Selama ini orang
Indonesia pada umumnya mengira bahwa Sumber Daya Alam (SDA) adalah hal
terpenting, bahkan dianggap menjadi amunisi utama menuju kemakmuran dan kesejahteraan.
Tak terkecuali dalam kampanye capres 2014 ini, di mana masih ada calon yang berpikir demikian yang secara eksplisit dijadikan peluru utama dalam perdebatan antar capres serta dalam berbagai retorika visi-misi kampanyenya. Boleh jadi ini ada benarnya, tapi faktanya pemikiran atas
klaim-klaim dan menjadikan SDA sebagai sumber utama kesejahteraan itu adalah
pemikiran usang yang lebih cocok diterapkan di zaman kolonial. Sedangkan pada zaman di mana kemajuan sains-teknologi luar
biasa pesatnya, SDA bukanlah satu-satunya faktor yang mesti diagungkan dan
diunggulkan, tapi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sistem-lah yang menjadi faktor
mercusuar utama kesejahteraan suatu bangsa.
Kalau betul SDA letak
kunci kemakmuran, pertanyaannya adalah mengapa Afrika dan Amerika Latin yang
teramat kaya raya SDA tetap saja melarat dan miskin inovasi. Di Afrika ambilah
contoh Negara Sierra Leone yang kaya mineral, batu berlian yang melimpah dan tanah
subur luar biasa, tapi kenyataannya Sierra Leone tetap begitu-begitu saja di
Afrika, rakyatnya miskin melarat. Lalu Nigeria, negara kaya minyak terbesar di Afrika,
penduduknya tetap miskin dan negaranya berada pada jurang perpecahan akibat
perang antar suku dan agama yang menjadikan minyak sebagai sarana perebutan kekuasaan. Di
negara-negara Afrika yang kaya SDA, baik pemerintahnya maupun rakyatnya seolah-olah
tidak tahu harus berbuat apa, boleh jadi mereka putus asa. Bahkan lembaga Dewan Ekonomi PBB pernah menyatakan bahwa kondisi Afrika bahkan sekarang lebih
buruk dan kacau dibandingkan ketika mereka masih dijajah pada era kolonialisme Eropa.
Di Amerika Selatan,
lihat Venezuela, negara yang berhasil menasionalisasi aset-aset strategis
perusahaan asing hingga berhasil menjadi negara penghasil minyak no. 5 di
dunia, bahkan disana negaranya mampu mensubsidi harga minyak hingga Rp. 700,-
Pendidikan pun gratis, tapi lihat kemajuan sains-teknologinya, nihil dan miskin
inovasi, karena disana tidak dikenal arus kompetisi, oleh sebab itu pendidikan
gratis tidak berkorelasi dengan berkembangnya teknologi. Semua sudah disediakan Negara,
dan rakyat menjadi malas untuk berfikir keras. Tapi tunggu waktunya, ketika
minyak sudah habis, ini akan menjadi bom waktu yang meledakan internal negara Venezuela.
Sekali dengan tegas saya katakan bahwa SDA bukanlah segala-galanya. Bangsa yang mengandalkan SDA sebagai sumber daya utama untuk menyejahterakan rakyatnya adalah bangsa yang malas berfikir. Sedangkan konsep nasionalisasi adalah wujud arogansi negara. Mengapa saya katakan bentuk arogansi negara, karena dinamika politik dan fragmentasi politik internasional yang multipolar sudah membawa seluruh bangsa-bangsa di dunia mengarah pada keterkaitan global. Konsep nasionalisasi masih banyak terjadi dalam konteks Perang Dingin, ketika dunia masih bipolar.
Masalah utama kita semua itu ada di rendahnya SDM dan sistem birokrasi yang korup secara struktural dan kultural. Jadi, meskipun Freeport, Newmont dan lain-lain dinasionalisasi, tapi kalo pemimpinnya model Tirani Diktatorisme sayap kanan yang didukung oleh elit-elit partai politik korup yang menguasai lembaga legislatif sebagai penentu lolosnya kebijakan-kebijakan eksekutif hanya akan membawa Indonesia menuju kehancuran seperti negara-negara Afrika.
Salah satu alasan Survey Deutsche Bank yang pernah menyatakan bahwa jika salah satu capres yang sering berkampanye soal nasionalisasi asing, maka 56% investor akan menjual asset. Sesungguhnya alasan 56% investor tersebut menjual asset bukan karena ketakutan investor akan nasionalisasi seperti yang sering digembar-gemborkan, namun karena prediksi korupsi besar-besaran secara berjamaah dan struktural akan terjadi karena gerbong koalisi capres tersebut berisikan banyak maling. Belum lagi gerakan meminjam istilah Marx "Lumpenproletariat" dalam wujud kelompok sayap kanan ultranasionalis (Fasis) dan Islamis Radikal yang siap membela di levelan grass roots.
Nasionalisasi yang benar dan rasional itu harus dimulai dengan membeli saham mayoritas perusahaan-perusahaan strategis yang dijalankan di bawah sistem kapitalistik yang profesional. Kemudian negara wajib menjalankan proteksionisme pro kerakyatan, lalu bertanggung jawab mengakumulasi keuntungan kapital tersebut didistribusikan dengan filosofi sosialisme universal untuk pemerataan kesejahteraan rakyat. SDM adalah instrumen menuju kesejahteraan fundamental, mengapa fundamental? karena kita hidup dalam arus kompetisi global. Suka tidak suka, realitas ekonomi memaksa kita semua memahami bahwa kompetisi global itu dibutuhkan. Kompetisi memang lahir dari janin kapitalisme, tanpa kompetisi tidak akan lahir inovasi dan kreativitas. Problem utama di negara-negara berkembang yang memiliki SDA berlimpah adalah pemerintah negara tersebut kebanyakan gagal melindungi kompetisi secara adil tanpa monopoli kelompok-kelompok pemilik modal serakah. Disini keberpihakan negara dibutuhkan dengan sikap jelas pro rakyat berdasarkan landasan sosialisme yang berwujud proteksionisme. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika perusahaan teknologi komunikasi seperti Whats App yang baru berdiri sekitar 4 tahunan nilai kapitalisasinya menurut Majalah Forbes sama dengan Freeport yang sudah bercokol di tanah Papua selama puluhan tahun.
Tambang Emas Grasberg Papua |
Itulah sedikit alasan mengapa revolusi pendidikan dan sains itu wajib dilakukan. Bahwasannya kita harus belajar dari negeri-negeri Skandinavia, Jepang, Korsel, Jerman, Russia, bahkan Amerika Serikat, bagaimana mengelola SDM yang akan terus menghasilkan inovasi-inovasi canggih menuju era sains-teknologi digital masa depan. Karena di masa depan ide, kreatifitas, dan inovasi adalah muara kemakmuran. Bahkan negara-negara seperti Jepang, Korsel, Skandinavian dan Jerman boleh dibilang tidak memiliki SDA yang patut dibanggakan, tapi terbukti mereka mampu menjelma menjadi bangsa kuat, kaya dan makmur di dunia, yang mana pengangguran saja digaji oleh negara dan sistem birokrasi menjadi yang terbersih di dunia. Resepnya jelas bukan nasionalisasi, bukan pula SDA, melainkan SDM-nya. Sedangkan bangsa yang hanya mengandalkan SDA hanya akan menjadi bangsa terbelakang dan terus menjadi gedibal peradaban.
Kunci membangun Indonesia mestinya dari segi SDM, terlebih karakteristik, jadi pendidikan gratis saja tidaklah cukup jika pendidikan tersebut masih mencampuradukan antara mitologi (agama) dengan konsepsi ilmu pengetahuan yang ilmiah. Sains harus dikenalkan semenjak TK, pelajaran agama wajib dibuang dari kurikulum lembaga pendidikan formal, pelajaran agama cukup dimasukan ke dalam sekolah-sekolah khusus agama. Kemudian, membuang jauh-jauh doktrin SDA yang begitu kaya raya sebagaimana dimitoskan oleh sejarah. Saya pribadi masih jauh lebih percaya apa yang dikatakan oleh kakek-nenek kita semua pada masa lalu, bahwasannya:
"Sampai kapanpun juga orang yang menggunakan otaknya lebih berguna ketimbang orang yang sekedar membanggakan warisannya..."
Rio Maesa 07-07-14
Rio Maesa 07-07-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar