Boleh dibilang kehidupanku sekarang tergolong berkecukupan. Bahkan dapat kulihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa banyak teman-temanku yang lima puluh tahun lalu masih berada di bawah ketiak penjajah, kini dapat menikmati kehidupan yang bebas dan indah. Di negaraku Indonesia, aku dapat melihat tumbuh suburnya gedung-gedung pencakar langit, mal-mal yang berjamuran di sana-sini, serta film-film Hollywood yang sangat seru. Dengan segala kemewahan ini, aku dan teman-temanku gampang saja dengan mudah melupakan masa lalu negaraku, yang dahulu tertindas dan terhina di bawah Kolonialisme Belanda. Namun sepertinya segala kemudahan yang aku nikmati dewasa ini membuat rasa solidaritas dan keprihatinanku semakin tumpul. Aku dan teman-temanku sudah tidak peduli lagi dengan segala ketidakadilan yang ada di atas muka bumi ini. Kami lebih senang dengan segala kemewahan ini dan mempersiapkan masa depan yang mudah-mudahan cerah.
Amerika Serikat, negara adikuasa dewasa ini telah menjadi kiblat hidup bangsaku. Semua tumbuh besar di Jakarta, aku dan teman-temanku senantiasa terbius oleh angan-angan kehidupan ala Barat. Berbagai musik, film dan serial yang kutonton di televisi menjadikanku ingin mengikuti cara-cara mereka. Bahkan baju yang kita kenakan pun, hanya dapat 'memenuhi syarat' jikalau baju itu diproduksi di Amerika.
Kami bermain Skateboards dan Basket, karena orang Amerika bermain Skateboards dan Basket, teman-temanku berjoget ala Breakdance karena televisi memperlihatkan Breakdance. Kami menikmati santapan McDonalds karena McDonalds adalah simbol modernitas. Kami berdansa ria di club-club malam, karena club malam memang tempat berdansa dan bersenang-senang. Kami menengguk kopi di Starbucks, karena Starbucks adalah tempat bersosialita. Kami meminum Coca Cola karena Coca Cola sangat Nikmat Rasanya.
Tapi, aku lupa akan manis dan sepatnya Teh Botol.
Angan-anganku selama aku tumbuh besar dan tinggal di Jakarta adalah, semoga Jakarta dapat berevolusi seperti New York City. Aku tidak mencintai negaraku sendiri, karena dibalik angan-anganku tersebut, aku hanya menginginkan Indonesia menjadi imitasi Amerika Serikat. Namun, segala obsesi terhadap Amerika Serikat ini seakan-akan berubah perlahan-lahan, selama aku menuntut ilmu Hukum dengan kejuruan Hukum Internasional di Universitas.
Aku semakin sadar, bahwasannya obsesiku dahulu hanyalah kekosongan belaka. Sikap dan kebijakan Amerika Serikat di dunia rasanya membuatku muak, jijik dan marah terhadap negara Paman Sam itu. Mereka merajai dunia. Merekalah yang menentukan segala isu politik yang ada. Mereka mendiktekan kemauan mereka kepada negara-negara lain. Mereka memaksakan ambisi kapitalismenya kepada negara-negara yang lemah. Sehingga aku sadar, bahwasannya aku dan teman-temanku belum merdeka sepenuhnya.
Kami hanya merasakan ilusi kemerdekaan, namun apa yang kami lakukan hanyalah sebuah kepatuhan kepada sebuah kekaisaran yang mengontrol dunia ini, yang memaksakan faham dan tradisi budayanya kepada kami. Dan kami hanya dapat diam dan menerima dengan senang hati. Tanpa perasaan kritis. Tanpa perasaan terhina.
Kehidupanku adalah kehidupan yang indah dan berkecukupan. Tetapi, di banyak tempat di dunia ini, penindasan tetap terjadi. Negara-negara kecil diinjak-injak dengan semena-mena. Kaum miskin tambah dikucilkan dengan sistem ekonomi global yang hanya menguntungkan mereka yang mempunyai 'means of production'. Pada akhirnya aku sadar, bahwa kehidupanku saat ini adalah kehidupan di bawah penindasan.
