Sekularisme/Sekulerisme adalah sebuah istilah netral untuk merujuk konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri. negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.
Sekularisme dalam terminologi masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.
Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan serta tidak "meng-anak emas-kan" sebuah agama tertentu. Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.
Negara-negara Islam, seperti Turki, Mesir, dan Irak pada masa Saddam Husein, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi sekularisme tapi menerapkannya secara salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan menerapkan konsep ini berakibat sangat fatal, karena bukan saja ia gagal dalam mewujudkan sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang luhur. Penolakan sebagian kaum Muslim terutama di Indonesia terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk pada pengalaman negara-negara yang gagal menerapkan prinsip ini, seperti yang disebut di atas.
Tinjauan pertama yaitu Sekularisme Turki. Kesalahan Turki adalah mengidentikkan sekularisme dengan aneka pelarangan terhadap atribut maupun praktik-praktik keagamaan. Turki nampaknya meniru mentah-mentah model Perancis, dimana sekularisme dipahami sebagai kewaspadaan terhadap “ancaman” agama. Turki, misalnya, melarang jilbab karena dianggap ancaman terhadap sekularisme. Turki juga menutup institusi pengajaran Al-Quran, mengubah azan dalam bahasa lokal, dan menangkap para aktivis pergerakan Islam.
Kedua, yaitu Sekularisme Mesir. Di negara ini Sekularisme sangat identik dengan kultur Diktatorisme sebagai implikasi dari buruknya gaya kepemimpinan Hosni Mubarak. Ketiga adalah Irak pada masa Saddam Husein, sekularisme identik dengan despotisme dan anti-Tuhan, khususnya karena rezim penguasa adalah partai Ba’ath yang beraliran sosialis.
Meski mengaku menerapkan sekularisme, namun baik Turki, Mesir maupun Irak pada masa Saddam Husein itu, sebenarnya tak lebih dari negara “otoriter”, bahkan tak ada satu pun yang dapat dikategorikan sebagai negara demokrasi. Dari tiga kriteria negara demokrasi sekuler, seperti kompetisi politik, partsipasi politik dan perlindungan HAM, Turki barangkali hanya layak disebut negara “semi-demokratis”, karena masih berperan aktifnya militer dalam bidang politik.
Di negara yang otoriter atau semi-demokratis itu, tak heran jika terjadi represi terhadap kehidupan beragama. Sama seperti di zaman Soeharto pada era Orde Baru dulu, negara cenderung sekuler, terbukti dengan tingginya nilai toleransi dalam kehidupan beragama, tetapi disisi lain rezim bersifat otoriter. Di sinilah kita dapat memahami, bahwa walaupun semua negara demokrasi adalah negara sekuler, tapi tidak semua negara sekuler adalah negara demokrasi. Represi atas kehidupan beragama terjadi bukan disebabkan oleh sifat sekuler, tapi oleh watak semi-demokrasi dari negara itu tadi.
Para pencemar sekularisme bukan hanya datang dari negara-negara Islam. Di Eropa, Perancis kerap dikecam sebagai negara yang menerapkan sekularisme secara salah. Persis seperti di Turki (atau Turki memang meniru model Perancis), sekularisme di Perancis dipahami sebagai kewaspadaan terhadap “ancaman” agama. Memakai jilbab, karenanya, dianggap sebagai ancaman bagi sekularisme. Menarik untuk dicatat bahwa Perancis adalah salah satu dari negara-negara Barat yang paling lambat dalam menerima demokrasi.
Negara-negara yang relatif sukses dalam menerapkan demokrasi adalah negara-negara yang secara baik menempatkan hubungan antara agama dan negara. Mereka adalah negara-negara yang mampu menjalankan prinsip sekularisme dengan benar. Sebagai contoh di Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang dan negara demokratis lainnya. Padahal, sekulerisme yang benar itu adalah seperti yang dipraktekkan oleh negara-negara yang sukses menerapkan demokrasi. Di negara-negara ini, sekulerisme tidak dipahami sebagai musuh agama, tapi justru dijadikan sebagai pelindung agama.
Sesungguhnya Sekulerisme merupakan berkah bagi agama-agama, bukan menjadi malapetaka. Di negara demokrasi sekuler, sentimen agama dalam politik tidak dihilangkan atau ditindas. Setiap warga negara boleh mempengaruhi politik, dengan persepsinya sendiri, ideologinya sendiri, atau dengan keyakinan agamanya sendiri. Yang dilarang adalah memakai negara untuk menjadi instrumen atau aparatus agama tertentu saja (seperti adanya MUI dan DEPAG di Indonesia yang lebih cenderung berpihak pada mayoritas muslim). Ini dilarang karena melanggar prinsip netralitas negara dalam agama, dan mencederai perlakuan yang sama yang harus diberikan negara atas pluralitas agama
Di Inggris, perlindungan sekularisme terhadap agama itu bahkan disimbolisasikan dengan menjadikan Ratu Inggris sebagai Kepala Gereja Anglikan. Meskipun sekilas seperti tampak bertentangan dengan prinsip sekularisme, yakni pemisahan agama dan negara, tapi Ratu Inggris sendiri, secara de facto sesungguhnya tak punya kekuatan apa-apa alias sudah terpisah dengan sendirinya dari negara (pemerintahan).
Di Turki, para aktivis Islam yang tergabung dalam Partai Kebajikan yang berorientasi Islam, menuntut negara agar menerapkan sekularisme secara fair. Merve Kavacki, anggota parlemen Turki berjilbab yang pernah membuat heboh pada tahun 2000 dengan tegas mengatakan bahwa dia dan partainya tak pernah ada masalah dengan sekularisme, yang kita inginkan adalah penerapan sekularisme secara adil dan benar, seperti negara-negara Barat melaksanakannya. Sama seperti di Turki, di India, kaum Muslim menginginkan sekularisme dan mencemaskan kalau-kalau BJP, partai fundamentalis Hindu, mengganti sekularisme dengan Hindutva, syariah-nya orang-orang Hindu. Buat kaum Muslim di sana, sekularisme adalah berkah yang tak ternilai harganya.
Dalam prinsip sekuler, negara selamanya harus mengambil jarak yang sama tidak hanya kepada keberagaman agama, tapi juga keberagaman interpretasi satu agama. Sebagai contoh, ada sebagian ulama yang menolak wanita menjadi presiden, namun sebagian lagi mendukung wanita menjadi presiden. Di sini, negara tidak boleh mencampuri debat internal dalam interpretasi agama itu, apalagi tunduk pada salah satu interpretasi. Negara harus tetap netral. Debat internal dan interpretasi agama tertentu adalah urusan komunitas agama itu sendiri, bukan urusan negara. Negara hanya tunduk pada hukumnya sendiri yang memberikan hak yang sama kepada semua warga negara, tanpa memandang ras, suku, jenis kelamin, ideologi dan agamanya.
***********************************************************************************************
Di Indonesia, yang merupakan negara mayoritas muslim, dengan jumlah muslim terbesar di dunia, pada saat munculnya ide-ide pembaruan pemikiran Islam dengan konsep-konsep baru yang datangnya dari luar seperti sekularisme agama, liberalisme agama dan pluralisme agama di Indonesia seringkali menuai kontroversi. Bahkan kata-kata tersebut jika diucapkan tanpa rangkaian kata lain sudah memiliki konotasi yang negatif. Terlebih lagi pasca dikeluarkannya fatwa oleh MUI pada tahun 2005 yang mengharamkan tiga paham tersebut. Ada begitu banyak konsep mengenai sekularisme, liberalisme dan pluralisme di masing-masing pemikiran cendekiawan muslim yang tentunya berbeda-beda.
Ada begitu banyak konsep sekularisme, liberalisme dan pluralisme oleh pemikir-pemikir Islam. Untuk sekularisme saja, seperti Amin Rais misalnya, membedakannya ke dalam dua jenis yaitu sekularisme sosiologis dan filosofis. Ia menolak sekularisme akan tetapi menerima liberalisme dan pluralisme. Berbeda dengan Amin Rais, Gus Dur justru mendukung penuh tiga konsep tersebut.
Sama halnya dalam menyikapi masalah Ahmadiyah di tanah air, negara harus netral dan tidak boleh memihak kepada interpretasi kelompok mayoritas yang menganggap Ahmadiyah sesat. Negara wajib melindungi Ahmadiyah bila terjadi diskriminasi dan tindak kekerasan kepada mereka. Negara tidak boleh tunduk pada tekanan yang ingin membubarkan Ahmadiyah. Negara justru harus memberi hukuman yang keras bagi kelompok-kelompok yang terus memaksa ingin mengusir, menindas dan melenyapkan Ahmadiyah.
Sekularisme merupakan sikap yang baik untuk tidak terjadinya politisasi agama, liberalisme agama merupakan sikap yang tepat untuk menghindari otoriterisasi penafsiran agama dan pluralisme agama merupakan sikap yang bijak untuk menghindari pemvonisan agama. Alangkah tidak fair para kaum konservatif-fundamentalis Islam sebagai mayoritas di negara ini mengecam sekularisme semata-mata karena kita merujuk pada praktik sekularisme yang salah. Kita tentu saja tak menginginkan model sekularisme seperti Turki, atau Mesir, atau Perancis. Lagi pula, mengapa kita terobsesi dengan negara-negara yang gagal dalam menerapkan sekularisme ini? Mengapa tak berkaca pada pengalaman yang jelas-jelas terbukti sukses?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar