Senin, 14 Februari 2011

REVOLUSI TIMUR TENGAH BERAWAL DARI FACEBOOK














“Kebebasan adalah sebuah berkah dan kita pantas untuk memperjuangkannya.” WAEL GHONIM

Keberhasilan masyarakat Mesir menjungkalkan pemimpin diktator yang telah berkuasa selama 30 tahun, Hosni Mubarak, bisa dikatakan sebagai buah kemenangan media sosial. Pergolakan di Mesir mencatat sejarah baru bagi negara tersebut, yaitu munculnya tokoh-tokoh muda. Mereka menjadi inspirasi bagi rakyat untuk tetap turun ke jalan dalam hampir tiga pekan terakhir untuk menuntut mundur Presiden Hosni Mubarak, meski sempat disabotase pemerintah lewat pemblokiran saluran internet dan ponsel serta diteror milisi preman pro Mubarak. Tokoh-tokoh baru itu bukanlah mereka yang sudah terkenal, seperti kelompok konservatif Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi populer yang keberadaannya dilarang oleh rezim Mubarak, dan bukan pula Mohamed ElBaradei, peraih Nobel Perdamaian yang malang melintang di luar negeri semasa aktif memimpin IAEA sebuah Badan Pengawas Nuklir PBB. Sejumlah inspirator yang dimaksud adalah mereka yang sebelum pergolakan ini dimulai, tidak dikenal oleh publik di Mesir. Dua tokoh muda yang mendapat sorotan adalah Khaled Said dan Wael Ghonim. Aksi jalanan yang kini mengubah peta perpolitikan global di Timur Tengah itu, sedikit banyak tak bisa dilepaskan dengan gerakan yang dirintis melalui dunia maya, termasuk melalui Facebook.

Ghonim memulai gerakan oposisi di Facebook pada Juni 2010. Masyarakat Mesir tentu masih ingat bahwa pada 6 Juni 2010, seorang blogger Mesir bernama Khaled Said tewas mengenaskan karena dianiaya polisi Mesir. Penyebabnya, Khaled mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan. Said pun menjadi korban kebrutalan rezim Mubarak. Pria berusia 28 tahun itu tewas tanpa kepastian hukum yang jelas setelah disiksa oleh sejumlah polisi berpakaian sipil di suatu warung internet di Kota Alexandria. Padahal Said adalah bagian dari masa depan Mesir. Menurut media Almasry Alyoum, Said dikabarkan pernah menimba ilmu di Amerika Serikat (AS) untuk belajar program sistem komputer. Muncul foto Said dalam keadaan sudah tidak bernyawa namun dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Itulah sebabnya kematian Said di tengah polisi tidak bisa diterima para pemuda-pemuda Mesir.

Sedangkan Ghonim dianggap banyak kalangan sebagai pahlawan setelah ditahan polisi selama 11 hari. Sebelum ditangkap polisi, Ghonim bergerak di “bawah tanah” sebagai aktivis internet. Pemuda berusia 30 tahun itu menjadi salah satu motor penggerak mobilisasi massa melalui internet untuk turun ke jalan dengan mengelola sejumlah grup akun di laman jejaring sosial Facebook. Menariknya, Ghonim dan kalangan muda lainnya melihat Said sebagai motivator mereka untuk berontak melawan kesewenang-wenangan rezim Mubarak, yang berkuasa sejak 1981. Pemimpin berusia 82 tahun itu, bagi Ghonim dan kaum muda di Mesir memandang sebelah mata eksistensi dan hak-hak mereka untuk berekspresi.

Maka, Ghonim pun rela mempertaruhkan profesinya sebagai salah seorang eksekutif perusahaan jasa informasi internet terbesar di dunia, Google Inc. untuk ikut bergerak menentang rezim Mubarak. Ghonim sejak Januari 2010 tercatat sebagai seorang manajer marketing Google untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Dia sebenarnya hidup nyaman dengan pekerjaannya di Dubai, Uni Emirat Arab. Namun, kenyamanan itu dia tinggalkan selama beberapa pekan terakhir. Menurut stasiun berita BBC, Ghonim berhasil membujuk Google untuk memberi dia cuti pulang kampung ke Mesir karena “urusan pribadi.” Nyatanya, ia ikut gerakan bawah tanah anti Mubarak.

Seperti dikutip dari Newsweek, Ghonim awalnya membuat laman Facebook bernama 'My Name is Khaled Said'. Namun, karena alasan yang tidak jelas, Facebook sempat memberangus laman ini. Belakangan, Ghonim yang memiliki nama maya ElShaheed itu membuat laman Facebook baru bernama 'We are All Khaled Said' http://www.facebook.com/?ref=home#!/elshaheeed.co.uk.

Laman ini berhasil meraih dukungan luas setelah mengunggah foto-foto mayat Khaled Said, bahkan meraup sekitar 450 ribu anggota. "Saat kami memposting sebuah video di Facebook, video itu bisa dilihat oleh 60.000 orang di dinding mereka, hanya dalam hitungan jam," kata Ghonim. Saat Tunisia bergejolak, Ghonim tak menyia-nyiakan momentum itu. Pada 15 Januari, Ghonim mengumumkan di laman Facebook 'We Are All Khaled Said' bahwa mereka merencanakan aksi demonstrasi pada 25 Januari. Namun, pada 27 Januari 2011, Ghonim dinyatakan hilang saat situasi di Mesir akibat gelombang demonstrasi mulai panas. Akhirnya muncul laporan bahwa Ghonim ditahan polisi Kairo setelah ketahuan terlibat dalam gerakan anti Mubarak lewat internet. Ghonim tak cuma sekadar jago di Facebook. Ia juga ikut turun ke jalan, bahkan sampai harus diculik aparat selama 12 hari.

Atas desakan kelompok-kelompok oposisi dan Badan Amnesty International, akhirnya pemerintah membebaskan Ghonim. Tapi belakangan Ghonim kembali turut dalam aksi unjuk rasa untuk menekan kemunduran Mubarak. Bahkan Ghonim sempat menyatakan siap mati dalam aksi unjuk rasa berikutnya. Ia sempat menitipkan anak istrinya kepada pengacaranya, karena baginya, tuntutan perjuangan rakyat Mesir sudah final dan tak bisa dinegosiasikan lagi: Mubarak harus mundur. Pada akhirnya, aksi rakyat Mesir berhasil mengusir Mubarak dari kursi empuknya selama 30 tahun.

Setelah Hosni Mobarak mundur, Ghonim berniat kembali fokus pada pekerjaannya. Saat ditanya oleh CBS apakah ia akan mendapatkan posisi di pemerintahan Mesir yang baru, eksekutif Google yang juga aktivis oposisi tersebut dengan tegas mengatakan tak menginginkan jabatan politis. "Saya ingin kembali ke hidup normal, saya telah selesai memainkan peranan saya. Saya tidak menginginkan apa-apa dari aksi ini. Saya hanya ingin berjalan dan berkata saya Bangga Menjadi Warga MESIR". Ghonim pun berterima kasih pada facebook. Meskipun dia merupakan Marketing Eksekutif Google untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Ghonim tak menganggap jasa Google luar biasa besar dalam revolusi ini. Melalui wawancara CNN Ia berkata “Revolusi ini dimulai dari facebook". Dia ingin sekali bertemu dengan Mark Zuckerberg suatu hari nanti untuk mengucapkan terima kasih padanya. Namun, Ghonim tidak mau disebut pahlawan. “Tolong jangan sebut saya sebagai pahlawan. Saya bukan pahlawan, saya selama 12 hari terakhir hanya tidur. Pahlawan adalah mereka yang turun ke jalan. Jadi, arahkan kamera Anda kepada orang yang tepat,” kata Ghonim.

Media cetak dan media elektronik memang sudah biasa dikooptasi oleh rezim penguasa. Namun dengan berkembangnya IT ataupun jejaring sosial lewat dunia maya, (blog/facebook/twitter) penguasa tidak mungkin lagi mengontrol semuanya itu. Banyak orang yang meremehkan fungsi Facebook atau jejaring sosial untuk pergerakan politik kenegarawanan. Padahal teknologi dan kemampuan dari facebook atau jejaring sosial bisa sangat efektif untuk menggerakkan opini publik, menghimpun agitasi, menyebarluaskan propaganda positif untuk sebuah tatanan kehidupan yang lebih baik lagi, bahkan untuk mengguncang negara yang korup.

Tunisia dan Mesir adalah contoh konkret dimana jejaring sosial telah menemukan fungsi revolusionernya. Jejaring sosial telah merubah tatanan status quo di negara-negara dengan rezim otoriter yang menindas. Perubahan sistem ketatanegaraan yang berjalan melalui dunia maya sudah bukan lagi utopia. Agitasi dan propaganda yang hanya mengandalkan cara-cara konvensional seperti menyebarkan selebaran-selebaran dan pamflet dijalan-jalan melalui massa aksi sudah tidak lagi efektif di era informatika seperti sekarang ini. Fakta dilapangan membuktikan bahwa cara-cara konvensional memang lebih sering tidak tepat sasaran bagi masyarakat yang menerimanya, maka lebih banyak menjadi mubazir. Jejaring sosial telah membuktikan bahwa penggalangan massa untuk sebuah aksi demonstrasi ternyata lebih efektif dan tepat sasaran.

Sebagai catatan berharga, di Indonesia Facebooker juga pernah berhasil melakukan gerakan membela Prita Muliasari, serta menuntut pembebasan penanahan Bibit-Chandra saat kasus kriminalisasi KPK sedang panas-panasnya. Suatu bukti bahwa jejaring sosial di dunia maya punya kekuatan nyata. Setelah Revolusi Tunisia, Mubarak langsung memblokir jejaring Sosial di Mesir, dan sekarang Aljazair memblokir jejaring sosial Facebook, Presiden Suriah Bashar Al-Assad pun kini sudah mulai melakukan pemblokiran Facebook karena munculnya gerakan-gerakan revolusioner melalui jejaring sosial sebagai akibat peristiwa Tunisia-Mesir. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti di Indonesia akan terjadi Revolusi yang dimulai dari jejaring sosial dunia maya.

Hal terpenting yang patut dicatat dari berbagai peristiwa ini adalah, OPINI kini tidak lagi hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu saja, khususnya mereka yang menguasai media massa , Masyarakat kini mempunyai kesempatan yang sama....

*Sumber
-Kompas
-Tempo
-Vivanews
-CNN
-BBC
-CBS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar