peduli apakah perekonomian dalam kondisi sulit atau tidak. Padahal perilaku konsumtif sangat tidak sehat dan bisa berbahaya bagi ekonomi jika terlalu ditopang dengan kredit.

Perilaku konsumtivisme masih bisa dikatakan sehat selama barang-barang yang dikonsumsi adalah buatan dalam negeri. Persoalannya, produk-produk dalam negeri yang ada belum tentu kompetitif. Apalagi ditambah saat ini Indonesia baru saja meratifikasi ACTFA (Asean-China Free Trade Area) yang jelas menambah rumit lagi persoalan karena selain barang-barang dari Barat, barang Cina dipastikan menyerbu Indonesia. Untuk saat ini perusahaan-perusahaan asinglah yang lebih bisa memanfaatkan tren dan terus menerus menghisap keuntungan dengan meningkatnya konsumtivisme di Indonesia.

JADI..SAMPAI KAPAN KITA AKAN TERUS MENERUS MEMPERKAYA AMERIKA, BARAT DAN CINA??????
Apakah kalian masih bangga menggunakan barang-barang Penjajah tersebut??????
Kita ga akan pernah tahu kalo selama ini kita dijajah oleh Liberalisme Pasar melalui gaya hidup konsumtivisme yang lahir dari budaya konsumerisme!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Mulai sekarang ubahlah pola pikir dan gunakan produk Indonesia sebaik-baiknya.

Selasa, 15 Februari 2011

TERBUAI ANGAN-ANGAN AMERIKANA

Boleh dibilang kehidupanku sekarang tergolong berkecukupan. Bahkan dapat kulihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa banyak teman-temanku yang lima puluh tahun lalu masih berada di bawah ketiak penjajah, kini dapat menikmati kehidupan yang bebas dan indah. Di negaraku Indonesia, aku dapat melihat tumbuh suburnya gedung-gedung pencakar langit, mal-mal yang berjamuran di sana-sini, serta film-film Hollywood yang sangat seru. Dengan segala kemewahan ini, aku dan teman-temanku gampang saja dengan mudah melupakan masa lalu negaraku, yang dahulu tertindas dan terhina di bawah Kolonialisme Belanda. Namun sepertinya segala kemudahan yang aku nikmati dewasa ini membuat rasa solidaritas dan keprihatinanku semakin tumpul. Aku dan teman-temanku sudah tidak peduli lagi dengan segala ketidakadilan yang ada di atas muka bumi ini. Kami lebih senang dengan segala kemewahan ini dan mempersiapkan masa depan yang mudah-mudahan cerah.

Amerika Serikat, negara adikuasa dewasa ini telah menjadi kiblat hidup bangsaku. Semua tumbuh besar di Jakarta, aku dan teman-temanku senantiasa terbius oleh angan-angan kehidupan ala Barat. Berbagai musik, film dan serial yang kutonton di televisi menjadikanku ingin mengikuti cara-cara mereka. Bahkan baju yang kita kenakan pun, hanya dapat 'memenuhi syarat' jikalau baju itu diproduksi di Amerika.

Kami bermain Skateboards dan Basket, karena orang Amerika bermain Skateboards dan Basket, teman-temanku berjoget ala Breakdance karena televisi memperlihatkan Breakdance. Kami menikmati santapan McDonalds karena McDonalds adalah simbol modernitas. Kami berdansa ria di club-club malam, karena club malam memang tempat berdansa dan bersenang-senang. Kami menengguk kopi di Starbucks, karena Starbucks adalah tempat bersosialita. Kami meminum Coca Cola karena Coca Cola sangat Nikmat Rasanya.
Tapi, aku lupa akan manis dan sepatnya Teh Botol.

Angan-anganku selama aku tumbuh besar dan tinggal di Jakarta adalah, semoga Jakarta dapat berevolusi seperti New York City. Aku tidak mencintai negaraku sendiri, karena dibalik angan-anganku tersebut, aku hanya menginginkan Indonesia menjadi imitasi Amerika Serikat. Namun, segala obsesi terhadap Amerika Serikat ini seakan-akan berubah perlahan-lahan, selama aku menuntut ilmu Hukum dengan kejuruan Hukum Internasional di Universitas.

Aku semakin sadar, bahwasannya obsesiku dahulu hanyalah kekosongan belaka. Sikap dan kebijakan Amerika Serikat di dunia rasanya membuatku muak, jijik dan marah terhadap negara Paman Sam itu. Mereka merajai dunia. Merekalah yang menentukan segala isu politik yang ada. Mereka mendiktekan kemauan mereka kepada negara-negara lain. Mereka memaksakan ambisi kapitalismenya kepada negara-negara yang lemah. Sehingga aku sadar, bahwasannya aku dan teman-temanku belum merdeka sepenuhnya.

Kami hanya merasakan ilusi kemerdekaan, namun apa yang kami lakukan hanyalah sebuah kepatuhan kepada sebuah kekaisaran yang mengontrol dunia ini, yang memaksakan faham dan tradisi budayanya kepada kami. Dan kami hanya dapat diam dan menerima dengan senang hati. Tanpa perasaan kritis. Tanpa perasaan terhina.

Kehidupanku adalah kehidupan yang indah dan berkecukupan. Tetapi, di banyak tempat di dunia ini, penindasan tetap terjadi. Negara-negara kecil diinjak-injak dengan semena-mena. Kaum miskin tambah dikucilkan dengan sistem ekonomi global yang hanya menguntungkan mereka yang mempunyai 'means of production'. Pada akhirnya aku sadar, bahwa kehidupanku saat ini adalah kehidupan di bawah penindasan.

*****************************************

Di akhir Perang Dingin yang sempat mengguncang duniaku yang kecil ini, Amerika Serikat muncul sebagai pemenang perseteruan setengah abad itu. Uni Soviet tanpa disangka-sangka hancur dari dalam dengan sendirinya. Kaum muda prodemokrasi bersorak-sorai dengan berakhirnya perang tersebut. Sejak saat itu, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara Adikuasa yang secara de facto menguasai dunia Global.

Selama Perang Dingin, negara-negara Barat dan Timur berlomba-lomba dalam mempercanggih dan memperkuat pertahanannya. Pertahanan menjadi prioritas utama dalam budget negara. Aku pernah membaca betapa obsesinya para pemimpin dunia dengan persenjataan kala itu. Ada Richard Nixon yang berambisi mendaratkan manusia di Bulan. Ada Leonid Brezhnev yang memplopori program ‘Sputnik’. Ada Jimmy Carter yang ingin menempatkan ‘Intercontinental Ballistic Missile’ (ICBM) di Inggris. Ada pula Ronald Reagan yang bermimpi akan ‘Star Wars’.

Aku memang tidak mengalami masa-masa mencekam itu. Namun aku mendengar cerita, membaca buku serta menonton film dokumenter. Sungguh sengit perseteruan antara Washington dan Moskow. Namun, yang harus diingat pasti adalah, toh yang menjadi korban selalu saja kami di negara-negara dunia Ketiga. Perang Dingin berubah menjadi panas di Vietnam, Indonesia, Korea Utara, Israel-Arab, Afghanistan, Nikaragua, Cili, Kuba dan masih banyak lagi negara-negara lain di belahan dunia. Sedangkan Amerika dan Soviet aman-aman saja. Mungkin memang yang pantas menderita adalah kami masyarakat internasional yang hidup di dunia negara-negara ketiga.

Pada akhirnya Soviet Runtuh, Gorbachev menerima nobel perdamaian, dan tembok pemisah ditengah kota Berlin dihancurkan. Saat gegap gempita di seluruh dunia berkumandang, Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. menjanjikan bahwa, dengan berakhirnya Perang Dingin, pengeluaran militer akan jauh menurun. Sebagai gantinya, pengeluaran untuk kebutuhan sipil akan dinaikkan. Itu adalah janji yang sangat revolusioner dari pemimpin Amerika pasca Perang Dingin.

Hari ini aku menulis, hampir dua dasawarsa setelah peristiwa itu. Sang Ayah sudah pensiun. Awal abad milenium giliran anaknya yang berkuasa. Sebuah Perang baru telah diluncurkan. Perang yang musuhnya tergolong abstrak. Perang yang pastinya akan memakan waktu yang sangat lama. Bush Jr. menambah pengeluaran militer Amerika secara besar-besaran, untuk Perang yang sangat kejam. Implikasi dari semua ini adalah Ekonomi dalam negeri Amerika Serikat kian terpuruk. Angka pengangguran semakin menjulang tinggi. Namun, ambisi Imperialisme Amerika Serikat tetap bergejolak deras. Dentuman Mortir, Rudal dan senapan masih dapat terdengar. Satu dentuman di Afghanistan, dua dentuman di Irak, dan siapa yang tahu di mana dentuman yang ketiga akan berbunyi.

Janji itu, awal medio 90an, mungkin hanya kenangan saja. Medan Politik global tetap bersifat anarkis. Setiap negara di dunia ini akan tetap saja terkurung dalam ‘security dilemma’, bila Negara A menambah kekuatan militernya karena didasari rasa ketakutan terhadap negara B. Hal ini akan menyebabkan negara B ikut juga memperkuat kekuatan militernya karena Negara A juga memperkuat. Sirkulasinya akan terus menerus seperti itu, sehingga yang ada hanyalah siklus infinitus dalam memperkuat pertahanan negara yang tidak akan menemukan titik akhir. Dan hal inilah yang terus terjadi sampai sekarang ini. Sepertinya perdamaian di dunia ini hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.

*kuterbitkan pertama kali di Facebook pada tanggal 11 April 2010

Senin, 14 Februari 2011

REVOLUSI TIMUR TENGAH BERAWAL DARI FACEBOOK














“Kebebasan adalah sebuah berkah dan kita pantas untuk memperjuangkannya.” WAEL GHONIM

Keberhasilan masyarakat Mesir menjungkalkan pemimpin diktator yang telah berkuasa selama 30 tahun, Hosni Mubarak, bisa dikatakan sebagai buah kemenangan media sosial. Pergolakan di Mesir mencatat sejarah baru bagi negara tersebut, yaitu munculnya tokoh-tokoh muda. Mereka menjadi inspirasi bagi rakyat untuk tetap turun ke jalan dalam hampir tiga pekan terakhir untuk menuntut mundur Presiden Hosni Mubarak, meski sempat disabotase pemerintah lewat pemblokiran saluran internet dan ponsel serta diteror milisi preman pro Mubarak. Tokoh-tokoh baru itu bukanlah mereka yang sudah terkenal, seperti kelompok konservatif Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi populer yang keberadaannya dilarang oleh rezim Mubarak, dan bukan pula Mohamed ElBaradei, peraih Nobel Perdamaian yang malang melintang di luar negeri semasa aktif memimpin IAEA sebuah Badan Pengawas Nuklir PBB. Sejumlah inspirator yang dimaksud adalah mereka yang sebelum pergolakan ini dimulai, tidak dikenal oleh publik di Mesir. Dua tokoh muda yang mendapat sorotan adalah Khaled Said dan Wael Ghonim. Aksi jalanan yang kini mengubah peta perpolitikan global di Timur Tengah itu, sedikit banyak tak bisa dilepaskan dengan gerakan yang dirintis melalui dunia maya, termasuk melalui Facebook.

Ghonim memulai gerakan oposisi di Facebook pada Juni 2010. Masyarakat Mesir tentu masih ingat bahwa pada 6 Juni 2010, seorang blogger Mesir bernama Khaled Said tewas mengenaskan karena dianiaya polisi Mesir. Penyebabnya, Khaled mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan. Said pun menjadi korban kebrutalan rezim Mubarak. Pria berusia 28 tahun itu tewas tanpa kepastian hukum yang jelas setelah disiksa oleh sejumlah polisi berpakaian sipil di suatu warung internet di Kota Alexandria. Padahal Said adalah bagian dari masa depan Mesir. Menurut media Almasry Alyoum, Said dikabarkan pernah menimba ilmu di Amerika Serikat (AS) untuk belajar program sistem komputer. Muncul foto Said dalam keadaan sudah tidak bernyawa namun dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Itulah sebabnya kematian Said di tengah polisi tidak bisa diterima para pemuda-pemuda Mesir.

Sedangkan Ghonim dianggap banyak kalangan sebagai pahlawan setelah ditahan polisi selama 11 hari. Sebelum ditangkap polisi, Ghonim bergerak di “bawah tanah” sebagai aktivis internet. Pemuda berusia 30 tahun itu menjadi salah satu motor penggerak mobilisasi massa melalui internet untuk turun ke jalan dengan mengelola sejumlah grup akun di laman jejaring sosial Facebook. Menariknya, Ghonim dan kalangan muda lainnya melihat Said sebagai motivator mereka untuk berontak melawan kesewenang-wenangan rezim Mubarak, yang berkuasa sejak 1981. Pemimpin berusia 82 tahun itu, bagi Ghonim dan kaum muda di Mesir memandang sebelah mata eksistensi dan hak-hak mereka untuk berekspresi.

Maka, Ghonim pun rela mempertaruhkan profesinya sebagai salah seorang eksekutif perusahaan jasa informasi internet terbesar di dunia, Google Inc. untuk ikut bergerak menentang rezim Mubarak. Ghonim sejak Januari 2010 tercatat sebagai seorang manajer marketing Google untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Dia sebenarnya hidup nyaman dengan pekerjaannya di Dubai, Uni Emirat Arab. Namun, kenyamanan itu dia tinggalkan selama beberapa pekan terakhir. Menurut stasiun berita BBC, Ghonim berhasil membujuk Google untuk memberi dia cuti pulang kampung ke Mesir karena “urusan pribadi.” Nyatanya, ia ikut gerakan bawah tanah anti Mubarak.

Seperti dikutip dari Newsweek, Ghonim awalnya membuat laman Facebook bernama 'My Name is Khaled Said'. Namun, karena alasan yang tidak jelas, Facebook sempat memberangus laman ini. Belakangan, Ghonim yang memiliki nama maya ElShaheed itu membuat laman Facebook baru bernama 'We are All Khaled Said' http://www.facebook.com/?ref=home#!/elshaheeed.co.uk.

Laman ini berhasil meraih dukungan luas setelah mengunggah foto-foto mayat Khaled Said, bahkan meraup sekitar 450 ribu anggota. "Saat kami memposting sebuah video di Facebook, video itu bisa dilihat oleh 60.000 orang di dinding mereka, hanya dalam hitungan jam," kata Ghonim. Saat Tunisia bergejolak, Ghonim tak menyia-nyiakan momentum itu. Pada 15 Januari, Ghonim mengumumkan di laman Facebook 'We Are All Khaled Said' bahwa mereka merencanakan aksi demonstrasi pada 25 Januari. Namun, pada 27 Januari 2011, Ghonim dinyatakan hilang saat situasi di Mesir akibat gelombang demonstrasi mulai panas. Akhirnya muncul laporan bahwa Ghonim ditahan polisi Kairo setelah ketahuan terlibat dalam gerakan anti Mubarak lewat internet. Ghonim tak cuma sekadar jago di Facebook. Ia juga ikut turun ke jalan, bahkan sampai harus diculik aparat selama 12 hari.

Atas desakan kelompok-kelompok oposisi dan Badan Amnesty International, akhirnya pemerintah membebaskan Ghonim. Tapi belakangan Ghonim kembali turut dalam aksi unjuk rasa untuk menekan kemunduran Mubarak. Bahkan Ghonim sempat menyatakan siap mati dalam aksi unjuk rasa berikutnya. Ia sempat menitipkan anak istrinya kepada pengacaranya, karena baginya, tuntutan perjuangan rakyat Mesir sudah final dan tak bisa dinegosiasikan lagi: Mubarak harus mundur. Pada akhirnya, aksi rakyat Mesir berhasil mengusir Mubarak dari kursi empuknya selama 30 tahun.

Setelah Hosni Mobarak mundur, Ghonim berniat kembali fokus pada pekerjaannya. Saat ditanya oleh CBS apakah ia akan mendapatkan posisi di pemerintahan Mesir yang baru, eksekutif Google yang juga aktivis oposisi tersebut dengan tegas mengatakan tak menginginkan jabatan politis. "Saya ingin kembali ke hidup normal, saya telah selesai memainkan peranan saya. Saya tidak menginginkan apa-apa dari aksi ini. Saya hanya ingin berjalan dan berkata saya Bangga Menjadi Warga MESIR". Ghonim pun berterima kasih pada facebook. Meskipun dia merupakan Marketing Eksekutif Google untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Ghonim tak menganggap jasa Google luar biasa besar dalam revolusi ini. Melalui wawancara CNN Ia berkata “Revolusi ini dimulai dari facebook". Dia ingin sekali bertemu dengan Mark Zuckerberg suatu hari nanti untuk mengucapkan terima kasih padanya. Namun, Ghonim tidak mau disebut pahlawan. “Tolong jangan sebut saya sebagai pahlawan. Saya bukan pahlawan, saya selama 12 hari terakhir hanya tidur. Pahlawan adalah mereka yang turun ke jalan. Jadi, arahkan kamera Anda kepada orang yang tepat,” kata Ghonim.

Media cetak dan media elektronik memang sudah biasa dikooptasi oleh rezim penguasa. Namun dengan berkembangnya IT ataupun jejaring sosial lewat dunia maya, (blog/facebook/twitter) penguasa tidak mungkin lagi mengontrol semuanya itu. Banyak orang yang meremehkan fungsi Facebook atau jejaring sosial untuk pergerakan politik kenegarawanan. Padahal teknologi dan kemampuan dari facebook atau jejaring sosial bisa sangat efektif untuk menggerakkan opini publik, menghimpun agitasi, menyebarluaskan propaganda positif untuk sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik lagi, bahkan untuk mengguncang negara yang korup.

Tunisia dan Mesir adalah contoh konkret dimana jejaring sosial telah menemukan fungsi revolusionernya. Jejaring sosial telah merubah tatanan status quo di negara-negara dengan rezim otoriter yang menindas. Perubahan sistem ketatanegaraan yang berjalan melalui dunia maya sudah bukan lagi utopia. Agitasi dan propaganda yang hanya mengandalkan cara-cara konvensional seperti menyebarkan selebaran-selebaran dan pamflet dijalan-jalan melalui massa aksi sudah tidak lagi efektif di era informatika seperti sekarang ini. Fakta dilapangan membuktikan bahwa cara-cara konvensional memang lebih sering tidak tepat sasaran bagi masyarakat yang menerimanya, maka lebih banyak menjadi mubazir. Jejaring sosial telah membuktikan bahwa penggalangan massa untuk sebuah aksi demonstrasi ternyata lebih efektif dan tepat sasaran.

Sebagai catatan berharga, di Indonesia Facebooker juga pernah berhasil melakukan gerakan membela Prita Muliasari, serta menuntut pembebasan penanahan Bibit-Chandra saat kasus kriminalisasi KPK sedang panas-panasnya. Suatu bukti bahwa jejaring sosial di dunia maya punya kekuatan nyata. Setelah Revolusi Tunisia, Mubarak langsung memblokir jejaring Sosial di Mesir, dan sekarang Aljazair memblokir jejaring sosial Facebook, Presiden Suriah Bashar Al-Assad pun kini sudah mulai melakukan pemblokiran Facebook karena munculnya gerakan-gerakan revolusioner melalui jejaring sosial sebagai akibat peristiwa Tunisia-Mesir. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti di Indonesia akan terjadi Revolusi yang dimulai dari jejaring sosial dunia maya.

Hal terpenting yang patut dicatat dari berbagai peristiwa ini adalah, OPINI kini tidak lagi hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu saja, khususnya mereka yang menguasai media massa , Masyarakat kini mempunyai kesempatan yang sama....

*Sumber
-Kompas
-Tempo
-Vivanews
-CNN
-BBC
-CBS

Minggu, 13 Februari 2011

SEJARAH HITAM UNIVERSITAS TRISAKTI

Nama universitas megah itu TRISAKTI. Salah satu universitas swasta terelite yang belum tentu terbaik di indonesia. Tetapi yang pasti, Universitas Trisakti adalah salah satu universitas termahal yang tidak dapat diakses oleh semua golongan rakyat Indonesia. Universitas Trisakti menjadi salah satu bukti bahwa di kerajaan Soeharto, pendidikan itu bukan untuk semua rakyat. Di balik kemegahan Universitas Trisakti, terselip lembaran sejarah hitam. Sejarah hitam yang bahkan mungkin tidak diketahui lagi oleh para mahasiswanya saat ini. Sebuah noktah hitam sejarah bangsaku, bangsa Indonesia.

Sebelum nama TRISAKTI untuk merujuk universitas ini, ia bernama Universitas RES PUBLICA (URECA). Sebuah universitas milik BAPERKI untuk menjawab tantangan zaman dan kebijakan negara yang rasis di bidang pendidikan. Universitas RES PUBLICA didirikan atas prakarsa ketua umum BAPERKI, Siauw Giok Tjhan, untuk menjawab quota pembatasan bagi orang tionghoa dan golongan miskin dalam mengakses pendidikan tinggi. Baperki adalah sebuah organisasi massa yang didirikan pada suatu pertemuan di Jakarta pada 13 Maret 1954. Pertemuan ini dihadiri oleh 44 orang peserta, kebanyakan dari mereka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti PERWITT (Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa) yang terbentuk di Kediri, PERWANIT (Persatuan Warga Indonesia Tionghoa) yang berdiri di Surabaya dan PERTIP (Perserikatan Tionghoa Peranakan) yang berdiri di Makassar. Semua peserta adalah peranakan Tionghoa yang umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa, tetapi ada pula sebagian yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang, Palembang, dan Banjarmasin.

Tujuan semula pembentukan Baperki adalah menggalang kesatuan kekuatan Tionghoa di seluruh Indonesia, namun kemudian Siauw Giok Tjhan, salah seorang tokoh organisasi ini menyadari bahwa masyarakat luas akan menganggap organisasi ini hanya memperjuangkan kepentingan masyarakat Tionghoa semata-mata. Karena itu, ketika Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954, Siauw mendorong sahabat dekatnya, Sudarjo Tjokrosisworo untuk menjadi ketuanya.

Selain aktif dalam kegiatan politik, Baperki juga terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, khususnya di dunia pendidikan. Hingga pada tahun 1961 jumlah sekolah Baperki telah mencapai 107 buah. Selanjutnya atas prakarsa Siauw Giok Tjhan maka dikumpulkanlah dana dari kalangan tionghoa dan non-tionghoa. Sehingga Universitas RES PUBLICA adalah universitas rakyat. Nama RES PUBLICA sendiri dicangkok Siauw Giok Tjhan dari pidato Bung Karno yang berarti "UNTUK KEPENTINGAN UMUM".

Dan "UNTUK KEPENTINGAN UMUM" inilah semangat mendasar didirikannya universitas RES PUBLICA yaitu sebuah universitas untuk semua golongan rakyat, terutama untuk golongan marjinal dan miskin. Sehingga terbukalah kesempatan bagi golongan marjinal dan miskin untuk mengenyam pendidikan universiter. Informasi kecil, sastrawan terbesar indonesia Pramoedya Ananta Toer pernah menjadi Dosen Sastra di Universitas RES PUBLICA ini. Res Publica juga merupakan universitas pertama yang memiliki rektor seorang perempuan.

Seiring dengan tergulingnya masa pemerintahan Presiden Soekarno, banyak mahasiswa Universitas RES PUBLICA yang sebelumnya telah terdaftar di Universitas tersebut, tidak mau mendaftarkan kembali status kemahasiswaan mereka. Hal ini dikarenakan banyak dari mereka yang telah terdaftar menjadi anggota, partisipan maupun pengurus dari organisasi CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang mempunyai kecenderungan beraliran kiri (oposisi pemerintah) atau sekadar khawatir akan stigmatisasi kiri beserta paham komunisnya.

Meletusnya pengganyangan militer Suharto terhadap siapa saja memupuskan harapan RES PUBLICA. Universitas RES PUBLICA yang dibangun atas semangat gotong royong rakyat hancur dan dibakar dengan kejam. Hal ini disebabkan karena Universitas RES PUBLICA pada saat itu digolongkan sebagai salah satu kendaraan golongan Komunis Indonesia yang anti Pancasila, dan dianggap telah berkhianat kepada kedaulatan kehidupan kebangsaan dan bernegara. Universitas RES PUBLICA dirampok, dirampas, dibakar buku-buku perpustakaannya dan diganti namanya dengan paksa menjadi TRISAKTI, sebuah nama yang terkesan sakral dan memiliki elan revolusioner ajimat Bung Karno tetapi dalam prakteknya Universitas Trisakti hanya memperbolehkan kelompok kaya untuk mengakses pendidikan. Universitas yang tadinya untuk segala golongan rakyat berubah menjadi sebuah universitas kaum elite.

Saat ini, Universitas TRISAKTI dimiliki oleh Yayasan Trisakti yang dipimpin oleh Fery Sonevile dan K. Sindhunata, Ketua Bakom PKB, dan tiada seorang pun yang pernah menggugat kejahatan perampasan sebuah universitas rakyat atas nama sesuatu yang tidak pernah jelas. Sejarah hitam Universitas TRISAKTI terlupakan oleh derap sejarah dan amukan superioritas kejahatan. Dan apakah bangsa ini akan terus menyimpan hitam sejarah dalam kotak pandora kekejian?? sampai kapan kalau saja kita tidak dapat mengungkap kejahatan kecil sejarah hitam Universitas Trisakti ini, maka bagaimana kita dapat mengungkap kejahatan-kejahatan besar yang masih tersimpan dalam liang-liang hitam sejarah.

* Sumber Referensi

- Wikipedia,
- Indo-Marxist, Ken Kertapati
- Tempo, Sejarah Singkat Universitas Trisakti
- "Siauw Giok Tjhan: Perjuangan seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika" oleh Siauw Tiong Djin (Jakarta: Hasta Mitra, 1999)

Sabtu, 12 Februari 2011

SOSIALISME: JALAN TERSINGKAT MENUJU KESENGSARAAN

Pada sekitar tahun 1850, penduduk Soviet hanya 73,75 juta jiwa saja. Rupanya pada masa ini mereka beranak pinak seperti tikus, tingkat kesehatan membaik sehingga tingkat kematian anak juga turun. Populasi meledak menjadi 124,50 juta jiwa di tahun 1900. Kemudian meningkat lagi menjadi 156,19 ditahun 1913, empat (4) tahun sebelum Revolusi Bolshevik. Artinya, kepemilikan tanah pertanian mengkerut dari 5 hektar lebih per orang menjadi kurang dari 3 hektar per orang, Itupun banyak yang dimiliki oleh tuan tanah. Sektor industri tidak semaju di negara barat. Hal ini membuat tekanan ekonomi dan tekanan sosial yang kemudian melahirkan kaum radikal yang mempelopori pemberontakan. Ketika Revolusi Bolshevik terjadi, para founding father dari Russia berpikir bahwa mereka tahu persoalan yang dihadapi oleh rakyat Russia dan berpikir bahwa mereka punya penyelesaiannya. Mereka pikir bahwa persoalan rakyat kekaisaran Russia adalah kemelaratan dan biang keroknya adalah tuan tanah, pemilik modal dan para kaum borjuis yang mengangkangi mesin-mesin produksi. Para pemilik modal dan kaum borjuis ini harus dibasmi dan semua sistem produksi harus dikuasai oleh negara.

Negara menurut teorinya komunis adalah terdiri dari pekerja, petani dan tentara. Ide itu sederhana dan mudah dicerna, oleh sebab itu mudah memperoleh dukungan rakyat. Maka tahun 1918 dibuatlah konstitusi negara Federasi Russia Soviet untuk membuat ide itu resmi dan agar negara nantinya bisa mewujudkan ide itu. Konstitusi Federasi Soviet Russia 1918 diganti menjadi konstitusi 1923 setelah terjadi penguasaan tanah dan mesin-mesin produksi oleh negara serta bergabungnya beberapa negara sosialis, hasilnya Uni Republik Sosialis Soviet (USSR)yang resmi berdiri tahun 1922. Ide komunisme dan sosialisme menjalar kemana-mana, sampai ke Eropa Timur, Korea Utara, Cina, karena sederhana dan mudah dicerna. Di konstitusi Indonesiapun ada nafas campur tangan pemerintah atas hajat hidup orang banyak, yaitu UUD 45 pasal 33, penguasaan oleh pemerintah sektor-sektor yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam.

Untuk kemakmuran yang merata, sistem produksi harus dikuasai oleh negara. Dan negara menurut konstitusi adalah pekerja, petani dan tentara. Tentu saja itu teori, tetapi kenyataannya jelas lain. Petani tempatnya di ladang dan sawah; pekerja di pabrik. Dan politikus tetaplah di gedung parlemen dan di istana negara. Tentara di barak dan siap menunggu perintah politikus. Kalau tidak percaya lihat saja data di lapangan. Lenin adalah sarjana hukum yang sejak mahasiswa sudah aktif dalam bidang politik. Stalin bukan petani, buruh atau tentara tetapi politikus bawah tanah yang dicari polisi Czar karena melakukan propaganda, menggalang dana dengan merampok bank, menculik untuk minta uang tebusan dan pemerasan. Mao juga tidak mencangkul di ladang. Walaupun Lenin bukan buruh, Stalin bukan petani, Mao Zedong juga tidak mencangkul di sawah, melainkan mereka hidup dan kerja di gedung, politikus seperti mereka ini berpikir mereka tahu apa persoalan yang ada di masyarakat dan mereka pikir bahwa mereka tahu penyelesaiannya. Sayangnya hidup ini kompleks dan tidak sesederhana pemikiran mereka.

Ketika ide-ide mereka dijalankan, ternyata hasilnya hanya membuat kesengsaraan, setidaknya menghambat proses pemakmuran masyarakat. Pemerintah bukan organisme makhluk hidup yang perduli dan punya motivasi untuk melakukan hal yang benar dan secara benar. Mereka (politikus dan birokrat) adalah sekumpulan individu yang mengejar kepentingannya sendiri. Ide bahwa sektor-sektor yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, kekayaan alam dan sumber daya mineral dikuasai oleh negara mengalami metamorfosa menjadi kekayaan yang dikuasai oleh birokrat dan politikus. Paling tidak mereka memperoleh porsi yang besar dari pada rakyatnya. Politikus dan birokrat yang menguasai sumber alam dan orang lain yang melakukan kerja kerasnya. Pola seperti ini menjadi magnit daya tarik untuk menjadi anggota partai, politikus dan birokrat. Sehingga akhirnya birokrasi dan partai membengkak. Parasit menjadi gemuk dan akhirnya mematikan induk tumpangannya. Dipihak lain ide sosialisme bagai candu bagi masyarakat yang dalam jiwanya terlatih mengharap subsidi dan makan gratis tanpa perduli dari mana asalnya, siapa memikul bebannya, dan bagaimana memperolehnya.

Akhirnya kalau semua berpikir seperti itu, siapa yang mau kerja riil untuk kemakmuran? Tentu saja masih ada, tetapi orang-orang yang produktif dan punya motivasi untuk bekerja secara benar dengan cara yang benar merasa dieksploitasi dan mencari jalan keluar. Dan salah satu jalan keluarnya ialah hengkang ke luar negri. Walaupun pemerintah mencoba mencegah, pelarian-pelarian ini terus berlangsung dan penghambatan jalur kemakmuran bertambah. Dan sebagai pembandingnya ialah GDP negara-negara Eropa Barat yang membebaskan para pemilik modal mengeksploitasi buruh dan pekerja, mengangkangi kekayaan alam untuk diri mereka, dengan semua hal-hal yang buruk menurut kaum komunis.

Secara konsisten pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran negara-negara Eropa Barat (Austria , Belgia, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Itali, Belanda, Norway, Swedia, Switzerland, Inggris) lebih cepat dari negara sosialis. Negara-negara Eropa Barat ini mempunyai indeks kebebasan ekonominya antara 70 – 80. Keadaan ekonomi di negara-negara sosialis ini semakin terhambat perkembangannya ketika para politikus berpikir bahwa mereka perlu sirkus untuk mengalihkan perhatian masyarakat. Dan untuk melanggengkan kekuasaannya mereka perlu kekuatan. Sirkus perang dengan dalih menyebarluaskan paham ideologi komunisme/sosialisme dikobarkan di sana-sini. Dan produksi serta pengembangan produk lebih banyak menyentuh sektor persenjataan.

Produk apa yang terkenal dari negara-negara Uni Soviet? Pesawat tempur Mig, pesawat angkut Antonov 225 (produksi pertamanya tahun 1988) yang besarnya mengalahkan pesawat angkut Hercules C-5 Galaxy, dan bisa mengangkut pesawat ulangbalik luar angkasa. Kemudian berbagai tank dan helikopter tempur. Senapan serbu AK- 45 adalah senjata serbu terbaik di kelasnya. Di lain pihak, mobil merek Lada dan Moskvitch (buatan Russia) pada jamannya adalah mobil penumpang yang paling tidak menarik di dunia. Pada masa yang sama, Swedia punya Volvo; Jerman punya Porchse, VW, BMW dan Mercedes; Prancis punya Citroen dan Peugeot; Inggris punya Roll Royce; Itali punya Fiat, Lamborgini, Ferrari, yang semuanya jauh lebih menarik dan punya banyak keunggulan dari pada Lada dan Moskvitch. Kenapa Lada dan Moskvitch tidak menarik?, Karena di negara sosialis seperti Uni Soviet tidak ada yang peduli pada inovasi untuk kepuasan konsumen. Ketika ketidak-makmuran sudah menyentuh perut, atau paling tidak ketika melihat negara tetangga jauh lebih makmur, mobilnya lebih bagus, perangkat rumahnya lebih bagus, maka masyarakat tersadar bahwa campur tangan pemerintah dan ambisi politikus untuk mengembangkan ide sosialismenya ke seluruh dunia sebenarnya hanya menghambat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran maka masyarakat memberontak dan pecahlah yang namanya Uni Soviet pada bulan Desember 1991 dan bubarlah komunisme.

Mungkin belum semuanya bubar, tetapi sudah ambruk dan menyisakan beberapa negara seperti Korea Utara, Kuba, dan beberapa lagi. Dan jangan lupa, masih ada lagi yang tersisa, yaitu buku-buku yang berisi pemikiran-pemikiran komunisme yang dikemudian hari bisa menyulut timbulnya negara komunis baru. Kesederhaannya dan menggiurkannya konsep komunisme membuka peluang yang sangat luas bahwa ideologi ini akan dipakai lagi oleh politikus dimasa depan untuk mengejar ambisinya. Setelah bubarnya blok komunis Eropa Pasca Pakta Warsawa (1955 – 1991), sebagian dari negara-negara bekas Uni Soviet ini membuka ekonominya dan sebagian masih menganut pola lamanya.

Secara keseluruhan terlihat adanya percepatan pertumbuhan ekonomi rataratanya seusai tahun 1999, dimana gejolak perubahan yang dimulai tahun 1990 mereda. Dalam hal kebebasan ekonomi, negara-negara bekas Uni Soviet ini tidak seragam. Indeks kebebasan ekonominya bervariasi antara 40 – 70, atau dari mulai kategori terkekang (repressed) sampai masih ada kebebasan (moderately free). Negara-negara Eropa Timur seperti Albania, Bulgaria, Czechoslovakia, Hungaria, Polandia, Romania, ex-Yugoslavia, yang sebelum tahun 1990 masuk dalam lingkungan pengaruh Uni Soviet (Pakta Warsawa), dalam perkembangannya, lebih aggresif dalam membongkar keterlibatan pemerintah di sektor ekonomi dibandingkan negara-negara bekas Uni Soviet. Indeks kebebasan ekonominya berada di level 60 – 69 dan masuk ke dalam kategori negara yang masih ada kebebasan (moderately free), bisa dilihat GDPnya mampu menyusul bekas induknya yaitu negara-negara bekas Uni Soviet.

Lain halnya dengan Cina, sejak tahun 1980, setelah revolusi kebudayaan (1966 – 1969) dan riak-riaknya sampai 1976, di bawah Deng Xioping mulai melakukan pelonggaran secara perlahan dan bertahap atas campur tangan pemerintah di dalam kehidupan pribadi orang dan juga ekonomi. Riak-riak kecil selalu ada karena tidak puas terhadap laju perubahan, seperti tragedi Tianamen 1989 yang terkenal karena adanya dokumentasi foto dan film yang dramatis dan bersejarah mengenai seorang demonstran menantang tank dan kemudian dilindas. Gejolak semacam ini bisa diredam. Pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Cina mengalami percepatan yang bertahap sejak tahun 1980an. Tidak lama lagi akan mampu menyusul bekas rekan-rekan komunisnya di Eropa dan Asia Tengah. Untuk Korea Utara yang sampai saat ini masih mempertahankan peran pemerintah sebagai pengendali penuh ekonomi dan sendi-sendi kehidupan bangsa, kemakmuran ekonominya tidak beranjak kemana-mana. Kelaparan sering terjadi disana. Padahal Korea Selatang yang menjadi tetangganya adalah negara yang sangat makmur.

Kisah tragis sebuah ideologi yang bernama komunis dan sosialisme. Ideologi yang kedengarannya indah dan menjanjikan. Ketika lahir, ideologi ini memakan banyak korban nyawa dan harta. Sepanjang penerapannya juga memakan banyak korban jiwa manusia. Dan ketika runtuh ada kalanya menghancurkan ekonomi. Dan negara imperium komunis/sosialis yang terbesar, Uni Soviet hanya berumur 69 tahun saja (1922 – 1991). Umur yang terlalu singkat bagi sebuah imperium besar. Uni Soviet adalah kisah dimana orang berpaling kepada pemerintah ketika dalam kesulitan, menganggap pemerintah sebagai sang maha bisa yang mau menolong mereka. Walaupun mereka ini kebanyakan beragama Katholik Orthodoks Russia, mungkin tidak pernah membaca Bible mereka, paling tidak telah mengabaikannya. Mungkin Tuhan mereka telah marah karena orang-orang Uni Soviet telah menyandingkan para politikus dan birokrat denganNya....... Entahlah.

***

25 Financial Reckoning Day, William Bonner & Addison Wiggin, edisi I, 2003, John Wiley, hal 193.

Buku Penipu, Penipu Ulung dan Politikus.

KAPITALISME : JALAN PANJANG MENUJU KESENGSARAAN

Judul di atas seakan kapitalisme dan ekonomi bebas juga akan bernasib sama seperti komunisme. Padahal dari survey dan statistik yang dilakukan oleh Heritage menunjukkan bahwa semakin tinggi kebebasan masyarakat dalam mengejar kebutuhan ekonominya maka semakin makmur masyarakat itu. Fakta yang dilaporkan Heritage itu memang benar, dan bisa dianggap sebagai kaidah. Hanya saja, dalam perjalanan waktu negara kapitalis-bebas akan mengalami metamorfosa menjadi negara kesejahteraan (welfare state) yang sudah dekat dengan komunisme/sosialisme.

Para politikus akan merasa gatal kalau tidak bermain-main dengan kekuasaannya. Yang namanya kekuasaan, tentu harus ada yang dikuasai dan dikontrol. Jadi dalam perjalanan waktu, negara-negara ekonomibebas lambat laun menjadi negara sosialis dengan peran kontrol pemerintah terhadap ekonomi yang porsinya semakin besar. Hal ini dimungkinkan karena konsep sosialisme itu terdengar indah dan banyak orang di dalam masyarakat mau makan gratis dari yang maha-kuasa yang disebut pemerintah. Perubahan secara sedikit demi sedikit ini dimungkinkan karena sifat dasar politikusnya dan mentalitas rakyatnya.

Untuk kasus ini, kita akan lihat sejarah Amerika Serikat, karena kelengkapan dan kemudahan untuk memperoleh data catatan sejarahnya. Di samping itu Amerika Serikat dikenal juga sebagai mbahnya negara bebas. Paling tidak dimasa lalu.

Azas Keadilan Dalam Mata Uang

Negara Amerika Serikat atau (USA) didirikan pada tanggal 4 Juli 1776. Latar belakang pemisahan koloni Imperium Inggris Raya ini karena beban pajak yang tinggi, yang diperlukan Inggris untuk membayar hutang akibat perang 7 tahun melawan Prancis. Dalam hal keadilan ekonomi, negara Amerika Serikat didirikan di atas keadilan. Konstitusi Amerika Serikat memberikan Kongres wewenang untuk mengatur masalah standard berat dan ukuran mata uang.

Konstitusi Amerika Serikat Article 1, section 8, tentang wewenang Kongres dalam bidang moneter:

"To coin Money, regulate the Value thereof, and of foreign Coin, and fix the Standard of Weights and Measures;"
Mencetak koin, mengatur nilainya serta nilai koin asing dan menetapkan standard ukuran serta beratnya.

Bahwa Kongress mempunyai wewenang untuk membuat standarisasi berat dan ukuran uang dollar Amerika. Perhatikan kata "Weights and Measures". Kata ini mengacu pada uang emas/perak alias uang sejati, bukan uang fiat kertas. Pada uang fiat kertas, berat dan ukurannya tidak bisa dibuatkan standardnya. Dengan kata lain, secara konstitusi Amerika Serikat menganut sistem keuangan dengan standard emas dan perak. Itu dijabarkan dalam Coinage Act 1792.

Tidak ada sistem keuangan yang lebih adil dan jujur dari pada sistem keuangan yang berbasis emas dan perak. Untuk negara bagian, ada larangan untuk mengeluarkan koin, “bills of credit” dan yang diperbolehkan hanyalah emas dan perak sebagai alat pembayaran, (Article 1 section 10):

“No state shall ..........; coin money; emit bills of credit; make anything but gold and silver coin a tender in payment of debts......”

Di samping sistem mata uang dengan standard logam mulia sebagai alat tukar yang adil dan tidak bisa sembarangan disalah-gunakan oleh pemerintah, sebagian dari bapak pendiri negara Amerika Serikat sangat keberatan terhadap adanya bank sentral. Karena bank sentral adalah wujud dari monopoli kekuasaan moneter. Yang namanya monopoli adalah sama dengan perampasan kebebasan pihak yang tidak diberi monopoli, yaitu rakyat. Dan monopoli kekuasaan moneter adalah bentuk terburuk pengekangan kebebasan ekonomi secara halus dan terselubung.

Konsep bank sentral dimasa itu, sama seperti di abad 16-18, yaitu sebagai sumber pendanaan untuk aktifitas politikus, raja, pangeran dan negara. Dan aktifitas yang dimaksud adalah perang, tetapi tidak tertutup bagi aktifitas yang sifatnya bermewahmewahan. Pada abad 16 – 18 misalnya, Prancis selalu mengalami kesulitan dalam beberapa peperangan antara lain Belanda-Prancis (1672–1678), perang 9 tahun (1688 – 1697) melawan aliansi yang dipimpin Anglo-Dutch Stadtholder dan perang suksesi Spanyol Prancis (1701 - 1714). Ini dikarenakan Prancis tidak punya bank sentral seperti Belanda dan Inggris. Setelah perang usai, maka negara akan membayar hutang-hutangnya kepada bank sentral dengan uang pajak. Dengan kata lain, keberadaan bank sentral memungkinkan pemerintah, apakah itu kerajaan atau republik, untuk menjalankan program-program yang konyol, kekanak-kanakan, tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan akhirnya menyengsarakan rakyat.

Seandainya program itu adalah perang, ekonomi mandeg karena keamanan. Semasa dan seusai perang, pajak akan meningkat. Walaupun banyak tentangan terhadap keberadaannya, bank sentral di Amerika Serikat akhirnya berdiri juga, karena kebutuhan politikus untuk mendanai proyek-proyeknya. Bank swasta pertama Amerika Serikat adalah Bank of North American yang diberi otoritas sebagai bank sentral oleh kongres konfederasi, tahun 1781. Dengan menggunakan cadangan emas yang dipinjam dari Prancis, pendirinya, Robert Morris melakukan fractional reserves banking. Nasabahnya adalah politikus, untuk membiayai perang kemerdekaan. North American Bank diberi hak untuk mencetak bill of credit yang berfungsi juga sebagai mata uang. Robert Morris dikenal dengan julukan yang berbau negatif sebagai bapak sistem kredit dan uang kertas Amerika Serikat. Bank of North America yang mencetak banyak bills of credit akhirnya kolaps tahun 1785.26

Bank ke dua yang diberi hak dan otoritas sebagai bank sentral oleh kongres adalah First Bank of the United States tahun 1791, sebagai pengganti Bank of North America. Thomas Jefferson sebagai menteri seketaris negara menentang undang-undang ini karena bertentangan dengan hukum kepemilikan tradisionil dan secara konstitusi lemah karena tidak ada aturannya. Tetapi Alexander Hamilton yang mengusulkan undang-undang perbankan ini berdalih bahwa tidak ada larangan di dalam konstitusi mengenai hal ini. Hak-hak istimewa First Bank of United States sebagai bank sentral habis berlakunya di tahun 1811. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Tahun 1812 meletus perang yang disebut perang 1812 (1812 – 1815) antara Amerika Serikat melawan Imperium Inggris Raya karena sengketa wilayah Amerika Utara (sekarang menjadi Kanada). Dalam kaitannya dengan bank sentral bisa ditebak. Beberapa waktu setelah perang meletus (Second) Bank of the United States diundangkan sebagai bank sentral. Negara Amerika Serikat perlu uang untuk membiayai perang dan bank sentral adalah jawabannya. Tetapi kemudian semasa pemerintahan Andrew Jackson, bank sentral dihapuskan.

Nasehat Jefferson

Thomas Jefferson, founding father dan presiden Amerika Serikat ke 3 (1801-1809) bisa dikategorikan sebagai orang yang cerdas dan adil. Dia adalah salah seorang yang melihat sisi buruk dari bank sentral. Beberapa pernyataannya semasa dia menjadi menteri:

“I predict future happiness for Americans if they can prevent the government from wasting the labors of the people under the pretense of taking care of them.”

“Saya meramalkan bahwa kebahagiaan rakyat Amerika bisa tercapai jika mereka bisa mencegah pemerintah dari pada menghambur-hamburkan hasil jerih payah rakyat dengan dalih untuk memelihara mereka.”

Jefferson juga mengamati bahayanya bank-bank (swasta) jika mereka diberi kekuasaan. Apa lagi monopoli otoritas mengeluarkan mata uang dan mengendalikan peredarannya. Pada masa itu, dikalangan sektor perbankan dikenal suatu praktek yang disebut fleecing yang arti harfiahnya memanen wool domba (dengan mecukurnya). Maksudnya, bank melakukan beberapa tindakan secara berurutan untuk memperoleh keuntungan secara culas. Pertama tindakan yang bersifat inflasi, menyalurkan kredit kepada masyarakat dengan mudah. Akibatnya akan memicu praktek spekulasi. Kemudian dengan tiba-tiba dana kredit ditarik dan mengakibatkan kekeringan likwiditas alias deflasi. Pada masa deflasi ini harga asset jatuh, dan bank bisa memperoleh asset dengan harga murah. Dalam kaitannya dengan praktek seperti ini, Jefferson tidak menyetujui adanya bank sentral, yaitu kekuasaan moneter yang dipegang oleh satu institusi. Dalam satu suratnya, dia mengatakan:

"If the American people ever allow private banks to control the issue of their money, first by inflation and then by deflation, the banks and corporations that will grow up around them (around the banks), will deprive the people of their property until their children will wake up homeless on the continent their fathers conquered." (surat kepada menteri keuangan Albert Gallatin, 1802).

Terjemahan bebasnya kurang lebih:
“Jika rakyat Amerika sampai pernah memberi bank-bank swasta hak dan kekuasaan untuk menerbitkan mata uang (menjadi bank sentral), maka pertama-tama yang akan dilakukan mereka (bank sentral) adalah tindakan yang sifatnya inflasi dan kemudian deflasi; bank-bank dan korporasi yang akan tumbuh di sekililing bank sentral ini, akan merampas milik-milik rakyat, ketika anak-anak mereka terbangun, mereka telah terusir dari rumah-rumah mereka di tanah air yang ayah-ayah mereka telah perjuangkan”.

Perhatikan bahwa Jefferson menyebutkan kata inflasi dan deflasi. Kedua kata ini sudah menjadi fenomena ekonomi dimasa lalu, 2 abad yang lalu. Inflasi dan deflasi sama usangnya dengan sistem perbankan.Yang mungkin tidak diketahui Jefferson ialah monopoli otoritas moneter akan menghasilkan dua karater bank sentral yang berbeda. Jika bank sentral itu adalah bank pemerintah, maka akan cenderung mempraktekkan tindakan yang bersifat inflasi sepanjang masa. Hal ini karena bank pemerintah bukan milik individu sehingga perannya hanya sebagai wahana untuk memperoleh/memperkuat kekuasaan, bukan memperkaya pemilik bank. Jika bank itu adalah bank swasta, maka praktek yang disukai adalah siklus inflasi dan deflasi, karena dari siklus itu bank bisa memperoleh keuntungan. Pada bank sentral yang swasta, asset bank adalah milik perorangan (pemegang saham) sehingga jika bank menjadi kaya maknanya pemiliknya juga kaya.

Thomas Jefferson secara umum juga memperingatkan:
“I sincerely believe that banking establishments are more dangerous than standing armies, and that the principle of spending money to be paid by posterity, under the name of funding, is but swindling futurity on a large scale.”

“Pendapat saya, bahwa sistem perbankan lebih berbahaya dari pada tentara yang siap tempur dan bahwa membuat hutang yang harus dibayar oleh generasi berikutnya adalah tindak kejahatan-pengelabuhan-penipuan dalam skala besar walaupun alasannya untuk pembiayaan budget negara.”

Peringatan bapak pendiri negara Amerika Serikat ini nampaknya sering diabaikan. Berulang-ulang dalam sejarah Amerika Serikat, monopoli dan hak-hak istimewa diberikan kepada lembaga institusi yang disebut bank sentral.

Andew Jackson Anti Bank Sentral

Presiden ke 7 (tahun 1829 – 1837) Amerika Serikat ini, di mata warga Amerika Serikat ada dua opini yang berseberangan. Tetapi sebenarnya bisa dinyatakan dengan dua kata. Jackson adalah presiden pembunuh. Dia yang menyebabkan kematian sekitar 4000 orang Indian Cherokee. Dan dia yang membunuh bank sentral. Dia adalah penginjak-injak hakhak orang non-kulit putih dan dia adalah pembebas orang kulit putih dari kungkungan politikus dan pemerintah. Dalam konteks buku ini, yang terpenting adalah perannya sebagai pembebas.

Setelah berdirinya (Second) Bank of the United States sebagai bank sentral tahun 1812, uang dalam sirkulasi bertambah dan terjadilah inflasi dan peningkatan aktifitas ekonomi yang dibiayai kredit. Kondisi seperti ini secara alamiah tidak bisa berlangsung terus. Ketika keadaan berbalik, maka timbullah crash 1819. Harga-harga anjlok sehingga banyak debitur mempunyai hutang yang lebih tinggi dari harga asset yang diagunkannya. Banyak orang yang tidak bisa membayar hutangnya dan bangkrut.

