Sedikit bercerita berdasarkan kisah dari seorang sahabat kuliah dulu, ada seorang ayah yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) berkata kepada anaknya bahwa dia sedih dan simpati dengan meninggalnya Presiden ke dua Republik Indonesia Soeharto. Ayah tersebut sudah merasa sangat skeptis akan perkembangan yang terjadi di Indonesia pasca lengsernya kepemipinan soeharto 1998. Anaknya, seorang mahasiswa hukum memperdebatkan semua keluhan hati sang bapak karena dia merasa bahwa kehancuran yang diterima oleh rakyat Indonesia saat ini adalah dampak vertikal dari Rezim Orde Baru (Orba), menurutnya Soehartolah manusia yang paling bertanggung jawab atas semua yang diderita oleh bangsa Indonesia kini, dan perdebatan ayah dan anak ini pun berlangsung.
Wajar apabila ayah tersebut merasa sedih dengan sepeninggalnya Soeharto, bagaimana tidak, bapak tersebut merupakan salah satu birokrat didikan rezim Orba, sedangkan si anak sedang menjalani pendidikan kesarjanaannya dan menjadi aktivis pergerakan disebuah organisasi kemahasiswaan pada era pasca Orba, sebuah orde yang sangat bertolak belakang dengan rezim saat soeharto berkuasa. Siapakah yang benar di antara perdebatan mereka berdua hanya bisa dijawab melalui perspektif masing-masing. Jika kita lihat dari perspektif sang ayah, yang bekerja sebagai seorang PNS kita hanya bisa membenarkan dalih yang dia pakai berdasarkan rasa balas jasa, itu merupakan jawaban simplitis karena sewajarnya di era tersebutlah ia merasakan hidup layak di Indonesia, tidak seperti di era reformasi sekarang ini yang bisa dikatakan semua serba sulit. Bila kita tinjau dari perspektif sang anak maka jawabannya mungkin benar, karena fakta yang ada tanpa kasat mata pun kita telah melihat segala sesuatu yang terjadi pada saat ini adalah efek domino dari rezim yang runtuh pada mei 1998 tersebut. Ditambah lagi penguasa negeri setelah tumbangnya Orba hanyalah merupakan kelanjutan tangan dari sistem korup yang telah membudaya sejak era kolonialisme.
Dari setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hikmah dibalik semua itu. Kita bisa mengambil sebuah pelajaran berharga dari apa-apa saja yang terjadi sepeninggal masa Orba. Hikmah yang kita ambil saat ini adalah kita sedang mengalami transisi hidup dari sebuah rezim otoriter-militeristik yang tidak memperbolehkan kekrtitisan kaum terpelajar untuk ikut andil dalam mengisi kemerdekaan ini dengan cara mengeluarkan pendapat, dengan banyak ide-ide progresif dan revolusioner. Pada masa Orba sarjana-sarjana yang ada hanya bisa berpuas diri dengan membanggakan hasil kajian ilmiah kosongnya. Diwisuda oleh rektor-rektor yang kenyataannya memang rektorat yang sengaja dipilih dari orang-orang yang mendukung kepentingan rezim tersebut berdasarkan kolusi nepotisme. Intinya ialah sarjana-sarjana muda tersebut memang sengaja diciptakan untuk menjadi boneka ekonomi politik yang akan selalu tunduk pada kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme yang terlahir secara otomatis dan sistematis dari pendidikan yang ada.
Pendidikan masa kini secara abstrak tidak jauh berbeda dengan era Orba, mengapa saya katakan demikian, alasan pertama ialah kapitalisasi serta komersialisasi pendidikan yang telah menjadi alat pencari keuntungan dari pendidikan, karena pada kenyataannya esensi pendidikan berdasarkan UUD telah berubah bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melainkan menjadi lahan untuk mencari keuntungan.
Dalam UUD 45 pasal 31 ayat (1), (2), dan (4) jelas menyatakan secara eksplisit bahwa pendidikan ialah hak setiap warga negara, daripada itu pemerintah mempunyai kewajiban untuk membiayainya, dan pemerintah seharusnya memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN serta APBD. Tapi apa yang terjadi pada realitasnya….? yang terjadi adalah pengkhianatan pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyat dan konstitusinya sendiri.
Saat ini orang yang berhak untuk dapat mengenyam dunia pendidikan hanya orang-orang beruntung yang memiliki materi berlebih dalam bentuk uang. Bagi orang-orang yang tidak punya uang (orang miskin) ya tidak dapat sekolah, paling tidak jadi anak terlantar, tunakarya, gembel, pengamen dan sejenisnya. Jelas juga dikatakan dalam konstitusi kita pasal 34 ayat(1), bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Kembali lagi terdapat pengkhianatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat dan konstitusinya. Sangat memprihatinkan jika kita meratapi masalah ini, pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan pendidikan yang layak terhadap rakyatnya, justru menelantarkannya seakan tak peduli.
Ironi dalam sebuah dilematika jika kita mendengar hanya karena dengan alasan inflasi, bayar hutang luar negeri, dan atau untuk menyelamatkan APBN, pada tahun 2008 pemerintah berani membuat kebijakan gila, yaitu dengan memangkas anggaran pendidikan 20% seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusinya sendiri menjadi tidak lebih dari 15.6%. Memang dikemudian waktu (2010) ada perbaikan sedikit dimana pada akhirnya Pemerintah berhasil memenuhi anggaran sebesar 20% dalam APBN, tetapi sebagian besarnya habis untuk biaya sertifikasi guru. Dalam diskusi publik yang pernah saya ikuti pada tanggal 20 Agustus 2010 tentang “Refleksi Kemerdekaan Dalam Pendidikan Kita” di kantor Lembaga bantuah Hukum (LBH) Jakarta. Saya mencatat beberapa data yang saya dapatkan dari Raihan Iskandar seorang anggota Komisi Pendidikan DPR ongkos sertifikasi guru itu memakan biaya sebesar Rp 110 triliun. APBN Indonesia besarnya adalah Rp 1.000 triliun, sedangkan 20 persennya untuk anggaran pendidikan yang jumlahnya Rp 200 triliun. Tapi Rp 110 triliunnya untuk sertifikasi guru, dan Rp 30 triliun untuk pendidikan di bawah Kementerian Agama. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya pendidikan kedinasan yang juga mengambil anggaran pendidikan. Karena itu, sisa anggaran pendidikan nasional hanya Rp 45 triliun. Hal ini jelas jadi persoalan yang dilematis. Persoalan lainnya ialah ketersediaan guru yang saat ini dinilai belum tersebar merata. Minimnya pemberdayaan kualitas pengajar menyebabkan tidak banyak guru-guru yang siap ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Tak hanya itu saja, dilain pihak banyak kondisi pendidikan yang tidak sesuai dengan visi yang telah ditetapkan. Fakta dilapangan justru memperlihatkan dimana penyimpangan dana BOS, praktek jual beli bangku sekolah, biaya pendidikan yang semakin mahal, dan juga sertifikasi hanya agar bisa mendapatkan tunjangan profesi tetap berjalan tanpa pengawasan yang komprehensif.
Ironis memang, Pemerintah memiliki visi tentang pendidikan tetapi kemudian malah terjebak sendiri dalam sistem yang dibuat. Walaupun UU BHP telah digugurkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun sepertinya sia-sia jika Pemerintah tetap melanjutkan sistem pendidikan yang implementasinya jauh dari apa yang diharapkan. Terlalu banyak alasan-alasan retorika yang dikemukakan oleh Pemerintah dalam membela kebijakan yang pada akhirnya tidak bisa direalisasikan dilapangan. Pendidikan pada akhirnya tetap berpihak pada mereka yang punya uang. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang paling bijaksana untuk membuat bodoh generasi-generasi penerus bangsa. Ya, saya katakan demikian!, karena seperti yang dinyatakan dalam pasal 26 UDHR (United Declaration Of Human Rights) bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan dan pendidikan harus diberikan dengan cuma-cuma., Saya menyatakan dengan tegas pendidikan bukan hanya untuk orang-orang BERDUIT!. Jelas bahwa pendidikan adalah Hak Asasi Manusia yang sifatnya fundamental.
Apabila saat ini hanya terdapat sekitar 5 juta dari 100 juta generasi muda Indonesia yang dapat mengeyam pendidikan hanya orang-orang berduit. Maka dapat dipastikan 15-20 tahun kemudian akan terjadi pergeseran filosofi pendidikan. Pendidikan yang awalnya adalah hak setiap orang menjadi pendidikan menjadi hak orang-orang berduit. ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH. Hasil yang lebih buruk adalah pendidikan akan menjadi problematika dimana terdapat diskriminasi sosial terhadap manusia yang dibedakan berdasarkan status kaya-miskin. Masalah tersebut secara otomatis timbul dari buruknya sistem pendidikan itu sendiri. Pendidikan gratis dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi (Universitas) hanyalah mimpi disiang bolong.
************************************************************************************
Kita menyadari bahwa Universitas adalah jenjang pendidikan yang diinginkan oleh setiap kaum terpelajar. Menjadi sarjana adalah impian setiap kaum terpelajar. Jika universitas adalah gudang pengetahuan, maka sebagian pengetahuan itu seharusnya dapat dimanfaatkan untuk komunitas sekitarnya. Universitas semestinya tidak menjadi menara gading tempat para akademisi mencapai tingkat pengetahuan yang setinggi-tingginya tanpa berbagi sedikit pun temuan mereka. Universitas seharusnya jadi tempat persemaian gagasan-gagasan baru. Gagasan yang dapat memecahkan serangkaian problematika yang muncul di masyarakat. Menurut saya, apabila setiap kampus tidak membangun budaya seperti ini, maka kampus hanya jadi kumpulan budak-budak para sarjana yang hanya berpuas diri dan saling berargumentasi.
Sekarang kita lihat bagaimana bobroknya lembaga pendidikan kita. Kekerasan yang sering terjadi institut-institut pendidikan milik pemerintah, tawuran-tawuran antar kampus, kurikulum ilmu pengetahuan yang lebih diorientasikan kepada aspek keuntungan semata, dan berbagai problematika yang ada di lembaga pendidikan merupakan kecemasan kolektif bangsa. Bagaimana kita mampu melahirkan kaum terpelajar yang berdedikasi pada pembelaan rakyat kecil jikalau pendidikan kita tidak mempunyai pelatihan kesana. Pendidikan yang miskin empati akan akan membuang kesadaran dan tanggung jawab sosial. Yang kemudian tercipta adalah adalah anak-anak muda yang berjiwa monster yang selalu berorientasi pada nilai-nilai materialisme dan individualisme. Hal-hal seperti itulah yang sering terjadi di kampus ternama dengan budaya elitisme yang memalukan. Kampus kemudian menjadi sangkar penyamun dan melihat masalah-masalah sosial hanya merupakan kesimpang-siuran teori. Pendapat ilmiah hanya merupakan jamuan argumentasi yang tak mampu diterjemahkan dalam realitas.
Bagaimana dengan kinerja dosen?. Menurut saya, tugas politis seorang dosen adalah mengajukan masalah (kasus) dan memprovokasi pertentangan-pertentangan yang ada dalam pikiran para mahasiswa. Kinerja dosen seperti itu akan dapat membuat para mahasiswa betah dikelas dan membuat mahasiswa selalu berpikiran progresif dan revolusioner. Fakta yang ada saat ini (*diilhami dengan pengalaman saya saat menjalani kuliah di universitas) mahasiswa yang kritis-rasionalis dibungkam, dicap radikal, dan bila terlalu ekstrem maka ancaman nilai buruk pada akhir semester adalah keniscayaan. Dengan pola didik seperti ini, yang tercipta adalah mahasiswa yang pengecut yang tidak berani mengeluarkan pendapatnya, hanya mengikuti kegiatan perkuliahan secara konservatif tanpa adanya perubahan paradigm berpikir yang lebih progresif.
Pada saat yang sama terdapat dosen-dosen yang membuat buku literatur lalu kemudian memaksakan para mahasiswanya untuk membeli dan membacanya. Padahal dosen tersebut tidak pernah sama sekali menjelaskan apa yang telah ditulisnya dalam buku itu kepada mahasiswanya. Dosen-dosen hanya sibuk untuk sekolah kemudian mengajar dengan bait yang sama. Mereka hanya menjadi pengeras suara dari isi buku yang menjemukkan dan banyak diantara mereka yang tak punya pandangan segar dan mengejutkan. Walau bacaan mereka kaya dan bermutu tapi sedikit yang menguasai ilmu berpidato. Tapi memang tidak semua dosen seperti itu.
Kuliah yang tawar membuat kampus jadi tempat sunyi tanpa gairah. Perpustakaan sepi (gimana mau ramai, dahulu di kampus saya saat jam istirahat perpustakaan juga istirahat), sedangkan kantin kampus penuh dan padat. Rasa lapar lebih didahulukan ketimbang kekurangan pengetahuan. Hal itulah yang membuat kampus menjadi menara gading karena menyimpan makhluk-makhluk kerdil yang tidak terlalu antusias berfikir akan hal-hal besar. Sedangkan diluar sana masyarakat terutama masyarakat kecil juga memandang kampus sebagai lingkungan para terpelajar elit yang sulit disentuh. Dengan biaya yang begitu mahal siapa yang bisa kuliah. Ujung dari pendidikan yang seperti ini hanya menghadirkan mahasiswa-mahasiswa penindas yang tak peduli akan kesulitan rakyat.
*Tulisan ini pernah dipublish di tabloid Suara Hukum Universitas Trisakti pada tahun 2008, kuterbitkan ulang dengan beberapa perbaikan dan tambahan kajian sesuai dengan perkembangan sistem pendidikan nasional. Semoga masih relevan dengan kondisi objektif nasional hari ini.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut