Selasa, 24 Desember 2013

RENUNGAN MALAM NATAL

Yudaisme, Kristen, dan Islam memiliki satu Tuhan yang sama dengan sebutan masing-masingnya yang berbeda, sebab ketiganya memiliki satu sumber kitab yang sama, satu keturunan yang sama, yaitu anak cucu Ibrahim. Menafikan persamaan tersebut menyebabkan masing-masingnya merasa bahwa kamilah bangsa/umat yang terpilih (oleh Allah) dengan jaminan ganjaran surga di alam setelah kematian.

Sikap ekslusif seperti ini yang biasanya menjadi akar persoalan bahwa ketiganya memang sulit untuk bisa duduk dan hidup bersama secara tulus dan berkonflik hingga ribuan tahun, bahkan terhadap masing-masing segala turunan aliran-aliran yang muncul dari kepercayaannya kemudian.

Umat beragama menjadi umat yang ahistoris. Menafsirkan kitab suci dan menjadikannya tidak lebih daripada puisi sejarah yang berpihak di satu sisi (baca: menganggungkan agamanya saja) bukan pada sisi kemanusiaannya secara universal. Terjebak dalam metaforanya masing-masing, terkunci dalam dogma kaku yang dibawa para pemuka agamanya terlepas dari konteks kesejarahan.

Sehingga bukan hal yang aneh apabila pada hari ini, umat beragama di negeri yang katanya beriman ini lebih suka mempergunjingkan permasalahan perbedaan iman sepasang artis yang mau menikah dan tak habisnya ribut tentang konsepsi halal-haram pengucapan selamat hari raya daripada memikirkan bagaimana menstimulan umat untuk menghasilkan buah-buah kebaikan itu sendiri bagi seluruh umat manusia.

Friksi ini akan terus berulang setiap waktu dan tahunnya. Sampai kapan? Ribuan tahun kemudian? atau akan berakhir ketika ketiga agama ini musnah ditelan zaman mengikuti politeisme dewa-dewi yunani yang pernah berkuasa didunia.

Sesungguhnya toleransi itu bagi umat hanya persoalan pembiaran tanpa ketulusan. Pembiaran yang menyimpan rasa ketidaksukaan, ketidakrelaan yang dapat menjadi bom waktu, dan setiap saat dapat disulut oleh siapa pun pihak yang berkepentingan.

Ada banyak bentuk keterikatan yang memayungi kita hingga kita berada dalam sebuah kebersamaan bersama individu berakal yang bernama manusia. Pada akhirnya logika kita yang akan menang mengalahkan sekutu-sekutu diangkasa dan sahabat imajiner yang selalu bersembunyi di balik awan kerahasiaan.

Teringat tulisan Pram dalam "Bukan Pasar Malam" yang berbunyi: "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang seperti dunia pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi, dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana...."


Oleh: Ping Setiadi feat. Oir Nikonian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar