“SAYA INGIN MENCARI TUHAN DENGAN CARA SAYA SENDIRI, BUKAN KATA SI-A, KATA SI-B, BUKAN TUHANNYA AGAMA-A, AGAMA-B. TUHAN SEPERTI ITU BAGI SAYA ADALAH TUHAN-TUHAN PALSU. TUHAN YANG SUDAH DIMANUSIAKAN, DIKONSEPKAN, DISIFATKAN, DIMASUKAN NILAI-NILAI NON-KETUHANAN OLEH SEBAGIAN ORANG YANG MEYAKININYA. TUHAN SEPERTI ITU BAGI SAYA TAK LEBIH DARI BERHALA-BERHALA ABSTRAK. BUKAN NILAI ESENSIAL KETUHANAN YANG SESUNGGUHNYA. AKU YAKIN TUHAN TIDAK SEPERTI ITU. TUHAN TIDAK SERENDAH ITU!!"
Inilah mungkin salah satu pergulatan terberat dan terbesar yang pernah saya alami. Peperangan antara nilai spiritualitas melawan nilai rasionalitas dalam diri saya. Mungkin beberapa teman-teman pernah mengalaminya. Situasi ini sangat lama saya alami. Terkadang, dalam pertempuran tersebut sisi spiritual yang menang, yang membuat saya begitu takut akan adanya Tuhan dan keberadaan akhirat. Takut akan kematian dan nasib saya sesudah itu. Kadangkala sisi rasional yang menang, yang membuat saya melupakan Tuhan, yang membuat saya skeptis terhadap agama, yang membuat saya menghapus apa saja sesuatu yang adikodrati dari pikiran saya.
Saya sejenak berfikir, apakah saya gila? Apakah akal saya masih berjalan dengan baik? Atau, ini hanyalah halusinasi belaka? Mungkin para saintis, terutama bidang psikologi, akan mengatakan saya hanya berhalusinasi. Mungkin karena saya sudah terlalu banyak menerima nilai-nilai keagamaan yang bersifat ritual, dogmatis dan irasional sehingga seolah akal saya mengamuk karena jarang saya pergunakan untuk memahami nilai, doktrin dan ritual-ritual keagamaan secara rasional dan kritis. Namun di sisi lain ada suatu ketakutan tersendiri dalam diri saya jika saya mencoba bersikap rasional terhadap nilai-nilai dan doktrin keagamaan akibat dari banyaknya pengaruh agama yang besifat dogmatis dalam akal saya.
Saya terlahir dari keluarga beragama yang sebagian besar muslim (atau hampir semua). Waktu kecil, saat saya masih duduk dibangku sekolah Dasar, di sana saya banyak diajarkan tentang Islam. Tentang sejarahnya, keajaibannya, bahkan kehebatannya dibanding agama-agama lain. Agama yang benar adalah Islam dan aliran-aliran tertentu dalam Islam dianggap sesat karena telah keluar dari rel yang telah disepakati. Yang menyedihkan, saya hanya diizinkan bersikap rasional terhadap materi pelajaran yang bersifat duniawi. Saya diizinkan bersikap rasional dan kritis terhadap teori gravitasi Newton, konsep tata surya Kepler, teori evolusi Darwin, sejarah G30S/PKI, teori kapitalis Adam Smith, dan lain-lain. Namun ketika rasionalitas dan kritisisme itu saya pergunakan untuk memahami nilai-nilai serta doktrin ketuhanan dan keagamaan, saya dibungkam sama sekali. Kita tidak diizinkan mempertanyakan al-Qur’an, kenabian Muhammad, meragukan akan adanya akhirat, dan lain-lain (dan saya yakin ini juga dialami oleh teman-teman yang berada di lingkungan yang diklaim agamis). Saya masih teringat ketika saya duduk di kelas 5 SD. Saya bertanya pada guru agama saya, “jika Tuhan itu mahabesar, kuat, dan maha pencipta, bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yg lebih besar dan lebih kuat dari dirinya sendiri?”. Lalu yang saya dapat bukan jawaban rasional, melainkan bentakan dan omelan. Saya didoktrin bahwa kita tidak boleh mempertanyakan apa yang disebut sebagai Tuhan, baik zat-Nya, sifat-Nya, atau apa pun yang berhubungan dengan-Nya. Kita harus mempercayai apa yang disebut Tuhan dan kekuatan adikodrati lainnya itu ada, tanpa harus dianalisis, dibedah atau dikritisi secara ilmiah. Saya saat itu sangat takut. Kejadian itu membuat saya tidak berani bersikap rasional dan kritis terhadap agama, setidaknya sampai saya duduk di bangku SMA.
Saat duduk di bangku SMP, bisa dibilang itulah puncak dari sikap fundamentalisme saya terhadap Islam (sebagai agama yang saya yakini satu-satunya yang paling benar). Saya tidak pungkiri itu semua sebagian besar karena pengaruh islamisasi di lingkungan sekolah saya dan sebagian besar hidup saya dihabiskan di sana pada waktu itu. Pengkafiran terhadap orang-orang Ahmadiyah, Komunitas Eden, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan Jaringan Islam Liberal, kemuakan terhadap Israel-Yahudi, dan kebencian terhadap tokoh-tokoh pluralisme agama dan kalangan Islam progresif seperti Gus Dur, Nurcholis Madjid, Musdah Mulia, Ulil Abshar Abdalla, dan Luthfi Asyaukani adalah sebagian dari beberapa sikap radikalisme saya (terutama akibat pendidikan dari lingkungan sekolah). Belum lagi pengaruh dari kyai dan ustad yang mengisi sebagai khatib di ceramah-ceramah, dan tabloid Islam yang sering saya beli terutama pada waktu shalat Jum’at. Dari isi ceramah dan artikel tersebut, sangat jelas kita ditekan untuk percaya pada doktrin agama secara menyeluruh tanpa menggunakan akal sehat. Kalaupun menggunakan akal, tidak boleh kebablasan. Kita diizinkan menggunakan akal untuk memahami agama, namun tidak boleh sampai keluar dari koridor yang sudah disepakati oleh ulama yang bersikap sebagai pemangku mandat dari Allah.
Tetapi saya akui bahwa kebebasan berfikir dan kritis terhadap agama yang sangat dibatasi pada saat saya di SMP-SMA tidak begitu terasa pada saat itu. Saya baru menyadarinya pada saat saya duduk di bangku kuliah. Terutama ketika saya membaca tulisan dan artikel keislaman yang lebih beragam, baik di internet maupun media massa. Saya baru menyadari betapa sikap kritisisme dalam beragama sangat dibatasi di lingkungan yang agamis. Saya baru membuka mata betapa sikap menafsirkan teks keagamaan secara literal di abad modern ini seperti yang saya alami dulu adalah tidak memuaskan. Saya baru mulai mau kembali bersikap kritis dan rasional tehadap nilai dan teks-teks keagamaan, terutama yang bersifat dogmatis, irasional, dan sudah tidak sesuai di abad modern. Saya baru sadar akan pentingnya kita bersikap kritis terhadap semua aspek kehidupan. Dan agama sebagai suatu fakta sosial antropologis tidak terlepaskan dari semua itu. Agama harus ditaruh di meja bedah ilmiah karena sudah terlalu banyak dogma-dogma dan hal-hal supranatural.
Setelah kembali menjadi seorang rasionalis-kritis, saya seperti terlahir kembali. Saya seperti merasa menemukan jati diri saya sebagai seorang rasionalis. Saya merasa bebas dari doktrin-doktrin agama yang rigit. Saya merasa bisa menggunakan akal saya dengan optimal. Saya bisa berfikir dan menganalisis apa pun yang saya mau tanpa harus takut atau khawatir. Namun sayangnya kebebasan itu tidak terasa lama. Saya kembali mengalami suatu dilema antara rasionalitas dan spiritualitas. Saya kembali menjadi gusar dan gundah. Di satu sisi, sisi spiritualitas saya ingin agar saya mencari apa yang disebut sebagai Tuhan dengan cara saya sendiri, namun di sisi lain, rasionalitas saya menginginkan saya melupakan Tuhan agar saya tidak bisa melihat, mendengar dan merasakan kehadiran-Nya.
Saya pada akhirnya menemukan win-win solution untuk semua itu. Saya sudah menemukan bagaimana mendamaikan sisi spiritualitas dan rasionalitas. Meskipun saya pada akhirnya seperti memenangkan sisi rasionalitas dengan melupakan agama, namun saya tetap meyakini akan Tuhan (namun bukan Tuhan secara personal dan literal). Saya menggantikan “makanan” untuk apa yang disebut sebagai sisi spiritual dari agama menjadi kemanusiaan. Saya menemukan apa yang disebut sebagai Tuhan pada nilai-nilai kemanusiaan. Ketika saya membantu seorang pengemis di jalanan atau membantu seorang nenek tua menyeberang jalan, saya seperti menemukan apa yang disebut sebagai nilai esensial dari konsep ketuhanan itu sendiri. Nilai esensial dari divinitas saya temukan pada humanitas. Saya berhasil menemukan apa yang disebut Tuhan pada konsep Hak Asasi Manusia. Saya serasa bertemu dengan apa yang disebut sebagai Tuhan ketika saya membantu dan membela saudara-saudara saya sesama manusia dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Meskipun begitu, bukan berarti saya semena-mena menaruh apa yang disebut sebagai Tuhan pada seluruh aspek kehidupan. Menaruh Tuhan pada ilmu pengetahuan bagi saya sama saja mengotori Tuhan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Memasukkan Tuhan pada hukum-hukum sains sama saja membajak nilai transendental Tuhan. Saya sangat mengapresiasi teori Hawking tentang awal mula terciptanya alam semesta tanpa harus melibatkan Tuhan, ataupun teori psikologi Freud. Saya berani katakan bahwa sains tidak membutuhkan Tuhan ataupun kekuatan adikodrati lainnya untuk menjelaskan teori-teorinya, dan sebaliknya, Tuhan tidak membutuhkan hukum-hukum sains untuk menopang keberadaan-Nya. Sains bisa menjelaskan seluruh fenomena alam tanpa harus ada campur tangan Tuhan. Sains semakin membuat kita maju dan mampu menyibak rahasia alam tanpa harus melibatkan sesuatu yang adikodrati. Sains selalu membuka diri untuk teori-teori baru yang lebih ilmiah, maju, dan rasional untuk menggantikan teori lama yang sudah usang sesuai perkembangan zaman. Namun sebaliknya, agama akan selalu baku. Ia tak menyediakan tempat untuk dikritisi, dirasionalisasi, dan diobservasi secara ilmiah dan saintifik.
Sains selalu membuka pintu untuk keragu-raguan akan teori sains itu sendiri. Tetapi agama sangat bertolak belakang, ia selalu menutup pintu terhadap keragu-raguan akan dogma-dogma yang sudah disepakati, karena dogma tersebut diklaim berasal dari sesuatu yang maha segala-galanya sehingga tak boleh dibantah sedikit pun. Sains selalu berdasarkan pembuktian empiris, observasi dan analisis logis, sedangkan klaim kebenaran agama selalu berdasarkan iman kepada sesuatu yang bersifat adikodrati yang tidak berdasar pada bukti empiris secara menyeluruh, bahkan sekalipun kebenaran tersebut sudah dijungkir-balikkan oleh pembuktian dan teori saintifik modern. Itulah yang membuat saya tertarik pada sains.
Tetapi sekritis-kritisnya pemikiran saya akan dogma-dogma agama, bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap mengambil nilai-nilai universal dan kemanusiaan dari agama apapun untuk saya aplikasikan dalam kehidupan. Saya tetap menghormati keyakinan saudara dan sahabat-sahabat saya akan agama. Saya mengakui bahwa banyak sisi positifnya dari suatu agama yang mengajarkan kemanusiaan, perdamaian, dan keadilan (sekalipun sangat banyak pengikutnya yang tidak menjalankanya). Nilai universal kemanusiaan harus kita terapkan dari mana pun sumbernya. Bagi saya semua agama itu benar menurut caranya sendiri-sendiri. Ia akan selalu benar dan menjadi yang terbenar jika dilihat dari sudut pandang agama tersebut. Tetapi yang tidak bisa saya tolelir adalah jika agama menjadi sebuah tirani yang mencampakkan nilai kemanusian. Manusia tetap bisa beradab meskipun tanpa agama, namun betapa banyaknya orang yang mengaku beragama bersikap abai pada nilai-nilai kemanusiaan. Semoga saya tidak kembali terjebak di jurang fundamentalisme dan fanatisme keagamaan seperti yang saya alami dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar