Senin, 18 Juli 2011

PARADOKS ILMUWAN DAN AGAMAWAN



Bom meledak lagi. Anda mau jadi ilmuwan atau agamawan, terutama dalam melihat peristiwa dengan kultus kekerasan berlatar agama? Sebagai ilmuwan, sosiolog misalnya. Anda bisa berkata bahwa kekerasan berlatar agama yang meningkat belakangan ini bukan masalah agama, melainkan masalah sosial (tentu saja, Anda kan sosiolog). Sebagai sosiolog, kita bisa bilang bahwa wilayah-wilayah yang dulu menjadi basis PKI kini menjadi basis radikalisme agama. Itulah daerah-daerah yang miskin, tertinggal, tidak memiliki cukup akses kepada ekonomi. Artinya, radikalisme menjadi subur pada tanah yang kering.

Selama masih ada ketidakadilan, maka selama itu pula ada peluang untuk segala jenis radikalisme–juga radikalisme agama serta penggunaan kekerasan atas nama agama. Sebagai sosiolog, kita boleh berkata bahwa jika masyarakat beragama Z menolak berdirinya rumah sakit dari yayasan agama X, itu juga bukan masalah agama.

Itu,lagi-lagi, masalah sosial dan ekonomi. Hal demikian pasti terjadi di wilayah di mana masyarakatnya tidak memiliki cukup akses pada ekonomi. Hal demikian pasti terjadi di wilayah di mana kesenjangan disadari. Sebagai psikolog sosial, kita juga boleh melihat masyarakat sebagai kumpulan energi.

Energi harus dilepaskan.Jika dilepaskan perlahan,ia mengalir dengan tenang.Jika ditahan,maka suatu kali ia akan meledak.Seperti gunung api.Akses pada pendidikan, ekonomi,,dan politik merupakan kanal-kanal penyaluran energi masyarakat.Jika akses tidak ada,atau tidak memadai, maka terjadi pengumpulan energi yang mengancam akan meletup kelak. Begitulah,daerah kumuh kota,misalnya,selalu menyimpan potensi konflik.

Penduduknya yang padat berarti energi yang besar.Tak diimbangi pula dengan kanalkanal sosial ekonomi politik. Justru diperparah dengan pengelompokan suku dan agama.Demikian pula daerah dan komunitas yang terpinggirkan oleh industrialisasi. Mereka adakan konsentrasi potensi konflik. Sebagai sosiolog dan ilmuwan kita bisa berkata: satu-satunya jalan menghilangkan radikalisme adalah menghilangkan kesenjangan.Satu-satunya jalan melenyapkan terorisme adalah melenyapkan ketidakadilan.

Memang,itu hampir mirip dengan berkata: satu-satunya jalan menghilangkan radikalisme dan terorisme adalah dengan tinggal di surga. Yang pasti,setiap kali kita berkata demikian–bahwa satu-satunya jalan melenyapkan kekerasan atas nama agama adalah dengan menghilangkan kesenjangan–sesungguhnya, pada saat yang sama kita tidak percaya lagi bahwa agama punya kekuatan transformatif kepada kedamaian.

Setiap kali kita memilih menjadi ilmuwan dan melihat dengan kacamata tersebut,kita pun diam-diam melihat agama sebagai semata-mata bagian dari persoalan.Inilah titik di mana kita boleh memilih menjadi agamawan. Seorang ilmuwan melihat dari luar.Karena itu ia boleh melihat agama sebagai satu dari beberapa unsur yang saling menyumbang dalam suatu masalah.

Tapi,seorang agamawan melihat dari dalam. Dialah yang bertanggung jawab pada bagaimana teks-teks agama ditafsirkan. Jika ia percaya bahwa agama seharusnya adalah membawa jalan damai serta menjauhi kekerasan, dendam, dan kebencian, maka ialah yang bertanya mengapa agama menjadi software kekerasan dan mencari jawabnya dalam agama itu sendiri, bukan pada masalah eksternal sosial, ekonomi, politik, sebab itu adalah bagiannya para sosiolog dan ilmuwan.

Nah, Anda mau jadi ilmuwan atau agamawan? Sekali lagi, sebagai ilmuwan, kita tidak melihat semua ini sebagai masalah agama persis justru karena kita tidak percaya bahwa agama punya kekuatan transformatif kepada kebaikan. Memang di situ paradoksnya. Sebagai agamawan, kita harus mengakui dengan jujur tanpa dogmatisme, bahwa ada yang salah dengan penafsiran agama belakangan ini. Saya sendiri, alih-alih lebih suka menjadi seorang yang kritis dan skeptis, terkadang berusaha untuk berpikir menjadi ilmuwan ataupun berpikir menjadi agamawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar