Sabtu, 09 April 2011

SUBCOMANDANTE MARCOS SANG PEJUANG PEMBEBASAN NASIONAL

Topeng balaclava tak pernah lepas menutup seluruh wajahnya. Tak ketinggalan juga cerutu yang selalu menempel erat di mulutnya, ikut kemana pun ia pergi. Dunia pun terus bertanya-tanya, “siapa orang dibalik topeng itu?” Pertanyaan itu terus berkecamuk dan menimbulkan berbagai spekulasi hingga sekarang tentang siapa si misterius dibalik topeng itu. Tak ada jawaban pasti, hanya sekedar terkaan belaka yang sangat sulit dibuktikan kebenarannya. Orang dibalik topeng itu bisa saja berganti setiap waktu sesuai keadaan tanpa ada yang tahu. “Subcomandante Marcos hanyalah sebuah simbol bagi perlawanan masyarakat adat,” tegas orang dibalik topeng itu.

Banyak pihak memperkirakan, orang dibalik topeng itu adalah salah satu professor muda di salah satu universitas di Meksiko. Ada lagi yang mengatakan, ia adalah mantan gerilyawan marxis yang telah lama Pemerintah Meksiko yakin, Marcos adalah Rafael Sebastian Guillen, pria 43 tahun, kelahiran Tamaupilas di utara Meksiko. Dia pernah menjadi dosen filsafat di Universitas Otonomi Nasional Meksiko (UNAM). Pada 1983, dia pindah ke Chiapas di bagian selatan negeri itu untuk bekerja bersama suku asli yang mendiami wilayah tersebut. Dia menghilang dan sekarang muncul kembali dengan wajah baru. Namun, itu hanyalah rekaan saja karena tak ada yang tahu siapa sebenarnya Subcomandante Marcos itu. Orang dibalik topeng balaclava itu juga tak pernah mau membuka topengnya kepada siapa pun sehingga misterinya tetap terjaga. Apalagi, semua pasukan pemberontak (EZLN) memakai topeng yang mirip dengannya. Tanpa wajah, hanya mata saja yang terlihat karena Subcomandante Marcos sejatinya adalah simbol perlawanan. Simbol perlawanan yang apabila eksistensinya dimatikan, maka pemberontakannya akan terus hidup karena tidak bergantung pada satu orang tapi keputusan bersama (klandestine).

Bagi Subcomandante Marcos, berperang bukanlah untuk membunuh atau dibunuh. Bagi satu di antara tiga pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN) yang berjuang menuntut persamaan hak bagi warga suku asli Meksiko di Chiapas, Meksiko Selatan, tersebut, berperang adalah untuk didengar. Tak heran kalau kemudian harian terkemuka Amerika Serikat The New York Times menabalkan Zapatista sebagai revolusi post-modern pertama di dunia. Maksudnya, revolusi bersenjata yang berusaha untuk tidak pernah menggunakan senjata. Dan, Marcos adalah otak di balik revolusi cerdas itu.

Banyak yang bilang, nuklir adalah senjata paling mematikan di dunia. Kekuatan dan dampaknya dapat menghancurkan dunia beserrta isinya. Namun, hal ini tak berlaku bagi para pemberontak EZLN. Senjata paling mematikan bagi mereka adalah kata-kata. Dengan kata, dunia yang ada saat ini tercipta. Segala sesuatu ada karena kata. Dengan kata, pengetahuan seseorang dapat terisi. Seperti yang diutarakan filsuf Perancis, Michael Foucault, power is knowledge. Hal ini juga ditegaskan Subcomandante Marcos, sejnta utama mereka adalah kata yang bisa mengubah dunia berserta isinya. “Kata adalah senjata,” tegasnya.

Sebagai gantinya, Marcos memperkenalkan pola perjuangan baru: memanfaatkan kata sebagai senjata. Dia pun menulis esai, puisi, dan buku. Sudah sekitar 200 esai dipublikasikan tokoh yang identik dengan balaclava alias penutup wajah dan pipa cangklong itu. Puluhan bukunya juga telah diterbitkan. Dengan puisi dan cerpennya, gerakan Zapatista “menyerang” seluruh belahan dunia tanpa terkecuali. Cerpen karya Subcomandante Marcos tentang kisah seekor kumbang kecil yang melawan neoliberalisme berjudul Durito adalah karya monumentalnya. Bahkan, di harian La Jornada, Subcomandante Marcos bersahut-sahutan menulis cerpen bersambung dengan salah satu sastrawan Meksiko. Subcomandante Marcos juga secara rutin mengirimkan komunike EZLN ke seluruh dunia melalui saluran internet. Tulisan tentang Durito dan komunike ini mengilhami berbagai macam pemikiran tentang pentingnya ruang publik dan penghentian marjinalisasi kelompok minoritas. Secara keseluruhan, EZLN mengilhami berbagai macam gerakan anti-neoliberalisme. Salah satu bukti nyatanya adalah adanya protes dalam setiap KTT WTO, G-8 (sekarang berganti G-20), serta lainnya.

Mungkin karena itulah, dia dikagumi dan dicintai tak hanya oleh warga etnis Indian Maya di Chiapas, tapi juga sebagian besar warga Meksiko. Itu terbukti ketika pada 2001 dia melakukan long march sejauh 3.000 kilometer dari Hutan Lacandon tempatnya bergerilya selama ini menuju ke ibu kota Mexico City. Puluhan ribu warga menyambut dia dengan gegap gempita sepanjang jalan.

Namun, tanda tanya besar senantiasa muncul tentang gerakan kata-kata mereka. Bagaimana cerpen atau komunike itu bisa tersebar ke selutruh dunia karena belantara Chiapas tak terhubung dengan saluran komunikasi dan informasi? Bagaimana komunike itu ditulis menggunakan data-data terbaru karena mereka tinggal di tengah hutan belantara? Bagaimana cara mereka bisa berkomunikasi dengan dunia luar?? Inilah beberapa pertanyaan penting yang samapi sekarang belum bisa terjawab. Hidup di tengah hutan belantara tapi dapat terus mengakses informasi dan merespon keadaan dunia kontemporer secara detil.

Dengan kata-kata, Zapatista dan Subcomandante Marcos berusaha melawan hegemoni dunia yang berpaham neoliberalisme. Bagi Zapatista, masyarakat adat harus tetap mendapatkan hak mereka secara penuh dan tetap dihormati sebagaimana adanya. Meskipun minoritas, masyarakat adat adalah bagian dari dunia, begitupula kelompok-kelompok marjinal lainnya. Mereka harus dapat tempat semestinya tanpa harus dipinggirkan oleh kekuasaan. Keseragaman hanya akan memperburuk wajah dunia. Dunia akan tampak lebih indah dengan keragaman yang ada didalamnya. Selain itu, keberadaan negara adalah sesuatu yang penting untuk melindungi rakyatnya. Negara tak boleh jatuh ke tangan pemilik modal agar kepentingan semua pihak bisa terpenuhi. Bukan sekedar akumulasi kapital saja. Karena itu, dunia yang lain adalah mungkin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar