Senin, 23 April 2012

MANUSIA BISA TETAP BERMORAL TANPA TERIKAT AGAMA

Fundamen agama adalah dogma atau postulat (sebuah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya), dan inti dari postulat agama adalah Tuhan atau Dewa. Yah, dialah TUHAN, begitu sakralnya kalimat ini, memiliki tendensi atas nilai-nilai absolut yang bersifat monopolistik, dan yang pasti tidak bisa diganggu gugat. Beginilah bentuk kredo realitas atas apa yang disebut Tuhan dalam konteks keyakinan. Berbeda lagi jika kita berbicara Tuhan dalam konteks pemikiran filsafat. Dalam konteks filsafat, pemikiran Tuhan menimbulkan banyak pertentangan, perdebatan akan eksistensi keberadaannya, hasilnya terpecah, ada yang mengakui sebatas bentuk metafora (simbol) sampai tidak lagi ada pengakuan terhadap eksistensinya sama sekali.

Sebagian besar orang indonesia mengatakan bahwa kaum ateis, agnostik dan free thinker (non-believer) merupakan kaum hina yang tak punya etika moral, karena para non believer memiliki arogansi kesombongan dan kecongkakan hidup untuk memilih tidak beragama dan bertuhan. Dalam pandangan mereka, orang-orang non believer adalah sebuah momok menakutkan di negeri ini, hampir seburuk sang iblis itu sendiri. Ia disamakan dengan pemadat, pelacur, pembunuh, dan pemerkosa. Ia tak punya tempat hidup di negeri yang “beragama” ini. Di lain pihak, negeri yang sangat agamis ini tidaklah menjadi sebuah negeri yang makmur, aman dan tentram. Justru beberapa negara yang kecenderungan non believernya berkembang menunjukkan ciri-ciri negara maju yang makmur, aman, tenteram bahkan manusiawi.

Sesungguhnya nilai luhur atau disebut moralitas itu tidak ada hubungannya dengan keyakinan agama (ibadah dan keesaan Tuhan). Karena moralitas itu adalah hubungan antar sesama manusia. Moral adalah soal nilai-nilai dan relasi antar manusia. Sepanjang seseorang sudah punya sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan hukum nurani dan hukum sosial, maka jelas dia bisa disebut sudah bermoral. Apapun cara pandang dan keyakinannya. Sedangkan soal Atheis dan Theis (agama), itu adalah soal keyakinan, soal pandangan seseorang atas realitas kehidupan dunia dan akhir kehidupan. Moralitas lahir dari akal budi manusia, bukan dari agama. Agama hanya membajaknya sebagai aset jualan untuk memperdagangkan keyakinannya. Atheis dan Theis tidak berbanding lurus dengan moralitas seseorang. Kedua-duanya tetap berpeluang untuk bermoral dan tidak bermoral. Dan sejarah peradaban umat manusia sudah membuktikan akan hal ini. Jadi menyandingkan ateisme sebagai keyakinan yang tidak bermoral, dan sebaliknya kaum theis adalah keyakinan yang otomatis bermoral, adalah sebuah generalisasi yang konyol, dan fallacy (kesalahan berpikir) yang tak termaafkan.

Tepat sekali kiranya apa yang pernah diucapkan oleh Artur C. Clarke, bahwa tragedi terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia adalah ketika moralitas dibajak oleh agama. Sejarah telah mencatat, bahwa agama adalah salah satu sebab utama munculnya berbagai pertumpahan darah di dunia ini. Lihat saja bagaimana berbagai tragedi kemanusiaan dan perang-perang besar yang terjadi didunia ini hampir selalu bermula dari sensitifitas kaum beragama yang ingin memperebutkan legitimasi kebenaran Tuhannya masing-masing dan perebutan geopolitik dengan berbagai penghalalan cara untuk menyebarluaskan pengaruh ajarannya.

Ketika para non believer berbicara soal keyakinan dan kritikannya terhadap praktik keagamaan dalam ruang sosial seperti facebook atau twitter, sekonyong-konyong mereka akan mendapat tuduhan bahwa non believer ingin menyebarkan ajaran anti Tuhan kepada masyarakat. Bagi saya ini adalah pandangan apriori yang penuh dengan kesalahan paradigma berpikir. Munculnya media sosial merupakan hasil dari penghargaan yang besar terhadap kebebasan manusia, tidak ada satupun manusia ataupun sosok di angkasa yang mampu melarang berkembangnya ide dan kebebasan berpikir. Banyak orang-orang khususnya yang beragama mengamuk dan marah hanya karena keyakinannya dikritik di media sosial. Bagi saya orang-orang seperti ini hanyalah orang yang belum memiliki keyakinan beragama dalam artian yang riil. Mereka hanya memiliki keyakinan dalam bentuk arogansi semata, hanya sebatas euforia utopis. Mereka beragama hanya sebatas antara pertalian emosional dan psikologis. Belum sampai pada bentuk kesadaran beragama yang riil. Dalam pandangan saya, kaum seperti ini BARU menginjak masa PUBERTAS dalam beragama. Pada fase-fase demikian adalah fase beragama yang sangat rentan dengan sikap menelan mentah-mentah sebuah keyakinan agama secara membuta (dogmatisme). Secara nyata, fase seperti ini pula yang sangat rentan untuk dihasut dan mudah sekali terprovokasi.

Sikap non believer di mata para agamawan dan orang beragama adalah momok yang sangat menakutkan. Itulah salah satu alasan utama orang bertuhan dan beragama sangat sensitif sekali terhadap statement yang atheistik. Mereka berlaku demikian karena mereka takut dengan KOMPETITOR. Non believer di mata kaum beragama begitu menakutkan, begitu kuat, begitu beralasan logis, begitu mengancam eksistensi kaum beragama. Oleh karenanya, pikir mereka, kompetitor harus dibungkam. Hal ini dilakukan karena ketidakpercayaan diri kaum beragama terhadap apa yang mereka klaim sebagai kebenaran (theisme). Ada semacam KECEMBURUAN IDEOLOGIS, juga sikap minder dalam menghadapi ide-ide bebas. Takut jika kompetitornya lebih bagus, jadi konsep ketuhanan yang dibawa ajaran agamanya tidak laku lagi, dan lambat laun ditinggalkan oleh rasionalitas mereka sendiri. Agama dibangun dari "iman" (kredo), bukan "reason". Di sinilah titik lemahnya. Sangat wajar, dengan bermodal itu, mereka begitu khawatir terhadap para kaum non believer yang berbasis "reason" dan "logic". Itulah alasan utama mengapa kaum bertuhan nampaknya terlalu minder dan takut untuk bersaing dalam konstitusi yang bebas, sederajat dan sehat. Bertrand Russell pernah mengatakan, jika Tuhan itu ada, dia semestinya tidak akan mudah tersinggung hanya karena ada manusia yang meragukan keberadaannya. Ucapan Russell benar adanya, namun sesungguhnya bukan Tuhan yang seharusnya ditakuti, tetapi umatnya lah yang pantas untuk ditakuti, karena mereka lebih suka mengancam dan tidak pernah ragu-ragu untuk menggunakan kekerasan fisik dalam melawan pemikiran bebas ketika para free thinker mengkritik keyakinannya hingga meragukan eksistensi Tuhannya. Bahkan mereka yang beragama tetapi tidak taat pun demikian bisa saja berubah menjadi sosok monster ganas yang mengerikan hingga berlagak paling relijius ketika keyakinannya dikritik. Bisa kita lihat bagaimana dogma agama benar-benar memainkan pengaruh yang kuat pada aspek kognitif psikologis manusia. Hanya kaum beragama dari kalangan liberal, plural dan progresif lah yang masih bisa menerima perbedaan pendapat dan kritikan.

Saya sendiri tidak pernah berusaha mencari pengikut, karena membujuk orang untuk menjadi ateis atau agnostik itu sukar, dan bukan tugas seseorang seperti saya yang tidak seberapa cerdas dan kurang mampu memberi penjelasan yang memuaskan. Saya tidak pernah membujuk orang untuk jadi seorang non believer, karena sikap non believer bukanlah sebuah keyakinan seperti agama yang turun menurun dalam keluarga, non believer bukan merupakan sesuatu yang mudah diajarkan. Non believer adalah sebuah sikap hubungan personal dengan realitas. Non-believer bukanlah seorang pendakwah yang berusaha mencari sebanyak-banyaknya pengikut, tetapi orang-orang yang mendasari moralitasnya pada akal budi manusia serta mengakui segala keterbatasan yang dimilikinya. Non believer adalah sebuah hasil pencarian panjang seseorang yang bersifat personal. Seorang non believer TIDAK BISA YAKIN sebelum meragukan segala sesuatu terlebih dahulu (skeptisisme) dan cukup berani MEMPERTANYAKAN SEGALA SESUATU dan tanpa lelah berusaha untuk terus belajar mencari jawabannya. Seorang non believer tidak boleh mengandalkan jawaban-jawaban yang sudah ada, kemudian malas mencari jawaban, kemudian cukup hanya dengan meyakini bahwa semua jawaban atas kebenaran dan rahasia semesta alam ini terdapat pada sebuah buku yang dinamakan kitab suci. Seorang non believer yang baik tidak boleh ikut-ikutan menjadi non believer hanya karena dipengaruhi oleh orang lain.

Dengan kata lain sikap non believer hanya bisa ditemukan dan dialami sendiri secara personal. Seorang non believer yang baik tidak akan mendorong apalagi membujuk orang lain untuk ikut-ikutan menjadi non believer, tetapi membiarkannya tumbuh dalam pencarian di tengah-tengah pergumulan pencerahan-pencerahan visioner yang mengkritisi berbagai fakta kesalahan-kesalahan agama. Dalam pandangan saya tidak ada gunanya menambah pengikut yang cuma ikut-ikutan atau sekadar mau coba-coba, sekadar mengikuti keyakinan orang tua atau masyarakat adat sekitar, hanya untuk sekadar menyenangkan orang lain, apalagi mereka yang menjadi non believer hanya karena malas beribadah. Tetapi hati saya bertanya-tanya, ketika agama saja merasa berhak untuk menyebarluaskan ajaran agamanya mengapa non believer tidak boleh? mengapa ketika para pemuka agama berdakwah untuk mencari sebanyak banyaknya pengkut, mengapa non believer tidak boleh? 

                                                    *********************************************************

Ada banyak cara menyantuni jiwa, batin, dan pikiran. Dan memelihara kewarasan berpikir, bagi saya pribadi, dan bagi banyak kalangan non believer, tidak harus melarikan diri ke agama. Agama membutuhkan ketulusan untuk percaya begitu saja tanpa banyak tanya. Mengapa saya menjadi non believer, karena saya terlalu kritis dan skeptis untuk percaya begitu saja tentang suatu hal tanpa mempertanyakan segalanya terlebih dahulu. Dan ketika saya tidak menemukan jawaban serta bukti yang memuaskan dahaga keingintahuan saya, maka sudah sepatutnya saya meninggalkannya. Buat saya, dengan jiwa pikiran yang kritis dan skeptis, tetapi harus hidup dalam dualisme pikiran bertanya tapi hati harus menerima tanpa tanya, saya akan mengalami kegilaan. Maka demi kesehatan jiwa dan pikir saya, saya memilih menjadi seorang agnostik dan rasionalis (free thinker-pemikir bebas). Saya memilih jiwa dan pikiran yang skeptis dan kritis, karena itu lebih cocok untuk ketenangan jiwa dan batin saya. Saya menunda untuk sementara waktu percaya pada keyakinan mitologi agama-agama sepanjang tidak ada bukti yang mampu menunjang pikiran dan keyakinan saya untuk mempercayai kebenarannya. Sebagai seorang agnostik, saya tidak pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, saya juga tidak bisa mengatakan bahwa Tuhan itu ada, karena saya tidak bisa membuktikan keduanya.

Saya percaya pada Tuhan metafora, Tuhan sebagai simbol atas berbagai anomali yang belum bisa terjelaskan oleh sains dan ilmu pengetahuan. Bukan Tuhan paradoks yang menciptakan surga buat umat agamanya saja, menciptakan neraka untuk memanggang mereka yang menolak ikut percaya agamanya, kemudian memaksa umatnya untuk pakai baju ini dan itu, hingga melarang umatnya tidak boleh memakan makanan ini dan itu. Karena saya yakin seandainya Tuhan itu ada, ia telah menciptakan manusia sedemikian rupa agar bisa dilihat dan dipandang, agar kita semua bisa mencicipi segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam dengan sendirinya. Saya meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan akal budi manusia yang nantinya akan menjawab semua misteri yang tersembunyi dibalik semesta alam ini. Ketika masih banyak misteri yang belum terpecahkan, biarlah ia menjadi sebuah anomali. Bukan dengan sekonyong-konyong kita mengklaim bahwa segala bentuk misteri itu sudah ada jawabannya dalam sebuah kitab suci berumur ribuan tahun.

Saya sendiri terkadang marah pada tekanan sosial. Tetapi bukan berarti saya tidak bahagia. Bagi saya sendiri marah adalah satu emosi yang sehat. Saya marah pada penindasan. Saya marah pada ketidakadilan. Tetapi saya cukup melampiaskannya dengan menulis, berbicara, dan merenung. Saya tidak akan sekonyong-konyong mengambil pedang kemudian menghunus dan meneriakkan nama Tuhan sambil berusaha menghirup darah segar musuh-musuh saya. Saya tidak akan mengintimidasi lawan berpikir saya dengan ancaman penjara karena berbeda pikiran. Saya sendiri tidak pernah memusuhi agama dan orang-orang beragama atau mereka yang bertuhan, karena saya sendiri berasal keluarga yang cukup konservatif dalam beragama. Tapi satu hal yang pasti saya tidaklah seperti orang-orang beragama terutama kaum radikal dan fundamentalis yang jelas memusuhi orang-orang tak bertuhan. Seperti bagaimana propaganda kebencian para pemuka agama dalam tiap agitasi dakwah kepada umatnya. Mereka para pemuka bisa berdakwah demikian karena terprovokasi oleh penafsiran ayat-ayat kitab suci yang dengan eksplisit mengumandangkan kebencian sebesar-besarnya terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Saya sendiri sebagai seorang non believer tidak ingin menyadarkan orang-orang beragama untuk meninggalkan Tuhannya. Saya hanya ingin orang-orang non believer, khususnya non believer yang hidup di Indonesia yang masih berada dalam ketakutan atau tekanan sosial yang berat agar dapat mampu bebas dari segala macam persekusi dalam bentuk kekerasan maupun intimidasi yang dilancarkan oleh kaum agama.


Rio Maesa 23-04-12

DEMONSTRASI ANTI-KENAIKAN BBM ADALAH BENTUK PERJUANGAN SUCI BUKAN ANARKISME TANPA TUJUAN!

Oleh: Rio Maesa (30-03-2012)


Dilihat dari kacamata paham ekonomi neoliberal, penghapusan subsidi terhadap minyak memang suatu dinamika yang tidak terhindarkan. Subsidi dimata kaum neoliberal merupakan bentuk proteksionisme negara yang menghalangi kultur perdagangan bebas, dimata kaum neolib subsidi jelas menggangu kompetisi pasar dan dianggap memakan biaya ekonomi yang besar. Mengingat sejak hukum penanaman modal berlaku pada era Soeharto kemudian dilanjutkan dengan liberalisasi sektor migas nasional dengan munculnya UU no. 22 tahun 2001 pada era Megawati, secara faktual posisi negara kita saat ini adalah sebagai importir minyak. Padahal sebelumnya pada medio 80-an Indonesia masih berkedudukan sebagai produsen minyak dunia hingga tahun 2008 dimana indonesia menyatakan keluar dari OPEC dan memposisikan diri sebagai importir. Intinya Sumber Daya Alam Migas negeri ini sudah tergadaikan dan dikontrol oleh pihak asing. Pakar intelijen ekonomi Wawan Purwanto pernah berkata Sumber Daya Alam minyak mentah nasional 20 tahun lagi habis, sedangkan gas nasional 61 tahun lagi habis. Kemudian disisi lain kita harus berpikir ulang untuk mencari bahan bakar terbarukan, atau modifikasi bahan bakar industri.


Ada pertanyaan, mengapa kenaikan BBM saat ini harus ditolak, alasan utamanya adalah karena keadaan faktual Indonesia yang saat ini sangat belum memungkinkan untuk menghapuskan subsidi. Ada dua kondisi faktual yang dapat menandai kesiapan rakyat untuk menerima penghapusan subsidi BBM, pertama terlebih dahulu harus adanya jejaring pengaman sosial dan energi alternatif untuk mensubtitusi penggunaan BBM. Fakta dilapangan, dua prasyarat untuk kondisi demikian masih sangat jauh dari kondisi dimana penghapusan subsidi BBM itu terpaksa dilakukan.


Alasan kedua harga BBM itu merupakan 'anchor price' atau dengan kata lain harga yang menimbulkan efek pengganda terhadap nilai perekonomian makro. Jadi dari kenaikan BBM ini yang paling kena imbasnya secara nyata adalah masyarakat pada kelas sosial-ekonomi menengah kebawah (Buruh dan Tani). Mungkin hal-hal seperti ini tidak tidak terlalu dipikirkan oleh para pendukung ekonomi neoliberal, mungkin bagi para elit politik dan sebagian orang menengah keatas yang mendukung kenaikan BBM berasumsi bahwa rakyat dapat beradaptasi dengan harga-harga baru karena ini adalah realitas ekonomi yang tidak bisa dielakkan.
Namun hal paling mendasar sesungguhnya yang harus dipikirkan matang-matang adalah bagaimana dampak dari berjalannya proses tersebut. Selama berjalannya proses yang dipaksakan seperti ini, akan ada jutaan rakyat Indonesia yang putus sekolah, gizi buruk, biaya kesehatan yang tidak terjangkau, pengangguran, dan akan terjadi banyak sekali berbagai disfungsi sosial lainnya, semua disebabkan karena daya beli masyarakat pada posisi yang sangat lemah. Tidak ada yang bisa bisa bertanggung jawab terhadap disfungsi sosial akibat efek domino kenaikan BBM yang diderita oleh masyarakat ekonomi sosial menengah kebawah yang hingga kini masih menjadi mayoritas rakyat indonesia.


Solusi BLSM (Sebelumnya BLT) tidak akan pernah menyelesaikan masalah, ia hanya akan menjadi peredam shock therapy bagi rakyat kecil saat kenaikan harga BBM diumumkan. Metode BLSM terlalu sederhana dalam menerapkan pola perhitungan ekonomi konvensional dalam menentukan besaran dana. BLSM juga sangat rawan 'politisasi' dan korupsi dalam hal pendistribusiannya. Sejarah sudah mencatat bahwa BLT (BLSM) telah gagal dalam berbagai tataran mulai dari teknis distribusi hingga pemanfaatannya oleh masyarakat yang menerima.


Beberapa hari terakhir ini seringkali muncul pemberitaan di media massa bahwa demo menolak kenaikan harga BBM yang setiap hari berlangsung selalu berakhir dengan kericuhan. Opini yang dibangun media mainstream televisi adalah melahirkan anggapan kepada publik bahwa massa pendemo adalah orang-orang bayaran yang justru ingin mengacaukan negeri ini dan melakukan tindakan barbar. Tidak lupa dalam pemberitaannya para elit politik penguasa dan aparatusnya sering sekali berbicara mengutuk kekerasan itu, menasehati agar tidak melawan, merasa menjadi bijaksana dengan melarang-larang aksi perlawanan rakyat, seolah-olah merekalah yang paling baik, merasa merekalah yang paling benar.


Media massa visual (televisi) dalam pemberitaan sehari-harinya seolah-olah memisahkan istilah demonstran dari rakyat. Seringkali yang menjadi headline untuk konsumsi publik adalah bentrokan antara aparat dengan mahasiswa dan buruh, sedikit sekali yang membahas suatu isu secara komprehensif dan substansial seperti mengapa BBM harus naik, apakah harus naik, dampak sosialnya seperti apa, dan yang paling utama adalah apa penyebab awal mahasiswa bisa dianggap bertindak anarkistis. Hampir selalu setiap aksi massa dimanifestasikan media mainstream dengan tajuk demo yang anarkis atau merusak. Mereka tanpa lelah selalu mengopinikan kepada publik bahwa anarkisme selalu dipicu oleh aksi massa dan demonstrasi mahasiswa-buruh adalah kelompok yang terpisah dari masyarakat. Hingga muncul kesan bahwa mahasiswa dan buruh adalah biang segala keonaran dijalanan. Semua ini tidak lain adalah upaya dalam membangun stigmatisasi negatif yang sistematik terhadap gerakan massa rakyat, media telah menciptakan isu sepotong-sepotong.


Sebagai seorang manusia yang berakal sehat dan memiliki nurani kemanusiaan, kita wajib mensikapi hal tersebut dengan menyeluruh, kritis dan skeptis atas dasar hukum sebab-akibat. Sikap-sikap anarkistis itu semua muncul karena akumulasi dari sebab-akibat. Bukan terjadi begitu saja. Isu BBM sangat pelik, sebuah fundamen yang berhubungan erat dengan ekonomi makro. Bagi kelas menengah keatas isu kenaikan BBM tidak terlalu memusingkan, tetapi berbeda dengan kelas sosial-ekonomi menengah kebawah, kenaikan harga BBM berarti perjuangan antara hidup dan mati. Entah telah berapa banyak diskusi ilmiah dan usaha berbagai dialog konstruktif yang melibatkan berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, aktivis, pengamat dan pakar ekonomi dengan pemerintah. Tetapi, hasilnya sama sekali tidak memberikan kesimpulan yang berpihak pada rakyat kecil. Pemerintah tetap berjalan dengan garis haluan kebijakannya sendiri, tidak pernah memperdulikan tuntutan masyarakat banyak. Jadi apa gunanya mengajak pemerintah untuk berdialog secara konstruktif, ketika telinga pemerintah itu sudah TULI dan matanya BUTA melihat realitas sosial?. Ada pepatah dalam bahasa latin yang berucap "Vox Populi Vox Dei" , yang merupakan suatu pesan bahwa penguasa seharusnya lebih banyak mendengarkan aspirasi dan suara rakyatnya.


Mengenai pendapat sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa demonstrasi bikin susah banyak orang dan jalanan macet adalah bagian dari masyarakat yang bermental picik. Karena jika BBM tidak jadi naik, merekalah yang akan menikmati hasilnya, dan mereka itu sudah sepatutnya harus berterima kasih kepada para mahasiswa revolusioner yang memperjuangkan hak-hak kaum kecil yang telah diabaikan dan ditindas oleh oligarki kekuasaan yang melakukan perkawinan haram dengan kaum neoliberal dan kapitalisme internasional. Mereka tidak lagi punya hati nurani ketika melihat kemiskinan negeri ini yang mengenaskan, kehidupan yang tidak adil, sudah terlalu banyak korban dari rakyat yang mati sia-sia karena tak mampu bayar rumah sakit, sakit jiwa karena tuntutan ekonomi yang semakin menyiksa, kemudian menjadi kanibal bagi sesamanya. Bagi saya tidak masalah bagi sebagian masyarakat yang tidak mau demo, tapi tolong janganlah kalian mencemooh dan mencibir mereka yang berjuang untuk rakyat, cukuplah kalian tunjukkan empati dan sisi kemanusiaanmu. Kelas menengah keatas Indonesia yang antipati dan apatis terhadap politik dan rendahnya kesadaran serta minusnya kepekaan sosial adalah salah satu akar utama kehancuran negeri ini yang sudah terlanjur berbudaya korup dalam sistem dan birokrasi.


Jika para mahasiswa yang tergabung dalam massa aksi sedang berdemo kemudian meruntuhkan pagar tembok gedung DPR, membakar ban bekas, memblokir jalan, merusak mobil plat merah, merusak pos polisi, dan melempari hingga bentrok dengan polisi serta merta mendapat cap anarkis dan kriminal, bagi saya ini adalah ungkapan-ungkapan dari sebuah sikap apatis yang fatalistis. Karena sesungguhnya mereka (mahasiswa) merasa prihatin terhadap penderitaan yang diderita rakyatnya. Sementara disisi yang lainnya, penguasa dari negeri kaya raya ini berusaha untuk terus menipu, membodoh-bodohi, memaksa, memeras, menindas, memiskinkan dan membunuh rakyatnya secara perlahan dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Ngotot berusaha menaikkan harga BBM pada saat kondisi ekonomi rakyat yang tidak memungkinkan, apakah tindakan tersebut tidak lebih anarkis dan kriminal dari aksi mahasiswa?. Sesungguhnya amarah publik bukan hanya pada persoalan kenaikan BBM semata, tetapi hilangnya kepercayaan publik terhadap rezim berkuasa hari ini yang sudah terlampau korup, kita semua tidak akan pernah lupa bagaimana kasus Century, BLBI, Wisma Atlit dan lain sebagainya tidak pernah jelas penyelesaian akhirnya seperti apa. Belum lagi soal pelanggaran berat HAM di Papua, kekerasan terhadap minoritas beragama, dan lumpur Lapindo sebagai bentuk kejahatan lingkungan.


Kita harus objektif dan kritis dalam melihat setiap konteks permasalahan, jangan pernah mau opini kita digiring oleh permainan penguasa melalui media massa mainstream. Mereka, khususnya media massa televisi sesungguhnya adalah milik kaum modal dan elit partai dimana mereka-mereka ini tidak ingin kepentingan-kepentingan yang menghisap rakyat terganggu oleh gerakan sosial massa aksi. Media massa mainstream memang tidak berpihak pada perjuangan rakyat karena media-media televisi sudah terkooptasi oleh kekuasaan. Mereka adalah bagian dari struktur pola masyarakat kapitalis yang tunduk dibawah kekuasaan oligarki politik. Sebuah kekuasaan penuh kemunafikan yang tanpa malu bersembunyi dibalik ketiak demokrasi. Demokrasi itu sesungguhnya bukan hanya persoalan untuk membebaskan diri kita mengeluarkan pendapat dan pikiran, tetapi demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang membebaskan kita dari segala keterkungkungan dan jeratan-jeratan yang diciptakan oleh para pemilik kuasa dan modal. Sedangkan publik sebagai struktur sosial yang mengkonsumsi media mainstream dan rakyat miskin sebagai korbannya adalah ternak yang tak menyadari ladangnya. Merumput di bawah terik sinar matahari, menunggu untuk disembelih, atau diperas. Sebuah ladang yang dijanjikan seolah-olah merupakan tempat hidup yang nyaman penuh wewangian keindahan surga, padahal sesungguhnya ladang tersebut adalah lapangan yang disediakan dan direkayasa agar para ternak tak pergi kemana-mana, digembala layaknya domba agar tidak keluar dari pagar, dan tetap merumput dalam kegembiraan dan kesenangan yang penuh ilusi.


Dengan teori sebab akibat kita akan dapat melihat permasalahan tidak hanya sepotong-sepotong. Apa yang dilakukan mahasiswa dalam gerakan sosial massa aksi itu adalah bagian dari strategi PERJUANGAN SUCI melawan penindasan dan kebohongan para penguasa. Bukan seperti ormas radikal yang suka bertindak anarkis, menindas kaum minoritas beragama, merusak pluralitas kebhinekaan dan tanpa malu-malu berselingkuh dengan aparat. Mahasiswa bergerak hanya ingin menyatakan pendapat karena kepekaan sosial atas dasar rasionalitas yang bergemuruh dalam pemikiran-pemikiran yang kritis. Argumentasi yang mereka tuangkan dalam bentuk tuntutan-tuntutan lebih banyak yang tertahan di tembok-tembok besar birokrasi, di mulut dan lidah penjilat para elit-elit politik oportunis, tersendat di kaki-kaki para penguasa negeri.Hingga akhirnya mereka memutuskan melakukan perjuangan secara nyata dalam bentuk perang terhadap aparatus negara yang membela mati-matian kekuasaan tuannya. Hanya dengan agitasi dalam bentuk orasi dan selebaran, bermodalkan toa, spanduk, panji-panji bendera, tanpa perlu senjata berat dan lengkap seperti yang dimiliki Polri dan TNI. Dalam perang kita akan sulit menemukan moralitas dan bahasa cinta, kita tidak akan pernah menemukan perihal toleransi dalam situasi seperti ini.


Sejarah perjuangan pergerakan bangsa ini memang berdarah-darah, mulai dari tahun 45, 65, 73, 98 dan segala kejadian dimana mahasiswa ditembaki oleh aparat di Salemba terakhir adalah bagian dari sejarah dialektika politik perjalanan hidup bangsa ini. Sebuah realitas sosial yang tidak bisa kita hindari. Selama ada kondisi yang kontradiktif dimana penindasan terhadap manusia atas manusia oleh sistem kekuasaan terus berlangsung, maka disana akan terus lahir perlawanan dari kelas yang tertindas, ini adalah siklus infinitif dari hukum alam dimana sejarah peradaban manusia telah membuktikannya.
Mahasiswa yang menyuarakan dengan lantang suara rakyat adalah bagian dari jati diri bangsa kita yang sadar secara intelektual. Sadar bahwa kebohongan rezim penguasa saat ini terus menerus diumbar oleh pemerintahan sebuah negeri kaya raya yang tidak berdaulat atas Sumber Daya Alamnya. Pada kondisi realitas seperti ini, mahasiswa berdiri di front terdepan bersama himpunan massa rakyat, dibarisan yang sejajar dengan mereka-mereka yang sedang kelaparan dan haus akan dahaga perubahan atas nilai makna yang lahir dari sebuah dentuman harapan. Sebuah harapan indah tentang kesejahteraan atas kehidupan yang lebih baik. Benturan dan Kekerasan fisik memang sudah seharusnya dihindari, jalan damai dan dialogis adalah solusi yang terbaik, tetapi apabila penguasa selalu meremehkan tuntutan aspirasi dengan tidak menghiraukan keinginan rakyatnya yang tertindas dan teraniaya, berarti PENGUASA TELAH MENABUH KERAS-KERAS GENDERANG PERANG!. Tidak ada satu kata lain yang mampu mendeskripsikan semua ini selain BANGKIT MELAWAN ATAU DIAM TERTINDAS!!!!

Kamis, 19 April 2012

AGNOTISME RUSSELL: BERTUHAN TANPA AGAMA

Secara umum, seseorang yang berkeyakinan agama tertentu (atau setidaknya menganut paham mistisisme) mempercayai tiga hal. Yakni percaya pada Tuhan (atau sejenis kekuatan ‘supra’ lainnya), percaya pada utusan Tuhan bagi manusia di bumi, dan percaya pada kehidupan keabadian setelah kematian (immortality after death). Percaya pada hari pembalasan menjadi modus bagi kaum beragama untuk mengabarkan tentang kebaikan. Karena perbuatan jahat di muka bumi akan membuahkan hukuman dan siksa di ‘hari kemudian’ demikian pula sebaliknya. Perbuatan baik yang dilakukan di bumi semata-mata untuk tabungan kebaikan di kehidupan berikutnya. Maka, pertanyaan seorang murid yang tangah dan tak henti-hentinya berkontemplasi dengan kehidupan, tentang siksa neraka menjadi menarik untuk dielaborasi.

Iman dan Kepercayaan

Seseorang yang membutuhkan agama untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri adalah orang yang takut. Kepercayaan adalah kejahatan karena ia berarti menambahkan lebih banyak arti pada bukti melebihi yang diperlukan. Kita seringkali menggunakan kepercayaan pada hal-hal yang meragukan, belum pasti kebenarannya, atau paling tidak masih debatable statusnya. Kita tidak pernah membicarakan kepercayaan pada tabel perkalian, misalnya. Maka, Iman adalah kejahatan, karena ia berarti memercayai dalil ketika tidak ada alasan yang sahih untuk mempercayainya (Bertrand Russel, dalam : “Bertuhan tanpa Agama”).

Russel adalah seorang agnostik. Dia menunda untuk percaya pada Tuhan, Nabi dan hari Akhir sampai ada hal-hal yang secara sahih dan memadai dapat dibuktikan kebenarannya. Konsep kebaikan dan kejahatan tidak didasarkan pada perintah Tuhan, Nabi, atau motivasi hari akhir. Tidak juga pada hati nurani. Melainkan pada empati. Konsep empati ia terapkan untuk mendorong orang-orang putus asa tidak dengan dalil-dalil melainkan dengan sebuah logika sederhana: "Saya akan mendorong orang yang putus asa dengan menunjukkan sesuatu yang bias ia capai. Pada diri kita terdapat sesuatu yang bias kita lakukan, dan kita akan menjadi lebih baik dengan melakukannya. Tidak perlu melibatkan agama. Selalu ada banyak hal yang perlu Anda kerjakan. Misalkan ia berupa kebaikan Anda sendiri. Anda makan pagi tetapi Anda tidak peduli pada agama. Jika Anda peduli pada orang lain Anda akan membutuhkan sangat sedikit agama untuk menyediakan mereka makan pagi. Selalu ada sesuatu yang bisa Anda lakukan untuk orang lain, dan saya memasukkan Anda di dalamnya. Anda tidak memerlukan agama untuk mengetahui hal ini, Anda hanya membutuhkan tindakan rasional atas apa yang mungkin (dilakukan)” (p. 120)

Tentang Dosa dan Neraka.

Mengenai konsep ‘dosa’, ia menganggapnya bukan konsep yang berguna. Tentu saja, ia mengakui bahwa sebagian jenis tingkah laku diinginkan dan sebagian tidak diinginkan, tetapi ia berpendapat hukuman atas jenis tindakan yang tidak diinginkan hanya dijatuhkan untuk pencegahan atau perbaikan, bukan dijatuhkan karena hukuman tersebut dianggap hal yang baik dalam dirinya sehingga orang yang bersalah harus menanggungnya. Kepercayaan pada hukuman pembalasan inilah yang menjadikan orang menerima neraka. Inilah sebagian bahaya dari gagasan ‘dosa’. Setiap orang melakukan apa saja yang ia sukai. Misalnya, Anda sangat membenci seseorang sehingga Anda ingin membunuhnya. Mengapa Anda tidak melakukannya? mungkin Anda menjawab : ‘Karena agama mengajarkan pada saya bahwa membunuh itu dosa’. Tetapi sebagai data statistik, penganut agnostik tidak lebih cenderung membunuh dibanding yang lain, pada kenyataannya lebih kecil kecenderungannya. Saya kira setiap orang yang mengkaji sejarah masa lampau dengan cara yang adil akan sampai pada kesimpulan bahwa agama telah menyebabkan lebih banyak penderitaan daripada mencegahnya (p.40).

Russel, bukanlah seorang komunis. Komunisme, menurut Russel tidak menentang agama, ia hanya menentang agama Kristen demikian juga Islam. Russel adalah sebagian kecil dari orang-orang yang gelisah dengan perkembangan peradaban kemanusiaan saat ini. Kita tengah berada di jaman kemerosotan moral, katanya. Dan indikasi kemajuan moral adalah adanya simpati yang meluas. Sayangnya sejauh ini agama belum memiliki fungsi yang siginifikan dalam hal meluasnya rasa simpati kemanusiaan (kalau tidak ingin dikatakan sebalik, seperti pertikaian antar dan interagama, misalnya).

“Rasa takut adalah induk dari kekejaman, karenanya tidak mengherankan jika kekejaman dan agama berjalan beriringan. Ini karena rasa takut menjadi dasar bagi keduanya. Di dunia ini kita sekarang bisa mulai sedikit memahami sesuatu, dan sedikit demi sedikit menguasainya dengan bantuan sains, yang secara bertahap bergerak maju melawan agama dan melawan semua ajaran-ajaran lama. Sains bisa membantu kita menghilangkan penjara ketakutan. Hati kita sendiri pun bisa mengajari kita, untuk tidak lagi mencari dukungan semu, tidak lagi mencari sekutu di langit, tetapi melihat pada upaya kita sendiri di bawah langit untuk menjadikan dunia ini sebagai tempat yang cocok ditempati, bukannya semacam tempat yang dibangun oleh agama-agama dogma selama berabad-abad (p.99).”

Russel, menurut para koleganya, lebih saleh dari orang-orang beragama yang mereka kenal. Maka, meski kurang tepat, buku kumpulan esainya yang berjudul "Russel on Religion" diterjemahkan menjadi “Bertuhan Tanpa Agama”.