*****************************************
Di akhir Perang Dingin yang sempat mengguncang duniaku yang kecil ini, Amerika Serikat muncul sebagai pemenang perseteruan setengah abad itu. Uni Soviet tanpa disangka-sangka hancur dari dalam dengan sendirinya. Kaum muda prodemokrasi bersorak-sorai dengan berakhirnya perang tersebut. Sejak saat itu, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara Adikuasa yang secara de facto menguasai dunia Global.
Selama Perang Dingin, negara-negara Barat dan Timur berlomba-lomba dalam mempercanggih dan memperkuat pertahanannya. Pertahanan menjadi prioritas utama dalam budget negara. Aku pernah membaca betapa obsesinya para pemimpin dunia dengan persenjataan kala itu. Ada Richard Nixon yang berambisi mendaratkan manusia di Bulan. Ada Leonid Brezhnev yang memplopori program ‘Sputnik’. Ada Jimmy Carter yang ingin menempatkan ‘Intercontinental Ballistic Missile’ (ICBM) di Inggris. Ada pula Ronald Reagan yang bermimpi akan ‘Star Wars’.
Aku memang tidak mengalami masa-masa mencekam itu. Namun aku mendengar cerita, membaca buku serta menonton film dokumenter. Sungguh sengit perseteruan antara Washington dan Moskow. Namun, yang harus diingat pasti adalah, toh yang menjadi korban selalu saja kami di negara-negara dunia Ketiga. Perang Dingin berubah menjadi panas di Vietnam, Indonesia, Korea Utara, Israel-Arab, Afghanistan, Nikaragua, Cili, Kuba dan masih banyak lagi negara-negara lain di belahan dunia. Sedangkan Amerika dan Soviet aman-aman saja. Mungkin memang yang pantas menderita adalah kami masyarakat internasional yang hidup di dunia negara-negara ketiga.
Pada akhirnya Soviet Runtuh, Gorbachev menerima nobel perdamaian, dan tembok pemisah ditengah kota Berlin dihancurkan. Saat gegap gempita di seluruh dunia berkumandang, Presiden Amerika Serikat George Bush Sr. menjanjikan bahwa, dengan berakhirnya Perang Dingin, pengeluaran militer akan jauh menurun. Sebagai gantinya, pengeluaran untuk kebutuhan sipil akan dinaikkan. Itu adalah janji yang sangat revolusioner dari pemimpin Amerika pasca Perang Dingin.
Hari ini aku menulis, hampir dua dasawarsa setelah peristiwa itu. Sang Ayah sudah pensiun. Awal abad milenium giliran anaknya yang berkuasa. Sebuah Perang baru telah diluncurkan. Perang yang musuhnya tergolong abstrak. Perang yang pastinya akan memakan waktu yang sangat lama. Bush Jr. menambah pengeluaran militer Amerika secara besar-besaran, untuk Perang yang sangat kejam. Implikasi dari semua ini adalah Ekonomi dalam negeri Amerika Serikat kian terpuruk. Angka pengangguran semakin menjulang tinggi. Namun, ambisi Imperialisme Amerika Serikat tetap bergejolak deras. Dentuman Mortir, Rudal dan senapan masih dapat terdengar. Satu dentuman di Afghanistan, dua dentuman di Irak, dan siapa yang tahu di mana dentuman yang ketiga akan berbunyi.
Janji itu, awal medio 90an, mungkin hanya kenangan saja. Medan Politik global tetap bersifat anarkis. Setiap negara di dunia ini akan tetap saja terkurung dalam ‘security dilemma’, bila Negara A menambah kekuatan militernya karena didasari rasa ketakutan terhadap negara B. Hal ini akan menyebabkan negara B ikut juga memperkuat kekuatan militernya karena Negara A juga memperkuat. Sirkulasinya akan terus menerus seperti itu, sehingga yang ada hanyalah siklus infinitus dalam memperkuat pertahanan negara yang tidak akan menemukan titik akhir. Dan hal inilah yang terus terjadi sampai sekarang ini. Sepertinya perdamaian di dunia ini hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.
*kuterbitkan pertama kali di Facebook pada tanggal 11 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar