Oleh: Rio Maesa (30-03-2012)
Dilihat dari kacamata paham ekonomi neoliberal, penghapusan subsidi terhadap minyak memang suatu dinamika yang tidak terhindarkan. Subsidi dimata kaum neoliberal merupakan bentuk proteksionisme negara yang menghalangi kultur perdagangan bebas, dimata kaum neolib subsidi jelas menggangu kompetisi pasar dan dianggap memakan biaya ekonomi yang besar. Mengingat sejak hukum penanaman modal berlaku pada era Soeharto kemudian dilanjutkan dengan liberalisasi sektor migas nasional dengan munculnya UU no. 22 tahun 2001 pada era Megawati, secara faktual posisi negara kita saat ini adalah sebagai importir minyak. Padahal sebelumnya pada medio 80-an Indonesia masih berkedudukan sebagai produsen minyak dunia hingga tahun 2008 dimana indonesia menyatakan keluar dari OPEC dan memposisikan diri sebagai importir. Intinya Sumber Daya Alam Migas negeri ini sudah tergadaikan dan dikontrol oleh pihak asing. Pakar intelijen ekonomi Wawan Purwanto pernah berkata Sumber Daya Alam minyak mentah nasional 20 tahun lagi habis, sedangkan gas nasional 61 tahun lagi habis. Kemudian disisi lain kita harus berpikir ulang untuk mencari bahan bakar terbarukan, atau modifikasi bahan bakar industri.
Ada pertanyaan, mengapa kenaikan BBM saat ini harus ditolak, alasan utamanya adalah karena keadaan faktual Indonesia yang saat ini sangat belum memungkinkan untuk menghapuskan subsidi. Ada dua kondisi faktual yang dapat menandai kesiapan rakyat untuk menerima penghapusan subsidi BBM, pertama terlebih dahulu harus adanya jejaring pengaman sosial dan energi alternatif untuk mensubtitusi penggunaan BBM. Fakta dilapangan, dua prasyarat untuk kondisi demikian masih sangat jauh dari kondisi dimana penghapusan subsidi BBM itu terpaksa dilakukan.
Alasan kedua harga BBM itu merupakan 'anchor price' atau dengan kata lain harga yang menimbulkan efek pengganda terhadap nilai perekonomian makro. Jadi dari kenaikan BBM ini yang paling kena imbasnya secara nyata adalah masyarakat pada kelas sosial-ekonomi menengah kebawah (Buruh dan Tani). Mungkin hal-hal seperti ini tidak tidak terlalu dipikirkan oleh para pendukung ekonomi neoliberal, mungkin bagi para elit politik dan sebagian orang menengah keatas yang mendukung kenaikan BBM berasumsi bahwa rakyat dapat beradaptasi dengan harga-harga baru karena ini adalah realitas ekonomi yang tidak bisa dielakkan.
Namun hal paling mendasar sesungguhnya yang harus dipikirkan matang-matang adalah bagaimana dampak dari berjalannya proses tersebut. Selama berjalannya proses yang dipaksakan seperti ini, akan ada jutaan rakyat Indonesia yang putus sekolah, gizi buruk, biaya kesehatan yang tidak terjangkau, pengangguran, dan akan terjadi banyak sekali berbagai disfungsi sosial lainnya, semua disebabkan karena daya beli masyarakat pada posisi yang sangat lemah. Tidak ada yang bisa bisa bertanggung jawab terhadap disfungsi sosial akibat efek domino kenaikan BBM yang diderita oleh masyarakat ekonomi sosial menengah kebawah yang hingga kini masih menjadi mayoritas rakyat indonesia.
Solusi BLSM (Sebelumnya BLT) tidak akan pernah menyelesaikan masalah, ia hanya akan menjadi peredam shock therapy bagi rakyat kecil saat kenaikan harga BBM diumumkan. Metode BLSM terlalu sederhana dalam menerapkan pola perhitungan ekonomi konvensional dalam menentukan besaran dana. BLSM juga sangat rawan 'politisasi' dan korupsi dalam hal pendistribusiannya. Sejarah sudah mencatat bahwa BLT (BLSM) telah gagal dalam berbagai tataran mulai dari teknis distribusi hingga pemanfaatannya oleh masyarakat yang menerima.
Beberapa hari terakhir ini seringkali muncul pemberitaan di media massa bahwa demo menolak kenaikan harga BBM yang setiap hari berlangsung selalu berakhir dengan kericuhan. Opini yang dibangun media mainstream televisi adalah melahirkan anggapan kepada publik bahwa massa pendemo adalah orang-orang bayaran yang justru ingin mengacaukan negeri ini dan melakukan tindakan barbar. Tidak lupa dalam pemberitaannya para elit politik penguasa dan aparatusnya sering sekali berbicara mengutuk kekerasan itu, menasehati agar tidak melawan, merasa menjadi bijaksana dengan melarang-larang aksi perlawanan rakyat, seolah-olah merekalah yang paling baik, merasa merekalah yang paling benar.
Media massa visual (televisi) dalam pemberitaan sehari-harinya seolah-olah memisahkan istilah demonstran dari rakyat. Seringkali yang menjadi headline untuk konsumsi publik adalah bentrokan antara aparat dengan mahasiswa dan buruh, sedikit sekali yang membahas suatu isu secara komprehensif dan substansial seperti mengapa BBM harus naik, apakah harus naik, dampak sosialnya seperti apa, dan yang paling utama adalah apa penyebab awal mahasiswa bisa dianggap bertindak anarkistis. Hampir selalu setiap aksi massa dimanifestasikan media mainstream dengan tajuk demo yang anarkis atau merusak. Mereka tanpa lelah selalu mengopinikan kepada publik bahwa anarkisme selalu dipicu oleh aksi massa dan demonstrasi mahasiswa-buruh adalah kelompok yang terpisah dari masyarakat. Hingga muncul kesan bahwa mahasiswa dan buruh adalah biang segala keonaran dijalanan. Semua ini tidak lain adalah upaya dalam membangun stigmatisasi negatif yang sistematik terhadap gerakan massa rakyat, media telah menciptakan isu sepotong-sepotong.
Sebagai seorang manusia yang berakal sehat dan memiliki nurani kemanusiaan, kita wajib mensikapi hal tersebut dengan menyeluruh, kritis dan skeptis atas dasar hukum sebab-akibat. Sikap-sikap anarkistis itu semua muncul karena akumulasi dari sebab-akibat. Bukan terjadi begitu saja. Isu BBM sangat pelik, sebuah fundamen yang berhubungan erat dengan ekonomi makro. Bagi kelas menengah keatas isu kenaikan BBM tidak terlalu memusingkan, tetapi berbeda dengan kelas sosial-ekonomi menengah kebawah, kenaikan harga BBM berarti perjuangan antara hidup dan mati. Entah telah berapa banyak diskusi ilmiah dan usaha berbagai dialog konstruktif yang melibatkan berbagai kalangan mulai dari mahasiswa, aktivis, pengamat dan pakar ekonomi dengan pemerintah. Tetapi, hasilnya sama sekali tidak memberikan kesimpulan yang berpihak pada rakyat kecil. Pemerintah tetap berjalan dengan garis haluan kebijakannya sendiri, tidak pernah memperdulikan tuntutan masyarakat banyak. Jadi apa gunanya mengajak pemerintah untuk berdialog secara konstruktif, ketika telinga pemerintah itu sudah TULI dan matanya BUTA melihat realitas sosial?. Ada pepatah dalam bahasa latin yang berucap "Vox Populi Vox Dei" , yang merupakan suatu pesan bahwa penguasa seharusnya lebih banyak mendengarkan aspirasi dan suara rakyatnya.
Mengenai pendapat sebagian besar masyarakat yang mengatakan bahwa demonstrasi bikin susah banyak orang dan jalanan macet adalah bagian dari masyarakat yang bermental picik. Karena jika BBM tidak jadi naik, merekalah yang akan menikmati hasilnya, dan mereka itu sudah sepatutnya harus berterima kasih kepada para mahasiswa revolusioner yang memperjuangkan hak-hak kaum kecil yang telah diabaikan dan ditindas oleh oligarki kekuasaan yang melakukan perkawinan haram dengan kaum neoliberal dan kapitalisme internasional. Mereka tidak lagi punya hati nurani ketika melihat kemiskinan negeri ini yang mengenaskan, kehidupan yang tidak adil, sudah terlalu banyak korban dari rakyat yang mati sia-sia karena tak mampu bayar rumah sakit, sakit jiwa karena tuntutan ekonomi yang semakin menyiksa, kemudian menjadi kanibal bagi sesamanya. Bagi saya tidak masalah bagi sebagian masyarakat yang tidak mau demo, tapi tolong janganlah kalian mencemooh dan mencibir mereka yang berjuang untuk rakyat, cukuplah kalian tunjukkan empati dan sisi kemanusiaanmu. Kelas menengah keatas Indonesia yang antipati dan apatis terhadap politik dan rendahnya kesadaran serta minusnya kepekaan sosial adalah salah satu akar utama kehancuran negeri ini yang sudah terlanjur berbudaya korup dalam sistem dan birokrasi.
Jika para mahasiswa yang tergabung dalam massa aksi sedang berdemo kemudian meruntuhkan pagar tembok gedung DPR, membakar ban bekas, memblokir jalan, merusak mobil plat merah, merusak pos polisi, dan melempari hingga bentrok dengan polisi serta merta mendapat cap anarkis dan kriminal, bagi saya ini adalah ungkapan-ungkapan dari sebuah sikap apatis yang fatalistis. Karena sesungguhnya mereka (mahasiswa) merasa prihatin terhadap penderitaan yang diderita rakyatnya. Sementara disisi yang lainnya, penguasa dari negeri kaya raya ini berusaha untuk terus menipu, membodoh-bodohi, memaksa, memeras, menindas, memiskinkan dan membunuh rakyatnya secara perlahan dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Ngotot berusaha menaikkan harga BBM pada saat kondisi ekonomi rakyat yang tidak memungkinkan, apakah tindakan tersebut tidak lebih anarkis dan kriminal dari aksi mahasiswa?. Sesungguhnya amarah publik bukan hanya pada persoalan kenaikan BBM semata, tetapi hilangnya kepercayaan publik terhadap rezim berkuasa hari ini yang sudah terlampau korup, kita semua tidak akan pernah lupa bagaimana kasus Century, BLBI, Wisma Atlit dan lain sebagainya tidak pernah jelas penyelesaian akhirnya seperti apa. Belum lagi soal pelanggaran berat HAM di Papua, kekerasan terhadap minoritas beragama, dan lumpur Lapindo sebagai bentuk kejahatan lingkungan.
Kita harus objektif dan kritis dalam melihat setiap konteks permasalahan, jangan pernah mau opini kita digiring oleh permainan penguasa melalui media massa mainstream. Mereka, khususnya media massa televisi sesungguhnya adalah milik kaum modal dan elit partai dimana mereka-mereka ini tidak ingin kepentingan-kepentingan yang menghisap rakyat terganggu oleh gerakan sosial massa aksi. Media massa mainstream memang tidak berpihak pada perjuangan rakyat karena media-media televisi sudah terkooptasi oleh kekuasaan. Mereka adalah bagian dari struktur pola masyarakat kapitalis yang tunduk dibawah kekuasaan oligarki politik. Sebuah kekuasaan penuh kemunafikan yang tanpa malu bersembunyi dibalik ketiak demokrasi. Demokrasi itu sesungguhnya bukan hanya persoalan untuk membebaskan diri kita mengeluarkan pendapat dan pikiran, tetapi demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang membebaskan kita dari segala keterkungkungan dan jeratan-jeratan yang diciptakan oleh para pemilik kuasa dan modal. Sedangkan publik sebagai struktur sosial yang mengkonsumsi media mainstream dan rakyat miskin sebagai korbannya adalah ternak yang tak menyadari ladangnya. Merumput di bawah terik sinar matahari, menunggu untuk disembelih, atau diperas. Sebuah ladang yang dijanjikan seolah-olah merupakan tempat hidup yang nyaman penuh wewangian keindahan surga, padahal sesungguhnya ladang tersebut adalah lapangan yang disediakan dan direkayasa agar para ternak tak pergi kemana-mana, digembala layaknya domba agar tidak keluar dari pagar, dan tetap merumput dalam kegembiraan dan kesenangan yang penuh ilusi.
Dengan teori sebab akibat kita akan dapat melihat permasalahan tidak hanya sepotong-sepotong. Apa yang dilakukan mahasiswa dalam gerakan sosial massa aksi itu adalah bagian dari strategi PERJUANGAN SUCI melawan penindasan dan kebohongan para penguasa. Bukan seperti ormas radikal yang suka bertindak anarkis, menindas kaum minoritas beragama, merusak pluralitas kebhinekaan dan tanpa malu-malu berselingkuh dengan aparat. Mahasiswa bergerak hanya ingin menyatakan pendapat karena kepekaan sosial atas dasar rasionalitas yang bergemuruh dalam pemikiran-pemikiran yang kritis. Argumentasi yang mereka tuangkan dalam bentuk tuntutan-tuntutan lebih banyak yang tertahan di tembok-tembok besar birokrasi, di mulut dan lidah penjilat para elit-elit politik oportunis, tersendat di kaki-kaki para penguasa negeri.Hingga akhirnya mereka memutuskan melakukan perjuangan secara nyata dalam bentuk perang terhadap aparatus negara yang membela mati-matian kekuasaan tuannya. Hanya dengan agitasi dalam bentuk orasi dan selebaran, bermodalkan toa, spanduk, panji-panji bendera, tanpa perlu senjata berat dan lengkap seperti yang dimiliki Polri dan TNI. Dalam perang kita akan sulit menemukan moralitas dan bahasa cinta, kita tidak akan pernah menemukan perihal toleransi dalam situasi seperti ini.
Sejarah perjuangan pergerakan bangsa ini memang berdarah-darah, mulai dari tahun 45, 65, 73, 98 dan segala kejadian dimana mahasiswa ditembaki oleh aparat di Salemba terakhir adalah bagian dari sejarah dialektika politik perjalanan hidup bangsa ini. Sebuah realitas sosial yang tidak bisa kita hindari. Selama ada kondisi yang kontradiktif dimana penindasan terhadap manusia atas manusia oleh sistem kekuasaan terus berlangsung, maka disana akan terus lahir perlawanan dari kelas yang tertindas, ini adalah siklus infinitif dari hukum alam dimana sejarah peradaban manusia telah membuktikannya.
Mahasiswa yang menyuarakan dengan lantang suara rakyat adalah bagian dari jati diri bangsa kita yang sadar secara intelektual. Sadar bahwa kebohongan rezim penguasa saat ini terus menerus diumbar oleh pemerintahan sebuah negeri kaya raya yang tidak berdaulat atas Sumber Daya Alamnya. Pada kondisi realitas seperti ini, mahasiswa berdiri di front terdepan bersama himpunan massa rakyat, dibarisan yang sejajar dengan mereka-mereka yang sedang kelaparan dan haus akan dahaga perubahan atas nilai makna yang lahir dari sebuah dentuman harapan. Sebuah harapan indah tentang kesejahteraan atas kehidupan yang lebih baik. Benturan dan Kekerasan fisik memang sudah seharusnya dihindari, jalan damai dan dialogis adalah solusi yang terbaik, tetapi apabila penguasa selalu meremehkan tuntutan aspirasi dengan tidak menghiraukan keinginan rakyatnya yang tertindas dan teraniaya, berarti PENGUASA TELAH MENABUH KERAS-KERAS GENDERANG PERANG!. Tidak ada satu kata lain yang mampu mendeskripsikan semua ini selain BANGKIT MELAWAN ATAU DIAM TERTINDAS!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar