Kamis, 14 April 2011

PBB: REFORMASI ATAU BUBARKAN?



Saat berbicara dalam Sidang Umum PBB pada 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat, Bung Karno dengan pedas menelanjangi PBB sebagai kaki-tangan kolonialisme dan imperialisme. Salah satu kata-kata pedas Bung Karno berbunyi: “Janganlah bertindak sebagai tangan kanan yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan dengan begitu tuan akan membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan mati dalam kandungan.”

Pidato Bung Karno itu tentu sangat relevan dengan kondisi hari ini. Sejak bulan lalu Maret 2011, PBB telah memberikan restu kepada sekutu untuk menggempur Libya, negara di Afrika utara yang kaya minyak. Beberapa hari terakhir, PBB kembali menjadi sponsor untuk melancarkan serangan terbuka ke Pantai-Gading. Di Abidjan, salah satu kota terbesar di Pantai Gading, helikopter PBB bersama Perancis menggempur habis-habisan rumah Presiden Pantai Gading yang menolak mundur, Laurent Gbagbo.

Kali ini, dengan topeng demokrasi dan intervensi kemanusiaan, PBB telah menjadi sponsor atas serangan pesawat tempur dan rudal-rudal sekutu terhadap negara kecil yang berdaulat. Dengan alasan demokrasi dan kemanusiaan pula, PBB telah merestui ratusan roket dan bom membunuh orang-orang sipil tidak berdosa di Libya. Pada saat bersamaan, PBB malah menutup mata ketika Arab Saudi, negara paling monarkhis dan anti-demokrasi di dunia, mengirim tank dan pasukan militer untuk menindas demonstran pro-demokrasi di Bahrain. PBB juga menutup mata saat pesawat tempur dan militer Israel kembali menggempur rakyat tak berdosa di Gaza, Palestina.

Demokrasi dan kemanusiaan hanya topeng belaka, tetapi di belakangnya ada nafsu untuk mengontrol sumber daya alam dan terus menegakkan hegemoni ekonomi-politik di berbagai kawasan dunia. Ini adalah kepentingan dari dunia lama (old established order), yang terus-menerus bertindak sebagai pengusa dunia dan karena itu merasa berhak untuk bisa merampok negara-negara yang lemah. Negara-negara yang menyebutnya dirinya sebagai penjaga demokrasi dan kemanusiaan sekarang ini, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Italia, adalah negara-negara yang punya sejarah kelam dengan kolonialisme, rasisme, dan fasisme. Ideologi-ideologi reaksioner itu pernah mereka elu-elukan sebagai bentuk keunggulan bangsa mereka, tetapi sekarang mereka 'sok' menjadi paling demokratis dan paling humanis di dunia.

Tetapi, demokrasi dan humanisme bagi negeri-negeri imperialis itu hanya suatu dongengan kanak-kanak, suatu permainan retorika indah, suatu permainan tipu muslihat yang akan segera terbuka kedoknya oleh dinamisasi zaman. Di Amerika Serikat, negeri yang selalu mengaku paling demokratis, telah berkembang ideologi reaksioner yang memusuhi kaum imigran dan orang-orang islam (Islampohobia). Sementara di Perancis, negeri tempat lahirnya revolusi yang terkenal itu, perjuangan rakyat pekerja dan rakyat tertindas sudah runcing-runcingnya untuk menggantikan rezim reaksioner negeri yang dipimpin oleh Nicolas Sarkozy itu. Sedangkan Italia, yang pernah dikuasai fasisme, presidennya sedang bermasalah dengan berbagai skandal seks.

Saat ini yang menjadi masalah mendasar dalam beberapa dekade terakhir adalah demokratisasi, restrukturisasi dan reformasi Badan PBB terutama komposisi dalam tubuh Dewan Keamanan yang sudah lama tidak lagi mencerminkan komposisi negara-negara di dunia. Selama struktur dan komposisi Dewan Keamanan termasuk hak veto hanya dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan tidak di ubah, maka tidak akan ada keadilan dalam menangani barbagai masalah global yang di hadapi dunia saat ini.

Revisi terhadap Piagam PBB sebagai dasar Pembentukan PBB juga dirasa sangat perlu karena Piagam ini juga berisikan ketentuan-ketentuan yang sudah usang, kurang relevan dengan kondisi kekinian dan tidak jelas. Ketidakjelasan ketentuan "Hak Bela Diri" misalnya telah menyebabkan terjadinya berbagai interpretasi dan penyalahgunaan kekuatan. Ketentuan dari Pasal 25 Piagam PBB yang memberikan legitimasi sangat absolut bagi Dewan Keamanan bersifat mengikat bagi semua negara di dunia dirasakan sangat tidak adil bagi negara-negara anggota maupun yang bukan anggota selama belum ada reformasi dalam tubuh Dewan Keamanan.

Hal-hal penting tersebut memerlukan perhatian khusus bagi peninjauan kembali Piagam PBB demi tercapai dan terpeliharanya perdamaian dan keamanan serta terciptanya kesejahteraan bagi semua bangsa di dunia seperti yang dicanangkan dalam pembukaan Piagam PBB. Memang akan tidak mudah melakukan reformasi ini, karena Pasal 108 Piagam PBB mensyaratkan bahwa amandemen terhadap Piagam ini hanya akan sah bila duapertiga anggota Majelis Umum menyetujuinya dan diratifikasi oleh duapertiga negara anggota PBB termasuk oleh seluruh negara anggota tetap Dewan Keamanan pemegang hak veto.

Jika reformasi dan perubahan struktural Badan PBB sulit direalisasikan dan masih mengadopsi sistem yang berkutat pada status quo yang bersifat tidak adil itu, juga karena telah menjadi alat kolonialisme dan imperialisme, sudah semestinya komunitas internasional bertindak untuk segera membubarkan dan menggantikannya dengan organisasi baru yang didasarkan pada kesetaraan antar bangsa, kerjasama internasional, dan solidaritas kemanusiaan. Akan tetapi, tidak mungkin kita bisa menata suatu dunia baru, jika tidak menghancur-leburkan kolonialisme dan imperialisme sebagai musuh masyarakat internasional. Oleh karena itu, sebagai bagian dari kekuatan hebat yang sedang berjuang melawan imperialisme, adalah keharusan bagi kita untuk bergandengan tangan dengan dengan seluruh kekuatan anti-imperialis di Asia, Timur-tengah, Afrika, Amerika Latin, dan rakyat pekerja di Eropa sana, demi mengubur imperialisme dan kolonialisme ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar