Jumat, 11 Februari 2011

SYARIAH ISLAM INDONESIA = UTOPIA

Sumber Foto: Pages "Selamatkan Demokrasi Pancasila & UUD '45 Dari Rongrongan Ide Khilafah"

Sebelum agama-agama “pendatang” masuk di wilayah Nusantara, penduduk lokal sudah memiliki sistem kepercayaan sendiri. Kepercayaan lokal ini banyak sekali. Agama-agama “impor” yang masuk ke Nusantara antara lain: Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain, mau tidak mau harus berakulturasi dengan kepercayaan lokal. Dalam perjalanannya, perjumpaan ini tidak mudah dan banyak sekali muncul masalah. Ada masalah identitas, eksistensi, perebutan ruang ekspresi keagamaan, politik, intervensi penguasa dan lain-lain.

Indonesia merupakan negara penganut Muslim terbesar di dunia, walau kenyataannya agama ini datang dari para pedagang Arab Timur Tengah. Sekarang ini banyak muncul pertanyaan, mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar para founding fathers itu adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal juga? Jawabnya tegas: memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam; tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu, tafsir mana yang akan menjadi pedoman utama Pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Aku memuji, betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.

Pancasila mengajarkan agar Pemerintah bersikap netral dan adil terhadap semua penganut agama dan kepercayaan semua warga negara. Pemerintah tidak perlu mencampuri urusan substansi ajaran setiap agama dan kepercayaan. Pemerintah cukup menjamin agar setiap warga negara dapat mengekspresikan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing secara aman, nyaman, dan bertanggung jawab. Pemerintah tidak berhak mengakui mana agama yang resmi dan tidak resmi atau agama yang diakui atau tidak diakui. Semua penganut agama memiliki posisi setara di hadapan hukum dan perundang-undangan. Tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Semua warga negara adalah pemilik sah negeri ini. Karena itu, sikap pemerintah membiarkan perilaku diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas, seperti penghayat kepercayaan, pemeluk agama lokal, komunitas Ahmadiyah, Lia Eden, kelompok Nasrani, dan sejumlah komunitas agama dan kepercayaan lainnya, jelas bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai humanisme.

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta.

Sebaliknya, unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti, dan serba-dependen. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas dirinya sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan pada akhirnya berharap ganjaran surga diatas sana.

Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan, dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan kepada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung kepada pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Lagi-lagi, atas nama Tuhan, dan atas nama agama. Mengerikan!

Perjuangan menegakkan negara Islam harus ditinjau ulang, karena pemikiran mereka untuk mendirikan negara Islam sesungguhnya terinspirasi dari pengalaman negara Islam di abad pertengahan. Di zaman ini, kita mendirikan sebuah negara modern yang selaras dengan perkembangan zaman, bukan membangkitkan kekhalifahan zaman perang salib. Pendidikan modernlah yang merupakan kunci kesuksesan dari umat ini. Disamping itu juga kebiasaan untuk dapat bersatu dengan tren dunia pada umumnya.

Penyakit umat Islam dewasa ini adalah mereka merasa lebih tinggi, lebih baik dan superior ketimbang orang lain. Mereka terlalu banyak membanggakan diri sebagai pengemban risalah dan mendiskreditkan kelompok lain, justru pada saat kelompok lain seperti Yahudi yang banyak menyumbangkan pemikiran dan penemuan baru bagi kemanusiaan. Seharusnya bukan apa yang kita percayai dan yakini yang menjadikan kita spesial, namun apa yang kita lakukan dan berikan kepada dunialah yang seharusnya membuat kita spesial. Tampaknya sifat narsistik dan bangga diri yang berlebihan telah menempel pada umat ini, sehingga kita tidak lagi menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk kemajuan umum.

Menurutku umat Islam tak perlu dibela, yang mesti diperjuangkan adalah tegaknya nilai-nilai persaudaraan, toleransi, dan kebebasan. Segala peristiwa intoleransi di negeri ini acapkali dipicu oleh hasrat yang begitu kuat untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok tertentu berdasarkan identitas kelompoknya. Ketika sejumlah tokoh Muslim melakukan pembelaan terhadap jemaat HKBP atau Ahmadiyah yang didiskriminasi, tantangan pertama yang mereka terima adalah dituding tidak pro terhadap Islam.

Pertama-tama mesti dipahami bahwa Islam dan umat Islam adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah serangkaian ajaran hidup. Sementara umat Islam adalah sebuah komunitas.Betapapun komunitas muslim ingin menghayati dan mengamalkan prinsip-prinsip ajaran agama Islam, mereka tetap menerima Islam secara parsial. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa apa yang disebut sebagai umat Islam bukanlah entitas tunggal melainkan jamak dan sangat banyak. Pluralitas umat Islam bahkan sudah terjadi sesaat setelah Nabi Muhammad wafat dan belum dikuburkan. Saat itu, umat Islam berselisih paham tentang siapa pengganti Nabi. Perpecahan politis ini kemudian terus berlanjut dan merembet ke persoalan teologi. Lantas kepada kelompok umat Islam yang manakah pembelaan dilakukan?

Membela kelompok berdasarkan identitas agama juga sangat berbahaya bagi keadilan. Betapapun mulia ajaran sebuah agama, belum tentu mulia perilaku umatnya. Di Indonesia, para pelaku korupsi, organisasi kekerasan yang mengatasnamakan Islam, militer yang berlaku sewenang-wenang, guru ngaji yang mencabuli murid-muridnya, dan lain-lain adalah orang-orang yang beragama karena semua tercantum dalam KTP. Tentu kita tidak akan membela para pelaku kejahatan itu meski ia mengaku Muslim dan sangat taat beribadah.

Menyatakan bahwa umat Islam selalu benar dan oleh karenanya selalu mesti dibela adalah kedzaliman. Tragedi-tragedi kemanusiaan terbesar di dunia biasanya muncul dari pandangan semacam itu. NAZI menganggap dirinya pasti benar dan kelompok-kelompok lain seperti Yahudi, kulit hitam, dan komunis pasti jahat dan harus dimusnahkan. Pol Pot merasa pasti benar yang oleh karenanya bisa membantai semua penentangnya. Negara Zionis Israel didirikan di tanah Palestina dengan tujuan hanya untuk bangsa yahudi jadi semua bangsa arab non-yahudi yang berada tanah tersebut harus disingkirkan, Rezim Saudi-Wahhabi merasa memiliki kebenaran sempurna sehingga merasa punya hak membantai kelompok Syiah dan membungkam kebebasan. Kita percaya bahwa agama apapun yang kita anut mengajarkan kebaikan. Tapi umat penganutnya adalah insan yang serba kekurangan.

Mari membela Islam sembari bersikap kritis terhadap umatnya, terhadap umat agama apapun yang melakukan kejahatan.
Sekarang ini justru lebih banyak berkembangnya gerakan fundamentalis Islam yang terkadang menutup diri dari segala konsep asing. Mereka jelas memiliki pemikiran yang kritis, mereka acapkali mengkritik kebijakan Pemerintah. Namun, jika ditanya apa yang harus dilakukan, mereka akan menjawab: Terapkan Syari’ah, sebuah argument simplitis ala Sayyid Quthb. Lalu ketika ditanya kembali bagaimana syariah Islam akan menyelesaikan masalah yang problematik pada masa sekarang ini, mereka tidak dapat menjawabnya.

Seperti yang pernah diucapkan oleh Ziauddin Sardar "Umat Islam dewasa ini mengalami kemuduran yang pesat karena mereka tidak mempunyai visi yang jelas. Umat Islam selalu ingin melihat kebelakang, bukan ke depan. Mereka melihat zaman dahulu dengan perasaan nostalgia dan yang mereka inginkan adalah untuk kembali ke zaman itu". Sebagian umat Islam memang masih belum bisa melepaskan diri dari memori masa silam Islam, sembari meratapi runtuhnya kekuasaan imperium Islam, dan memenjarakan diri mereka dalam obsesi menegakkan utopia “tatanan Ilahi” bernama khilafah Islamiyah.

2 komentar:

  1. sekitar 70% jamaah masjid2 belum hafal terjemahan faatihah, perlu segera diatasi, agar dukung tegaknya hukum islaam.

    BalasHapus
  2. menegakkan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat yang plural secara geografis dan demografis adalah sebuah kemunduran.

    BalasHapus