Jumat, 11 Februari 2011

FOTOGRAFI SEBAGAI ESTETIKA DAN SAKSI SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

Fotografi adalah seni melihat jendela dunia, karena fotografi mengajarkan pada kita cara yang unik untuk melihat dunia dan sekaligus memberikan penyadaran baru akan segala keindahan yang ada di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari umat manusia, seperti pada secercah senyum tulus dari anak desa
"Games" by Aslisah
 Pada wajah-wajah yang bersimbah keringat di sawah ladang ataupun perkebunan
"Looking for Sap" by I Gede Lila Kantiana
Pada keindahan tubuh wanita
"Body Scape" by Gerd Hannemann
Pada tertindasnya manusia yang dimiskinkan oleh sistem
''Dreams" by Prateek Dubey
Pada sekuntum kembang rumput ditepi lubuk
"Moss" By Adriana K.H
Pada cermin keagungan semesta alam
"Kukup" By Iwan Vinsens
atau pada kerapuhan lingkungan hidup di bumi di mana kita semua menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
"Life in the Trash" by Jose Ferreira

Fotografi juga mengajarkan pada kita untuk melihat lebih dalam, menggali makna dan memahaminya sehingga menumbuhkan rasa cinta yang dapat menciptakan inspirasi untuk melangkah lebih jauh, melompat lebih tinggi, berlari lebih kencang, berbuat lebih banyak, dan melahirkan energi positif yang mampu menjadi katalis perubahan ke arah yang lebih baik untuk semua.

Fotografi dilahirkan bukan hanya sebagai jendela dunia, di sisi lain fotografi dapat menjadi saksi sejarah dan juga menjadi opsi bukti sejarah hidup manusia serta peristiwa-peristiwa yang melingkupinya. Dengan keberadaan foto, banyak orang bisa diingatkan dan disadarkan tentang suatu hal. Dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, sewajarnya kita harus mengenal sosok figur pejuang bernama Frans Soemarto Mendoer, bisa dikatakan ia adalah pelopor pejuang kemerdekaan yang hanya bersenjatakan kamera.

Frans Soemarto Mendoer
Frans Soemarto Mendoer lahir pada tahun 1913. Keluarga Mendoer merupakan putra daerah Kawangkoan, Manado, Sulawesi Utara. Frans belajar cara memotret kepada kakak kandungnya sendiri, Alex, yang kala itu menjadi wartawan foto Java Bode, koran berbahasa Belanda yang berkedudukan di Jakarta. Lambat laun, karena menyukai dunia fotografi, Frans menjadi wartawan foto pada tahun 1935. Frans dan Alex adalah dua fotografer bersaudara yang menggagas pembentukan Indonesia Press Photo Service, atau yang kemudian disingkat IPPHOS. Dengan mengajak beberapa kawan, di antaranya kakak-beradik Justus dan Frank Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda, mereka secara resmi mendirikan kantor berita IPPHOS pada 2 Oktober 1946. Dengan adanya kantor berita itu, minat Frans terhadap dunia fotografi semakin tersalurkan. Dari kepiawaiannya memainkan kamera, terabadikanlah foto-foto para tokoh penting bangsa ini, seperti Soekarno, M. Hatta, Amir Sjarifuddin, Sutan Sjahrir, Sayuti Melik, dan lain-lain.

Salah satu foto kehidupan Soekarno sehari-hari yang sempat didokumentasikan oleh Frans yakni foto saat Presiden pertama Indonesia itu tengah menyaksikan para sopir kepresidenan mereparasi mobil. Ada juga foto momen-momen penting saat Soekarno mengumumkan kabinet pertamanya di bulan September 1945. Frans juga sempat memotret mimik muka mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang tengah larut dalam perasaan emosional saat membaca buku tragedi Romeo and Juliet karya Shakespeare di atas gerbong yang membawanya ke hadapan regu tembak. Bahkan, pada masa-masa revolusi fisik dulu, Frans juga banyak mengabadikan suasana Kota Jakarta, misalnya foto tulisan "Merdeka atau Mati" atau "Freedom or Death" yang banyak terdapat di tembok-tembok bangunan kala itu.

Dari sisi fotografi, apa yang dilakukan Frans Mendoer dan rekan-rekannya di IPPHOS bukan saja menjauhkan suasana kaku dan berjarak yang sangat terasa pada fotografi zaman Hindia-Belanda, tapi juga menghilangkan segala bentuk diskriminasi sosial. Pada hasil-hasil bidikan kamera mereka, manusia Indonesia sengaja ditonjolkan tampak hidup,tersenyum, bahkan berdiri tegap berdampingan dengan manusia-manusia dari belahan bumi lainnya. Frans dan rekan-rekannya di IPPHOS sengaja menampilkan foto manusia-manusia Indonesia yang tidak lagi hanya menjadi "piguran", tapi menjadi sosok utama yang menjadi pusat perhatian. Bidikan kamera-kamera mereka telah mampu menyajikan wajah bangsa Indonesia pada periode 1945-1949 dalam nuansa yang lain, yakni nuansa pergerakan kemerdekaan.

Pada detik-detik menjelang proklamasi, setelah mendapat kabar dari seorang sumber di harian Jepang Asia Raya bahwa akan ada kejadian penting di rumah kediaman Soekarno, Frans langsung bergerak menuju rumah bernomor 56 di Jalan Pegangsaan Timur itu sambil membawa kamera Leica-nya. Dan benar, pagi itu, Jumat, 17 Agustus 1945, sebuah peristiwa penting berlangsung di sana: pembacaan teks proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia oleh Soekarno. Saat itu Frans hanya memiliki sisa tiga lembar plat film. Jadi dari peristiwa bersejarah itu, ia hanya bisa mengabadikan tiga adegan. Pertama, adegan Soekarno membacakan teks proklamasi
Pembacaan Teks Proklamasi RI oleh Soekarno
Kedua, adegan pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA
pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat.
Kemudian yang ketiga, suasana ramainya para pemuda yang turut menyaksikan pengibaran bendera
Keadaan saat Bendera mulai dikibarkan.

Setelah menyelesaikan tugas jurnalisnya itu, Frans langsung bergegas meninggalkan rumah kediaman Soekarno karena menyadari bahwa tentara Jepang tengah memburunya. Frans menjadi satu-satunya orang yang mengabadikan momen sakral itu karena Alex Alexius Impurung Mendoer, kakak kandungnya yang juga sempat memotret prosesi bersejarah tersebut, harus merelakan kameranya dirampas oleh tentara Jepang. Kemudian, sewaktu tentara Jepang menemui Frans untuk meminta negatif foto Soekarno yang sedang membacakan teks proklamasi, Frans mengaku film negatif itu sudah diambil oleh Barisan Pelopor. Padahal negatif foto peristiwa yang sangat penting itu ia sembunyikan dengan cara menguburnya di tanah, dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Kalau saja saat itu negatif film tersebut dirampas tentara Jepang, maka mungkin generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak akan tahu seperti apa peristiwa sakral tersebut.

Pencucian tiga buah foto bersejarah itu juga tidaklah mudah karena dihalang-halangi pihak Jepang. Frans bersama Alex terpaksa secara diam-diam harus mengendap, memanjat pohon pada malam hari, dan melompati pagar di samping kantor Domei (sekarang kantor berita ANTARA) untuk bisa sampai ke sebuah lab foto guna mencetak foto-foto tersebut. Padahal, bila dua bersaudara itu tertangkap oleh tentara Jepang, mereka akan dipenjara, bahkan dihukum mati. Foto pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu pertama kali dimuat diharian Merdeka pada tanggal 20 Februari 1946, lebih dari setengah tahun setelah pembuatannya. Film negatif catatan visual itu sekarang sudah tak dapat ditemukan lagi. Ada dugaan bahwa negatif film itu ikut hancur bersama semua dokumentasi milik kantor berita Antara yang dibakar pada peristiwa di tahun 1965. Waktu itu, sepasukan tentara mengambil seluruh koleksi negatif film dan hasil cetak foto yang dimiliki Antara lalu membakarnya. Bisa disimpulkan andaikata tidak ada Frans Mendoer, maka kita (Bangsa Indonesia) tidak akan punya satupun foto dokumentasi dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945.

Fotografi memang merupakan sebuah jendela yang membuka cakrawala baru bagi kita, untuk menemukan kembali dunia yang ada disekitar kita, untuk melihat segala keajaiban yang bisa membawa begitu banyak kegembiraan, kebahagiaan hidup, perjuangan dan sejarah.

"Viewing Point" by Paul Stefan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar