Sesungguhnya yang sekarang tampil ke
permukaan terutama yang sering mengisi talkshow-talkshow di televisi tidak
layak kita sebut politikus. Karena politikus itu dapat definisikan sebagai
intelektual, pemikir dan pejuang yang memiliki visi yang jelas, misi utamanya membawa
masyarakat ke lembah kemakmuran. Tetapi yang muncul dalam perdebatan-perdebatan
umum hari ini tak lebih dari pada para tukang masturbasi yang lagi asik-asiknya
ejakulasi waktu bicara soal politik, seolah-seolah apa yang dibicarakan itu
sebagai kebenaran untuk rakyat, padahal murni hanyalah persoalan bagaimana memenuhi
ambisi kekuasaan dan egosentrisme kelompoknya saja.
Mereka semua mungkin sekolah dan meraih
gelar kesarjanaan yang tinggi, tetapi kecerdasannya tidak lebih dari seorang
anak yang lagi berada pada masa-masa pubertas. Pandai mengurai dengan kata-kata
tentang suatu persoalan tapi substansinya adalah kebohongan, pembodohan dan
nafsu untuk kleptokrasi, bukan pencerahan politik yang dapat membuat
pendengarnya merenung dalam-dalam dan berpikir akan suatu visi tentang kemajuan
dan kesetaraan antar manusia.
Para homo sapiens yang duduk di Parlemen dan
Pejabat di lingkungan kekuasaan negara ini jelas tidak akan punya otak untuk
memahami kondisi objektif yang berkembang masyarakat, ia tidak akan merasa
bersalah sebagai pelayan rakyat tapi menggunakan fasilitas yang terkesan
membuat jarak dengan rakyatnya. Mengendarai mobil seharga milyaran rupiah, sementara
mayoritas rakyatnya mengais-ngais rezeki sebagai buruh dan kaum pekerja yang
berjuang keras dibawah teriknya sinar mentari, dan segala semrawutnya sistem
transportasi yang membuat rakyatnya harus terus menguras tenaga hanya untuk bertahan
hidup dan menjalani rutinitas sehari-harinya yang membosankan.
Rasa bersalah itu
letaknya di hati, ketika manusia belum sempurna proses kemanusiaan di dalam
dirinya, janganlah kita menuntut terlalu banyak untuk berharap agar mereka dapat bersikap seperti
layaknya manusia, layaknya politikus yang sungguh-sungguh terdefinisi sebagai pembawa kemakmuran bagi rakyatnya.
Manusia hanyalah sampah semesta yang berada diantara milyaran
galaksi jagad raya, hanya saja terkadang manusia dengan politiknya membuatnya menjadi makin rumit untuk
menjalani kehidupan yang seharusnya damai dan berkecukupan. Jadi buat apa mengikuti PEMILU 2014 jika manusia-manusia yang akan terpilih nanti adalah kumpulan maling-maling berjas parlente. Selama kekuatan modal adalah muara dari oligarki kekuasaan yang kulturnya sudah mendarah daging di negeri ini, maka politik akan terus menerus menjadi tumor dalam sistem demokrasi elektoral yang berbau busuk dan konspiratif yang berlangsung saat ini. Pahami politik jangan buta terhadapnya, namun yang pasti berhentilah percaya pada politikus oportunis yang saat ini gencar bicara moral dan mengemis-ngemis demi perolehan suara.
16-12-13
Rio Maesa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar