Sejak pertanyaan “mengapa kita ada” mengusik manusia berpuluh abad silam, ikhtiar untuk mencari jawabannya tak pernah berhenti. Banyak orang berpaling ke berbagai kekuatan besar di luar manusia. Para filsuf sejak Yunani klasik menyodorkan jawaban-jawaban spekulatif dengan mengandalkan kekuatan logika. Merekalah yang mendominasi pikiran manusia.
Tapi filsafat kini mati, kata Stephen Hawking. Filsafat tak sanggup mengimbangi perkembangan sains modern, terutama fisika. Obor penerang bagi pencarian ilmu pengetahuan kini dipikul para ilmuwan. Walaupun sains modern dianggap baru bermula pada abad ke-17, sumbangannya luar biasa bagi kemajuan peradaban, meski sayangnya juga bagi kerusakan.
Bagi Hawking, untuk memahami semesta pada tingkat terdalam, kita perlu beranjak dari sekadar menjawab pertanyaan bernada “bagaimana” menuju “mengapa”. “Bagaimana” adalah pertanyaan praktis yang lazim diajukan ilmuwan. Dengan kemajuan sains, kinilah saatnya kita mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa sesuatu ada dan bukan tak ada? Mengapa kita ada? Mengapa hukum tertentu berlaku, dan bukan yang lain? Inilah pertanyaan pamungkas tentang kehidupan dan alam semesta yang secara “tradisional” beredar di ranah filsafat. Hawking, bersama Leonard Mlodinow, berusaha menjawabnya dalam karya mereka yang baru terbit, The Grand Design.
Bukanlah hal baru, sesungguhnya, bahwa ilmuwan berbicara melampaui batas-batas sains. Terutama ketika mereka berbicara tentang gerak, matahari dan bumi, planet dan semesta. Juga ketika Charles Darwin menerbitkan kitabnya, The Origin of Species, Tuhan dibawa-bawa ke dalam arena perdebatan. Revolusi yang ditimbulkan oleh Teori Evolusi menyebabkan orang berdebat di manakah peran Tuhan.
Pada masa yang lama, filsuf adalah juga ilmuwan (minus eksperimentasi). Aristoteles berbicara mengenai logika, etika, dan retorika, sebagaimana ia memikirkan mekanika dan semesta (kosmos). Jika kita memahami apa yang menyebabkan gerak, menurut Aristoteles, kita akan memahami sebab adanya dunia. Isaac Newton membaca Nicomachean Ethics, yang ditulis Aristoteles berabad-abad sebelumnya. Ia membuat catatan-catatan di bukunya mengenai filsuf Yunani ini. Ia mengajukan “beberapa pertanyaan filosofis”. Newton bertanya: “Dapatkah kita mengetahui, melalui kekuatan logika, apakah materi bersifat kontinu dan bisa dipecah-pecah secara tak terhingga, ataukah diskontinu dan individual?”
Newton, dalam pandangan Hawking, lebih ilmiah dalam memahami gerak. Dia diterima luas berkat hukum gerak dan gravitasinya, yang mampu menjelaskan orbit bumi, bulan, dan planet, bahkan fenomena naik-turunnya permukaan laut. Persamaan gravitasi yang memakai namanya masih diajarkan hingga kini. Newton, bersama barisan ilmuwan seperti Nicolas Copernicus, Johannes Kepler, Francis Bacon, Rene Descartes, dan Galileo Galilei, berupaya menemukan hukum-hukum yang mengatur alam. Mereka berusaha menjawab pertanyaan bagaimana alam ini bekerja.
Lewat perumusan dalam bahasa matematika (Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, 1687), para ilmuwan itu ingin menjawab pertanyaan dengan cara yang melampaui spekulasi. Mereka meninggalkan pandangan sebelumnya, yang mencari tujuan di balik berbagai fenomena, dan menganggap pertanyaan berkaitan dengan Tuhan, roh manusia, dan etika mempunyai signifikansi tertinggi. Toh, itu bukanlah jalan yang serta-merta menafikan konsekuensi yang lebih luas: filosofis, teologis, maupun praktis. Pandangan heliosentris Copernicus dan Galileo mematahkan pandangan geosentris Ptolemeus yang diikuti Gereja, dan serangan pada keyakinan religius ini telah menimbulkan masalah serius bagi kedua ilmuwan. Bagi Gereja, pandangan heliosentris adalah bidah, meski Descartes mengatakan hukum alam adalah takdir Tuhan dan Newton meyakini sistem tata surya tidak muncul dari kekacauan semata-mata dikarenakan hukum alam. Keteraturan di semesta, kata Newton, “diciptakan oleh Tuhan pada mulanya dan dipelihara olehnya hingga hari ini dalam keadaan dan kondisi yang sama”.
Fisika klasik dari generasi Newton juga mempengaruhi pandangan dunia, menembus wilayah di luar fisika. Selama abad ke-19 para ilmuwan terus mengembangkan model mekanistis alam dalam fisika, kimia, biologi, yang kemudian merambah area ilmu sosial dan psikologi. Fisikawan nuklir Fritjof Capra (The Turning Point) menunjukkan betapa pandangan mekanistis Cartesian-Newtonian mempengaruhi cara manusia memperlakukan alam, bukan untuk memperoleh kearifan, melainkan menguasainya. Alam dipahami dengan cara direduksi jadi bagian-bagiannya.
Dasar-dasar yang dibangun barisan raksasa itulah, seperti matematika dan metode penalaran oleh Descartes (Discourse on Method) dan metode ilmiah oleh Francis Bacon, yang memberikan keyakinan kuat kepada para ilmuwan hingga kini perihal kepastian pengetahuan ilmiah. Sebuah kepastian yang melampaui spekulasi filosofis. Sebuah keyakinan yang kemudian diwarisi Hawking, yang mengagungkan determinisme ilmiah. Pengaruh Newton dalam fisika, khususnya, mulai terusik ketika Michael Faraday melakukan eksperimen dan James Clerk Maxwell berhasil menggabungkan gaya listrik dan magnet menjadi elektromagnetik. Maxwell pula yang menemukan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Inilah masa peralihan menuju fisika modern yang ditandai lahirnya pemikiran revolusioner Albert Einstein tentang relativitas. Di usianya yang baru 26 tahun (1905), Einstein mempublikasikan makalahnya tentang relativitas khusus.
Selama 11 tahun kemudian, Einstein mengembangkan teori baru mengenai gravitasi, yang ia sebut relativitas umum (November 1915). Ia mengajukan pemikiran revolusioner bahwa ruang-waktu tidak datar, sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi berbentuk kurva dan ini terjadi karena distorsi oleh massa dan energi di dalamnya. Ini perombakan besar atas pemikiran Newtonian mengenai ruang dan meletakkan waktu sebagai dimensi yang sama penting di samping tiga dimensi ruang.
Dua tahun sesudah itu, Einstein menerbitkan tulisan berjudul Cosmological Considerations (Tinjauan Kosmologis). Ia menerapkan teori barunya untuk mengkaji alam semesta. Maka dimulailah era kosmologi modern. Sekali lagi Einstein memperlihatkan kepionirannya. Kosmologi mempelajari alam semesta yang sebagian besar telaahnya berdasarkan sejumlah hipotesis, dan gravitasi Einsteinian merupakan konsep terpenting dalam kosmologi. Semula kosmologi dipandang sebagai pseudo-sains, tapi dua perkembangan penting menjadikannya tak bisa diremehkan lagi. Pertama, terobosan dalam pengamatan astronomi, yang mampu mendeteksi galaksi-galaksi terjauh, membuat semesta menjadi laboratorium untuk menguji model-model kosmologi. Kedua, teori relativitas umum Einstein telah teruji sebagai teori gravitasi yang andal dan akurat yang berlaku di seluruh alam semesta.
Namun fisika klasik Newton dan fisika Einstein kesulitan ketika harus menjelaskan fenomena di dunia atomik dan subatomik. Pada 1920-an, kemampuan para fisikawan dalam memahami alam semesta dihadapkan pada tantangan yang serius. Setiap kali mereka bertanya kepada alam tentang suatu masalah dalam eksperimen atom yang mereka lakukan, alam menjawabnya dengan paradoks, hingga fisikawan Werner Heisenberg berulang kali bertanya pada diri sendiri: “Mungkinkah alam itu absurd sebagaimana yang tampak pada kita dalam eksperimen-eksperimen atom ini?” (Capra, The Tao of Physics, 1975).
Kegagapan menghadapi jagat subatomik itulah yang mendorong para ilmuwan semasa Einstein, seperti Heisenberg, Neils Bohr, Max Planck, Erwin Schrodinger, Paul Dirac, Louis deBroglie, dan Wolfgang Pauli, merumuskan kerangka konseptual bagi fisika baru. Materi subatom merupakan entitas sangat abstrak yang beraspek ganda, tergantung bagaimana kita memandangnya: sebagai partikel dan sebagai gelombang. Penemuan ini melumpuhkan pengertian klasik tentang obyek padat.
Dualitas partikel/gelombang itu dipahami Bohr sebagai komplementaritas, dan fisikawan Denmark ini kerap mengatakan pengertian ini mungkin juga bermanfaat dalam ilmu di luar fisika. Fisikawan Fritjof Capra termasuk perintis penafsiran yang meluas hingga wilayah spiritualitas. Karyanya yang masyhur, The Tao of Physics (1975), melihat kesejajaran dualitas ini dengan mistisisme Timur. Yin/yang dalam masyarakat Cina, misalnya. Namun penemuan berikutnya membikin Einstein tak habis pikir. Heisenberg menemukan prinsip ketidakpastian (1926), yang menyatakan kita memiliki keterbatasan dalam mengukur secara serentak posisi dan kecepatan suatu partikel. Partikel subatom tak bisa dipahami sebagai entitas yang mandiri, tapi mesti dilihat dari interaksinya dengan partikel lain. Tercium aroma posmo, memang. Dan inilah dimulainya babak baru bagi peran penting fisika kuantum.
Apa dampak relativitas Einstein dan fisika kuantum? Bom atom yang menjadi kekuatan ampuh untuk menghentikan Perang Dunia II dan kemudian memacu perlombaan senjata antara Uni Soviet dan Amerika Serikat beranjak dari teori relativitas khusus. Teori kuantum memberi landasan kuat bagi pengembangan teknologi informatika, dan kita sehari-hari memanfaatkannya: Internet. Tak kalah dahsyat dari itu ialah implikasinya atas pemikiran filosofis manusia mengenai diri dan alamnya. Teori relativitas berujung pada gambaran bahwa alam semesta terbatas dalam ruang dan berkembang meluas tak terhindarkan, bermula pada satu peristiwa besar ketika jagat raya lahir dalam suatu Dentuman Besar di awal semesta. Dan Einsteinlah yang membuka jalan bagi kosmologi modern.
Teori kuantum berujung pada gambaran bahwa pada skala terkecil benda-benda, termasuk jagat raya di awal hidupnya (bukan di masa sekarang), peristiwa-peristiwa fisik yang terjadi saat itu merupakan kebetulan tanpa sebab. Karena ukuran alam semesta amat-sangat kecil pada saat awal, menurut para penafsir teori kuantum, prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum juga berlaku pada alam itu.
Teori relativitas berujung pada kepastian, sedangkan teori kuantum berujung pada ketidakpastian. Inilah yang membuat Einstein geleng-geleng kepala: “(Rasanya) Tuhan tidak bermain dadu.” Di tengah kegalauannya, Einstein berusaha keras menyatukan gaya-gaya elektromagnetik (yang dipersatukan Maxwell), gaya nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi (yang mengatur alam semesta) dalam satu rumusan tunggal dan final, yang oleh sebagian orang disebut Theory of Everything (Teori Segala Hal). Einstein gagal.
Di antara perdebatan yang kelak kerap diceritakan ulang oleh sejarawan sains itu, Edwin Hubble mempublikasikan hasil observasinya bahwa alam semesta mengembang (1929), tiga belas tahun sebelum Stephen Hawking lahir. Hawking memasuki dunia akademis ketika riset kosmologi berbasis relativitas umum Einstein tengah mekar-mekarnya. Barangkali zaman memang menunggu kehadirannya untuk memberikan kontribusi.
Pada awal 1970-an, teori lubang hitam sedang naik daun. Lubang hitam (black hole) adalah istilah yang ditemukan kosmolog AS, John Wheeler (1969), untuk “bintang-bintang yang mengalami keruntuhan gravitasi sempurna”. Di Moskow, Pasadena, Princeton, dan Cambridge, istilah ini pun segera populer. Hawking, yang batal melakukan riset doktoralnya di bawah Fred Hoyle, penemu istilah Big Bang (Dentuman Besar) pada 1949, mulai bekerja di bawah arahan Dennis Sciama. Sebagai bukan matematikawan murni, Hawking menerapkan teknik matematika yang diperkenalkan Roger Penrose untuk mempelajari lubang hitam. Penrose sendiri kemudian berusaha mencari jawaban atas pertanyaan “bagaimana kita berpikir” dan “apa yang menjadikan kita manusia” (dua kitabnya: The Emperor’s New Mind dan Shadows of the Mind).
Menjelang kelumpuhannya, Hawking mulai menonjol dalam kosmologi, khususnya lubang hitam. Alih-alih memakai tangan untuk menulis dan menggambarkan gagasannya, Hawking mulai beradaptasi untuk menggunakan gambaran mentalnya. Ia berusaha menyatukan teori relativitas tentang gravitasi dan fenomena skala besar dengan teori kuantum mengenai partikel subatom.
Dari coretan-coretan di benaknya saja, Hawking melahirkan Hukum Pertambahan Luas pada permukaan lubang hitam. Bunyinya: “Luas permukaan suatu lubang hitam hanya dapat tetap sama atau bertambah, tetapi tidak pernah berkurang.” Ilham tentang ide ini muncul tiba-tiba. “Begitu hebat pengaruh ini sehingga saya terjaga hampir semalaman,” tutur Hawking. Pernyataan “tidak pernah berkurang” dalam rumusan Hawking itu mengingatkan pada besaran entropi dalam Hukum Termodinamika II. Entropi (ketidakteraturan) suatu sistem hanya dapat tetap sama atau meningkat, tetapi tidak pernah berkurang (jika sistem itu terisolasi dan dibiarkan mencapai kesetimbangan). Ludwig Boltzmann, fisikawan Austria, pada 1878 menyebutkan definisi entropi sebagai banyaknya kemungkinan dalam melakukan penyusunan molekul. Misalnya, jika suatu keadaan mempunyai banyak cara yang berbeda untuk menyusun molekul-molekulnya, sistem itu mempunyai entropi yang besar.
Ketika benda mencapai kesetimbangan termal, benda itu mempunyai suhu tertentu dan karenanya memancarkan radiasi serta mengalami pertukaran energi dengan lingkungannya. Tapi ketika itu umum orang berpendapat, lubang hitam tidak mungkin memancarkan apa pun. Segala sesuatu bisa jatuh ke dalam lubang hitam, tak ada yang bisa keluar darinya. Cahaya sekalipun. Namun Jacob Bekenstein, mahasiswa pascasarjana yang dibimbing John Wheeler, berpendapat bahwa lubang hitam mempunyai entropi dan ini mungkin berkaitan dengan hukum pertambahan luas permukaan lubang hitam yang ditunjukkan Hawking. Bekenstein lalu menulis makalah singkat yang mengidentifikasi luas permukaan lubang hitam sebagai entropi lubang hitam.
Hawking menganggap mahasiswa itu telah menyalahgunakan teorinya. Namun pikirannya mulai terusik setelah bersama James Bardeen dan Brandon Carter di Pegunungan Alpen, Prancis, menemukan hukum yang mengatur evolusi lubang hitam berdasarkan relativitas Einstein. Hukum mekanika lubang hitam ini mirip dengan hukum termodinamika. Namun mereka ketika itu menganggapnya kebetulan belaka. Lain halnya bagi Bekenstein. Ia menganggap penemuan itu memperkuat pendapatnya bahwa luas permukaan lubang hitam adalah entropinya.
Kekukuhan pendapat Bekenstein mulai menggoyahkan Hawking. Ia lalu menelaah apa yang bisa terjadi di permukaan lubang hitam dengan memakai prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang meramalkan energi muncul dan lenyap bergantian dalam skala waktu yang ditentukan oleh skala Planck (10-33). Dengan persamaan Einstein, E=mc2, energi ini diubah menjadi partikel dan antipartikel yang silih berganti muncul dan lenyap. Dalam telaah itulah, Hawking menggabungkan mekanika kuantum dan relativitas umum dalam rumusan tunggal untuk pertama kalinya (1974). Dari sini ia berkesimpulan bahwa lubang hitam tidak sepenuhnya hitam, tapi memancarkan radiasi-Bekenstein benar, rupanya. Jadi, lubang hitam tidak hanya mempunyai entropi, tapi juga suhu, dan mematuhi hukum termodinamika klasik yang ditemukan Boltzmann pada akhir abad ke-19.
Temuan itu diakui amat penting. Hanya beberapa pekan setelah tulisan tentang radiasi lubang hitam diterbitkan, Hawking menerima gelar kehormatan akademik tertinggi Inggris. Di usia 32 tahun, ia diangkat menjadi anggota Fellow of the Royal Society. Ia diundang untuk melakukan riset di Caltech, Pasadena, AS. Ketika itulah Hawking menerima surat pemberitahuan dari Vatikan bahwa ia dipilih oleh Akademi Sains Vatikan untuk menerima medali Paus Paulus XI. Penghargaan ini mulai menggeser riset Hawking dari lubang hitam ke permulaan alam semesta, dengan Dentuman Besar sebagai tesis yang diminati Gereja Katolik Roma.
Namun sejarah kemudian mencatat Hawking bergerak menjauhi harapan Vatikan. Penafsiran Richard Feynman, jenius fisika dari AS, atas teori kuantum melahirkan apa yang disebut sebagai “sum over histories”. Model kuantum menyebutkan partikel dikatakan tidak memiliki posisi yang pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik akhir dalam suatu eksperimen. Dalam tafsiran Feynman, partikel justru mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan kedua titik itu. Kesimpulan Feynman: suatu sistem bukan hanya memiliki satu sejarah, melainkan setiap sejarah yang mungkin. Ini gagasan radikal, bahkan bagi banyak fisikawan. Dalam teori Newtonian, masa lalu diasumsikan ada sebagai serangkaian peristiwa yang pasti. Menurut fisika kuantum, alam semesta memiliki bukan hanya satu masa lalu, melainkan banyak. Semesta bukan hanya memiliki eksistensi tunggal, tetapi setiap versi yang mungkin dari semesta ada secara simultan dalam apa yang disebut quantum superposition.
Penafsiran Feynman inilah yang membangkitkan semangat Hawking untuk memperbaiki teorinya. Dalam sejarah sains, kita telah menemukan serangkaian teori atau model yang lebih baik dan lebih baik, sejak Plato hingga teori klasik Newton sampai teori-teori kuantum modern. “Akankah rangkaian ini akhirnya mencapai suatu titik akhir, teori pamungkas tentang semesta, yang akan mencakup seluruh gaya dan memprediksi setiap observasi yang kita lakukan, ataukah kita akan terus selamanya menemukan teori yang lebih baik, tetapi tidak pernah menemukan satu teori yang tak bisa diperbaiki lagi?” tulis Hawking dalam The Grand Design.
“Kita belum memperoleh jawaban definitif atas pertanyaan ini,” tulis Hawking, “tapi kita sekarang memiliki calon bagi teori pamungkas tentang segala Hal, jika memang ada, yang disebut Teori-M.” Bagi Hawking, Teori-M adalah satu-satunya model yang mengandung seluruh sifat yang harus dimiliki teori yang final. Dan ini melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Berpijak pada penafsiran Feynman, Hawking mengatakan, menurut Teori-M, semesta kita tidaklah tunggal. Gagasan seperti ini di masa lampau pernah dilontarkan Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus-yang berarti mendahului Copernicus maupun Kepler dan Galileo. Al-Razi juga menyebutkan alam semesta ini tidak tunggal dan sangat banyak.
Namun, berbeda dengan Al-Razi yang berpaling kepada adanya pencipta, Hawking berujung di kesimpulan bahwa penciptaan alam semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang supernatural atau Tuhan. Semesta yang banyak ini muncul alamiah dari hukum fisika. “Masing-masing semesta memiliki banyak sejarah yang mungkin dan banyak keadaan yang mungkin pada masa-masa yang kemudian, misalnya pada masa seperti sekarang, jauh sesudah terciptanya mereka. Semesta adalah prediksi sains.” Sebuah klaim yang lebih deterministik dibanding pernyataannya 22 tahun lalu dalam A Brief History of Time. “Apabila semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya. Namun, seandainya semesta benar-benar mandiri, tidak memiliki batas atau titik ujung, semesta tidak memiliki awal maupun akhir: semesta hanyalah ada. Kalau begitu, di mana tempat bagi Sang Pencipta?”
Scientific determinism, yang beberapa kali ditegaskan Hawking, tidak memberi tempat bagi Tuhan. Dalam sejarah perdebatan sains-agama, ini bukan hal baru. Charles Darwin telah memulainya, dan kini diwarisi dengan penuh keyakinan oleh ilmuwan Richard Dawkins (The Selfish Gen dan A Devil’s Chaplain). Dawkins menggusur peran Tuhan dalam penciptaan. Steven Weinber, fisikawan yang meraih Nobel bersama Abdus Salam, dalam Dreams of a Final Theory, menyebutkan semakin sains menukik ke dalam hakikat segala sesuatu, alam semesta ini tampaknya semakin tidak memberi tanda-tanda bahwa ia merupakan jejak Tuhan yang “menaruh perhatian kepadanya”.
Sebagian ilmuwan enggan menarik Tuhan ke dalam arena sains, seperti diwakili Peter Woit, fisikawan dari Universitas Columbia, AS, ketika menanggapi The Grand Design: “Saya lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.” Fisikawan seperti Paul Davies memilih posisi yang berseberangan dengan Hawking (The Mind of God dan God and the New Physics). Ada banyak posisi dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi), dan posisi Hawking adalah salah satunya. Barangkali tepat belaka pandangan Keith Ward dalam God, Chance and Necessity (1996) bahwa ini adalah perkara interpretasi. Dan Hawking memilih interpretasi materialistik.
Ilmuwan Paling Populer
Produser seri animasi terkenal The Simpsons rupanya jatuh cinta pada Stephen Hawking. Setidaknya sudah empat kali ilmuwan Inggris ini muncul dan bergaul dengan keluarga Pak Homer Simpson. Padahal tokoh dunia yang diparodikan dalam seri itu biasanya bintang film, sutradara, atau penyanyi. Sesekali muncul tokoh lain seperti pengarang Harry Potter, J.K. Rowling, serta negarawan top Bill Clinton dan Tony Blair. Sangat jarang ilmuwan seperti Hawking.
Mungkin ia dianggap memiliki “karakter kuat”, gampang diingat penampilannya, karena tak mampu menggerakkan anggota badan dan jika berbicara mesti dengan suara komputer yang dipasang di kursi rodanya. Tidak banyak ilmuwan yang wajah atau penampilannya gampang diingat. Mungkin hanya Albert Einstein yang bisa menyainginya. “Saya pikir, mungkin saya cocok dengan stereotipe ilmuwan sinting atau jenius cacat,” kata Hawking suatu ketika. Bisa jadi pula produser The Simpsons tertarik karena prestasi akademisnya. Hawking memang menghasilkan penelitian yang spektakuler, terutama yang berkaitan dengan lubang hitam, dan sering membuat pernyataan kontroversial yang menjadi pembicaraan bahkan di kalangan awam. Media massa juga senang karena ia pintar mengungkapkan ide dengan ungkapan yang sedap ditulis.
Dalam buku mutakhir yang dia tulis bersama ilmuwan Leonard Mlodinow, The Grand Design, misalnya, Hawking menyatakan bahwa penciptaan alam semesta tidak harus melibatkan Tuhan. Dua dekade silam, dalam bukunya yang sangat terkenal, A Brief History of Time, ia menyatakan bahwa begitu Teori Penyatuan Agung dapat disusun, ia akan menjadi puncak temuan manusia. “Saat itu, kita bisa mengetahui pikiran Tuhan,” ujarnya. Kemampuan Hawking secara akademis serta kepandaiannya membuat pernyataan kontroversial itu kemungkinan besar terpengaruh penyakit Lou Gehrig. Penyakit yang disebut pula dengan amyotrophic lateral sclerosis ini membuatnya lumpuh dan bahkan akhirnya tidak bisa berbicara.
Kelumpuhan itu membuatnya bekerja dengan unik. “Saya menghindari persoalan dengan banyak persamaan-saya mengubahnya menjadi pertanyaan geometri,” kata Hawking. “Dengan itu, saya bisa menggambarkan di otak saya.” Hawking akan membayangkan teori-teori fisika yang njelimet dalam bentuk geometris di dalam otak. Hal ini yang membuat ide dan pikirannya kadang meloncat dibanding para ilmuwan lain. “Saya pikir mungkin benar ia menghasilkan banyak penelitian karena kekurangannya itu,” kata Kip Thorne, ahli fisika teoretis dari Caltech, yang mengenal Hawking sejak awal 1960-an.
Karena sulit berbicara, Hawking terlatih berhemat kata dan membuat ungkapan dramatis. “Ia mesti membuat kalimatnya sepadat mungkin,” kata Bernard Carr, mahasiswa pertama yang bisa tinggal gratis serumah dengan Hawking dan keluarganya pada 1974 sekaligus mendapat bimbingan intens-sebagai ganti, Carr mesti membantu Hawking yang mulai lumpuh parah. “Pembicaraan 15 menit dengan Stephen seperti berbicara dengan orang lain selama beberapa jam.”
Kelumpuhan Hawking tidak datang dalam sekejap. Ia mendapat diagnosis penyakit Lou Gehrig ketika masih 21 tahun. Meski tak termasuk anak yang pintar bermain sepak bola, atau tulisan tangannya seperti cakar ayam, Hawking, lahir 8 Januari 1942, tak merasa sebagai anak yang memiliki koordinasi buruk. Malah, saat mulai kuliah di Oxford pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan tim dayung dan sering mewakili fakultasnya bertanding. Pada tahun ketiga kuliah itulah Hawking mulai mengalami gejala lumpuh. Kadang ia terjatuh tanpa sebab. Ayahnya membawa dia ke dokter. Setelah mendapat pemeriksaan dua pekan, dia mendapat diagnosis penyakit yang melumpuhkan sebagian anggota badan. Masih ada tambahan pada diagnosis itu: dia akan meninggal dalam beberapa tahun.
Dokter yang merawat tak tahu apa yang mesti dilakukan dan berapa cepat kelumpuhan itu akan menjadi akut-dan mengakhiri segalanya. Jadi, mereka menyuruh Hawking kembali ke kampus dan kembali meneliti fisika teori tentang relativitas dan kosmologi. “Meski saat itu saya tidak banyak mendapat kemajuan karena tidak memiliki banyak latar belakang matematika,” tuturnya dalam satu tulisan.
Hawking sempat stres. Ia mencoba melupakan penyakitnya dengan mendengarkan musik karya komposer Jerman, Wilhelm Richard Wagner. Sebelum diagnosis itu pun Hawking sudah cenderung bosan dengan kehidupannya. Setelah divonis usianya tinggal beberapa tahun, ia merasa hidup begitu berharga. “Biarpun ada awan mendung di atas masa depan, saya temukan, dan ini mengejutkan, bahwa saya menikmati hidup saat itu daripada sebelumnya,” katanya.
Hawking mulai mendapat kemajuan dalam risetnya. Ia kemudian berkenalan, bertunangan, dan menikah dengan Jane Wilde. Hubungan ini memaksanya mendapat pekerjaan sehingga ia melamar ke Cambridge. Mereka memiliki tiga anak, Robert (lahir 1967), Lucy (1970), dan Timothy (1979). Karier akademis Hawking setelah divonis bakal berumur pendek terus moncer. Bersama Roger Penrose, Hawking menemukan bahwa teori relativitas Einstein menyatakan alam semesta dimulai dari Big Bang (Dentuman Besar) dan berakhir dalam lubang hitam. Hawking kemudian juga memunculkan teori bahwa lubang hitam tak sepenuhnya berwarna hitam. Masih ada cahaya di sana dan disebut Radiasi Hawking. Hawking juga pintar membuat terobosan ilmiah dari pemikiran orang lain. “Sangat sedikit yang memiliki pemahaman dan pandangan, atau kemampuan, untuk menanyakan hal yang tepat sehingga bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya,” kata Thorne.
Masalah dengan penyakit tak berhenti di kelumpuhan itu saja. Pada 1985, Hawking kesulitan bernapas. Agar oksigen lebih lancar mengalir, ia dibedah. Akibat lain muncul. Kemampuan bicaranya, yang sebelum bedah saja sudah lemah, setelah bedah menjadi hilang sama sekali alias tak bisa berbicara. Untung saja seorang ahli komputer dari Amerika Serikat, Walt Woltosz, mengirim program komputer bernama Equalizer.
Program itu semula dipasang di komputer meja tapi kemudian dipindah ke komputer yang berada di kursi berjalan. Hawking bisa berbicara 15 kata per menit. Hawking cukup puas dengan sistem komputer yang membuat suaranya seperti suara robot dalam film fiksi ilmiah itu. Hanya satu keluhannya. “Ini membuat saya memiliki dialek Amerika,” kata orang Inggris yang sudah mendapat gelar “Sir” dari Ratu Elizabeth itu.
Nama Hawking menjadi populer setelah menulis buku yang menjelaskan teori-teori penciptaan semesta dengan bahasa sederhana, A Brief History of Time, pada akhir 1980-an. Buku ini di luar dugaan sangat laris. Pernyataannya tentang Tuhan menjadi kontroversial. Selain itu, penampilannya sebagai ilmuwan “aneh”, lumpuh total dan hanya bisa berbicara dengan komputer, menjadikannya sangat terkenal. Dan penampilan itulah yang membuatnya sering muncul bersama Pak Homer Simpson. (Nur Khoiri)
Semesta dalam Fisika
Sekitar 2.600 tahun silam, Thales mengubah pandangan mitologis mengenai semesta dan kehidupan manusia. Menurut dia, alam konsisten mengikuti prinsip yang bisa dipahami. Pandangan Thales dilanjutkan para pengikutnya, yang lalu menjadi tumpuan proses panjang penggantian ide tentang dewa-dewa dengan konsep semesta yang diatur hukum alam dan diciptakan menurut cetak biru yang suatu saat bisa dipelajari. Tapi proses ini baru benar-benar dimulai setelah 20 abad kemudian.
Elektromagnetisme
Medan elektromagnetik terdapat di balik hampir semua fenomena kehidupan sehari-hari, kecuali gravitasi. Temuan-temuan tentang hal yang mengidentifikasi hubungan erat antara gaya listrik dan magnet ini dimulai dari Hans Christian Orsted (1820). Michael Faraday dan James Clerk Maxwell, antara lain, yang menyempurnakannya. Implikasi teoretis dari temuan tentang elektromagnetik merupakan fondasi dari Teori Relativitas Khusus yang dirumuskan Albert Einstein.
Fisika Kuantum
Teori fisika dari masa Newton merupakan cermin pengalaman sehari-hari, dengan obyek material yang memang eksis, bisa ditentukan lokasinya, mengikuti jalur tertentu, dan seterusnya. Fisika kuantum, yang dikembangkan sejak abad ke-20, merupakan cara memahami alam pada skala atom dan subatom. Model kuantum menyebutkan partikel tak memiliki posisi pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik akhir dalam suatu eksperimen. Tapi Richard Feynman belakangan menafsirkan bahwa partikel mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan dua titik secara bersamaan.
Hukum Alam
Konsep modern tentang hukum alam muncul pada abad ke-17. Johannes Kepler adalah ilmuwan pertama yang memahaminya dalam pengertian sains modern. Sesudahnya, antara lain, ada Galileo Galilei dan Rene Descartes. Tapi baru Isaac Newton-lah yang diterima luas, berkat hukum gerak dan gravitasinya. Tiga pertanyaan pokok yang timbul setelah hukum yang mengatur alam diakui adalah (1) dari mana asal-usul hukum itu; (2) apa ada perkecualian, misalnya keajaiban; dan (3) apa hanya ada satu kemungkinan dari hukum itu.
Teori Relativitas
Inilah teori yang memperkaya fisika dan astronomi sepanjang abad ke-20. Melalui empat makalah pada 1905, yang merupakan fondasi Teori Relativitas Khusus, Einstein mengubah persepsi yang dipengaruhi teori mekanika Newton. Tapi orang lebih mengingat teori ini dalam kaitannya dengan bom nuklir. Einstein menerbitkan Teori Relativitas Umum pada 1915, yang menegaskan ruang-waktu tidak datar, sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi berbentuk kurva karena adanya distorsi oleh massa dan energi di dalamnya.
Teori M
“M” di sini bisa berarti “master”, “miracle” (keajaiban), atau “misteri”. Atau malah ketiga-tiganya. Pencetusnya, Edward Witten, mengatakan penafsiran atas “M” bergantung pada selera penggunanya. Sebagai perluasan teori dawai (string theory), yang merupakan ikhtiar menggabungkan fisika kuantum dan teori relativitas umum, inilah teori yang digadang-gadang sebagai teori segalanya, yang menyatukan keempat gaya fisika; Hawking bahkan yakin inilah satu-satunya kandidat teori paripurna tentang semesta. Tapi observasilah yang masih harus membuktikannya.
Realitas
Kebanyakan ilmuwan berpendapat hukum alam merupakan ekspresi matematis dari realitas eksternal, lepas dari siapa pun pengamat yang menyaksikannya. Tapi telaah mengenai bagaimana kita mengamati dan merumuskan konsep tentang alam telah memunculkan pertanyaan apakah realitas obyektif memang ada. Timbul kubu realis dan antirealis. Realisme tergantung-model mempertemukan keduanya pada titik apakah suatu model sesuai dengan pengamatan atau tidak. Maka bisa dikatakan tidak ada model matematika atau teori tunggal yang bisa mendeskripsikan setiap aspek alam semesta.
Senin, 25 April 2011
JOHN ROOSA DAN PELARANGAN BUKU DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
Inilah misteri sejarah yang paling dinamik yang diulik banyak orang sampai kini: Gerakan 30 September (G 30 S). Sebab ia tak semata persoalan “kup” politik, melainkan juga berkait peristiwa sesudahnya: pembunuhan massal dan asasinasi total atas seluruh gerakan kiri di Indonesia. Dalam hal ini PKI dan seluruh aliansinya, termasuk pendukung setia Sukarno.
Buku yang disusun John Rossa ini mesti kita beri rak terhormat dalam tumpukan kepustakaan G 30 S. Ia tak saja menumbangkan banyak analisis sebelumnya yang selalu mencari siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa G 30 S itu (PKI, Sukarno, Angkatan Darat, Suharto, CIA); tapi ia menjalin kembali cerita baru yang segar dari serakan data yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak, buku yang disusun laiknya roman detektif ini berkesimpulan: G 30 S adalah gerakan militer paling ngawur dan iseng, klandestin setengah hati, dan sama sekali tak direncanakan secara matang. Tapi akibat yang ditimbulkannya luar biasa parah. Ia dijadikan kelompok “militer kanan” sebagai dalih pembantaian massal yang sungguh tak terperikan.
Bagi sejarawan dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini, tak ada dalang utama yang mengerjakan proyek mengerikan ini. Yang ada ialah siapa yang paling diuntungkan setelah kejadian ini, ketika pada 1965 konfigurasi kekuatan politik tinggal dua kutub: PKI dan Angkatan Darat di mana bandulnya ada pada Presiden Sukarno.
Gerak pertama yang coba dilakukan Rossa adalah mempertanyakan seluruh analisis dan kesimpulan dari buku-buku yang sudah ada. Dengan gaya laiknya pakar forensik, ia membedah kembali dokumen Jenderal Pardjo yang disebut Rossa “sumber utama paling kaya serta paling bisa dipercaya”, selain karena ia memang tokoh inti dalam G 30 S. Hasilnya bahwa gerakan putsch ini dipimpin Sjam. Sekaligus ini menggugurkan pendapat Benedict Anderson dan Harold Crouch yang berpendapat bahwa perwira-perwira militer yang berperan penting (Untung, Latief, Soejono, Soepardjo).
Dengan petunjuk itu, Rossa mengejar identitas Kamaruzaman (Sjam) dan menemukan bahwa orang ini bawahan setia Aidit selama 15 tahun—yang sekaligus kesimpulan ini menampik spekulasi Wertheim dalam Indonesia’s Hidden History bahwa Sjam adalah intel militer yang ditanam di tubuh PKI. Sjam adalah orang Biro Chusus yang dibentuk Aidit di luar ketentuan Konstitusi Partai. Tugasnya untuk mendekati militer dan bertanggung jawab semata kepada Aidit. Jadi wajar kemudian anggota Politbiro dan Comite Central tak mengetahui secara detail kerja-kerja klandestin Biro Chusus ini.
Jika pun PKI ini terlibat, tulis Rossa, dua orang inilah yang mesti bertanggung jawab. Rossa percaya pada kesimpulan Iskandar Subekti—panitera dan arsiparis Politbiro—bahwa G 30 S bukan buatan PKI, dalam hal ini yang memikirkan, merencanakan, dan memutuskan. Sebab jika ia merupakan gerakan dari PKI, atau gerakan yang “didalangi” PKI, mestinya ia dibicarakan dan diputuskan badan pimpinan partai tertinggi, yaitu Central Comite dengan jumlah anggota 85 orang, dan hal ini tak pernah dilakukan sama sekali. Gerakan ini hanya diketahui beberapa gelintir orang dalam partai yang disebut Sukarno sebagai “oknum-oknum PKI yang keblinger”.
Jika Aidit melakukan gerakan “mendahului” atas musuh utamanya (Angkatan Darat) itu, apa alasannya? Aidit sangat insyaf bahwa partainya akan habis jika berhadapan muka-muka dengan Angkatan Darat lantaran nyaris mutlak anggotanya tak bersenjata. Jalan klandestin yang diambilnya dengan bekerja sama dengan perwira-perwira dalam tubuh Angkatan Darat sendiri dimaksudkan untuk menyelamatkan warga partai dari amukan bedil tentara.
Lagi pula Aidit mulai gelisah, bagaimana partai yang kian hari kian membesar ini tak menemukan arena bermain yang demokratis, yakni Pemilu. Sukarno pun tak menunjukan tanda-tanda akan menyelenggarakan pesta demokrasi lagi setelah sebelumnya yang direncanakan dilangsungkan pada 1959 dilucuti Angkatan Darat pimpinan Nasution yang “memaksa” Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam hitungan PKI, jika Pemilu dibuka pastilah mereka akan keluar sebagai juara. Sementara pimpinan teras Angkatan Darat dan sekutu Amerikanya ketar-ketir melihat kerumunan besar semut-semut merah itu di jalanan. Tapi mereka tak berani melakukan tindakan mendahului karena berdasarkan pengalaman, semua tindakan mendahului akan kalah, seperti kudeta gagal Nasution pada 17 Oktober 1952.
Tapi rencana ini menyelimpang. Operasi G 30 S itu dilakukan dengan tergesa-gesa. Digerakkan secara militer memang, tapi dengan cara ngawur. Sebagai seorang militer berdisiplin, Supardjo, misalnya, 3 hari sebelum operasi, berkali-kali menanyakan bagaimana kesiapan pasukan dari Jawa Barat, tapi selalu dijawab Sjam dengan murka dan mencerca para pembimbang sebagai pengecut.
Pada hari “H” kesalahan terjadi beruntun. Pasukan yang menculik Nasution salah masuk rumah dan salah tangkap, karena mereka tak mengadakan “gladiresik” sebelumnya. Pasukan yang didatangkan dari Jawa Tengah dan ditugaskan “mengamankan” Istana di Monas akhirnya bergabung kembali dengan Kostrad lantaran perut keroncongan karena perempuan-perempuan yang ditugasi membuka dapur umum tak datang.
Pembunuhan seluruh jenderal pun di luar skenario. Mestinya adalah: “Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos”. Tapi betapa kagetnya Omar Dani setelah tahu bahwa jenderal dibunuh atas komando langsung dari Sjam. Saat itu Dani langsung berfirasat akan terjadi malapetaka besar. Disusul lagi ketaksetujuan Sukarno atas gerakan ini yang membikin kalap penggeraknya. Sementara janji Sjam bahwa G 30 S disokong jutaan massa PKI yang akan turun ke jalan-jalan tak pernah ada karena memang cuma hayalan Sjam. Karena memang jutaan anggota PKI itu tak mendapatkan informasi yang jelas soal putsch itu.
Dan inilah yang ditunggu-tunggu Angkatan Darat yang dibantu oleh CIA Amerika, biarkan lawan mendahului untuk menjadi dalih bumi-hangus. Di titimangsa ini Rossa tetap kukuh membantah spekulasi bahwa bahwa Angkatan Darat dan Amerika yang menjadi pengendali utama peristiwa ini. Termasuk spekulasi naif yang mengatakan Suharto adalah otaknya.
Gerakan ini tetap berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira dan dirancang untuk berhasil. Ia gagal bukan karena dirancang untuk gagal, tapi karena diorganisasi dengan cara sangat buruk; sementara Angkatan Darat sudah mempersiapkan pukulan balik jauh sebelumnya. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan didanai oleh Dewan Keamanan Nasional (NSC, National Security Council) Amerika Serikat sejak 1957.
Peristiwa putsch ini hanya dijadikan dalih Angkatan Darat untuk menghancurkan seluruh gerakan kiri di Indonesia. Karena PKI lah yang jadi batu sandung terkuat menghalangi perwira-perwira seperti Nasution yang—meminjam ungkapan politikus veteran Sjahrir—memendam “cita-cita militeristik dan fasis” untuk pemerintahan Indonesia. Kekuatan kiri ini juga yang jadi batu sandung berkuasanya modal asing Amerika.
Karena itu, Rossa menegaskan, bahwa sebetulnya Suharto tak peduli siapa organisator G 30 S ini karena memang tak penting. Mahmilub yang dia dirikan juga bukan untuk mencari kebenaran, tapi manipulasi dan prasyarat formal belaka. Momentum ini sudah ditunggu lama untuk menghantam PKI dan memakzulkan Sukarno. Maka langsung saja Suharto menyerang PKI secara menyeluruh setelah 4 hari kejadian, sambil pura-pura melindungi Sukarno yang sampai wafatnya tak sepatah kata pun menyebut PKI sebagai pengkhianat untuk peristiwa dengan skala kecil seperti G 30 S ini.
Angkatan Darat melancarkan gaya “black letter (surat kaleng)” dan “operasi media”. Pelbagai bukti direkayasa untuk memperlihatkan kebencian atas orang-orang PKI, seperti kemaluan para jenderal disilet-silet Gerwani. Dengan agregasi dan modal kampanye hitam itu pasukan elite Angkatan Darat (Kostrad) kemudian terjun ke daerah-daerah dan memompa hasrat warga sipil untuk buas membunuh sesamanya.
Buku ini dengan terang membantu membaca silang-sengkarut interpretasi sekaligus membongkar hayat-sadar kita akan pengeramatan peristiwa yang relatif kecil (G 30 S) di mana justru menghapus ingatan akan peristiwa yang luar biasa jahatnya setelahnya, yakni pembunuhan massal yang tak terperikan.
John Roosa
Pada tanggal 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung mengumumkan pelarangan lima judul buku yang dianggap ‘mengganggu ketertiban umum’, termasuk buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa yang diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) pada 2008. ISSI dalam pernyataan sikapnya sehari setelah pelarangan menyatakan pelarangan itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia tapi juga amanat UUD 1945 untuk ‘memajukan kecerdasan umum.
ISSI menerbitkan buku Dalih Pembunuhan Massal sebagai sumbangan terhadap studi sejarah kontemporer Indonesia, khususnya peristiwa G-30-S. Dalam buku ini John Roosa menunjukkan sikap ilmiah yang terpuji sebagai sejarawan: ia mengungkapkan sumber-sumber baru mengenai G-30-S yang belum pernah digunakan sebelumnya, menelaah setiap sumber yang ada mengenai peristiwa itu secara teliti, lalu menghadirkan argumentasi dan kesimpulan berdasarkan temuannya itu. Pelarangan oleh Jaksa Agung jelas menghalangi perkembangan studi sejarah pada khususnya dan kerja ilmiah pada umumnya.
Buku Dalih Pembunuhan Massal sudah beredar selama satu tahun dan sembilan bulan, dan justru mendapat sambutan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku ini masuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk bidang studi Asia pada 2007. Tinjauan terhadap buku ini dimuat dalam berbagai berkala ilmiah internasional. Di Indonesia sendiri, buku ini disambut baik oleh para ahli sejarah, guru sekolah dan masyarakat umum dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah yang digelar selama ini.
Singkatnya, jelas ada banyak pihak yang menarik manfaat dari terbitnya buku ini, dan keputusan Jaksa Agung melarang buku ini dengan alasan ‘mengganggu ketertiban umum’ sesungguhnya justru merugikan kepentingan umum.
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani I Gusti Ayu Agung Ratih tersebut, ISSI meminta:
1. Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktek pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter.
2. Pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhiri.
“Kami percaya bahwa pelarangan buku ini tidak akan menyurutkan kehendak publik untuk mencari kebenaran. Dengan semangat itu dan juga sebagai bentuk konkret perlawanan, dengan pernyataan ini kami melepas copyright atas buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa kepada publik sehingga dapat disebarluaskan melalui berbagai media. ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut,” ujar pernyataan tersebut.
Saat ini yang namanya pelarangan penerbitan buku atau "bredel" sejak jaman orde lama, orde baru hingga reformasi di tanah air sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA.
Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi. Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.
Kejaksaan Agung baru saja melarang peredaran 5 buah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Tentu, kontroversi pun tak terelakkan. Isu ini juga pernah dibahas di program ‘Kick Andy’ di Metro TV yang bertajuk "MENGAPA MEREKA DIBUNGKAM?". Dari semua buku ‘terlarang’ itu, yang paling mencuri perhatian adalah buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ yang mengupas gerakan 30 September dari sisi analisa sejarah. Sang penulis, John Rossa, mengaku bahwa bukunya ditulis dengan metode ilmiah yang benar. Jadi, pembredelan tersebut sungguh mengejutkan.
"Kita semua seakan-akan merasakan keadaan hidup di masa Suharto ketika semua barang cetakan disensor, ketika mahasiswa dituntut ke pengadilan karena membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer.."
Padahal buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ telah diakui sebagai salah satu buku terbaik di bidang ilmu sosial. Buku ini terpilih sebagai tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Mungkin karena saking kesalnya, sang penulis kemudian memutuskan untuk membagi buku tentang G30 S ini secara gratis lewat internet.
Ingin membaca buku ‘Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto’ karya John Rossa versi e-book? Silahkan download link dibawah ini.
http://www.marxists.org/indonesia/indones/DalihPembunuhanMassal.pdf
Buku yang disusun John Rossa ini mesti kita beri rak terhormat dalam tumpukan kepustakaan G 30 S. Ia tak saja menumbangkan banyak analisis sebelumnya yang selalu mencari siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa G 30 S itu (PKI, Sukarno, Angkatan Darat, Suharto, CIA); tapi ia menjalin kembali cerita baru yang segar dari serakan data yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak, buku yang disusun laiknya roman detektif ini berkesimpulan: G 30 S adalah gerakan militer paling ngawur dan iseng, klandestin setengah hati, dan sama sekali tak direncanakan secara matang. Tapi akibat yang ditimbulkannya luar biasa parah. Ia dijadikan kelompok “militer kanan” sebagai dalih pembantaian massal yang sungguh tak terperikan.
Bagi sejarawan dari University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini, tak ada dalang utama yang mengerjakan proyek mengerikan ini. Yang ada ialah siapa yang paling diuntungkan setelah kejadian ini, ketika pada 1965 konfigurasi kekuatan politik tinggal dua kutub: PKI dan Angkatan Darat di mana bandulnya ada pada Presiden Sukarno.
Gerak pertama yang coba dilakukan Rossa adalah mempertanyakan seluruh analisis dan kesimpulan dari buku-buku yang sudah ada. Dengan gaya laiknya pakar forensik, ia membedah kembali dokumen Jenderal Pardjo yang disebut Rossa “sumber utama paling kaya serta paling bisa dipercaya”, selain karena ia memang tokoh inti dalam G 30 S. Hasilnya bahwa gerakan putsch ini dipimpin Sjam. Sekaligus ini menggugurkan pendapat Benedict Anderson dan Harold Crouch yang berpendapat bahwa perwira-perwira militer yang berperan penting (Untung, Latief, Soejono, Soepardjo).
Dengan petunjuk itu, Rossa mengejar identitas Kamaruzaman (Sjam) dan menemukan bahwa orang ini bawahan setia Aidit selama 15 tahun—yang sekaligus kesimpulan ini menampik spekulasi Wertheim dalam Indonesia’s Hidden History bahwa Sjam adalah intel militer yang ditanam di tubuh PKI. Sjam adalah orang Biro Chusus yang dibentuk Aidit di luar ketentuan Konstitusi Partai. Tugasnya untuk mendekati militer dan bertanggung jawab semata kepada Aidit. Jadi wajar kemudian anggota Politbiro dan Comite Central tak mengetahui secara detail kerja-kerja klandestin Biro Chusus ini.
Jika pun PKI ini terlibat, tulis Rossa, dua orang inilah yang mesti bertanggung jawab. Rossa percaya pada kesimpulan Iskandar Subekti—panitera dan arsiparis Politbiro—bahwa G 30 S bukan buatan PKI, dalam hal ini yang memikirkan, merencanakan, dan memutuskan. Sebab jika ia merupakan gerakan dari PKI, atau gerakan yang “didalangi” PKI, mestinya ia dibicarakan dan diputuskan badan pimpinan partai tertinggi, yaitu Central Comite dengan jumlah anggota 85 orang, dan hal ini tak pernah dilakukan sama sekali. Gerakan ini hanya diketahui beberapa gelintir orang dalam partai yang disebut Sukarno sebagai “oknum-oknum PKI yang keblinger”.
Jika Aidit melakukan gerakan “mendahului” atas musuh utamanya (Angkatan Darat) itu, apa alasannya? Aidit sangat insyaf bahwa partainya akan habis jika berhadapan muka-muka dengan Angkatan Darat lantaran nyaris mutlak anggotanya tak bersenjata. Jalan klandestin yang diambilnya dengan bekerja sama dengan perwira-perwira dalam tubuh Angkatan Darat sendiri dimaksudkan untuk menyelamatkan warga partai dari amukan bedil tentara.
Lagi pula Aidit mulai gelisah, bagaimana partai yang kian hari kian membesar ini tak menemukan arena bermain yang demokratis, yakni Pemilu. Sukarno pun tak menunjukan tanda-tanda akan menyelenggarakan pesta demokrasi lagi setelah sebelumnya yang direncanakan dilangsungkan pada 1959 dilucuti Angkatan Darat pimpinan Nasution yang “memaksa” Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli.
Dalam hitungan PKI, jika Pemilu dibuka pastilah mereka akan keluar sebagai juara. Sementara pimpinan teras Angkatan Darat dan sekutu Amerikanya ketar-ketir melihat kerumunan besar semut-semut merah itu di jalanan. Tapi mereka tak berani melakukan tindakan mendahului karena berdasarkan pengalaman, semua tindakan mendahului akan kalah, seperti kudeta gagal Nasution pada 17 Oktober 1952.
Tapi rencana ini menyelimpang. Operasi G 30 S itu dilakukan dengan tergesa-gesa. Digerakkan secara militer memang, tapi dengan cara ngawur. Sebagai seorang militer berdisiplin, Supardjo, misalnya, 3 hari sebelum operasi, berkali-kali menanyakan bagaimana kesiapan pasukan dari Jawa Barat, tapi selalu dijawab Sjam dengan murka dan mencerca para pembimbang sebagai pengecut.
Pada hari “H” kesalahan terjadi beruntun. Pasukan yang menculik Nasution salah masuk rumah dan salah tangkap, karena mereka tak mengadakan “gladiresik” sebelumnya. Pasukan yang didatangkan dari Jawa Tengah dan ditugaskan “mengamankan” Istana di Monas akhirnya bergabung kembali dengan Kostrad lantaran perut keroncongan karena perempuan-perempuan yang ditugasi membuka dapur umum tak datang.
Pembunuhan seluruh jenderal pun di luar skenario. Mestinya adalah: “Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos”. Tapi betapa kagetnya Omar Dani setelah tahu bahwa jenderal dibunuh atas komando langsung dari Sjam. Saat itu Dani langsung berfirasat akan terjadi malapetaka besar. Disusul lagi ketaksetujuan Sukarno atas gerakan ini yang membikin kalap penggeraknya. Sementara janji Sjam bahwa G 30 S disokong jutaan massa PKI yang akan turun ke jalan-jalan tak pernah ada karena memang cuma hayalan Sjam. Karena memang jutaan anggota PKI itu tak mendapatkan informasi yang jelas soal putsch itu.
Dan inilah yang ditunggu-tunggu Angkatan Darat yang dibantu oleh CIA Amerika, biarkan lawan mendahului untuk menjadi dalih bumi-hangus. Di titimangsa ini Rossa tetap kukuh membantah spekulasi bahwa bahwa Angkatan Darat dan Amerika yang menjadi pengendali utama peristiwa ini. Termasuk spekulasi naif yang mengatakan Suharto adalah otaknya.
Gerakan ini tetap berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira dan dirancang untuk berhasil. Ia gagal bukan karena dirancang untuk gagal, tapi karena diorganisasi dengan cara sangat buruk; sementara Angkatan Darat sudah mempersiapkan pukulan balik jauh sebelumnya. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan didanai oleh Dewan Keamanan Nasional (NSC, National Security Council) Amerika Serikat sejak 1957.
Peristiwa putsch ini hanya dijadikan dalih Angkatan Darat untuk menghancurkan seluruh gerakan kiri di Indonesia. Karena PKI lah yang jadi batu sandung terkuat menghalangi perwira-perwira seperti Nasution yang—meminjam ungkapan politikus veteran Sjahrir—memendam “cita-cita militeristik dan fasis” untuk pemerintahan Indonesia. Kekuatan kiri ini juga yang jadi batu sandung berkuasanya modal asing Amerika.
Karena itu, Rossa menegaskan, bahwa sebetulnya Suharto tak peduli siapa organisator G 30 S ini karena memang tak penting. Mahmilub yang dia dirikan juga bukan untuk mencari kebenaran, tapi manipulasi dan prasyarat formal belaka. Momentum ini sudah ditunggu lama untuk menghantam PKI dan memakzulkan Sukarno. Maka langsung saja Suharto menyerang PKI secara menyeluruh setelah 4 hari kejadian, sambil pura-pura melindungi Sukarno yang sampai wafatnya tak sepatah kata pun menyebut PKI sebagai pengkhianat untuk peristiwa dengan skala kecil seperti G 30 S ini.
Angkatan Darat melancarkan gaya “black letter (surat kaleng)” dan “operasi media”. Pelbagai bukti direkayasa untuk memperlihatkan kebencian atas orang-orang PKI, seperti kemaluan para jenderal disilet-silet Gerwani. Dengan agregasi dan modal kampanye hitam itu pasukan elite Angkatan Darat (Kostrad) kemudian terjun ke daerah-daerah dan memompa hasrat warga sipil untuk buas membunuh sesamanya.
Buku ini dengan terang membantu membaca silang-sengkarut interpretasi sekaligus membongkar hayat-sadar kita akan pengeramatan peristiwa yang relatif kecil (G 30 S) di mana justru menghapus ingatan akan peristiwa yang luar biasa jahatnya setelahnya, yakni pembunuhan massal yang tak terperikan.
John Roosa
Pada tanggal 23 Desember 2009, Kejaksaan Agung mengumumkan pelarangan lima judul buku yang dianggap ‘mengganggu ketertiban umum’, termasuk buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa yang diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) pada 2008. ISSI dalam pernyataan sikapnya sehari setelah pelarangan menyatakan pelarangan itu tidak saja bertentangan dengan prinsip umum hak asasi manusia tapi juga amanat UUD 1945 untuk ‘memajukan kecerdasan umum.
ISSI menerbitkan buku Dalih Pembunuhan Massal sebagai sumbangan terhadap studi sejarah kontemporer Indonesia, khususnya peristiwa G-30-S. Dalam buku ini John Roosa menunjukkan sikap ilmiah yang terpuji sebagai sejarawan: ia mengungkapkan sumber-sumber baru mengenai G-30-S yang belum pernah digunakan sebelumnya, menelaah setiap sumber yang ada mengenai peristiwa itu secara teliti, lalu menghadirkan argumentasi dan kesimpulan berdasarkan temuannya itu. Pelarangan oleh Jaksa Agung jelas menghalangi perkembangan studi sejarah pada khususnya dan kerja ilmiah pada umumnya.
Buku Dalih Pembunuhan Massal sudah beredar selama satu tahun dan sembilan bulan, dan justru mendapat sambutan baik dari dalam maupun luar negeri. Buku ini masuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars, perhelatan ilmiah terbesar untuk bidang studi Asia pada 2007. Tinjauan terhadap buku ini dimuat dalam berbagai berkala ilmiah internasional. Di Indonesia sendiri, buku ini disambut baik oleh para ahli sejarah, guru sekolah dan masyarakat umum dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah yang digelar selama ini.
Singkatnya, jelas ada banyak pihak yang menarik manfaat dari terbitnya buku ini, dan keputusan Jaksa Agung melarang buku ini dengan alasan ‘mengganggu ketertiban umum’ sesungguhnya justru merugikan kepentingan umum.
Dalam pernyataan sikap yang ditandatangani I Gusti Ayu Agung Ratih tersebut, ISSI meminta:
1. Kejaksaan Agung segera mencabut surat keputusan tersebut dan menghentikan praktek pelarangan secara umum. Perbedaan pandangan mengenai sejarah hendaknya diselesaikan secara ilmiah, bukan dengan unjuk kuasa menggunakan hukum warisan rezim otoriter.
2. Pemerintah dan DPR segera mencabut semua aturan hukum yang mengekang kebebasan berekspresi dan hak mendapatkan informasi. Warisan kolonial dan rezim otoriter yang ingin mengatur arus informasi dan pemikiran sudah sepatutnya diakhiri.
“Kami percaya bahwa pelarangan buku ini tidak akan menyurutkan kehendak publik untuk mencari kebenaran. Dengan semangat itu dan juga sebagai bentuk konkret perlawanan, dengan pernyataan ini kami melepas copyright atas buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa kepada publik sehingga dapat disebarluaskan melalui berbagai media. ISSI juga akan mengajukan somasi kepada Kejaksaan Agung dan meminta agar larangan itu dicabut. Jika tidak dipenuhi, ISSI akan menempuh jalur hukum dan menggugat keputusan Jaksa Agung tersebut,” ujar pernyataan tersebut.
Saat ini yang namanya pelarangan penerbitan buku atau "bredel" sejak jaman orde lama, orde baru hingga reformasi di tanah air sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA.
Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi. Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.
Kejaksaan Agung baru saja melarang peredaran 5 buah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Tentu, kontroversi pun tak terelakkan. Isu ini juga pernah dibahas di program ‘Kick Andy’ di Metro TV yang bertajuk "MENGAPA MEREKA DIBUNGKAM?". Dari semua buku ‘terlarang’ itu, yang paling mencuri perhatian adalah buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ yang mengupas gerakan 30 September dari sisi analisa sejarah. Sang penulis, John Rossa, mengaku bahwa bukunya ditulis dengan metode ilmiah yang benar. Jadi, pembredelan tersebut sungguh mengejutkan.
"Kita semua seakan-akan merasakan keadaan hidup di masa Suharto ketika semua barang cetakan disensor, ketika mahasiswa dituntut ke pengadilan karena membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer.."
Padahal buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ telah diakui sebagai salah satu buku terbaik di bidang ilmu sosial. Buku ini terpilih sebagai tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007. Mungkin karena saking kesalnya, sang penulis kemudian memutuskan untuk membagi buku tentang G30 S ini secara gratis lewat internet.
Ingin membaca buku ‘Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto’ karya John Rossa versi e-book? Silahkan download link dibawah ini.
http://www.marxists.org/indonesia/indones/DalihPembunuhanMassal.pdf
Kamis, 21 April 2011
FRIEDRICH NIETZSCHE: TUHAN TELAH MATI
Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
"Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidaklah terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari Kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatupun yang tinggal di tangannya." Inilah sebabnya mengapa di dalam "The Madman", si orang gila berbicara bukannya kepada orang percaya, melainkan kepada kaum ateis — masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apapun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."[2]
[sunting] Kemungkinan-kemungkinan baru
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ãœbermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.
(sunting) Suara Nietzsche
Meskipun Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seorang "gila" dalam Die fröhliche Wissenschaft, ia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil berseru-seru, "Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun yang menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras-keras bahwa ia datang terlalu dini. Orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata:
Kejadian yang aneh ini masih berlangsung, masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.
Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
Sebelumnya dalam buku itu (seksi 108), Nietzsche menulis "Tuhan sudah mati; tetapi karena cara manusia, mungkin masih ada gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita -- kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya pua." Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri setelah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya:
'Dan apakah yang dilakukan si orang suci ini di hutan?' tanya Zarathustra. Si orang suci menjawab: 'Aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan ketika aku membuat nyanyian, aku tertawa, menangis dan bersenandung: jadi dengan melakukan semua itu aku memuji Tuhan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung aku memuji tuhan yang adalah tuhanku. Tetapi apa yang engkau bawa kepada kami sebagai hadiah?' Ketika Zarathustra mendengar kata-kata ini ia mengucapkan selamat berpisah dan berkata: 'Apa yang dapat kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Tapi biarkanlah aku pergi dengan segera agar aku tidak mengambil sesuatu daripadamu!' Dan kemudian mereka berpisah, si orang tua dan lelaki itu, sambil tertawa seperti dua anak lelaki tertawa.
Tetapi ketika Zarathustra sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Tuhan sudah mati!'
terj. Walter Kaufmann, Thus Spoke Zarathustra, Prolog, seksi 2.
Ketika menemukan dalam sebuah nyanyian gereja karya Martin Luther apa yang digambarkan oleh Hegel sebagai kata-kata yang kejam, ungkapan yang keji, yakni, Tuhan sudah mati, Hegel arangkali adalah filsuf besar pertama yang mengembangkan tema tentang kematian Tuhan. Menurut Hegel, bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati. Sambil mengomentari Critique pertama Kant, Heinrich Heine berbicara tentang Tuhan yang sedang sekarat. Heine mempengaruhi Nietzsche. Sejak Heine dan Nietzsche, ungkapan Kematian Tuhan menjadi populer. (K. Satchidananda Murty, The Realm of Between, IIAS,1973)
Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
"Tuhan sudah mati" tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam "Tuhan kini secara fisik sudah mati"; sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Nietzsche mengakui krisis yang diwakili oleh kematian Tuhan bagi pertimbangan-pertimbangan moral yang ada, karena "Ketika seseorang melepaskan iman Kristen, ia mencabut hak terhadap moralitas Kristen dari bawah kakinya. Moralitas ini sama sekali tidaklah terbukti dengan sendirinya. Dengan menghancurkan sebuah konsep utama dari Kekristenan, iman kepada Tuhan, orang menghancurkan keseluruhannya: tak ada suatupun yang tinggal di tangannya." Inilah sebabnya mengapa di dalam "The Madman", si orang gila berbicara bukannya kepada orang percaya, melainkan kepada kaum ateis — masalahnya ialah bagaimana mempertahankan sistem nilai apapun di tengah ketiadaan tatanan ilahi.
Kematian Tuhan adalah sebuah cara untuk mengatakan bahwa manusia tidak lagi mampu mempercayai tatanan kosmis apapun yang seperti itu karena mereka sendiri tidak lagi mengakuinya. Kematian Tuhan, kata Nietzsche, akan membawa bukan hanya kepada penolakan terhadap keyakinan kosmis atau tatanan fisik tetapi juga kepaa penolakan terhadap nilai-nilai mutlak itu sendiri - kepada penolakan terhadap keyakinan akan suatu hukum moral yang obyektif dan universal, yang mengikat semua individu. Dalam cara ini, hal ini membawa kepada nihilisme, dan inilah yang diuashakan Nietzsche untuk menemukan suatu pemecahan dengan mengevaluasi kembali dasar-dasar dari nilai-nilai manusia. Bagi Nietzsche, hal ini berarti mencari dasar-dasar yang jauh lebih dalam daripada nilai-nilai Kristen. Kebanyakan orang menolak untuk mencari lebih jauh daripada nilai-nilai ini.
Nietzsche percaya bahwa kebanyakan orang tidak mengakui (atau menolak untuk mengakui) kematian ini berdasarkan ketakutan atau angst (kecemasan) mereka yang paling terdalam. Karena itu, ketika kematian itu mulai diakui secara luas, orang akan berputus asa dan nihilisme akan meraja lela, seperti halnya pula dengan kepercayaan relativistik bahwa kehendak manusia adalah hukum di dalam dirinya sendiri -- apapun boleh dan semuanya diizinkan. Inilah sebagian alasan mengapa Nietzsche menganggap Kekristenan nihilistik. Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi dari sistem filsafat yang idealistik manapun, karena semua idealisme menderita kelemahan yang sama seperti moralitas Kristen -- yakni tidak memiliki "dasar" untuk membangun di atasnya. Karena itu ia menggambarkan dirinya sebagai 'manusia bawah tanah' (subterranean man) yang sedang bekerja, yang menggali dan menambang dan menggangsir."[2]
[sunting] Kemungkinan-kemungkinan baru
Nietzsche percaya bahwa bisa ada kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi manusia tanpa Tuhan. Melepaskan kepercayaan kepada Tuhan akan membuka jalan bagi kemampuan-kemampuan kreatif manusia untuk berkembang sepenuhnya. Tuhan orang Kristen, dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya yang sewenang-wenang, tidak akan lagi menghalanginya, sehingga manusia boleh berhenti mengalihkan mata mereka kepada ranah adikodrati dan mulai mengakui nilai dari dunia ini. Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Ãœbermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.
(sunting) Suara Nietzsche
Meskipun Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seorang "gila" dalam Die fröhliche Wissenschaft, ia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri dalam seksi 108 dan 343 dari buku yang sama. Dalam ucapan si orang gila, orang itu digambarkan berlari-lari di pasar sambil berseru-seru, "Tuhan sudah mati! Tuhan tetap mati!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun yang menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras-keras bahwa ia datang terlalu dini. Orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata:
Kejadian yang aneh ini masih berlangsung, masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.
Die fröhliche Wissenschaft, seksi 125
Sebelumnya dalam buku itu (seksi 108), Nietzsche menulis "Tuhan sudah mati; tetapi karena cara manusia, mungkin masih ada gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita -- kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya pua." Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri setelah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya:
'Dan apakah yang dilakukan si orang suci ini di hutan?' tanya Zarathustra. Si orang suci menjawab: 'Aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan ketika aku membuat nyanyian, aku tertawa, menangis dan bersenandung: jadi dengan melakukan semua itu aku memuji Tuhan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung aku memuji tuhan yang adalah tuhanku. Tetapi apa yang engkau bawa kepada kami sebagai hadiah?' Ketika Zarathustra mendengar kata-kata ini ia mengucapkan selamat berpisah dan berkata: 'Apa yang dapat kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Tapi biarkanlah aku pergi dengan segera agar aku tidak mengambil sesuatu daripadamu!' Dan kemudian mereka berpisah, si orang tua dan lelaki itu, sambil tertawa seperti dua anak lelaki tertawa.
Tetapi ketika Zarathustra sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Tuhan sudah mati!'
terj. Walter Kaufmann, Thus Spoke Zarathustra, Prolog, seksi 2.
Ketika menemukan dalam sebuah nyanyian gereja karya Martin Luther apa yang digambarkan oleh Hegel sebagai kata-kata yang kejam, ungkapan yang keji, yakni, Tuhan sudah mati, Hegel arangkali adalah filsuf besar pertama yang mengembangkan tema tentang kematian Tuhan. Menurut Hegel, bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati. Sambil mengomentari Critique pertama Kant, Heinrich Heine berbicara tentang Tuhan yang sedang sekarat. Heine mempengaruhi Nietzsche. Sejak Heine dan Nietzsche, ungkapan Kematian Tuhan menjadi populer. (K. Satchidananda Murty, The Realm of Between, IIAS,1973)
Senin, 18 April 2011
TAN MALAKA: BAPAK REPUBLIK YANG TERLUPAKAN
Tan Malaka; sosok yang terlupakan. Di tengah gemuruh arus kemerdekaan yang hebat, ia hanya bisa menikmatinya dari alam kubur. Mungkin benar seperti yang dikatakan oleh Tan; “Ingatlah, bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras dari pada di atas bumi”. Memang, akhirnya ia tewas, namun ...agaknya suaranya tak terdengar lantang di bumi bangsanya.
Ia pahlawan nasional. Presiden Sukarno mengesahkannya pada 1963. Tapi itu hanya sebuah peristiwa semu saja, yang beralibi untuk mengenang Tan. Pada masa Orba, namanya tenggelam begitu saja tanpa ada yang menyanggah. Ia dihapus dari buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Mungkin, perlakuan naif itu dilakukan, karena Orba merasa diri anti-komunisme.
Tan nyaris tak disebut dalam kisah-kisah heroik para pejuang. Pramoedya Ananta Toer, mengatakan bahwa Orba telah melakukan “pembodohan sejarah”, rakyat Indonesia dijejali dengan kebohongan lewat sekolah-sekolah. Boleh jadi, apa yang dikatakan Pram, mengarah pada Tan yang terlupakan. Sehingga, sejarah Indonesia akan mengalami ketimpangan; seolah ada tokoh-tokoh super yang ditampilkan berlebihan, ada juga yang tak dikenal sama sekali.
Tapi pahlawan bukan tokoh misterius. Ia ada untuk ditelaah perjuangannya, atau sekadar menilik kembali kejadian suram masa silam. Bukan untuk dielu-elukan, apalagi sampai didewakan. Seolah-olah, pahlawan telah menjadi mitos. Anggapan inilah yang kemudian menjadi sebuah jarak, antara masa silam dan masa sekarang. Padahal, apa yang terjadi sekarang, sebenarnya pun mirip dengan kejadian masa lampau. Sebenarnya, antara masa silam dan sekarang itu ada sebuah jembatan, ia adalah sejarah.
Siapa pula yang kenal dengan Tan Malaka? Sedikit sekali orang yang mengenalnya. Ia adalah tokoh yang berperan penting dalam kemerdekaan pascaproklamasi. Pada 1922, ia dibuang oleh pemerintah kolonilal ke Belanda karena dianggap “mengusik”. Dari sana ia berkelana ke banyak negara dengan berbagai nama samaran dan membawa ideologi; Marxisme. Bukan semata ia mempertahankan ideologinya, namun yang terpenting baginya adalah kemerdekaan Indonesia.
Pada 1942, ia kembali ke Indonesia diam-diam, setelah malang melintang di berbagai negara dengan keterasingannya. Ilyas Hussein nama samarannya, ia pergi ke Jakarta menemui tokoh pemuda, melakukan propaganda. Tentu mereka heran, ia yang mengaku bekerja di pertambangan batu bara di Banten, bisa mengutarakan gagasannya sehebat itu. Ternyata, nama Tan terkenal, karyanya; “Masa Aksi”, banyak dipelajari oleh kaum pergerakan, termasuk Sukarno.
Pascaproklamasi, Tan-lah yang mendesak pemuda agar segera melakukan proklamasi. Dengan pengaruhnya, Soekarno dan Hatta diculik golongan pemuda ke Rengasdengklok. Alhasil, proklamasi terlaksana. Tan tak hadir dalam kejadian penting itu, ia yang waktu itu menginap di rumah Sukarni(golongan muda) ditinggal oleh tuan rumahnya itu; ternyata Sukarnilah yang menculik Sukarno, sehingga Tan ditinggal, pada saat itu pun Sukarni tak tahu bahwa Hussein itu Tan. Ia jugalah yang menggerakan masa pada rapat akbar di lapangan Ikada.
Di tanah airnya sendiri, ia pernah dipenjara—lebih lama dari di luar negeri; dua setengah tahun. Pada 1946, ia ditangkap di Madiun, dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Soekarno-Hatta. Sebelumnya, ia membentuk “Persatuan Perjuangan” yang intinya, menolak jalur diplomasi—ia menginginkan Indonesia merdeka seratus persen. Di tempat inilah ia bertemu dengan Jendral Soedirman. Akhirnya, dua sekawan ini bergerilya bersama kembali menghalau Agresi Belanda, setelah Tan bebas pada 1948. Saat itu, kemerdekaan Indonesia dalam keadaan genting; Soekarno, Hatta, Syahrir ditangkap oleh Belanda. Tan dan Soedirman pun berpisah, ia bergerilya ke Jawa Timur, sedang Soedirman ke Jawa Tengah.
Pemerintahan darurat dibentuk, Syafrudin Prawiranegara di Sumatra yang memimpinnya. Tan menolak, ia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk menyebarkan pamplet dan berpidato memproklamasikan dirinya sebagai pemimpin besar revolusi, menggantikan Soekarno-Hatta yang tak lagi memegang kekuasaan; ia melakukan itu, karena Soekarno pernah memberikan testamen pada 1945 yang isinya, menyerahkan kekuasaanya apabila Soekarno ditangkap.
Dalam persembunyian itu, Tan melakukan propaganda agar rakyat berani melakukan gerilya terhadap Belanda. Di tempat itu juga, Tan mengkritik tentara devisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dinilai pengecut dan tak peduli terhadap rakyat. Soengkono mendengar kabar itu, akhirnya ia menugasi anak buahnya untuk mengintai Tan karena dianggap berbahaya untuk Republik Indonesia. Tan dinilai melakukan agitasi politik terhadap rakyat, guna merebut kekuasaan Soekarno.
Tan tewas oleh Tentara Republik Indonesia, di Selopanggung, pada 23 Februari 1949. Masih menjadi kontroversi siapa yang membunuh Tan. Harry Poeze, Sejarawan Belanda yang meneliti Tan, mengatakan jika yang mengeksekusi Tan adalah Tentara itu, atas perintah Soengkono. Tan tewas tanpa jejak, pemakamannya pun tak jelas. Ia dihujat dan dilupakan oleh negaranya sendiri. Ia kesepian, api semangatnya yang membara ternyata tak berarti apa-apa oleh ganasnya senapan.
Sejarah memang milik penguasa, kata seseorang. Demi kepentingan politik, sang pahlawan dibentuk atau ditiadakan. Yang hebat tambah menjadi hebat, hingga ditempatkan pada yang bukan tempatnya. Akhirnya, sang pahlawan hilang kehebatan, ketika ia ditempatkan pada dunia yang bukan kuasanya; dunia para dewa.
Tan tetap hebat, di tengah mahkluk sesamanya yang mendewakan manusia. Sebab, ia tak ditempatkan di dunia dewa-dewa seperti “Sang Pahlawan” lainnya.
Source: Berdikari Online
Jumat, 15 April 2011
PHOTOGRAPHY: GIRLS ON GRAFFITIES
All Photos has been captured by:
GEAR:
*NIKON D300S
LENSES:
*NIKON Lenses 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR AFS DX
*NIKON Lenses AF 50mm f/1.4D
*NIKON Lenses AF 80-200mm f/2.8D ED N
MODEL: STEFANIE ANGGAJADJA
Pic 1: "I'm The Graffities Girl"
Pic 2: "Lady Like DJ's on Graffities"
Pic 3: "Colorful Smiling"
Pic 4: "Sit On Broken Wall"
Pic 5: "Stefanie Pose on Graffities Wall"
Pic 6: "In Yellow We Trust"
Pic 7: "Let's Bomb The Wall"
GEAR:
*NIKON D300S
LENSES:
*NIKON Lenses 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR AFS DX
*NIKON Lenses AF 50mm f/1.4D
*NIKON Lenses AF 80-200mm f/2.8D ED N
MODEL: STEFANIE ANGGAJADJA
Pic 1: "I'm The Graffities Girl"
Pic 2: "Lady Like DJ's on Graffities"
Pic 3: "Colorful Smiling"
Pic 4: "Sit On Broken Wall"
Pic 5: "Stefanie Pose on Graffities Wall"
Pic 6: "In Yellow We Trust"
Pic 7: "Let's Bomb The Wall"
PHOTOGRAPHY: ROSEMARRY SIMPLE SEXY
All Photos has been captured by:
GEAR:
*NIKON D300S
LENSES:
*NIKON Lenses 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR AFS DX
*NIKON Lenses AF 50mm f/1.4D
MODEL: ROSEMARRY HALIL RUSLI
Pic 1: "Watch Me Back"
Pic 2: "The Cute Rosemarry"
Pic 3: "Sharpness Eyes"
Pic 4: "Natural Sidelight"
GEAR:
*NIKON D300S
LENSES:
*NIKON Lenses 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR AFS DX
*NIKON Lenses AF 50mm f/1.4D
MODEL: ROSEMARRY HALIL RUSLI
Pic 1: "Watch Me Back"
Pic 2: "The Cute Rosemarry"
Pic 3: "Sharpness Eyes"
Pic 4: "Natural Sidelight"
PHOTOGRAPHY: AGNES TRYING TO BE SEXY
All Photos has been Captured by:
GEAR:
*NIKON D300S
LENSES:
*NIKON Lenses 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR AFS DX
*NIKON Lenses AF 50mm f/1.4D
MODEL: AGNES AMOY
Pic 1: "Agnes Pose"
Pic 1: "The Trees Stand up"
Pic 2: "Coloring Agnes"
Pic 4: "Just Wait For You"
GEAR:
*NIKON D300S
LENSES:
*NIKON Lenses 18-105mm f/3.5-5.6G ED VR AFS DX
*NIKON Lenses AF 50mm f/1.4D
MODEL: AGNES AMOY
Pic 1: "Agnes Pose"
Pic 1: "The Trees Stand up"
Pic 2: "Coloring Agnes"
Pic 4: "Just Wait For You"
MENGAPA SBY GATAL?
Saat ini SBY sedang kesepian, bahkan menurut informasi yang didapat dari seputar istana, SBY sudah stress berat sehingga seringkali menempatkan perilaku bodohnya seperti menggaruk selangkangan didepan umum, perilaku yang sangat tidak pantas dan memalukan bagi seorang Presiden. Kenapa bisa demikian? Pertama, SBY panik karena ia ditolak kemanapun ia pergi. Celakanya, penolakan itu justru terjadi dinegaranya sendiri, bukan oleh siapa-siapa tetapi oleh para mahasiswanya dan kaum muda. Kepanikannya bertambah lagi ketika para tokoh Agama yang menjadi parameter moral Bangsa secara kolektif mengeluarkan pernyataan "SBY PEMBOHONG!".
Belum selesai dengan pernyataan para tokoh Agama, tiba-tiba media Australia melalui koran The Age dan Sydney Morning Herald menulis tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh SBY untuk menumpuk harta dan mempertahankan kekuasaannya, karena berita itu SBY lalu jatuh sakit dan Isterinya, Ani Yudhoyono menangis, bukan karena sedih akibat fitnah, tetapi sakit dan kesal yan ditimbulkan karena ia sadar bahwa KEBOHONGANNYA bukan saja diketahui oleh rakyat Indonesia tetapi sudah diketahui oleh rakyat dunia.
Berikutnya kepanikan SBY semakin bertambah besar karena ia sadar bahwa tidak ada satupun orang disekelilingnya yang bisa ia percaya akan membela dirinya. Ia sadar bahwa baik partai koalisi maupun aktivis yang direkrutnya ternyata tidak mau capek menjadi pelindungnya tetapi malah justru memanfaatkan sisa waktu untuk merampok harta bangsa ini sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya ia menggertak dengan ancaman reshuffle yang faktanya hingga hari ini tidak terjadi.
Informasi terakhir SBY berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan menciptakan isu-isu baru (Bom Buku, NII dan lain-lain) agar tatapan rakyat dapat dialihkan dari dirinya kepada isu baru yang ia rekayasa. Selain isu baru SBY juga sedang melakukan konsolidasi di Cipanas dengan para perwira angkatan yang sama dengan dirinya yaitu angkatan 1973. Namun harapan SBY sepertinya tidak tercapai karena yang terjadi justru perwira muda malah melihat SBY berusaha memecah belah kesatuan TNI sebagai alat pertahanan negara dan itu tentunya sangat Berbahaya. Kekecewaan itu menjadi rumor akan adanya purnawirawan jenderal yang mau mengkudeta pemerintahannya. Beberapa hari terakhir konon SBY tiap hari marah-marah karena tulisan yang dimuat dikoran terbesar dengan oplah 2 juta eksemplaar setiap hari di Amerika yaitu Wall Street Journal yang menyatakan keraguan pada SBY mampu menjalankan pemerintahan.
Sepertinya saat ini SBY sedang menghitung hari kejatuhan dirinya. Ia diserang habis-habisan didalam negeri dan dikepung oleh negara-negara yang semula adalah sekutunya, gawatnya lagi tidak ada seorangpun disekelilingnya yang bisa dia percaya. banyak pakar yang menyatakan bahwa momentum perubahan bersejarah akan terjadi dalam waktu dekat di Indonesia, terlebih lagi karena konflik yang terjadi diberbagai negara Timur Tengah hingga Afrika yang mengakibatkan harga minyak dunia akan semakin melesat tinggi termasuk di Indonesia yang tidak mampu menahan harga minyak bukan semata karena situasi di Timur Tengah tetapi karena ada nafsu korupsi serakah dari para pejabat negara dengan dalih mencabut subsidi.
Ketika SBY jatuh maka yang bersalah bukanlah para mahasiswa, bukan pemuda, bukan pula rakyat, tetapi karena memang tabungan dusta yang selama ini ditumpuk oleh SBY. Kejatuhan SBY kelak akan menjadi pelajaran bagi siapapun yang berkuasa nantinya bahwa "SIAPA YANG MENABUR DUSTA akan MENUAI MELAPETAKA" karena "DUSTA adalah BAPAK DARI SEGALA DOSA".
Belum selesai dengan pernyataan para tokoh Agama, tiba-tiba media Australia melalui koran The Age dan Sydney Morning Herald menulis tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh SBY untuk menumpuk harta dan mempertahankan kekuasaannya, karena berita itu SBY lalu jatuh sakit dan Isterinya, Ani Yudhoyono menangis, bukan karena sedih akibat fitnah, tetapi sakit dan kesal yan ditimbulkan karena ia sadar bahwa KEBOHONGANNYA bukan saja diketahui oleh rakyat Indonesia tetapi sudah diketahui oleh rakyat dunia.
Berikutnya kepanikan SBY semakin bertambah besar karena ia sadar bahwa tidak ada satupun orang disekelilingnya yang bisa ia percaya akan membela dirinya. Ia sadar bahwa baik partai koalisi maupun aktivis yang direkrutnya ternyata tidak mau capek menjadi pelindungnya tetapi malah justru memanfaatkan sisa waktu untuk merampok harta bangsa ini sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya ia menggertak dengan ancaman reshuffle yang faktanya hingga hari ini tidak terjadi.
Informasi terakhir SBY berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan menciptakan isu-isu baru (Bom Buku, NII dan lain-lain) agar tatapan rakyat dapat dialihkan dari dirinya kepada isu baru yang ia rekayasa. Selain isu baru SBY juga sedang melakukan konsolidasi di Cipanas dengan para perwira angkatan yang sama dengan dirinya yaitu angkatan 1973. Namun harapan SBY sepertinya tidak tercapai karena yang terjadi justru perwira muda malah melihat SBY berusaha memecah belah kesatuan TNI sebagai alat pertahanan negara dan itu tentunya sangat Berbahaya. Kekecewaan itu menjadi rumor akan adanya purnawirawan jenderal yang mau mengkudeta pemerintahannya. Beberapa hari terakhir konon SBY tiap hari marah-marah karena tulisan yang dimuat dikoran terbesar dengan oplah 2 juta eksemplaar setiap hari di Amerika yaitu Wall Street Journal yang menyatakan keraguan pada SBY mampu menjalankan pemerintahan.
Sepertinya saat ini SBY sedang menghitung hari kejatuhan dirinya. Ia diserang habis-habisan didalam negeri dan dikepung oleh negara-negara yang semula adalah sekutunya, gawatnya lagi tidak ada seorangpun disekelilingnya yang bisa dia percaya. banyak pakar yang menyatakan bahwa momentum perubahan bersejarah akan terjadi dalam waktu dekat di Indonesia, terlebih lagi karena konflik yang terjadi diberbagai negara Timur Tengah hingga Afrika yang mengakibatkan harga minyak dunia akan semakin melesat tinggi termasuk di Indonesia yang tidak mampu menahan harga minyak bukan semata karena situasi di Timur Tengah tetapi karena ada nafsu korupsi serakah dari para pejabat negara dengan dalih mencabut subsidi.
Ketika SBY jatuh maka yang bersalah bukanlah para mahasiswa, bukan pemuda, bukan pula rakyat, tetapi karena memang tabungan dusta yang selama ini ditumpuk oleh SBY. Kejatuhan SBY kelak akan menjadi pelajaran bagi siapapun yang berkuasa nantinya bahwa "SIAPA YANG MENABUR DUSTA akan MENUAI MELAPETAKA" karena "DUSTA adalah BAPAK DARI SEGALA DOSA".
Kamis, 14 April 2011
LEON TROTSKY: NASIONALISASI INDUSTRI DAN KONTROL BURUH
Pengantar
Pada tahun 1938, ketika pemerintahan Cardenas di Meksiko menasionalisasi industri minyak dari imperialis Anglo-Amerika, koran-koran seperti NY Daily News mengatakan bahwa aksi nasionalisasi tersebut disebabkan oleh pengaruh Leon Trotsky yang saat itu sedang eksil di Mexico. Tentu saja ini tidak benar.
Trotsky telah membuat sebuah perjanjian, yang sangat dia perhatikan, bahwa sebagai imbalan atas suaka politik di Meksiko dia tidak akan terlibat di dalam politik Meksiko. Sebagai akibatnya, dia hanya bisa memberikan komentar umum mengenai aksi nasionalisasi tersebut. Dia mendukung aksi tersebut dan menjelaskan pandangan-pandangannya di dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada tanggal 5 Juni 1938, yang kemudian diterbitkan di majalah Socialist Appeal (sekarang dikenal sebagai The Militant) pada tanggal 25 Juni 1938. Saat itu, tidak diketahui kalau Trotsky menulis lebih jauh mengenai satu aspek nasionalisasi tersebut: yakni kontrol buruh atas industri minyak yang dinasionalisai oleh pemerintahan Meksiko.
Pada bulan April 1946, Joseph Hansen, mantan sekretaris Leon Trotsky, mengunjungi Natalia Trotsky. Dia juga memanggil teman-teman Trotsky untuk bertemu. Salah satu dari mereka telah mempelajari aksi nasionalisasi tersebut. Teman yang satu ini bercerita mengenai diskusinya dengan Trotsky mengenai keunikan kontrol buruh di industri yang dinasionalisasi di sebuah negara kapitalis.
Trotsky berjanji untuk menganalisa topik ini lebih jauh. Kira-kira tiga hari kemudian, sekretaris Prancis Trotsky menelpon bahwa Trotsky telah menulis sebuah artikel pendek mengenai topik tersebut.
Artikel ini tidak pernah dipublikasikan dimana-mana. Kamerad Hansen memeriksa manuskrip tersebut. Diketik dalam bahasa Prancis, artikel tersebut tidak ada tanggalnya dan tidak dibubuhi tandatangan, tetapi tambahan-tambahan dan koreksi-koreksi yang ditulis dengan tinta tampak seperti tulisan tangannya Trotsky. Gaya tulisan, dan terutama metode analisa dan kesimpulan-kesimpulan revolusioner di dalam artikel tersebut tidak diragukan lagi adalah milik Trotsky. Kamerad Hansen segera mengetik sebuah kopi dan membawanya ke Natalia. Dia yakin akan keaslian artikel ini. Kira-kira, artikel ini ditulis pada bulan Mei atau Juni 1938. – Editor Fourth International, New York
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di negara-negara yang industrinya terbelakang, modal kapital asing memainkan sebuah peran yang penting. Maka dari itu, kelas borjuasi nasional secara relatif lebih lemah dibandingkan dengan kelas proletar nasional. Ini menciptakan situasi-situasi yang unik di dalam kekuasaan negara. Pemerintahan negara-negara tersebut berayun-ayun di antara kapital asing dan domestik, di antara kaum borjuasi nasional yang lemah dan kaum proletar yang secara relatif lebih kuat. Ini memberikan pemerintahan tersebut sebuah karakter Bonapartis yang unik. Pemerintahan ini, bisa dikatakan, mengangkat dirinya di atas kelas-kelas. Sebenarnya, pemerintahan ini dapat memerintah dengan salah satu dari dua cara ini: menjadi instrumen kapitalisme asing dan mengikat kelas proletar dengan rantai kediktaturan polisi, atau melakukan manuver-manuver dengan kelas proletar dan bahkan sampai sejauh memberikan konsensi-konsensi kepada mereka, dan oleh karenanya mendapat kesempatan untuk meraih kebebasan tertentu dari kapitalis-kapitalis asing. Kebijakan pemerintahan Meksiko sekarang ini adalah manifestasi cara kedua; pencapaian terbesarnya adalah nasionalisasi rel kereta api dan industri minyak.
Kebijakan-kebijakan ini sepenuhnya berada di dalam limit kapitalisme negara (state capitalism). Akan tetapi, di dalam sebuah negara semi-koloni, kapitalisme negara menemukan dirinya di bawah tekanan besar dari kapitalis swasta asing dan negara-negara kapital asing tersebut, dan tidak dapat mempertahankan dirinya tanpa dukungan aktif dari kelas pekerja. Inilah mengapa pemerintahan ini mencoba untuk memberikan organisasi-organisasi buruh sebuah tanggung jawab yang cukup besar dalam menjalankan produksi di dalam cabang-cabang industri yang sudah dinasionalisasi.
Apakah kebijakan yang harus diambil oleh partai buruh di dalam kasus seperti ini? Untuk menyatakan bahwa jalan menuju sosialisme bukan melalui revolusi proletar tetapi melalui nasionalisasi industri-industri oleh negara borjuis dan pemindahannya ke tangan organisasi-organisasi pekerja, pernyataan ini adalah sebuah kekeliruan yang dapat membawa malapetaka, sebuah penipuan besar-besaran. Tetapi permasalahannya bukan ini. Pemerintahan borjuis telah melaksanakan nasionalisasi dan terpaksa harus meminta partisipasi buruh di dalam manajemen industri nasional tersebut. Seseorang dapat menghindari pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa tanpa pengambilalihan kekuasaan oleh kelas proletar, maka partisipasi serikat-serikat buruh di dalam manajemen industri-industri kapitalisme negara (state capitalism) tidak akan memberikan hasil-hasil sosialis. Akan tetapi, kebijakan negatif seperti itu (yakni menolak partisipasi di dalam industri-industri yang sudah dinasionalisasi oleh negara borjuis – penerjemah) tidak akan dimengerti oleh rakyat dan ini akan memperkuat posisi kaum oportunis. Bagi kaum Marxis, permasalahannya bukan membangun sosialisme dengan tangan kaum borjuasi, permasalahan utamanya adalah untuk memanfaatkan situasi-situasi yang timbul dari kapitalisme negara dan memajukan gerakan buruh revolusioner.
Partisipasi di dalam parlemen-parlemen borjuis sudah tidak dapat memberikan hasil-hasil yang positif; di dalam kondisi tertentu, partisipasi ini bahkan dapat menghancurkan moral dan semangat deputi-deputi buruh tersebut. Tetapi ini bukanlah sebuah argumen bagi kaum revolusioner untuk mendukung anti-parlementerianisme.
Adalah keliru untuk menyamakan kebijakan partisipasi buruh di dalam manajemen industri nasional dengan kebijakan partisipasi kaum sosialis di dalam pemerintahan borjuis (yang kita sebut dengan ministerialisme). Semua anggota pemerintahan terikat oleh ikatan solidaritas. Sebuah partai yang terwakilkan di dalam pemerintah bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan tersebut. Partisipasi di dalam manajemen sebuah cabang industri nasional mengijinkan kesempatan penuh untuk menjadi oposisi politik. Di dalam kasus dimana perwakilan buruh di dalam manejemen adalah minoritas, mereka bisa menyerukan dan mempublikasikan proposal yang ditolak kepada para pekerja.
Partisipasi serikat buruh di dalam manajemen industri nasional bisa dibandingkan dengan partisipasi kaum sosialis di dalam pemerintahan munisipal/kota, dimana kaum sosialis kadang-kadang meraih kemenangan mayoritas dan harus memerintah ekonomi kota yang penting, walaupun kelas borjuasi masih mendominasi negara dan hukum properti borjuasi masih utuh. Kaum reformis di pemerintahan munisipal secara pasif menyesuaikan diri mereka dengan rejim borjuasi. Sebaliknya, kaum revolusioner di arena munisipal melakukan segalanya untuk membela kepentingan rakyat pekerja dan pada saat yang sama mendidik para pekerja di dalam setiap langkah bahwa kebijakan munisipal ini tidak mempunyai kekuatan riil sama sekali tanpa penaklukan kekuasaan.
Perbedaannya adalah bahwa di dalam arena pemerintahan munisipal para pekerja meraih posisi-posisi tertentu dengan melalui pemilihan demokratik, sedangkan di dalam industri nasional pemerintahanlah yang mengundang para pekerja untuk mengambil posisi-posisi tertentu. Tetapi perbedaan ini hanyalah formalitas. Di dalam kedua kasus, kaum borjuasi terpaksa memberikan konsensi kepada kaum pekerja. Kaum pekerja lalu memanfaatkan konsensi ini untuk kepentingan mereka sendiri.
Sangatlah bodoh bila kita menutup mata terhadap bahaya yang datang dari situasi dimana serikat buruh memainkan peran utama di dalam industri nasional. Basis dari bahaya ini adalah hubungan antara pemimpin-pemimpin serikat buruh dengan aparatus kapitalisme negara, yakni transformasi wakil-wakil proletar yang bermandat menjadi tawanan negara borjuasi. Tetapi, sebesar apapun bahaya tersebut, ini hanya merupakan bagian dari bahaya yang umum – atau lebih tepatnya, penyakit yang umum. Yakni degenerasi/kebangkrutan borjuis dari aparatus-aparatus serikat buruh di dalam era imperialisme, bukan hanya di pusat-pusat kota metropolitan tua, tetapi juga di negara-negara koloni. Di dalam kebanyakan kasus, pemimpin-pemimpin serikat buruh adalah agen-agen politik dari kelas borjuasi dan negaranya. Di dalam industri nasional, pemimpin-pemimpin ini dapat menjadi dan telah menjadi agen-agen administrasi langsung kaum borjuasi. Untuk melawan bahaya ini tidak ada jalan yang lain kecuali berjuang untuk independensi gerakan buruh secara umum, dan secara khusus membentuk simpul-simpul revolusioner yang solid di dalam serikat buruh, yang mampu memperjuangkan kebijakan kelas buruh dan komposisi revolusioner di dalam kepemimpinan serikat buruh.
Bahaya yang lain datang dari kenyataan bahwa bank-bank dan perusahaan-perusahaan kapitalis lainnya, yang diperlukan secara ekonomis oleh cabang industri nasional, dapat dan akan menggunakan metode-metode sabotase tertentu untuk menciptakan halangan bagi kontrol buruh, untuk mendiskreditkan dan mendorongnya ke kegagalan. Para pemimpin reformis akan mencoba mencegah bahaya ini dengan menuruti secara patuh tuntutan-tuntutan kapitalis ini, terutama bank-bank. Sebaliknya, dari sabotase oleh bank-bank ini, pemimpin-pemimpin revolusioner akan mengambil kesimpulan bahwa mereka perlu menyita bank-bank tersebut dan membentuk satu bank nasional yang akan menjadi rumah akuntan dari seluruh ekonomi. Tentu saja ini harus dihubungkan dengan permasalahan penaklukkan kekuasaan oleh kelas buruh.
Perusahaan-perusahaan kapitalis, domestik dan asing, secara tak terelakkan akan berkonspirasi dengan institusi-institusi negara untuk mempersulit kontrol buruh di dalam industri nasional. Di pihak yang lain, organisasi-organisasi buruh yang ada di dalam manajemen cabang-cabang industri nasional harus bersatu untuk saling bertukar pengalaman, harus saling memberikan dukungan ekonomi, harus bertindak dengan kesatuan dalam menuntut kondisi kredit dari pemerintahan, dsb. Tentu saja biro pusat kontrol buruh atas cabang-cabang industri yang sudah dinasionalisasi ini harus mempunyai hubungan terdekat dengan serikat-serikat buruh.
Ringkasnya, arena perjuangan yang baru ini mengandung kesempatan yang paling besar dan bahaya yang paling besar juga. Bahaya ini datang dari kenyataan bahwa melalui serikat-serikat buruh yang terkendali, kapitalisme negara dapat menekan kelas pekerja, mengeksploitasi mereka, dan melumpuhkan perjuangan mereka. Kesempatan revolusioner dapat tiba bila kaum buruh mampu memimpin serangan terhadap kekuatan-kekuatan kapital dan negara borjuasi melalui posisi mereka di dalam cabang-cabang industri yang penting. Mana yang akan menang? Dan kapan? Ini sangatlah mustahil untuk diprediksi. Ini semuanya tergantung dari perjuangan tendensi-tendensi yang berbeda di dalam kelas buruh, dari pengalaman buruh sendiri, dari situasi dunia. Bagaimanapun juga, untuk menggunakan arena perjuangan ini demi kepentingan kelas buruh dan bukan aristokrasi buruh dan birokrasi, hanya dibutuhkan satu kondisi: keberadaan sebuah partai Marxis revolusioner yang mempelajari dengan hati-hati semua aktifitas kelas buruh, mengkritisi setiap penyimpangan, mendidik dan mengorganisir pekerja, meraih pengaruh di dalam serikat-serikat buruh, dan memastikan perwakilan buruh yang revolusioner di dalam industri nasional.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis pada Mei atau Juni 1938
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Duncan Ferguson
Sumber versi cetak: "Nationalized Industry and Workers' Management", Fourth International [New York], Vol 7 No.8, Agustus 1946, halaman 239,242
Diterbitkan online dalam Leon Trotsky Internet Archive
Versi onlinenya diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ted Sprague pada Juli 2008
Pada tahun 1938, ketika pemerintahan Cardenas di Meksiko menasionalisasi industri minyak dari imperialis Anglo-Amerika, koran-koran seperti NY Daily News mengatakan bahwa aksi nasionalisasi tersebut disebabkan oleh pengaruh Leon Trotsky yang saat itu sedang eksil di Mexico. Tentu saja ini tidak benar.
Trotsky telah membuat sebuah perjanjian, yang sangat dia perhatikan, bahwa sebagai imbalan atas suaka politik di Meksiko dia tidak akan terlibat di dalam politik Meksiko. Sebagai akibatnya, dia hanya bisa memberikan komentar umum mengenai aksi nasionalisasi tersebut. Dia mendukung aksi tersebut dan menjelaskan pandangan-pandangannya di dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada tanggal 5 Juni 1938, yang kemudian diterbitkan di majalah Socialist Appeal (sekarang dikenal sebagai The Militant) pada tanggal 25 Juni 1938. Saat itu, tidak diketahui kalau Trotsky menulis lebih jauh mengenai satu aspek nasionalisasi tersebut: yakni kontrol buruh atas industri minyak yang dinasionalisai oleh pemerintahan Meksiko.
Pada bulan April 1946, Joseph Hansen, mantan sekretaris Leon Trotsky, mengunjungi Natalia Trotsky. Dia juga memanggil teman-teman Trotsky untuk bertemu. Salah satu dari mereka telah mempelajari aksi nasionalisasi tersebut. Teman yang satu ini bercerita mengenai diskusinya dengan Trotsky mengenai keunikan kontrol buruh di industri yang dinasionalisasi di sebuah negara kapitalis.
Trotsky berjanji untuk menganalisa topik ini lebih jauh. Kira-kira tiga hari kemudian, sekretaris Prancis Trotsky menelpon bahwa Trotsky telah menulis sebuah artikel pendek mengenai topik tersebut.
Artikel ini tidak pernah dipublikasikan dimana-mana. Kamerad Hansen memeriksa manuskrip tersebut. Diketik dalam bahasa Prancis, artikel tersebut tidak ada tanggalnya dan tidak dibubuhi tandatangan, tetapi tambahan-tambahan dan koreksi-koreksi yang ditulis dengan tinta tampak seperti tulisan tangannya Trotsky. Gaya tulisan, dan terutama metode analisa dan kesimpulan-kesimpulan revolusioner di dalam artikel tersebut tidak diragukan lagi adalah milik Trotsky. Kamerad Hansen segera mengetik sebuah kopi dan membawanya ke Natalia. Dia yakin akan keaslian artikel ini. Kira-kira, artikel ini ditulis pada bulan Mei atau Juni 1938. – Editor Fourth International, New York
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di negara-negara yang industrinya terbelakang, modal kapital asing memainkan sebuah peran yang penting. Maka dari itu, kelas borjuasi nasional secara relatif lebih lemah dibandingkan dengan kelas proletar nasional. Ini menciptakan situasi-situasi yang unik di dalam kekuasaan negara. Pemerintahan negara-negara tersebut berayun-ayun di antara kapital asing dan domestik, di antara kaum borjuasi nasional yang lemah dan kaum proletar yang secara relatif lebih kuat. Ini memberikan pemerintahan tersebut sebuah karakter Bonapartis yang unik. Pemerintahan ini, bisa dikatakan, mengangkat dirinya di atas kelas-kelas. Sebenarnya, pemerintahan ini dapat memerintah dengan salah satu dari dua cara ini: menjadi instrumen kapitalisme asing dan mengikat kelas proletar dengan rantai kediktaturan polisi, atau melakukan manuver-manuver dengan kelas proletar dan bahkan sampai sejauh memberikan konsensi-konsensi kepada mereka, dan oleh karenanya mendapat kesempatan untuk meraih kebebasan tertentu dari kapitalis-kapitalis asing. Kebijakan pemerintahan Meksiko sekarang ini adalah manifestasi cara kedua; pencapaian terbesarnya adalah nasionalisasi rel kereta api dan industri minyak.
Kebijakan-kebijakan ini sepenuhnya berada di dalam limit kapitalisme negara (state capitalism). Akan tetapi, di dalam sebuah negara semi-koloni, kapitalisme negara menemukan dirinya di bawah tekanan besar dari kapitalis swasta asing dan negara-negara kapital asing tersebut, dan tidak dapat mempertahankan dirinya tanpa dukungan aktif dari kelas pekerja. Inilah mengapa pemerintahan ini mencoba untuk memberikan organisasi-organisasi buruh sebuah tanggung jawab yang cukup besar dalam menjalankan produksi di dalam cabang-cabang industri yang sudah dinasionalisasi.
Apakah kebijakan yang harus diambil oleh partai buruh di dalam kasus seperti ini? Untuk menyatakan bahwa jalan menuju sosialisme bukan melalui revolusi proletar tetapi melalui nasionalisasi industri-industri oleh negara borjuis dan pemindahannya ke tangan organisasi-organisasi pekerja, pernyataan ini adalah sebuah kekeliruan yang dapat membawa malapetaka, sebuah penipuan besar-besaran. Tetapi permasalahannya bukan ini. Pemerintahan borjuis telah melaksanakan nasionalisasi dan terpaksa harus meminta partisipasi buruh di dalam manajemen industri nasional tersebut. Seseorang dapat menghindari pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa tanpa pengambilalihan kekuasaan oleh kelas proletar, maka partisipasi serikat-serikat buruh di dalam manajemen industri-industri kapitalisme negara (state capitalism) tidak akan memberikan hasil-hasil sosialis. Akan tetapi, kebijakan negatif seperti itu (yakni menolak partisipasi di dalam industri-industri yang sudah dinasionalisasi oleh negara borjuis – penerjemah) tidak akan dimengerti oleh rakyat dan ini akan memperkuat posisi kaum oportunis. Bagi kaum Marxis, permasalahannya bukan membangun sosialisme dengan tangan kaum borjuasi, permasalahan utamanya adalah untuk memanfaatkan situasi-situasi yang timbul dari kapitalisme negara dan memajukan gerakan buruh revolusioner.
Partisipasi di dalam parlemen-parlemen borjuis sudah tidak dapat memberikan hasil-hasil yang positif; di dalam kondisi tertentu, partisipasi ini bahkan dapat menghancurkan moral dan semangat deputi-deputi buruh tersebut. Tetapi ini bukanlah sebuah argumen bagi kaum revolusioner untuk mendukung anti-parlementerianisme.
Adalah keliru untuk menyamakan kebijakan partisipasi buruh di dalam manajemen industri nasional dengan kebijakan partisipasi kaum sosialis di dalam pemerintahan borjuis (yang kita sebut dengan ministerialisme). Semua anggota pemerintahan terikat oleh ikatan solidaritas. Sebuah partai yang terwakilkan di dalam pemerintah bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintahan tersebut. Partisipasi di dalam manajemen sebuah cabang industri nasional mengijinkan kesempatan penuh untuk menjadi oposisi politik. Di dalam kasus dimana perwakilan buruh di dalam manejemen adalah minoritas, mereka bisa menyerukan dan mempublikasikan proposal yang ditolak kepada para pekerja.
Partisipasi serikat buruh di dalam manajemen industri nasional bisa dibandingkan dengan partisipasi kaum sosialis di dalam pemerintahan munisipal/kota, dimana kaum sosialis kadang-kadang meraih kemenangan mayoritas dan harus memerintah ekonomi kota yang penting, walaupun kelas borjuasi masih mendominasi negara dan hukum properti borjuasi masih utuh. Kaum reformis di pemerintahan munisipal secara pasif menyesuaikan diri mereka dengan rejim borjuasi. Sebaliknya, kaum revolusioner di arena munisipal melakukan segalanya untuk membela kepentingan rakyat pekerja dan pada saat yang sama mendidik para pekerja di dalam setiap langkah bahwa kebijakan munisipal ini tidak mempunyai kekuatan riil sama sekali tanpa penaklukan kekuasaan.
Perbedaannya adalah bahwa di dalam arena pemerintahan munisipal para pekerja meraih posisi-posisi tertentu dengan melalui pemilihan demokratik, sedangkan di dalam industri nasional pemerintahanlah yang mengundang para pekerja untuk mengambil posisi-posisi tertentu. Tetapi perbedaan ini hanyalah formalitas. Di dalam kedua kasus, kaum borjuasi terpaksa memberikan konsensi kepada kaum pekerja. Kaum pekerja lalu memanfaatkan konsensi ini untuk kepentingan mereka sendiri.
Sangatlah bodoh bila kita menutup mata terhadap bahaya yang datang dari situasi dimana serikat buruh memainkan peran utama di dalam industri nasional. Basis dari bahaya ini adalah hubungan antara pemimpin-pemimpin serikat buruh dengan aparatus kapitalisme negara, yakni transformasi wakil-wakil proletar yang bermandat menjadi tawanan negara borjuasi. Tetapi, sebesar apapun bahaya tersebut, ini hanya merupakan bagian dari bahaya yang umum – atau lebih tepatnya, penyakit yang umum. Yakni degenerasi/kebangkrutan borjuis dari aparatus-aparatus serikat buruh di dalam era imperialisme, bukan hanya di pusat-pusat kota metropolitan tua, tetapi juga di negara-negara koloni. Di dalam kebanyakan kasus, pemimpin-pemimpin serikat buruh adalah agen-agen politik dari kelas borjuasi dan negaranya. Di dalam industri nasional, pemimpin-pemimpin ini dapat menjadi dan telah menjadi agen-agen administrasi langsung kaum borjuasi. Untuk melawan bahaya ini tidak ada jalan yang lain kecuali berjuang untuk independensi gerakan buruh secara umum, dan secara khusus membentuk simpul-simpul revolusioner yang solid di dalam serikat buruh, yang mampu memperjuangkan kebijakan kelas buruh dan komposisi revolusioner di dalam kepemimpinan serikat buruh.
Bahaya yang lain datang dari kenyataan bahwa bank-bank dan perusahaan-perusahaan kapitalis lainnya, yang diperlukan secara ekonomis oleh cabang industri nasional, dapat dan akan menggunakan metode-metode sabotase tertentu untuk menciptakan halangan bagi kontrol buruh, untuk mendiskreditkan dan mendorongnya ke kegagalan. Para pemimpin reformis akan mencoba mencegah bahaya ini dengan menuruti secara patuh tuntutan-tuntutan kapitalis ini, terutama bank-bank. Sebaliknya, dari sabotase oleh bank-bank ini, pemimpin-pemimpin revolusioner akan mengambil kesimpulan bahwa mereka perlu menyita bank-bank tersebut dan membentuk satu bank nasional yang akan menjadi rumah akuntan dari seluruh ekonomi. Tentu saja ini harus dihubungkan dengan permasalahan penaklukkan kekuasaan oleh kelas buruh.
Perusahaan-perusahaan kapitalis, domestik dan asing, secara tak terelakkan akan berkonspirasi dengan institusi-institusi negara untuk mempersulit kontrol buruh di dalam industri nasional. Di pihak yang lain, organisasi-organisasi buruh yang ada di dalam manajemen cabang-cabang industri nasional harus bersatu untuk saling bertukar pengalaman, harus saling memberikan dukungan ekonomi, harus bertindak dengan kesatuan dalam menuntut kondisi kredit dari pemerintahan, dsb. Tentu saja biro pusat kontrol buruh atas cabang-cabang industri yang sudah dinasionalisasi ini harus mempunyai hubungan terdekat dengan serikat-serikat buruh.
Ringkasnya, arena perjuangan yang baru ini mengandung kesempatan yang paling besar dan bahaya yang paling besar juga. Bahaya ini datang dari kenyataan bahwa melalui serikat-serikat buruh yang terkendali, kapitalisme negara dapat menekan kelas pekerja, mengeksploitasi mereka, dan melumpuhkan perjuangan mereka. Kesempatan revolusioner dapat tiba bila kaum buruh mampu memimpin serangan terhadap kekuatan-kekuatan kapital dan negara borjuasi melalui posisi mereka di dalam cabang-cabang industri yang penting. Mana yang akan menang? Dan kapan? Ini sangatlah mustahil untuk diprediksi. Ini semuanya tergantung dari perjuangan tendensi-tendensi yang berbeda di dalam kelas buruh, dari pengalaman buruh sendiri, dari situasi dunia. Bagaimanapun juga, untuk menggunakan arena perjuangan ini demi kepentingan kelas buruh dan bukan aristokrasi buruh dan birokrasi, hanya dibutuhkan satu kondisi: keberadaan sebuah partai Marxis revolusioner yang mempelajari dengan hati-hati semua aktifitas kelas buruh, mengkritisi setiap penyimpangan, mendidik dan mengorganisir pekerja, meraih pengaruh di dalam serikat-serikat buruh, dan memastikan perwakilan buruh yang revolusioner di dalam industri nasional.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis pada Mei atau Juni 1938
Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Duncan Ferguson
Sumber versi cetak: "Nationalized Industry and Workers' Management", Fourth International [New York], Vol 7 No.8, Agustus 1946, halaman 239,242
Diterbitkan online dalam Leon Trotsky Internet Archive
Versi onlinenya diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Ted Sprague pada Juli 2008
PBB: REFORMASI ATAU BUBARKAN?
Saat berbicara dalam Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat, Bung Karno dengan pedas menelanjangi PBB sebagai kaki-tangan kolonialisme dan imperialisme. Salah satu kata-kata pedas Bung Karno berbunyi: “Janganlah bertindak sebagai tangan kanan yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan dengan begitu tuan akan membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan mati dalam kandungan.”
Pidato Bung Karno itu tentu sangat relevan dengan kondisi hari ini. Sejak bulan lalu Maret 2011, PBB telah memberikan restu kepada sekutu untuk menggempur Libya, negara di Afrika utara yang kaya minyak. Beberapa hari terakhir, PBB kembali menjadi sponsor untuk melancarkan serangan terbuka ke Pantai-Gading. Di Abidjan, salah satu kota terbesar di Pantai Gading, helikopter PBB bersama Perancis menggempur habis-habisan rumah Presiden Pantai Gading yang menolak mundur, Laurent Gbagbo.
Kali ini, dengan topeng demokrasi dan intervensi kemanusiaan, PBB telah menjadi sponsor atas serangan pesawat tempur dan rudal-rudal sekutu terhadap negara kecil yang berdaulat. Dengan alasan demokrasi dan kemanusiaan pula, PBB telah merestui ratusan roket dan bom membunuh orang-orang sipil tidak berdosa di Libya. Pada saat bersamaan, PBB malah menutup mata ketika Arab Saudi, negara paling monarkhis dan anti-demokrasi di dunia, mengirim tank dan pasukan militer untuk menindas demonstran pro-demokrasi di Bahrain. PBB juga menutup mata saat pesawat tempur dan militer Israel kembali menggempur rakyat tak berdosa di Gaza, Palestina.
Demokrasi dan kemanusiaan hanya topeng belaka, tetapi di belakangnya ada nafsu untuk mengontrol sumber daya alam dan terus menegakkan hegemoni ekonomi-politik di berbagai kawasan dunia. Ini adalah kepentingan dari dunia lama (old established order), yang terus-menerus bertindak sebagai pengusa dunia dan karena itu merasa berhak untuk bisa merampok negara-negara yang lemah. Negara-negara yang menyebutnya dirinya sebagai penjaga demokrasi dan kemanusiaan sekarang ini, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Italia, adalah negara-negara yang punya sejarah kelam dengan kolonialisme, rasisme, dan fasisme. Ideologi-ideologi reaksioner itu pernah mereka elu-elukan sebagai bentuk keunggulan bangsa mereka, tetapi sekarang mereka 'sok' menjadi paling demokratis dan paling humanis di dunia.
Tetapi, demokrasi dan humanisme bagi negeri-negeri imperialis itu hanya suatu dongengan kanak-kanak, suatu permainan retorika indah, suatu permainan tipu muslihat yang akan segera terbuka kedoknya oleh dinamisasi zaman. Di Amerika Serikat, negeri yang selalu mengaku paling demokratis, telah berkembang ideologi reaksioner yang memusuhi kaum imigran dan orang-orang islam (Islampohobia). Sementara di Perancis, negeri tempat lahirnya revolusi yang terkenal itu, perjuangan rakyat pekerja dan rakyat tertindas sudah runcing-runcingnya untuk menggantikan rezim reaksioner negeri yang dipimpin oleh Nicolas Sarkozy itu. Sedangkan Italia, yang pernah dikuasai fasisme, presidennya sedang bermasalah dengan berbagai skandal seks.
Saat ini yang menjadi masalah mendasar dalam beberapa dekade terakhir adalah demokratisasi, restrukturisasi dan reformasi Badan PBB terutama komposisi dalam tubuh Dewan Keamanan yang sudah lama tidak lagi mencerminkan komposisi negara-negara di dunia. Selama struktur dan komposisi Dewan Keamanan termasuk hak veto hanya dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan tidak di ubah, maka tidak akan ada keadilan dalam menangani barbagai masalah global yang di hadapi dunia saat ini.
Revisi terhadap Piagam PBB sebagai dasar Pembentukan PBB juga dirasa sangat perlu karena Piagam ini juga berisikan ketentuan-ketentuan yang sudah usang, kurang relevan dengan kondisi kekinian dan tidak jelas. Ketidakjelasan ketentuan "Hak Bela Diri" misalnya telah menyebabkan terjadinya berbagai interpretasi dan penyalahgunaan kekuatan. Ketentuan dari Pasal 25 Piagam PBB yang memberikan legitimasi sangat absolut bagi Dewan Keamanan bersifat mengikat bagi semua negara di dunia dirasakan sangat tidak adil bagi negara-negara anggota maupun yang bukan anggota selama belum ada reformasi dalam tubuh Dewan Keamanan.
Hal-hal penting tersebut memerlukan perhatian khusus bagi peninjauan kembali Piagam PBB demi tercapai dan terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya kesejahteraan bagi semua bangsa di dunia seperti yang dicanangkan dalam pembukaan Piagam PBB. Memang akan tidak mudah melakukan reformasi ini, karena Pasal 108 Piagam PBB mensyaratkan bahwa amandemen terhadap Piagam ini hanya akan sah bila duapertiga anggota Majelis Umum menyetujuinya dan diratifikasi oleh duapertiga negara anggota PBB termasuk oleh seluruh negara anggota tetap Dewan Keamanan pemegang hak veto.
Jika reformasi dan perubahan struktural Badan PBB sulit direalisasikan dan masih mengadopsi sistem yang berkutat pada status quo yang bersifat tidak adil itu, juga karena telah menjadi alat kolonialisme dan imperialisme, sudah semestinya komunitas internasional bertindak untuk segera membubarkan dan menggantikannya dengan organisasi baru yang didasarkan pada kesetaraan antar bangsa, kerjasama internasional, dan solidaritas kemanusiaan. Akan tetapi, tidak mungkin kita bisa menata suatu dunia baru, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme sebagai musuh masyarakat internasional. Oleh karena itu, sebagai bagian dari kekuatan hebat yang sedang berjuang melawan imperialisme, adalah keharusan bagi kita untuk bergandengan tangan dengan dengan seluruh kekuatan anti-imperialis di Asia, Timur-tengah, Afrika, Amerika Latin, dan rakyat pekerja di Eropa sana, demi mengubur imperialisme dan kolonialisme ini.
Sabtu, 09 April 2011
SUBCOMANDANTE MARCOS SANG PEJUANG PEMBEBASAN NASIONAL
Topeng balaclava tak pernah lepas menutup seluruh wajahnya. Tak ketinggalan juga cerutu yang selalu menempel erat di mulutnya, ikut kemana pun ia pergi. Dunia pun terus bertanya-tanya, “siapa orang dibalik topeng itu?” Pertanyaan itu terus berkecamuk dan menimbulkan berbagai spekulasi hingga sekarang tentang siapa si misterius dibalik topeng itu. Tak ada jawaban pasti, hanya sekedar terkaan belaka yang sangat sulit dibuktikan kebenarannya. Orang dibalik topeng itu bisa saja berganti setiap waktu sesuai keadaan tanpa ada yang tahu. “Subcomandante Marcos hanyalah sebuah simbol bagi perlawanan masyarakat adat,” tegas orang dibalik topeng itu.
Banyak pihak memperkirakan, orang dibalik topeng itu adalah salah satu professor muda di salah satu universitas di Meksiko. Ada lagi yang mengatakan, ia adalah mantan gerilyawan marxis yang telah lama Pemerintah Meksiko yakin, Marcos adalah Rafael Sebastian Guillen, pria 43 tahun, kelahiran Tamaupilas di utara Meksiko. Dia pernah menjadi dosen filsafat di Universitas Otonomi Nasional Meksiko (UNAM). Pada 1983, dia pindah ke Chiapas di bagian selatan negeri itu untuk bekerja bersama suku asli yang mendiami wilayah tersebut. Dia menghilang dan sekarang muncul kembali dengan wajah baru. Namun, itu hanyalah rekaan saja karena tak ada yang tahu siapa sebenarnya Subcomandante Marcos itu. Orang dibalik topeng balaclava itu juga tak pernah mau membuka topengnya kepada siapa pun sehingga misterinya tetap terjaga. Apalagi, semua pasukan pemberontak (EZLN) memakai topeng yang mirip dengannya. Tanpa wajah, hanya mata saja yang terlihat karena Subcomandante Marcos sejatinya adalah simbol perlawanan. Simbol perlawanan yang apabila eksistensinya dimatikan, maka pemberontakannya akan terus hidup karena tidak bergantung pada satu orang tapi keputusan bersama (klandestine).
Bagi Subcomandante Marcos, berperang bukanlah untuk membunuh atau dibunuh. Bagi satu di antara tiga pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang berjuang menuntut persamaan hak bagi warga suku asli Meksiko di Chiapas, Meksiko Selatan, tersebut, berperang adalah untuk didengar. Tak heran kalau kemudian harian terkemuka Amerika Serikat The New York Times menabalkan Zapatista sebagai revolusi post-modern pertama di dunia. Maksudnya, revolusi bersenjata yang berusaha untuk tidak pernah menggunakan senjata. Dan, Marcos adalah otak di balik revolusi cerdas itu.
Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserrta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para pemberontak EZLN. Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi. Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos, sejnta utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.
Sebagai gantinya, Marcos memperkenalkan pola perjuangan baru: memanfaatkan kata sebagai senjata. Dia pun menulis esai, puisi, dan buku. Sudah sekitar 200 esai dipublikasikan tokoh yang identik dengan balaclava alias penutup wajah dan pipa cangklong itu. Puluhan bukunya juga telah diterbitkan. Dengan puisi dan cerpennya, gerakan Zapatista “menyerang” seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Cerpen karya Subcomandante Marcos tentang kisah seekor kumbang kecil yang melawan neoliberalisme berjudul Durito adalah karya monumentalnya. Bahkan, di harian La Jornada, Subcomandante Marcos bersahut-sahutan menulis cerpen bersambung dengan salah satu sastrawan Meksiko. Subcomandante Marcos juga secara rutin mengirimkan komunike EZLN ke seluruh dunia melalui saluran internet. Tulisan tentang Durito dan komunike ini mengilhami berbagai macam pemikiran tentang pentingnya ruang publik dan penghentian marjinalisasi kelompok minoritas. Secara keseluruhan, EZLN mengilhami berbagai macam gerakan anti-neoliberalisme. Salah satu bukti nyatanya adalah adanya protes dalam setiap KTT WTO, G-8 (sekarang berganti G-20), serta lainnya.
Mungkin karena itulah, dia dikagumi dan dicintai tak hanya oleh warga etnis Indian Maya di Chiapas, tapi juga sebagian besar warga Meksiko. Itu terbukti ketika pada 2001 dia melakukan long march sejauh 3.000 kilometer dari Hutan Lacandon tempatnya bergerilya selama ini menuju ke ibu kota Mexico City. Puluhan ribu warga menyambut dia dengan gegap gempita sepanjang jalan.
Namun, tanda tanya besar senantiasa muncul tentang gerakan kata-kata mereka. Bagaimana cerpen atau komunike itu bisa tersebar ke selutruh dunia karena belantara Chiapas tak terhubung dengan saluran komunikasi dan informasi? Bagaimana komunike itu ditulis menggunakan data-data terbaru karena mereka tinggal di tengah hutan belantara? Bagaimana cara mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar?? Inilah beberapa pertanyaan penting yang samapi sekarang belum bisa terjawab. Hidup di tengah hutan belantara tapi dapat terus mengakses informasi dan merespon keadaan dunia kontemporer secara detil.
Dengan kata-kata, Zapatista dan Subcomandante Marcos berusaha melawan hegemoni dunia yang berpaham neoliberalisme. Bagi Zapatista, masyarakat adat harus tetap mendapatkan hak mereka secara penuh dan tetap dihormati sebagaimana adanya. Meskipun minoritas, masyarakat adat adalah bagian dari dunia, begitupula kelompok-kelompok marjinal lainnya. Mereka harus dapat tempat semestinya tanpa harus dipinggirkan oleh kekuasaan. Keseragaman hanya akan memperburuk wajah dunia. Dunia akan tampak lebih indah dengan keragaman yang ada didalamnya. Selain itu, keberadaan negara adalah sesuatu yang penting untuk melindungi rakyatnya. Negara tak boleh jatuh ke tangan pemilik modal agar kepentingan semua pihak bisa terpenuhi. Bukan sekedar akumulasi kapital saja. Karena itu, dunia yang lain adalah mungkin…
Banyak pihak memperkirakan, orang dibalik topeng itu adalah salah satu professor muda di salah satu universitas di Meksiko. Ada lagi yang mengatakan, ia adalah mantan gerilyawan marxis yang telah lama Pemerintah Meksiko yakin, Marcos adalah Rafael Sebastian Guillen, pria 43 tahun, kelahiran Tamaupilas di utara Meksiko. Dia pernah menjadi dosen filsafat di Universitas Otonomi Nasional Meksiko (UNAM). Pada 1983, dia pindah ke Chiapas di bagian selatan negeri itu untuk bekerja bersama suku asli yang mendiami wilayah tersebut. Dia menghilang dan sekarang muncul kembali dengan wajah baru. Namun, itu hanyalah rekaan saja karena tak ada yang tahu siapa sebenarnya Subcomandante Marcos itu. Orang dibalik topeng balaclava itu juga tak pernah mau membuka topengnya kepada siapa pun sehingga misterinya tetap terjaga. Apalagi, semua pasukan pemberontak (EZLN) memakai topeng yang mirip dengannya. Tanpa wajah, hanya mata saja yang terlihat karena Subcomandante Marcos sejatinya adalah simbol perlawanan. Simbol perlawanan yang apabila eksistensinya dimatikan, maka pemberontakannya akan terus hidup karena tidak bergantung pada satu orang tapi keputusan bersama (klandestine).
Bagi Subcomandante Marcos, berperang bukanlah untuk membunuh atau dibunuh. Bagi satu di antara tiga pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang berjuang menuntut persamaan hak bagi warga suku asli Meksiko di Chiapas, Meksiko Selatan, tersebut, berperang adalah untuk didengar. Tak heran kalau kemudian harian terkemuka Amerika Serikat The New York Times menabalkan Zapatista sebagai revolusi post-modern pertama di dunia. Maksudnya, revolusi bersenjata yang berusaha untuk tidak pernah menggunakan senjata. Dan, Marcos adalah otak di balik revolusi cerdas itu.
Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserrta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para pemberontak EZLN. Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi. Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos, sejnta utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.
Sebagai gantinya, Marcos memperkenalkan pola perjuangan baru: memanfaatkan kata sebagai senjata. Dia pun menulis esai, puisi, dan buku. Sudah sekitar 200 esai dipublikasikan tokoh yang identik dengan balaclava alias penutup wajah dan pipa cangklong itu. Puluhan bukunya juga telah diterbitkan. Dengan puisi dan cerpennya, gerakan Zapatista “menyerang” seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Cerpen karya Subcomandante Marcos tentang kisah seekor kumbang kecil yang melawan neoliberalisme berjudul Durito adalah karya monumentalnya. Bahkan, di harian La Jornada, Subcomandante Marcos bersahut-sahutan menulis cerpen bersambung dengan salah satu sastrawan Meksiko. Subcomandante Marcos juga secara rutin mengirimkan komunike EZLN ke seluruh dunia melalui saluran internet. Tulisan tentang Durito dan komunike ini mengilhami berbagai macam pemikiran tentang pentingnya ruang publik dan penghentian marjinalisasi kelompok minoritas. Secara keseluruhan, EZLN mengilhami berbagai macam gerakan anti-neoliberalisme. Salah satu bukti nyatanya adalah adanya protes dalam setiap KTT WTO, G-8 (sekarang berganti G-20), serta lainnya.
Mungkin karena itulah, dia dikagumi dan dicintai tak hanya oleh warga etnis Indian Maya di Chiapas, tapi juga sebagian besar warga Meksiko. Itu terbukti ketika pada 2001 dia melakukan long march sejauh 3.000 kilometer dari Hutan Lacandon tempatnya bergerilya selama ini menuju ke ibu kota Mexico City. Puluhan ribu warga menyambut dia dengan gegap gempita sepanjang jalan.
Namun, tanda tanya besar senantiasa muncul tentang gerakan kata-kata mereka. Bagaimana cerpen atau komunike itu bisa tersebar ke selutruh dunia karena belantara Chiapas tak terhubung dengan saluran komunikasi dan informasi? Bagaimana komunike itu ditulis menggunakan data-data terbaru karena mereka tinggal di tengah hutan belantara? Bagaimana cara mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar?? Inilah beberapa pertanyaan penting yang samapi sekarang belum bisa terjawab. Hidup di tengah hutan belantara tapi dapat terus mengakses informasi dan merespon keadaan dunia kontemporer secara detil.
Dengan kata-kata, Zapatista dan Subcomandante Marcos berusaha melawan hegemoni dunia yang berpaham neoliberalisme. Bagi Zapatista, masyarakat adat harus tetap mendapatkan hak mereka secara penuh dan tetap dihormati sebagaimana adanya. Meskipun minoritas, masyarakat adat adalah bagian dari dunia, begitupula kelompok-kelompok marjinal lainnya. Mereka harus dapat tempat semestinya tanpa harus dipinggirkan oleh kekuasaan. Keseragaman hanya akan memperburuk wajah dunia. Dunia akan tampak lebih indah dengan keragaman yang ada didalamnya. Selain itu, keberadaan negara adalah sesuatu yang penting untuk melindungi rakyatnya. Negara tak boleh jatuh ke tangan pemilik modal agar kepentingan semua pihak bisa terpenuhi. Bukan sekedar akumulasi kapital saja. Karena itu, dunia yang lain adalah mungkin…
Langganan:
Postingan (Atom)