Jackson belajar dari pengalaman ini, oleh sebab itu dia sangat membenci institusi bank sentral. Argumennya, bahwa konsep bank sentral akan menempatkan kekuatan finansial negara pada satu institusi yang bisa disusupi oleh pengaruh-pengaruh negara lain (karena bank sentral swasta sahamnya bisa dimiliki orang asing), berpihak pada kelompok kaya, dan bisa mempengaruhi keputusan kongres dalam membuat undang-undang.27

Pada pemerintahan Jackson, (Second) Bank of the United States tidak diperpanjang tahun 1836. Usaha Jackson bukan tanpa perlawanan. Selama kampanye kepresidenan Amerika yang diikuti Jackson untuk ke dua kalinya tahun 1832, presiden Bank of the United States, Nicholas Biddle, melakukan manuver-manuver untuk membuat Jackson kalah.

Sumbangannya kepada lawan Jackson yaitu Henry Clay sebesar $ 100,000. Jumlah itu yang sangat besar pada waktu itu dan kira-kira setara dengan 160 kg emas. Ini menunjukkan keinginan bank sentral untuk menguasai calon pemilih yang akhirnya menguasai pemerintahan, baik parlemen ataupun presidennya.

Bank of the United States juga menarik banyak pinjaman kreditnya secara tiba-tiba untuk memicu krisis keuangan; dengan harapan bahwa krisis ekonomi akan membuat rakyat marah kepada pemerintah,

Andrew Jackson. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Bank of the United States bangkrut tahun 1841. Jackson adalah pribadi yang sangat liberal. Salah satu kebebasan hak-hak pribadi yang dijalankan Jackson adalah mengawini Rachel Donelson yang secara hukum masih terikat dalam perkawinan.

Perceraiannya dengan suami sebelumnya masih belum resmi keluar. Dalam kampanye presiden, titik inilah yang menjadi serangan lawan. Walaupun dikemudian hari Jackson dan Rachel mengulangi perkawinannya, keteguhan Jackson mempertahankan Rachel menunjukkan opininya yang tidak suka atas campur tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi.

Dari segi keuangan negara, Jackson berhasil menurunkan hutang negara sampai ke tingkat paling rendah sejak tahun 1791. Yang tersisa hanya $33,733.05, di tahun 1835.28 Jumlah itu hanya sepertiga dari sumbangan Nicholas Biddle, presiden Bank of the United States kepada saingan Jackson pada pemilihan presiden tahun 1832, yaitu Henry Clay.

Pelanggaran Konstitusi Semasa Abraham Lincoln

Abraham Lincoln mungkin seorang yang berpandangan praktis. Dia melihat bagaimana enaknya posisi bank sentral yang bisa mencetak uang (seenaknya), dan bagaimana besar kekuasaan bank sentral yang bisa mengangkangi anggota-anggota Kongres di bawah selangkangannya.

Mungkin dalam pikirannya, kenapa posisi bank sentral itu tidak dipegang pemerintah saja. Tentunya akan membuat pemerintah lebih berkuasa. Hanya perlu 7 dekade untuk seorang presiden berpikiran seperti itu dan bersama-sama Kongress yang berani melanggar konstitusi. Dua badan demokrasi yang sakral melakukan persekongkolan iblis jahat terhadap rakyat.

Abraham Lincoln meminta Kongress untuk meloloskan undang-undang Bank Nasional (The National Bank Act) pada 25 February 1863. Salah satu intinya adalah memberi wewenang kepada pemerintah untuk mencetak uang. Awalnya jumlah uang yang dicetak adalah $ 150 juta. Pada tahun 1864 ada perbaikan undang-undang Bank Nasional itu dengan mengijinkan pemerintah untuk mencetak uang lebih banyak lagi yaitu $ 450 juta.

Lincoln mencetak uang kertas kurang lebih $450 juta uang yang disebut greenback karena tinta cetaknya hijau yang ada di satu muka saja. Wikipedia menyebutkan jumlah lebih rinci, yaitu US$ 447,300,203.1029; yang sebenarnya agak janggal karena adanya pecahan 10 sen. Sumber lain menyebutkan US$ 449,338,902 uang kertas 30.

Uang ini dipakai untuk membiayai perang tidak bersaudara tahun 1861–1865. Mungkin pembaca heran dengan kata perang tidak bersaudara, kata ini adalah kata yang tepat untuk civilwar atau perang saudara di Amerika Serikat, antara Federasi di utara dan Confederasi di selatan. Bahasa Inggrisnya pun harus diubah dari civil war menjadi uncivil war.

Pada perang yang menghabiskan 2% (mati) dari penduduk Amerika Serikat, tidak ada nilainilai civilnya (nilai-nilai berbudaya) sama sekali, bahkan sebaliknya, perang yang bersifat barbar.

Untuk mendukung ketidak-bijaksanaan pencetakan uangnya ini, Lincoln berdalih31:

"The government should create, issue and circulate all the currency and credit needed to satisfy the spending power of the government and the buying power of consumers.... The privilege of creating and issuing money is not only the supreme prerogative of Government, but it is the Government's greatest creative opportunity. By the adoption of these principles, the long-felt want for a uniform medium will be satisfied. The taxpayers will be saved immense sums of interest..."

“Pemerintah selayaknya mencetak, mengeluarkan dan mengedarkan semua mata uang dan kredit untuk mencukupi tingkat kebutuhan belanja pemerintah dan daya beli masyarakat.... Hak istimewa untuk mencetak dan mengeluarkan mata uang tidak hanya merupakan hak prerogatif tertinggi pemerintah, melainkan juga merupakan peluang bagi pemerintah untuk berkreasi. Dengan cara ini, keinginan terhadap alat pembayaran yang seragam akan terpenuhi. Pembayar pajak akan terhindar dari kewajiban membayar bunga yang tinggi".

Abraham Lincoln adalah presiden yang pertama dari dua presiden Amerika Serikat yang mencetak uang. Yang satunya lagi adalah Kennedy dengan menggunakan, Executive Order 11110, 4 Juni 1963. Dalam hal ini Kennedy menggunakan perak sebagai garansinya, sedang Abraham Lincoln tidak.

Ketidak-sukaan dan kecurigaan Abraham Lincoln terhadap masyarakat bisnis diekspresikan dalam ucapannya:
“These capitalists generally act harmoniously and in concert, to fleece the people”

Bahasa Indonesianya kurang lebih:
“Para pemilik modal ini bersama-sama secara halus, tersamar dan terkoordinasi untuk menipu dan membuat sengsara rakyat”

Bila seorang pemimpin anti terhadap kebebasan berusaha, jangan harap perekonomian akan maju. Semasa Abraham Lincoln perekonomian Amerika Serikat hancur. Penderitaan rakyat Amerika Serikat di masa perang saudara yang tidak-bersaudara (uncivil civil war) Abraham Lincoln, digambarkan dengan baik dalam film Gone With the Wind tahun 1939 yang dibintangi oleh Vivien Leigh dan Clark Gable yang mendapat banyak hadiah Oscar. Lincoln mati ditembak John Wilkes Booth tanggal 14 April 1865 ketika sedang menonton sandiwara di gedung Ford’s Theater bersama istrinya. Memang sewajarnya Lincoln mati terbunuh karena telah menyengsarakan banyak orang. Penerus Abraham Lincoln terpaksa harus melakukan bersih-bersih terhadap sisa-sisa pesta yang dibuat pendahulunya. Penarikan kembali greenback yang dicetak Abraham Lincoln, dimulai dengan dikeluarkannya undang-undang Contraction Act, tanggal 12 April 1866. Dari $ 1,80 milyar yang beredar tahun 1866, menciut secara bertahap menjadi $ 0,40 milyar dua puluh tahun kemudian. Suatu jumlah yang masih banyak tersisa.

Panik 1907 dan Jalan Menuju the Federal Reserves

Perjuangan rakyat Amerika Serikat untuk memperoleh kebebasan ekonomi melalui jalan yang sangat panjang. Itu sebabnya judul bab ini adalah: Kapitalisme: Jalan Panjang Menuju Kesengsaraan. Politikus dan lingkaran bisnis yang mau menggunakan politik tidak pernah putus asa. Setelah 3 kali gagal mendirikan bank sentral yang langgeng, tidak matahkan semangat untuk mencoba yang keempat kalinya. Dan berhasil, dan bisa bertahan sampai sekarang selama hampir satu abad. Namanya the Federal Reserves Bank atau the Fed, yang didirikan tahun 1913. Pendiriannya dilatar-belakangi Panik 1907.

Panik-1907 adalah krisis finansial di Amerika Serikat yang terjadi tahun 1907 sesuai dengan namanya. Krisis ini dipicu oleh aksi spekulasi goreng-menggoreng (memainkan harga) saham United Copper Company oleh seseorang bernama Otto Heinze.32. Spekulasi ini didanai oleh beberapa bank. Awalnya Heinze berhasil menggoreng saham United Copper Company naik 54%, dari $39 ke $60 dalam beberapa hari. Heinze berpikir bahwa “lawannya” melakukan short selling, atau menjual saham yang tidak dimilikinya, melainkan dari meminjam untuk jangka waktu tertentu. Setelah jatuh tempo, si pelaku short seller berkewajiban untuk mengembalikan saham yang dipinjamnya itu. Kalau memang aksi short selling yang terjadi maka yang dibutuhkan oleh Heinze adalah terus melakukan aksi beli sampai pinjaman lawannya jatuh tempo. Pada saat itu, lawannya harus membeli kembali saham-saham United Copper dari pasar untuk mengembalikan pinjamannya.

Seandainya Heinze bisa menahan harga saham di pasar tetap tinggi kalau perlu mendongkraknya lagi, maka lawannya akan terjepit dan terpaksa harus membeli hutangnya (berupa saham United Copper) di harga tinggi. Sayangnya dana yang dimiliki Heinze terbatas. Dan lawannya bukan pelaku short selling melainkan pelaku pasar yang mau merealisasikan keuntungannya. Berapapun saham yang dibeli Heinze, nampaknya tidak kekurangan penjual. Heinze mengalami kesulitan untuk mendongkrak harga saham. Pelaku pasar terus mengguyur dan membanjiri pasar dengan saham United Copper Company sehingga harga saham United Copper Company jatuh. Pada saat aksi goreng-menggoreng dan guyur-mengguyur, gejolak pasar menjadi sangat liar. Di hari dimana saham United Copper Company mencapai harga $60 sebagai harga tertinggi, ternyata tidak bisa bertahan, turun dan ditutup pada harga $30.33

Ini adalah suatu gejolak harga 50% dalam sehari. Heinze tidak bisa menahan harga saham United Copper Company lagi karena kehabisan dana. Dan pada keesokan harinya saham United Copper Company mengalami aksi jual lagi yang deras sehingga harganya jatuh ke $10 diikuti oleh saham-saham lainnya. Pembeli menghilang dari pasar dan Heinze bangkrut. Kerugian Heinze menyeret juga bank-bank yang mendanainya Bank-bank yang mendanai projek Heinze ini mengalami penarikan dana besar-besaran oleh para nasabahnya. Karena bank mempraktekkan cara bisnis yang korup, yaitu fractional reserves banking (FRB) – bank memberi kredit dan meminjamkan uang jauh melebihi uang yang disimpannya, maka tidak pelak lagi terjadi krisis liquiditas. Kalau bank menyalurkan kredit jauh melebihi uang yang ada, otomatis bank tidak akan bisa membayar nasabah ketika uang tabungannya diminta kembali. Itu sifat FBR. Selanjutnya beberapa bank di New York mengalami kekurangan dana dan gagal bayar dan bangkrut karena dananya ditariki oleh para nasabahnya. Penarikan dana menjalar ke seluruh sistem perbankan Amerika Serikat.33 Ibid

Bankir-bankir besar di Amerika Serikat, seperti J.P. Morgan, J.D. Rockefeller, Paul Warburg melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menghidupkan kembali konsep bank sentral. Dengan lobby yang kuat akhirnya Kongres Amerika Serikat membentuk the National Monetary Commission, Komisi Moneter Nasional yang diketuai oleh Nelson Aldrich yang tidak lain adalah besan J.D. Rockefeller. Tugas komisi ini adalah untuk membuat kajian dan rancangan reformasi sistem perbankan. Akhirnya terbentuklah undang-undang mengenai the Federal Reserves Bank di tanda tangani oleh presiden Woodrow Wilson, menjelang hari Natal tanggal 22 Desember 1913. Undang-undang ini menempatkan kebebasan perekonomian dari buruk menjadi parah. Kontrolan peredaran uang yang tadinya dipegang oleh sekumpulan orang yang di sebut Kongres, berpindah tangan kepada segelintir elit bankir. Dan nama “Federal” digunakan untuk mengaburkan identitas bank sentral sebagai institusi swasta yang berorientasi keuntungan. Monopoli peredaran mata uang ditangan badan yang berorientasi keuntungan, kedengarannya jelek sekali. Yang menarik adalah ditahun yang sama, yaitu 1913 Amendemen ke 16 konstitusi Amerika Serikat mengenai pemberian kekuasaan pemerintah federal (pusat) untuk menarik pajak penghasilan. Kekuasaan semakin dimonopoli di pusat. Jalan menuju kesengsaraan bagi rakyat Amerika semakin melebar. Pemerintah, politikus, birokrat lebih leluasa menghambur-hamburkan uang, memeras rakyat melalui pajak resmi.

Dari Penganut Kebebasan ke Negara Usil

Sering kita mendengar orang yang mengatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara yang paling suka usil dan paling suka memata-matai penduduk dunia. Di awal dekade 2000an, pembaca mungkin tidak mengenal nama Hambali, Dulmatin, Abu Bakar Basir, sebelum nama-nama ini dipopulerkan oleh Amerika Serikat. Padahal orang-orang ini adalah orang Indonesia. Bukankah sebagai orang Indonesia, kita seharusnya lebih tahu dari pemerintah Amerika Serikat? Tidak hanya itu Amerika Serikat menjanjikan hadiah $10 juta bagi mereka yang bisa membantu menangkap kedua orang ini. Kenapa orang di seberang benua sana lebih tahu tentang orang-orang ini dari kita yang sebangsa?. Apalagi kalau bukan karena mereka yang usil memata-matai penduduk Indonesia. Tahun 1913 bukan saja merupakan tonggak sejarah berpindahnya otoritas pengedaran mata uang Amerika Serikat dari Kongres ke bank swasta yang disebut the Federal Reserves Bank, atau disingkat the Fed, tetapi juga merupakan tonggak sejarah mulai usilnya Amerika Serikat.

Amerika Serikat menjadi sebuah imperium yang sangat peduli atas semua urusan penduduk di dunia. Amerika Serikat sebagai negara besar, sumber alam yang besar, dengan bank sentral yang kuat, banyak yang bisa dilakukan. Kalimat “banyak yang bisa dilakukan”, adalah impian para politikus dan bisa dimanfaatkan oleh pengusaha peralatan perang. Di negara hukum yang berpegang pada rule of law, mempunyai lobby yang kuat adalah sangat essensial bagi kelangsungan hidup sebuah industri. Bahkan investasi di sektor lobby bisa lebih membuahkan hasil dibandingkan dengan investasi untuk meningkatkan mutu produk. Hukum, undang-undang dan aturan bisa sesuaikan untuk keuntungan pelobby.

Hobby mengobok-obok negara lain dimulai dengan terjunnya Amerika Serikat ke kancah perang dunia ke I, yang sebenarnya bisa dihindari. Ketika perang dunia ke I, yang juga disebut perang besar Eropa, meletus tahun 1914, rakyat Amerika Serikat tidak mau negaranya melibatkan diri dalam kancah perang itu. Tetapi hal itu bukan kehendak para banker dan industrialis. Perang bisa menciptakan kebutuhan baru, yaitu senjata dan alat pembunuh manusia. Dan ini merupakan peluang bisnis. Sebab yang memicu keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Dunia I sangat konyol, yaitu karena tenggelamnya kapal pesiar Lusitani oleh terpedo kapal selam Imperial Jerman. Dikatakan konyol karena patut dicurigai bahwa Lusitani sebenarnya dengan sengaja diumpankan ke kapal selam U-boat Jerman untuk diterpedo. Kapal pesiar Lusitani dijadwalkan untuk berlayar ke Inggris tanggal 7 Mei 1915 yang pada waktu itu sedang berperang dengan Jerman, melewati zone perang. Entah apa yang dipikirkan orang-orang uang mau berpesiar melewati zone perang. Apakah mau menonton perang? Lagi pula waktu itu pihak-pihak yang bertikai tahu bahwa banyak peralatan perang dan bahan logistik dikirim dengan kapal dagang atau kapal-kapal sipil. Jadi bukan tidak mungkin Lusitani digunakan Inggris dan sekutunya untuk mengangkut persenjataan dan logistik bagi Inggris.

Pihak Jerman yang tidak mau memulai konflik dengan Amerika Serikat, berusaha mencegah berlayarnya kapal pesiar Lusitani ini dengan memasang advertensi di suratsurat kabar di kota-kota pantai timur Amerika Serikat termasuk New Yorks. Isinya merupakan peringatan kepada setiap calon penumpang Lusitani akan resiko berlayar dengan Lusitani di daerah perang. Lusitani tetap berlayar ke perairan Irlandia dan akhirnya diterpedo oleh kapalselam Jerman. Ada dua ledakan yang menenggelamkan Lusitani. Ledakan yang pertama adalah ledakan akibat dari terpedo dan yang kedua menjadi perdebatan apakah dari bahan peledak yang dibawa Lusitani atau karena faktor lain. Yang pasti, di dalam manifest Lusitani yang tenggelam ditemukan catatan pengapalan 4,2 juta butir peluru yang dikemudian hari setelah perang usai dibuktikan dalam penyelaman bangkai kapal. Sebanyak 1.198 orang penumpang Lusitani mati tenggelam. Ini menimbulkan kemarahan rakyat Amerika Serikat. Dan terjunlah Amerika Serikat ke kancah perang dunia ke I. Tingkat keusilan Amerika Serikat menjadi lengkap dan menjadi resmi semasa perang dunia ke II meletus. Dengan dikeluarkannya undang-undang Lend and Lease Act (Maret 1941) menjadikan Amerika Serikat resmi sebagai negara interventionist, negara yang suka campur tangan urusan negara lain. Tentu saja undang-undang ini berpangkal pada bisnis. Isinya secara garis besar adalah pemasokan peralatan perang oleh Amerika Serikat kepada sekutu (Inggris, Prancis, Cina, Soviet) sebagai bantuan. Dana yang resmi yang disalurkan berjumlah $ 50 milyar (1941) yang ekivalen dengan $ 800 milyar uang 2010.

Peralatan ini dimaksudkan sebagai pinjaman yang akan dikembalikan dalam keadaan baik. Jika rusak maka harus diganti. Penggantian ini diatur dalam kerangka pembayaran pinjaman jangka panjang. Di samping itu juga, Amerika Serikat diberi hak untuk mendirikan pangkalan militer di wilayah kekuasaan negara-negara tersebut. Undang-undang Lend and Lease Act jelas berorientasi bisnis. Peralatan perang, seperti pesawat terbang, tank, kapal perang, meriam, senjata dan amunisinya, sebagian besar harus dibayar. Puluhan kapal perang Amerika Serikat berpindah tangan. Juga pesawat terbang yang tentu saja menghidupkan perusahaan pesawat terbang McDonnell Douglas. Juga truk-truk merek Dodge bisa menjadi bagian dari perlengkapan Russia. Belum lagi dengan perlengkapan prajurit seperti baju hangat, sepatu sampai makanan kaleng. Mesinmesin produksi sekutu di Eropa sudah digilas Jerman dengan serangan blitzkriegnya. Demikian besarnya, hutang yang terutama dipikul Inggris dalam kaitannya dengan Lend and Lease Act ini baru selesai dilunasi 65 tahun kemudian yaitu pada bulan Desember 2006.34 Selama 65 tahun pembayar pajak harus melunasi hutang akibat perang. Tidak heran kalau tingkat kemakmuran (GDP) Inggris bisa tersusul Hong Kong, jajahannya. Sejalan dengan waktu, Amerika Serikat semakin sering terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam peperangan dan kerusuhan di berbagai tempat di dunia ini.

Tidak ada periode dimana Amerika Serikat tidak punya musuh. Mulai perang Korea pada dekade 50an. Vietnam pada dekade 60an. Perang Timur-Tengah, Arab – Israel yang tidak langsung pada dekade 70an. Pada dekade 80an, mengobok-obok Amerika Latin, memasok senjata kepada Mujahidin di Afganistan untuk melawan Uni Soviet (1979 1989), memasok senjata untuk Irak dalam perang Irak-Iran (1980 - 1988). Kemudian invasi Irak pada dekade 90an. Yang paling akhir adalah perang melawan Teror dan invasi Irak ke dua pada dekade 2000. Menjadi negara yang usil sulit untuk dihindari oleh negara yang disebut Amerika Serikat, walaupun sering mengorbankan nyawa dan beban ekonomi warganya. Sepanjang sejarah aktivitas melobby merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas politik dan industri, apalagi industri peralatan perang.

Dulu orang berpikir bahwa kalau hanya mengandalkan pasar untuk keamanan sipil dan olah-raga saja, industri persenjataan akan sulit hidup. Polisi tidak akan pernah memerlukan rudal anti tank, anti pesawat udara, pesawat pembom. Apalagi pesawat pembom dan kapal induk. Tetapi barang-barang itulah yang menjadi andalan pemasukan bagi industri peralatan pembunuh manusia, bukan barang-barang kecil seperti revolver kaliber 38 yang digunakan polisi. Mungkin pola berpikir sekarang sudah berubah. Ketika presiden George Bush Jr mencanangkan perang melawan teror, barang-barang kecil bisa juga memberikan pemasukan yang lumayan kalau volumenya besar dan jenisnya banyak. Detektor bom dari segala ukuran, dipasang di pusat perbelanjaan, hotel-hotel, kantor-kantor diseluruh dinia dan menjadi laku sekali.

Bisnis yang bagus. Menyulut permintaan pasar nampaknya mudah. Cukup dengan mengganggu Osama bin Laden yang notabene adalah perpanjangan tangan Amerika Serikat semasa perang Mujahidin melawan Uni Soviet di Afganistan pada dekade 1980an. Ketika Osama marah dan membalas, maka ada alasan untuk membuat projek baru yang disebut perang melawan teror.

Depressi Besar 1930an

Bagi pengamat ekonomi, akan selalu ada pertanyaan dalam benaknya. Apakah the Fed akan berprilaku seperti bank sentral negara yang mencintai inflasi atau seperti bank swasta yang sangat berkuasa dan mempraktekkan fleecing dengan strategi siklus inflasideflasinya?. Nyatanya the Fed memangkas nilai dollar menjadi setengahnya, dalam kurun waktu kurang dari 7 tahun setelah berdirinya. Tentu saja dengan cara inflasi, maksudnya mencetak uang dan memberikan kredit lunak. The Fed menyalurkan kredit liquiditas dengan sangat mudah. Akibatnya harga-harga naik lebih dari 2 kali lipat dari tahun 1913 – 1920. Perang dunia ke I membantu ekspansi kredit ini dengan dalih dan latar belakang untuk memproduksi mesin-mesin perang.

Setelah perang dunia ke I usai tahun 1918, kegiatan ekonomi di Amerika Serikat mengalami pergeseran dari ekonomi perang ke ekonomi damai. Aktivitas ekonomi yang tadinya berat kepada produksi alat-alat pendukung perang, kemudian harus beralih ke barang-barang konsumsi dimasa damai. Hal yang demikian sering menimbulkan resesi. Itulah yang menyebabkan resessi 1920-1921 di Amerika Serikat. Reaksi the Fed bisa ditebak. Liquiditas dikucurkan. Antara tahun 1920 – 1929, kredit terus mengucur, sehingga rasio hutang terhadap GDP mencapai kurang lebih 300%. Masa ini dikenal sebagai the roaring twenties, boom ekonomi yang dibiayai kredit; mania, mengarah pada spekulasi dan mal-investasi. Beban hutang menjadi berat. Dan akhirnya terjadi market crash bulan Oktober 1929 yang diikuti dengan depressi ekonomi tahun 30an yang dikenal sebagai the Great Depression. Depresi ekonomi ini cukup berat dan dampaknya terasa hampir keseluruh dunia, termasuk Hindia Belanda (wilayah Indonesia jaman dulu).

Ternyata keberadaan the Fed tidak bisa membuat ekonomi terhindar dari siklus alami boom & bust, panik dan depresi/resesi ekonomi. Dan ini akan terus berlangsung sampai hampir 100 tahun setelah berdirinya the Fed. Seakan the Fed tidak bisa belajar dari pengalaman. Atau sememangnya siklus boom & bust tidak bisa dicegah atau dihindari seperti terjadinya siang dan malam. Seperti biasanya, ketika ada krisis, politikus merasa bahwa mereka tahu penyelesaiannya, maka kali inipun demikian. Dan seperti biasanya mereka akan menambah peraturan baru, kengkangan baru terhadap kebebasan di bidang ekonomi. Kali ini presiden Franklin D. Roosevelt, salah satu presiden Amerika Serikat yang dianggap presiden terbaik dan terbesar, berpikir bahwa dia mempunyai penyelesaian yang ampuh untuk depresi ekonomi yang dihadapi Amerika Serikat. Seperti biasanya, solusi untuk persoalan depresi ekonomi ini tidak lebih dari perampasan hak-hak warga negara.

Franklin D. Roosevelt mengeluarkan Executive Order 6102 tanggal 5 April 1933. Isinya adalah larangan memiliki emas bagi rakyat Amerika. Semua emas harus diserahkan kepada pemerintah dalam waktu satu (1) bulan dan dihargai $ 20,67 per troy-ounce (oz). Harga ini dinaikkan dari $19,39 per oz. Setelah tanggal itu, setiap pelanggaran ketentuan ini dikenakan hukuman penjara maksimum 10 tahun dan/atau denda $10.000. Executive Order 6102 mengecualikan dokter gigi, pengerajin perhiasan dan seniman dan beberapa profesi lainnya. Tidak diketahui apakah imam-imam Yahudi dan orang-orang Yahudi juga memperoleh pengecualian.

Pasalnya beberapa alat peribadahan mereka terkadang terbuat dari emas, seperti perangkat Kiddush dan havdala, dan tempat penyimpanan Taurah. Untungnya di Amerika Serikat pada masa itu tidak banyak etnis India dan Pakistan. Seandainya masyarakat dari anak benua India waktu itu sudah banyak, maka pelanggaran terhadap hak-hak mereka semakin sempurna. Orang India menyukai perhiasan emas, apalagi dalam upacara-upacara perkawinan mereka. Executive Order 6102 tidak lain merupakan melanggaran hak-hak pribadi di Amerika Serikat. Tidak cukup dengan pelanggaran hak-hak pribadi, kemudian Franklin D. Roosevelt mengecewakan warga negara yang taat. Bulan ke 10 setelah diberlakukannya Executive Order 6102, F.D. Roosevelt menaikkan ganti rugi emas dari $ 20,67 per oz ke $ 35 per oz dengan undang-undang Gold Reserve Act tertanggal 30 Januari 1934. Semua berlangsung secara resmi dan disyahkan oleh undang-undang. Dan nilai dollar turun 45%. Ini suatu pelajaran bahwa warga negara yang patuh kepada peraturan pemerintah bisa dirugikan.

Pemerintah memberi insentif bagi pembangkang. Depresi Besar 1930 juga dijadikan dalih untuk mengengkangan dan pengelabuhan lebih lanjut. Tahun 1935 keluarlah undang-undang Jaminan Sosial, Social Security Act. Seperti dalil Jefferson bahwa pemerintah akan menghambur-hamburkan jerih-payah rakyat dengan dalih menolongnya, Jaminan Sosial adalah salah satunya. Jaminan Sosial meliputi asuransi hari tua dan penyandang cacat, tunjangan pengangguran, bantuan bagi keluarga miskin, asuransi kesehatan dan perawatan hari tua dan penyandang cacat (Medicare), bantuan untuk program kesehatan (Medicaid), dan lain-lain. Program-program sosial ini kedengarannya indah, sepanjang tidak muncul pertanyaan, siapakah yang akan membayar? Program ini terdengar merdu bagi sebagian orang dan bagaikan petir bagi sebagian lagi. Persoalannya ialah, presiden Amerika Serikat bukan seperti Albert Schweitzer yang bekerja, menghasilkan jasa dan barang nyata yang diwujudkan dalam bentuk uang. Kemudian dana itu disumbangkan kepada yang memerlukan. Presiden-presiden Amerika Serikat (atau presiden manapun di dunia ini) tidak ada yang seperti Albert Schweitzer. Itu persoalannya. Dana untuk membiayai program Jaminan Sosial berasal dari masyarakat juga. Apakah dananya itu dari mereka yang hidup dimasa kini dan/atau yang utamanya dari mereka yang hidup dimasa datang. Ini adalah penipuan ala Ponzi. Dan penipuan ala Ponzi hanya bisa lancar jika peserta yang baru dan ikut serta dimasa datang, masih bisa menunjang pengeluaran saat ini bagi peserta lama. Sayangnya perkiraan demografi Amerika Serikat tidak mendukung penipuan ala Ponzi ini.

Secara demografi Amerika Serikat secara perlahan berubah menjadi masyarakat yang menua. Persentasi penduduk di atas 65 tahun semakin banyak dan persentasi penduduk yang berusia produktif (20 – 55 tahun) semakin berkurang. Penipuan piramida ala Ponzi yang disebut Medicare dan Medicaid diperkirakan akan meledak antara tahun 2020 – 2050. Pada masa-masa itu banyak rakyat Amerika Serikat akan merasa tidak bahagia seperti yang sudah diperingatkan Jefferson. Yang muda dikenakan pajak yang tinggi atau yang tua tidak memperoleh apa yang dijanjikan ketika penghasilannya dipajaki dimasa muda mereka. Penipuan yang halus dan berjangka panjang.


26 America's Forgotten War Against the Central Banks, Mike Hewitt, Polish News, 8 December 2009
27 Andrew Jackson, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Andrew_Jackson c/o
29 United States Note, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Note
30 America's Forgotten War Against the Central Banks, Mike Hewitt, Polish News, 8 December 2009
31 Ibid
32 Panic of 1907, Wikipedia, Online encyclopedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Panic_of_1907
34 Britain makes final WW2 lend-lease payment, inthenews.co.uk, 29 Desember 2006
http://www.inthenews.co.uk/news/news/finance/britain-makes-final-ww2-lend-lease-payment- $1034891.htm

Buku Penipu, Penipu Ulung dan Politikus.