Konfrontasi antara Republik Indonesia (RI) dengan Federasi Malaysia dimulai pada tahun 1962 sampai 1966. Konfrontasi dimulai ketika Federasi Malaysia pada tahun 1961 berambisi menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak ke dalam Federasi Malaysia. Tindakan tersebut dianggap oleh RI sebagai pengkhianatan terhadap Manila Accord 1963 (Persetujuan Manila). Di sisi lain, Presiden RI saat itu Ir. Soekarno sedang gencar-gencarnya melakukan politik perang ekspansionisme (politik memperluas teritorial wilayah dengan konfrontasi bersenjata) puncaknya ketika Presiden Soekarno terang-terangan menuduh Federasi Malaysia sebagai antek neokolonialisme dan kaki tangan imperialisme Barat, keluarlah slogan ganyang Malaysia yang terkenal di seantero negeri saat itu. Itu adalah sedikit latar belakang yang dapat digambarkan dalam tulisan ini, karena saya akan berfokus pada isu kasus pemboman yang terjadi di Macdonald House Orchard Road Singapura pada 10 Maret 1965 yang merupakan rentetan masalah dari konfrontasi yang dilakukan oleh Soekarno terhadap Federasi Malaysia dan Imperialisme Barat yang saat ini isunya sedang gencar mengemuka di tanah air.
Pengeboman Hongkong & Shanghai Bank (lebih dikenal dengan nama Macdonald House) dilakukan oleh dua anggota Korps Komando Operasi (KKO sekarang Marinir) yaitu Sersan Dua KKO Usman Janatin Bin Haji Ali Hasan dan Kopral Anumerta Harun Said Bin Muhammad Ali. Tujuan dari pemboman itu adalah untuk menyabotase tempat-tempat yang dianggap sebagai sumber-sumber keuangan, sedangkan Pemerintah Singapura menganggap pemboman tersebut sebagai upaya Indonesia untuk melakukan eksploitasi rasialisme antara Malaysia yang Melayu dengan Singapura yang mayoritas Cina, yang saat itu masih masuk kedalam wilayah Federasi Malaysia, tujuannya untuk menciptakan ketegangan dan kepanikan di dalam tubuh Federasi Malaysia.
Dalam konfrontasi ini, operasi serangan-serangan terhadap Singapura lebih ditargetkan bukan pada pusat-pusat instalasi militer, namun instalasi umum tempat berkumpulnya para penduduk sipil. Akibat perbuatan Usman & Harun, 3 orang tewas, 2 diantaranya perempuan dan 33 lainnya luka berat, hampir semuanya adalah korban sipil. Ketika berusaha melarikan diri pihak keamanan Singapura menangkap mereka di atas kapal boat yang kehabisan bensin. Usman & Harun ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati 3 tahun kemudian ditiang gantung.
Pemerintah Indonesia pun secara resmi mengumumkan status kepahlawanan terhadap Usman & Harun atas keberaniannya membom sentral bisnis Singapura saat itu. Berlaku sebaliknya, hingga saat ini tindakan tersebut dianggap oleh Pemerintah Singapura sebagai serangan terorisme yang dilakukan oleh negara Indonesia. Menurut saya hal tersebut adalah wajar jika Singapura menyebut serangan tersebut adalah serangan terorisme. Alasannya karena target operasi militer Usman & Harun itu adalah target sipil, bukan target militer. Hal ini bisa kita samakan contohnya dengan Raymond Westerling di mata Indonesia atau Ariel Sharon dan Moshe Dayan dimata rakyat Palestine, mereka dianggap sebagai pahlawan bagi negaranya namun dianggap teroris bagi musuhnya.
Dalam suatu kondisi peperangan, konflik bersenjata ataupun konfrontasi bersenjata, Collateral Damage (Kerusakan Tambahan) berupa jatuhnya korban sipil tidak dapat dielakkan, sekalipun hukum humaniter dan konvensi jenewa ditegakkan setinggi-tingginya. Jangan pernah berharap akan ada keadilan dalam perang, karena tidak ada perang yang adil. Dalam kasus Usman & Harun harus dilihat pertama-tama adalah target operasi penghancurannya. Yang menjadi target adalah Macdonald House, yang sama sekali bukanlah target militer, dimana disana adalah pusat sipil di Orchad Road.
Bagi saya sebagai penulis, mereka-mereka yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang gugur membela negara apabila diberi mandat untuk menghantam instalasi-instalasi militer atau gudang senjata milik musuh, bukan target sipil. Tujuan menyabotase instalasi umum/sipil dan mengorbankan rakyat sipil tak berdosa apakah masih layak disebut Pahlawan? bagi saya sendiri sama sekali tidak, hanya orang naif yang mengatakan bahwa orang yang melakukan kejahatan negara pantas disebut pahlawan.
Sekarang isu penamaan KRI Usman & Harun menjadi polemik tersendiri yang memicu ketegangan lanjutan di ASEAN antara Indonesia dengan Singapura. Menurut saya konfrontasi berdasarkan permasalahan ini menunjukan betapa sempitnya pandangan nasionalisme militer, pejabat dan rakyat Indonesia kebanyakan. Jika boleh jujur, saya mendukung penuh konfrontasi dengan antek Imperialisme macam Singapura, karena negara ini sesungguhnya lebih banyak merugikan dan mengancam status keamanan nasional RI, namun konfrontasi harus dilakukan dengan justifikasi kuat dan cara-cara yang elegan. Misalkan, jadikan penolakan Perjanjian Ekstradisi yang semenjak dulu selalu ditolak oleh Singapura karena kepentingannya melindungi koruptor dan usaha penyitaan uang gelap pejabat publik serta pengusaha hitam yang disimpan di bank-bank Singapura ataupun tindakan provokatif dari militer Singapura tentang latihan militernya yang melewati batas-batas kedaulatan RI dijadikan justifikasi untuk berkonfrontasi, karena ini jelas menyangkut kepentingan nasional.
Sedangkan yang pernah dilakukan oleh Usman & Harun bisa dikategorikan sebagai kejahatan negara, sangat tidak pantas atas dasar ini kita sekonyong-konyong melakukan konfrontasi. Sejarah harus diluruskan, bukan ditutup-tutupi dengan agitasi heroisme yang semu. Sebentar lagi pemilu, isu konfrontasi yang diletupkan hari ini sebenarnya tidak lebih dari perbaikan citra SBY yang sudah hancur lebur dan ambisi militer yang masih mendukung para pensiunan jenderal yang masih terjebak pada romantika post-power syndrom (haus kekuasaan) untuk melanggeng mulus menjelang pemilu raya 2014.
Dari semua masalah yang muncul ini, patut diingat adalah kejahatan tetaplah kejahatan meskipun ia ditutup dengan wewangian ataupun keindahan surgawi yang bernama nasionalisme. Jangan pernah menjadikan kejahatan kemanusiaan menjadi simbol untuk menjadi bensin yang membakar rasa nasionalisme. Sebab, kebanggaan terhadap nasionalisme yang dibangun diatas pembunuhan dan barbarisme terhadap hak hidup rakyat sipil dan kemanusiaan tidak lebih dari sekedar nasionalisme kentut.
Dari semua masalah yang muncul ini, patut diingat adalah kejahatan tetaplah kejahatan meskipun ia ditutup dengan wewangian ataupun keindahan surgawi yang bernama nasionalisme. Jangan pernah menjadikan kejahatan kemanusiaan menjadi simbol untuk menjadi bensin yang membakar rasa nasionalisme. Sebab, kebanggaan terhadap nasionalisme yang dibangun diatas pembunuhan dan barbarisme terhadap hak hidup rakyat sipil dan kemanusiaan tidak lebih dari sekedar nasionalisme kentut.
Rio Maesa, 11 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar