"Ribuan jalan telah kita lewati, berbagai rintangan telah kita lalui. Penuh wewangian bunga maupun bertabur penuh duri. Penuh suka maupun duka di hati. Semua bukanlah sekedar kenangan. Semua bukanlah sekedar renungan. Saat kita saling mencinta dalam kebersamaan, dalam suka maupun pengorbanan. Jiwa ini terbang tinggi kelangit biru, angan-angan ini bersemi bersama dengan tumbangnya cinta dipelataran hati. Hingga akhirnya desahan nafas senyum dan keceriaan hilang seketika, hilang tenggelam bersama memori romansa masa silam.
Namun kita telah tahu, kita tak akan selamanya bisa bersatu. Menempuh jalan hidup yang bertabur debu, bertabur dedaunan yang tak pernah tersapu. Mungkin perpisahan ini adalah pintu gerbang menuju satu titik kehidupan baru. Kehidupan yang akan memberikan kita warna-warni baru. Warna yang dapat terus bersinar terang seperti manisnya senyum indah cahaya mentari pagi yang menyirami bumi.
Saat berpisah harus menyapa. Ku tak ingin kau teteskan air mata. Ku tak ingin kau berduka, karena hati kita kan tetap bersama. Sayangku, inilah hidup! kadang kita membuka, suatu saat kita pasti kan menutup. Kelemahan terbesarku adalah terlalu sangat mencintaimu, dan jika memang mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka salahkanlah waktu yang telah mempertemukan kita."
(Rio Maesa, 2010)
*********************************************************************************
“Iya, silakan saja sebut aku Atheist, Agnostik, Sesat! Sebut saja aku orang gila, kafir atau apapun semaumu! Cacimaki saja diriku semaumu! Tapi setidaknya aku jujur pada diriku sendiri, bahwa aku skeptis pada eksistensi Tuhan personal, dan sekarang aku memastikan diri untuk tidak beragama.”
“Lalu selama ini untuk apa kamu beribadah? Kamu sudah menipuku selama bertahun-tahun, aku kira kamu religius tapi ternyata aku salah. Aku benci kamu. Kamu munafik! Kita putus!”. Coba pikirkan berapa banyak dari kita yang pernah mengalami putus cinta karena perbedaan keyakinan? Berapa banyak dari kita yang dicap munafik karena tidak mengakui eksistensi Tuhan? ketidakberuntungan saya pada seleksi alam yang membuat saya dilahirkan di Indonesia (sebuah negara yang mendasari kehidupan sosial berdasarkan moralitas agama) adalah fakta bahwa saya sendiri pun mengalami kejadian seperti ini.
Aku rasa mereka gila. Mereka merasa paling suci lalu berhak melabeliku sebagai kafir, sesat dan halal dibunuh. Apalagi setelah dikhianati kekasih yang selama ini kukira mampu mengerti seluk-beluk diriku dan mau menerima diriku apa adanya. Namun karena kemunafikan dan sikap oportunis ingin cari selamat sendiri, ia merasa menjadi orang paling bermoral untuk menutupi kebobrokan moralnya, lalu pergi meninggalkanku dalam waktu yang singkat untuk mencari pendamping baru tanpa sedikitpun melihat pahit manisnya sejarah yang pernah bersama dilalui.
Mereka kira mereka suci, tetapi sebenarnya mereka gila, ya gila, apalah sebutannya jika bukan gila. Aku memahami bahwa percintaan memang cenderung posesif, cenderung mendikte manusia untuk mengikuti kemauan kekasihnya, bahkan memaksa manusia menanggalkan otaknya. Seperti khotbah sang pendeta di gereja pada suatu minggu, “Percaya saja pada Yesus! Dia telah bangkit dari kubur demi menebus dosa kita semua! Akal kita terbatas dan tak akan mampu memahami jalan pikiran Tuhan! Rasio harus tunduk dibawah iman, iman adalah segala-galanya! Bahkan iman sebesar biji sawi saja mampu memindahkan gunung! Percayalah saudara-saudaraku, percayalah!” atau khotbah sang ustadz, "Bagiku agamaku, bagimu agamamu, namun tiada agama lain yang sempurna selain Islam, karena Islam adalah agama terakhir yang sempurna". Yap inilah yang namanya subjektifitas atas persepsi keimanan, wujud diskriminasi dari pemisahan ras antar manusia berlandaskan fasisme teologi.
Dan herannya, kita patuh dan menurut begitu saja. Selalu begitu tanpa mau memakai otak kita untuk menganalisa tahayul-tahayul masa lalu seperti halnya kenaikan Muhammad ke langit ke-7, kebangkitan Yesus yang jelas-jelas mengangkangi rasionalitas akal sehat sebagai manusia berpikir. Aku juga merasakan hal yang sama ketika menjalin asmara. Nurut saja persis seperti kerbau bodoh yang dicucuk hidungnya. Pakai kopiah okay, berikan perpuluhan ke gereja okay saja, shalat lima waktu lancar, bersedekah ke tempat-tempat ibadah juga jalan terus. Apapun rela kita lakukan agar sang kekasih mengira kita orang yang religius. Guru agamaku saat SMP pernah berkata, “Carilah pacar yang kaya harta, dan yang paling penting kaya iman. Harus seiman.”
Jadi sedari kecil kita didoktrin untuk menjalin asmara hanya dengan mereka yang seiman. Alasannya sepele: agar suatu hari kelak kita tidak murtad. Agar kita tidak beralih keyakinan mengikuti kekasih kita. Alasan spesifiknya adalah bahwa institusi agama takut jika agama sebagai ladang pencaharian sumber-sumber kapital lambat laun ditinggalkan oleh pengikutnya. Kita senantiasa didoktrin bahwa cinta adalah benang yang mengikat, bahwa pernikahan adalah lembaga suci yang diridhoi Tuhan, bahwa segala sesuatunya harus berdasarkan doktrin agama. Ini sungguh-sungguh memuakkan! Apakah seorang Kristen tidak boleh mencintai seorang Muslim? Apakah seorang Atheist tidak boleh menjalin asmara dengan seorang Theist? Mengapa semua harus dikotak-kotakkan menurut moralitas agama?
"Aku bukanlah orang nasrani, aku bukanlah orang yahudi, aku bukanlah orang majusi, dan aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar atau salah. Sehingga kita dapat bertemu pada "satu ruang murni" tanpa dibatasi prasangka atau pikiran yang gelisah" (Jalaludin Rumi)
Bisakah kita berpikir diluar kotak? Bahwa sebenarnya selalu ada kotak lain diluar kotak-kotak itu. Bahwa kotak-kotak itu hanyalah penjara yang mengekang rasa kemanusiaan kita. Kita manusia bukanlah budak agama. Kita bukan budak -isme. Kita hanya sekumpulan manusia. Menurutku segala tetek-bengek prasyarat pernikahan di institusi agama bernama KUA harus ditiadakan. Itu hanyalah seonggok formalitas. Budaya basa-basi pembodohan. Kalau cinta, ya cinta saja, titik. Tidak perlu pakai embel-embel apapun. Formalitas pernikahan cukup berada pada institusi bernama catatan sipil. Semua berhak menikah tanpa pertentangan yang menindas, termasuk diberikannya hak menikah bagi kaum minoritas homoseksual dan lesbian untuk meneruskan hidup tanpa persekusi dan diskriminasi dari institusi manapun. Struktur sosial budaya yang menindas dan masih terjadi di Indonesia adalah suatu cerminan bahwa pola pikir bangsa ini masih berada di level inferior. Level dimana manusia masih meraba-raba pada absurditas kebenaran, bahwa tanpa manusia, agama tidak lebih dari sekumpulan dongeng-dongeng masa lampau.
Lembaga formal pernikahan adalah simbol arogansi keyakinan mayoritas. Ambilah contoh ketika selebritis semacam Bella Saphira seorang minoritas kristen yang menjadi muallaf dipuja puji karena dianggap pada jalan kebenaran yang di ridhoi Tuhan, namun sebaliknya hal apes justru menimpa Asmirandah yang memutuskan untuk meninggalkan Islam dan memeluk Kristen untuk menikahi kekasih yang dicintainya. Ia dimaki, dihinakan, dianggap sesat, murtad bahkan diperkarakan secara pidana karena dianggap menistakan agama mayoritas di negeri ini. Logika absurd yang dipertontonkan kaum beragama, dan masih lebih banyak orang yang tidak berani berpikir melawan arus.
Aku menyadari bahwa masih banyak manusia yang terperangkap di dalam kotak-kotak itu. Kotak itu semakin bertambah besar dari hari ke hari. Dan jika kita mencintai seseorang, sesungguhnya kotak-kotak itu haruslah kita tanggalkan. Jika anda mencintai seseorang yang berada didalam kotak kemudian kemilau kotak itu perlahan memudar, percayalah, cinta kalian juga kelak akan memudar. Yesus pernah berkata “Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. Yesus tidak bilang “Kasihilah orang Kristen seperti engkau mengasihi dirimu sendiri”. Bagi yang mempelajari sejarah penulisan Injil, bisa dibilang ucapan ini adalah hukum tertinggi setelah hukum taurat.
Dua ribu tahun yang lalu seorang mistikus Yahudi telah mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan saling mencintai sesama manusia tanpa tedeng aling-aling, tanpa embel-embel apapun, tanpa perlu memandang apa kepercayaan orang tersebut. Inilah cinta sejati, cinta yang tulus tanpa prasyarat apapun. Amo ergo sum. I love, therefore I am. Aku mencintai, maka aku ada. Untuk kalian diluar sana apapun kepercayaanmu, Atheist-Theist-Agnostik atau apapun sebutannya, marilah kita saling mencintai, saling mengasihi tanpa perlu terperangkap dalam label apapun. Karena kita semua manusia. Hanya manusia. Berbahagialah manusia yang tak tersandera oleh dogma-dogma agama!
("Cintailah kekasihmu seakan engkau mencintai dirimu sendiri, bangunkan ia seakan engkau membangunkan dirimu sendiri, lepaskan ia seakan engkau melepaskan dirimu sendiri, jangan korbankan ia seperti engkau tak mau menyakiti dirimu sendiri. Bentangkan sayapnya seperti engkau bentangkan sayapmu selebar engkau mampu, dan bersamanya raihlah mentari, gapailah bulan. Biarkan angin membisikan pada diri kalian kemana kalian akan melayang lepas, nikmati hembusannya, meliuklah di balik awan di bawah sinar rembulan. Dan gapailah bintang di tempat yang paling utara. Dan untuk hanya satu kali, tengoklah ke belakang dan ucapkan: 'Selamat tinggal dunia yang kejam, kami telah memulai hidup'.” – Jurnal Odyssey vol. 03)